Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
5. WAKTU MAKRUH MELAKSANAKAN SHALAT
Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam melarang seseorang melakukan shalat dalam lima waktu. Tiga waktu
disebut dalam sebuah hadits dan dua lagi dalam dua hadits yang lain.
Tiga waktu yang dilarang itu disebut dalam hadits
Muslim yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Al-Juhani, “Tiga waktu yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami shalat dan mengebumikan
orang yang meninggal, yaitu ketika matahari muncul hingga ia naik, ketika
matahari di tengah-tengah hingga tergelincir (maksudnya bergerak sedikit dari
tengah-tengah langit) dan ketika matahari hampir terbenam.” Hadis
Amr bin Abasah menjelaskan ukuran tingginya dengan lafaz, "Tinggi itu
sekadar panjang sebatang lembing atau dua batang lembing.” Hadits ini
riwayat Abu Dawud dan An-Nasa'i. Panjang lembing ialah 2,50 meter atau lebih
kurang tujuh hasta pada pandangan mata kasar. Menurut golongan ulama Maliki
ialah sepanjang dua belas jengkal. Diriwayatkan dari lbnu Abasah, "Sehingga
muncul bayangan yang panjangnya sama dengan lembing," dan maksud
dengan qaa'im azh-zhzhiirah ialah ketika matahari berada di tengah
langit. Lihat kedua hadits ini dalam Subulus Salam jilid 1 halaman 111 dan
seterusnya.
Pelarangan dalam ketiga waktu ini adalah khusus
bagi dua hal, yaitu mengebumikan mayat dan shalat.
Adapun dua waktu yang lain diterangkan dalam
hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa
beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak
ada shalat setelah Shubuh hingga matahari naik, dan tidak ada shalat setelah Ashar
hingga matahari terbenam.”
Adapun redaksi yang terdapat dalam kitab Muslim
adalah, “Tidak ada shalat setelah shalat fajar.” Hal yang dilarang dalam
kedua waktu ini hanyalah shalat saja. Jadi, lima waktu tersebut adalah seperti
berikut: (1) Setelah shalat Shubuh hingga matahari naik kira-kira setinggi
lembing menurut pandangan mata kasar; (2) Ketika matahari terbit hingga ia naik
setinggi lembing yaitu lebih kurang sepertiga jam setelah terbit; (3) Waktu
matahari di tengah-tengah langit (waktu istiwa’ bukannya waktu zawal (tergelincir
matahari), karena waktu zawal tidak dimakruhkan shalat) hingga matahari
tergelincir (yaitu masuk waktu Zhuhur); (4) Waktu matahari kekuningan hingga ia
terbenam; (5) Setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.
Hikmah larangan menunaikan shalat dalam waktu-waktu
tersebut dan juga hikmah diharamkannya shalat sunnah di dalamnya adalah, tiga
waktu yang pertama dinyatakan alasannya oleh hadits Amru bin Abasah yang terdapat
dalam kitab Shahih Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa'i. Yaitu ketika matahari terbit,
ia terbit di antara dua tanduk setan, lalu orang kafir shalat menyembahnya.
Ketika matahari di tengah-tengah, neraka Jahanam dinyalakan dan pintu-pintunya
pun dibuka. Ketika matahari hendak terbenam, ia terbenam di antara dua tanduk
setan, dan orang kafir shalat menyembahnya. Jadi, hikmah pelarangan adalah
supaya tidak menyerupai
orang kafir menyembah matahari dan juga karena waktu
matahari di tengah-tengah langit adalah waktu kemurkaan Allah Ta’ala.
Sementara, hikmah pelarangan shalat sunnah
setelah shalat Shubuh dan Ashar bukanlah disebabkan sesuatu yang wujud dalam waktu
itu. Melainkan, pada waktu itu yang lebih baik adalah sibuk dengan kewajiban
daripada dengan hal-hal yang sunnah.
Adapun hukum yang dapat diambil dari larangan
tersebut adalah pengharaman shalat sunnah menurut ulama Hambali pada lima waktu
itu tersebut, dan menurut ulama Maliki pada tiga waktu saja. Adapun dalam dua
waktu yang lain, hukumnya adalah makruh tanzih.
Menurut ulama Hanafi, kelima waktu itu adalah
dianggap sebagai waktu makruh tahrim. Adapun menurut ulama Syafi'i berdasarkan pendapat
yang mu'tamad, tiga waktu itu adalah makruh tahrim (Muraqil Falah halaman
31; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 243; Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 241; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 127; Hasyiyah Al-Bajuri
jilid 1 halaman 196; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 528; Al-Mughni
jilid 2 halaman 107 dan seterusnya).
Sedangkan menurut empat pendapat yang masyhur
dalam madzhab Syafi'i, dua waktu yang lain dianggap makruh tanzih.
Hukum haram atau makruh tahrim menyebabkan
shalat yang dilaksanakan tidak sah, dengan perincian pendapat yang akan diterangkan
nanti. Walaupun kedua-duanya haram dan makruh tahrim menyebabkan dosa, tetapi
haram ialah hukum yang ditetapkan dengan dalil qath’i yang tidak ada
kemungkinan takwil lagi, baik berasal dari kitab, sunnah, ijma’ ataupun qiyas.
Adapun makruh tahrim adalah hukuman yang ditetapkan dengan dalil yang
mengandung kemungkinan takwil.
Para fuqaha berbeda pendapat tentang jenis
shalat yang dimakruhkan pada masa-masa tersebut.
A. Tiga Waktu Makruh (Matahari Terbit, Matahari Terbenam
dan Matahari di Tengah-Tengah (Istiwa’)
Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi (Fathul
Qadir ma’a Al-‘Inayah jilid 1 halaman 161-166; Muraqil Falah halaman
31; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 343, 349), jenis shalat apa pun
makruh dilakukan dalam waktu tersebut baik shalat fardhu, sunnah, atau wajib,
walaupun dengan maksud mengqadha' shalat wajib yang ada dalam tanggungan, ataupun
shalat jenazah, melakukan sujud tilawah, atau sujud sahwi, kecuali pada hari Jumat
menurut pendapat yang mu'tamad yang disahkan dan shalat Ashar yang dilakukan secara
tunai (adaa).
Kemakruhan ini dapat membawa kepada tidak
sahnya shalat fardhu dan shalat-shalat yang berkaitan dengannya yang berbentuk wajib
seperti shalat Witir. Shalat sunnah yang dilakukan pada waktu itu adalah sah,
tetapi makruh tahrim. Jika waktu makruh baru datang setelah shalat dimulakan,
maka shalat tersebut batal kecuali shalat jenazah yang ada pada waktu itu,
sujud tilawah yang dibaca ayatnya pada waktu itu, shalat Ashar pada harinya,
shalat sunnah dan nadzar yang terikat dengan waktu itu, mengqadha' shalat yang
telah dikerjakan pada waktunya tetapi ia membatalkan shalat qadha'itu, keenam
shalat ini adalah sah. Shalat yang pertama sah dan tidak makruh. Yang kedua
adalah sah, tetapi makruh tanzih. Sementara shalat yang empat berikutnya adalah
sah, tetapi haram.
Dalil mereka adalah karena bentuk larangan shalat
dalam waktu tersebut adalah umum. Tidak sah melakukan qadha' pada waktu itu,
karena shalat qadha' adalah suatu shalat waiib yang sifatnya sempurna, Maka, ia
tidak boleh ditunaikan dengan cara yang tidak sempurna.
Tidak sah melaksanakan shalat Shubuh secara
tunai sewaktu matahari terbit. Karena kewajiban shalat Shubuh harus dilakukan dalam
waktu yang sempurna, maka ia batal jika dilakukan dalam waktu yang salah
kecuali (yang dilakukan) orang awam. Mereka tidak perlu dihalang melakukannya,
sebab mereka meninggalkannya. Menurut pandangan setengah ulama, menunaikan
shalat yang dibolehkan adalah lebih utama dari meninggalkannya.
Sah menunaikan shalat Ashar tunai, tetapi makruh
tahrim jika dilakukan pada masa matahari sedang terbenam. Hal ini berdasarkan
hadits Abu Hurairah, “Siapa yang mendapat satu rakaat dari shalat Ashar,
sebelum matahari terbenam, maka dia telah memperolehi shalat Ashar pada waktunya.”
Al-Jama'ah meriwayatkan dengan lafal, "Siapa yang mendapat satu
raka'at Shubuh sebelum matahari terbit, maka dia mendapat Shubuh (dengan
sempurna). Siapa yang mendapat satu rakaat Ashar sebelum matahari terbenam,
maka dia mendapat Ashar (dengan sempurna)." (Nailul Authar jilid
2 halaman 21) Golongan ulama Hanafi membedakan antara shalat Ashar dan Shubuh,
meskipun hadits ini menyamakan keduanya. Jika berlaku perbedaan antara hadits
ini dengan larangan shalat dalam ketiga waktu itu, maka kita kembali kepada
qiyas mengikuti kaidah mukhtalaf al-hadis. Oleh sebab itu, kita men-tarjih
hadits ini dalam masalah shalat Ashar dan melarang shalat Shubuh (Raddul
Mukhtar jilid 1 halaman 346). Sebenarnya
perbedaan ini tidak dapat diterima, karena ia menyebabkan menerima
sebagian hadits dan menolak sebagian yang lain.
Sah melakukan sujud tilawah yang dibaca dalam
waktu yang dilarang, tetapi ia tetap makruh tanzih. Demikian juga menunaikan shalat
nadzar atau shalat sunnah yang sedang dikerjakan, karena semua shalat itu
menjadi wajib pada waktu ini. Demikian juga sah shalat jenazah sekiranya
jenazah itu dihadirkan pada waktu makruh. Hal ini berdasarkan hadits riwayat At-Tirmidzi,
“Wahai Ali, jangan kamu lewatkan tiga perkara ini, yaitu shalat apabila ia
tiba waktunya, jenazah apabila ia hadir, dan gadis apabila ada orang yang
sepadan baginya.”
Dalil yang digunakan Abu Yusuf untuk membolehkan
shalat sunnah pada hari Jumat ketika matahari istiwa' adalah hadits
riwayat Abu Hurairah dalam Musnad Syafi'i, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melarang shalat pada tengah hari sehingga matahari condong
ke barat, kecuali pada hari Jumat. Tetapi sanadnya adalah dhaif (Subulus
Salam jilid 1 halaman 113).
B. Dua Waktu Larangan Shalat (Setelah Shalat Shubuh dan
Ashar)
Setelah shalat Shubuh dan shalat Ashar, makruh
melakukan shalat sunnah termasuk sunnah (qabliyah) Shubuh atau sunnah (qabliyah)
Ashar yang tidak ditunaikan sebelum shalat fardhu. Begitu juga shalat sunnah
tahiyyat masjid, shalat nadzar, dua rakaat sunnah thawaf, dua sujud sahwi, atau
mengqadha shalat sunnah yang tidak sempurna. Melakukan shalat-shalat ini dalam
kedua waktu tersebut adalah makruh tahrim. Namun, shalat-shalat tersebut sah.
Mengqadha' shalat fardhu yang terlewat, shalat
Witir atau sujud tilawah dan shalat jenazah tidak makruh dilakukan dalam kedua waktu
ini. Hal ini disebabkan, kemakruhan itu timbul karena seseorang sibuk dengan
tanggungan kewajiban shalat fardhu yang belum ditunaikan. Sekiranya ia telah
melaksanakan shalat fardhu itu, maka kemakruhan tersebut hilang karena adanya
kesibukan untuk menunaikan fardhu yang lain atau kewajiban. Hukum tidak makruh
melakukan qadha' setelah mendirikan shalat Ashar ini, hanya berlaku dalam masa
sebelum berubahnya matahari (menjadi kuning). Tetapi apabila matahari sudah
berubah, maka tidak boleh melakukan qadha', walaupun sebelum mengeriakan shalat
Ashar.
(1) Pendapat Ulama Maliki
Menurut pendapat ulama madzhab Maliki (Asy-Syarhush
Shaghir jilid 1 halaman 241 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman
46; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 186 dan seterusnya), shalat sunnah
haram dilakukan dalam tiga waktu yang telah disebut, tetapi melakukan shalat fardhu tidak diharamkan. Dalam waktu itu
juga, boleh mengqadha' shalat fardhu yang telah terlewat. Shalat sunnah menurut
mereka meliputi shalat jenazah, shalat sunnah yang dinadzarkan,
shalat sunnah yang rusak (fasad) dan sujud sahwi
yang dilaksanakan kemudian. Karena, semua itu termasuk shalat sunnah. Keputusan
ini berdasarkan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang
terdapat dalam hadits yang telah lalu.
Melakukan shalat sunnah pada dua waktu yang
disebut terakhir (setelah terbit matahari dan setelah menunaikan shalat Ashar) hingga
matahari naik setinggi lembing (lembing Arab yang panjangnya ialah dua belas
jengkal orang sederhana), dan (setelah shalat Ashar) hingga shalat Maghrib adalah
makruh tanzih, kecuali shalat jenazah dan sujud tilawah setelah shalat Shubuh
sebelum matahari terang. Adapun setelah shalat Ashar, sebelum matahari menjadi
kekuningan, maka tidak makruh malahan hukumnya sunnah. Dikecualikan juga dua
rakaat shalat sunnah (qabliyah) Shubuh, ia tidak makruh dilakukan setelah
matahari terbit. Karena, shalat itu dianjurkan sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Seseorang yang melakukan shalat sunnah, wajib
menghentikan shalatnya jika dia bertakbiratul ihram dalam waktu yang diharamkan
melakukan shalat. Sunnah baginya untuk menghentikan shalatnya jika dia
bertakbiratul ihram dalam waktu yang makruh. Dia tidak perlu menqadha’.
(2) Pendapat Ulama Syafi’i
Menurut pendapat yang mu'tamad (Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 128 dan seterusnya; Hasyiyah Al-Bajuri jilid
1 halaman 196 dan seterusnya), melakukan shalat pada ketiga waktu tersebut
adalah makruh tahrim dan melakukan shalat pada dua waktu yang lain hukumnya makruh
tanzih. Perbedaan di antara makruh tahrim dan makruh tanzih ialah makruh tahrim
menyebabkan dosa, sedangkan makruh tanzih tidak menyebabkan demikian.
Shalat yang dilakukan dalam waktu-waktu
tersebut tidak sah. Hal ini disebabkan apabila suatu larangan ditujukan kepada
ibadah itu sendiri ataupun sesuatu yang berkaitan dengan ibadah tersebut, maka ia
menyebabkan ibadah tersebut tidak sah (fasad), baik larangan itu berbentuk
pengharaman atau makruh tanzih. Orang yang melakukan shalat dalam waktu-waktu
tersebut dihukumi berdosa. Karena meskipun makruh tanzih pada umumnya tidak
menyebabkan dosa, tetapi khusus dalam waktu tersebut menyebabkan orang yang
shalat itu berdosa. Sebab, ia melakukan ibadah yang menyerupai ibadah yang
salah. Orang yang melakukan shalat pada waktu yang dilarang hendaklah dikenakan
hukuman ta'zir. Namun, ulama Syafi'i membuat beberapa pengecualian, yaitu:
(a) Hari Jumat
Pada hari Jumat, tidak makruh melakukan shalat
ketika matahari dalam keadaan istiwaa', karena keadaan ini dikecualikan
oleh hadits riwayat Al-Baihaqi dari Abu Sa'id Al-Khudri dan Abu Hurairah, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat pada tengah hari (istiwaa)
kecuali pada hari Jumat.” Tetapi hadis ini dhaif (Subulus Salam jilid 1
halaman 113 dan seterusnya).
Dan juga, berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud
dari Qatadah dan lain-lainnya, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
membenci shalat pada tengah hari (istiwaa) kecuali hari Jumat. Baginda
mengatakan, 'Sesungguhnya neraka itu membara kecuali hari Jumat.” Abu Dawud
berkata, hadits ini adalah mursal. Dalam hadits tersebut, terdapat
perawi yang bernama Laits bin Abi Salim. Dia adalah seorang perawi yang lemah.
Namun, riwayatnya diperkuat dengan perbuatan sahabat Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam di mana mereka melakukan shalat di tengah hari pada hari Jumat.
Lagipula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan supaya
pergi shalat Jumat awal pagi, kemudian menganjurkan shalat ketika imam keluar,
tanpa pengkhususan dan tanpa pengecualian (Subulus Salam jilid 1 halaman
114).
Pendapat yang lebih ashah menurut mereka adalah
sah shalat pada waktu tersebut, baik yang melakukan shalat hadir dalam shalat Jumat
ataupun tidak.
(b) Tanah Suci Mekah
Pendapat yang sah mengatakan, shalat dalam
waktu-waktu tersebut di Tanah Haram Mekah tidaklah makruh. Hal ini berdasarkan
hadits riwayat Jubair bin Muth'im yang mengatakan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Wahai Bani Abd Manaf, jangan kamu
melarang seseorang thawaf di rumah ini (Baitullah) dan
shalat pada waktu kapan pun yang dia sukai, malam atau siang.” Diriwayatkan oleh Imam Hadis yang Lima dan ia hukumi
sebagai hadis shahih oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Diriwayatkan oleh Imam
Asy-Syafi’i, Ahmad, Ad-Daruquthni, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim.
Selain itu, shalat di Tanah Haram Mekah mempunyai
tambahan kelebihan. Oleh karena itu, shalat dalam keadaan apa pun tidak dimakruhkan.
Tetapi, tidak melakukan shalat dalam waktu-waktu tersebut adalah lebih baik,
untuk menghindar dari perbedaan pendapat.
(c) Shalat Sunnah yang Mempunyai Sebab di Awalnya
Contohnya adalah shalat fardhu yang terlewat, shalat
gerhana matahari, tahiyat masjid, sunnah wudhu, dan sujud syukur. Hal ini
karena shalat yang terlewat, tahiyat masjid, dan dua rakaat wudhu mempunyai
sebab-sebab mutaqaddim (terdahulu). Sedangkan shalat gerhana matahari,
shalat minta hujan, shalat jenazah, dan dua rakaat Shubuh juga mempunyai sebab muqorin
(yang berbarengan). Shalat fardhu atau shalat sunnah yang terlewat boleh
diqadha' pada waktu kapan pun, seperti yang telah ditentukan oleh hadits
berikut. “Siapa yang tertidur hingga terlewat melakukan shalat atau orang
yang terlupa shalat hendaklah dia shalat apabila dia mengingatnya.” Muttafaqun
‘alaihi.
Dan juga, hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan
Muslim, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua rakaat setelah
shalat Ashar. Kemudian beliau berkata, 'Dua rakaat tersebut adalah (yang
semestinya dilakukan) setelah shalat Zhuhur.”
Shalat gerhana matahari, tahiyyatul masjid, dan
shalat lain yang serupa adalah, karena sebab yang muncul sebelumnya. Dalam
Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
kepada Bilal, “Coba kamu ceritakan apakah pekerjaan yang paling kamu harap
(terbaik) dari pekerjaan-pekerjaan yang kamu lakukan setelah kamu masuk Islam.
Sesungguhnya aku mendengar bunyi sandalmu di surga.” Bilal menjawab, “Aku
tidak melakukan satu pekerjaan yang
paling aku harapkan (pahalanya) selain aku tidak pernah
bersuci baik di malam atau siang hari, kecuali aku melakukan shalat sunnah setelahnya.”
Adapun mengenai sujud syukur, disebut dalam
Shahih Bukhari dan Muslim tentang tobat yang dilakukan oleh Ka'ab bin Malih bahwa
Ka'ab melakukan sujud syukur setelah shalat Shubuh sebelum matahari terbit.
Adapun shalat yang mempunyai sebab muta'akhkhir
(belakangan) seperti dua rakaat istikharah dan shalat sunnah ihram, maka shalat
tersebut tidak sah jika dilakukan dalam waktu-waktu yang telah disebutkan,
begitu juga dengan shalat yang tidak ada sebabnya.
(3) Pendapat Ulama Hambali
Menurut pendapat ulama Hambali (Al-Mughni jilid
2 halaman 107; Kasysyaful Qina jilid 1 halaman 528-531), melakukan
qadha' shalat-shalat fardhu yang terlewat atau yang terlupa boleh dilakukan dalam
waktu-waktu larangan dan juga waktu-waktu lainnya. Hal ini berdasarkan keumuman
hadits yang telah disebutkan dulu, yaitu hadits, “Siapa yang tidur dan terlewat,
melakukan shalat atau terlupa melakukan shalat, hendaklah dia shalat seketika
di saat dia mengingatnya.”
Juga, berdasarkan hadits Abu Qatadah, “Tertidur
tidak dianggap kelalaian meninggalkan shalat, tetapi kelalaian meninggalkan shalat
adalah yang disebabkan dalam keadaan sadar. Oleh karena itu, jika salah seorang
kamu terlupa melakukan suatu shalat atau tertidur, hendaklah dia shalat ketika
dia mengingatnya.” Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan At-Tirmidzi
menganggapnya shahih. Abu Dawud juga meriwayatkannya (Nailul Authar jilid
2 halaman 27).
Jika matahari telah terbit sedangkan seseorang
sedang melakukan shalat Shubuh, hendaklah dia menyempurnakan shalat itu. Ini
berbeda dengan pendapat ulama Hanafi. Pendapat ini berdasarkan hadits, “Jika
dia memperoleh satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit, hendaklah dia
menyempurnakan shalatnya.“
Shalat nadzar boleh dikerjakan dalam waktu
larangan, meskipun nadzarnya adalah dalam waktu tersebut. Ini berbeda dengan pendapat
ulama Hanafi. Alasan dibolehkannya mengqadha shalat pada waktu tersebut karena
ia adalah shalat wajib. Oleh karena itu, ia menyerupai shalat fardhu yang
terlewat dan juga shalat jenazah.
Shalat sunnah thawaf dua rakaat juga boleh
dikerjakan pada waktu yang dilarang, berdasarkan hadits yang telah lalu, yang
dipegang oleh golongan Syafi'i. Hadits tersebut adalah, “Wahai Bani Abdul
Manaf, janganlah kamu menghalangi seseorang yang berthawaf di rumah ini dan
bershalat pada waktu kapan pun juga yang disukainya, baik pada waktu malam ataupun
siang.”
Menurut pendapat jumhur fuqaha, shalat jenazah
juga boleh dikerjakan dalam dua waktu (setelah Shubuh dan setelah Ashar). Shalat
jenazah tidak boleh dilakukan dalam tiga waktu yaitu ketika matahari terbit,
matahari tenggelam, dan ketika matahari di tengah-tengah (istiwaa). Kecuali
jika ada kekhawatiran berkenaan dengan jenazah tersebut, maka boleh menshalati
jenazah tersebut karena darurat. Dalil pelarangan ini adalah kenyataan Uqbah
bin Amir yang telah lalu, yaitu, “Tiga waktu yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melarang kita melakukan shalat dalam waktu tersebut dan juga
melarang kita mengebumikan orang yang meninggal.”
Shalat berjamaah boleh diulang pada waktu
larangan, dengan syarat ia berada dalam masjid atau dia masuk ke masjid lain
yang ada orang lain sedang shalat, baik orang yang ada dalam masjid itu sedang
melakukan shalat berjamaah atau sendirian. Pendapat ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Yazid ibnul Aswad yang mengatakan, “Aku shalat Shubuh
bersama-sama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam selesai shalat, didapati ada dua lelaki yang tidak shalat
bersama-sama beliau. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada
mereka berdua, “Apa yang menghalangi kamu berdua dari shalat bersama kami?” Mereka
menjawab, “Kami telah shalat semasa dalam perjalanan kami.” Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengatakan, “Jangan lakukan demikian. Jika kamu berdua telah
shalat dalam perjalanan kemudian kamu datang ke masjid yang ada orang shalat, maka
shalatlah bersama-sama mereka, karena itu sunnah bagi kamu.” Diriwayatkan oleh
Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dia mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih.
Ini adalah nash mengenai shalat Shubuh. Waktu
selain Shubuh disamakan dengan waktu Shubuh. Haram melakukan shalat-shalat
sunnah (tathawwu') dalam lima waktu tersebut kecuali shalat-shalat yang
dikecualikan seperti yang telah disebutkan. Keharaman tersebut berlaku bagi
kesunnahan yang mempunyai sebab seperti sujud tilawah, sujud syukur, sunnah rawatib
(seperti sunnah qabliyah Shubuh) jika dikerjakan sesudah shalat Shubuh, atau
setelah Ashar, dan seperti shalat sunnah gerhana matahari, meminta hujan,
tahiyatul masjid, dan shalat sunnah wudhu, ataupun tidak mempunyai sebab
seperti shalat istikharah. Karena, larangannya berbentuk umum.
Keumuman larangan ini diutamakan dan dipertimbangkan
dalam memahami hadits-hadits tentang tahiyyat dan lainnya karena dalil-dalil
yang umum ini berupa larangan sedangkan dalil hadits tahiyyat adalah membolehkan.
Dalil pelarangan harus didahulukan daripada dalil yang membolehkan. Adapun
shalat sesudah Ashar adalah termasuk ibadah yang dikhususkan bagi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Tetapi, shalat sunnah tahiyyatul masjid boleh dikerjakan
pada hari Jumat apabila seseorang masuk masjid, ketika
imam sedang berkhotbah. Hal ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan dahulu
bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat di
waktu istiwaa' kecuali pada hari Jumat.
Menurut pendapat yang shahih, shalat sunnah
rawatib boleh diqadha' setelah shalat Ashar. Hal ini disebabkan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam pernah melakukannya. Beliau pernah mengqadha' shalat
sunnah dua rakaat setelah Zhuhur dan melakukannya setelah shalat Ashar. Hal ini
jelas disebutkan dalam hadits riwayat Ummu Salamah.
Menurut pendapat yang shahih, shalat sunnah
dua rakaat sebelum Ashar adalah boleh diqadha. Karena, Aisyah meriwayatkan bahwa,
“Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menunaikan shalat itu lalu aku
bertanya, Apakah engkau akan mengqadha'nya jika terlewat?' Beliau bersabda, “Tidak.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dalam juz kelima dari hadisnya.
Mengqadha' shalat sunnah Shubuh boleh
dilakukan setelah shalat Shubuh. Namun, Imam Ahmad memilih untuk mengqadha'nya
pada waktu Dhuha, sebagai langkah untuk menghindar dari perbedaan pendapat.
Menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab,
shalat-shalat sunnah tidak boleh diqadha' pada waktu yang dilarang. Menurut pendapat
ini, tidak ada perbedaan antara Mekah dengan tempat lain mengenai waktu larangan
ini. Ini disebabkan larangan itu berbentuk umum. Demikian juga, tidak ada
perbedaan antara waktu istiwaa' pada hari Jumat dengan hari lain. Juga,
tidak ada perbedaan di antara musim dingin dengan musim panas.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments