Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
3. Syarat Ketiga: Berakal
Menurut pendapat jumhur selain ulama Hambali,
shalat tidak wajib bagi orang gila, hilang akal dan yang serupa dengan kondisi tersebut
seperti orang yang pingsan. Kecuali, jika dia kembali sadar dan masih ada waktu
shalat yang tersisa. Hal ini disebabkan berakal adalah tanda mukallaf,
sebagaimana hadits yang telah disebut sebelum ini yang artinya, “Orang gila
sehingga ia kembali waras.”
Tetapi menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i,
mereka disunnahkan mengqadha' shalat yang terlewat ketika mereka hilang akal (gila,
pingsan dan kondisi semacamnya).
Menurut pendapat ulama madzhab Hambali, orang
yang hilang pikiran karena sakit, pingsan, atau karena efek obat yang
dibenarkan, diwajibkan mengqadha' shalat yang terlewat karena kewajiban berpuasa
bagi mereka juga tidak gugur. Maka, begitu juga kewajiban shalat tidak gugur.
Perempuan yang datang haid dan nifas tidak
dituntut melakukan shalat dan tidak juga dikenakan qadha' shalat, sekalipun
mereka sengaja memukul tubuhnya atau meminum obat supaya datang haid atau
semacamnya.
Orang yang mabuk diwajibkan mengqadha'
shalatnya yang terlewat, karena dia telah melakukan kesalahan, yaitu mabuk. Orang
yang tidur juga diwajibkan mengqadha' shalat yang terlewat dan dia wajib diberi
tahu jika waktu shalat sudah hampir berakhir. Dalil yang menunjukkan wajib
qadha' shalat adalah hadits, “Barangsiapa tidur dan terlewat melakukan shalat
atau terlupa melakukan shalat, hendaklah ia melakukan shalat apabila ia
teringat. Tidak ada hukuman baginya, kecuali mengqadha' shalat tersebut.”
Hadis riwayat Imam Muslim, dari sahabat Abu Hurairah.
Hadits ini adalah dalil wajibnya mengqadha' shalat
fardhu baik disengaja maupun tidak, meskipun waktunya telah terlewat lama. Imam
An-Nawawi mengatakan dalam kitab Al-Majmu', “Disunnahkan membangunkan orang
yang tidur supaya menunaikan shalat, terutama jika waktu sudah hampir berakhir.”
Dalam Sunan Abu Dawud, disebutkan bahwa, “Pada suatu hari, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam keluar untuk menunaikan shalat. Setiap kali baginda menemui
orang tidur; baginda membangunkannya.” Begitu juga hukumnya sunnah,
membangunkan orang yang tidur di hadapan orang yang shalat, tidur di barisan pertama,
tidur di mihrab masjid, atau tidur di atas atap yang tidak berdinding. Karena, terdapat
larangan berkenaan dengan jenis tidur seperti tersebut, tidur dalam keadaan sebagian
badannya di bawah cahaya matahari dan sebagian lagi terlindung bayang-bayang tidur
setelah keluar fajar (masuk waktu shubuh) dan sebelum naik matahari, tidur
sebelum shalat Isya dan selepas ashar, tidur sendirian (di tempat yang sepi),
perempuan tidur telentang dan mukanya menghadap ke langit, atau lelaki yang
tidur telungkup karena tidur seperti itu dibenci oleh Allah Ta’ala.
Disunnahkan juga membangunkan orang yang tidur
untuk menunaikan shalat malam dan untuk bersahur. Begitu juga membangunkan orang
yang tidur di padang Arafah ketika berwukuf, karena itulah waktu memohon dan berdoa
kepada Allah Ta’ala. Imam Al-lsnawi berkata, “Semua ini (adalah hukumnya
sunnah atau dianjurkan), berbeda jika ada orang yang sedang berwudhu dengan air
yang najis, maka mengingatkannya hukumnya wajib.”
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments