Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
3. SYARAT-SYARAT WUDHU
Perkara-perkara yang menyebabkan seseorang wajib
berwudhu adalah terjadinya hadats, masuk waktu shalat, mengerjakan shalat, dan
hal-hal yang semacamnya. Pendapat yang ashah dari kalangan ulama madzhab
Syafi'i mengatakan bahwa yang mewajibkan wudhu adalah kedua perkara tersebut,
yaitu hadats dan menunaikan shalat atau hal sejenisnya.
Adapun syarat-syarat wudhu terbagi menjadi dua
jenis, yaitu syarat wajib dan syarat sah. (Al-Bada'i, jilid 1 halaman
15; Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul Mukhtar, jilid l halaman 80; Muraqi Al-Fatah,
halaman 10; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 131, 134; Asy-Syarhul
Kabir jilid 1 halaman 84 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj, jilid l halaman
47; Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 95)
Syarat-syarat wajib adalah semua perkara yang
apabila dapat terkumpul semua, maka seseorang diwajibkan untuk bersuci. Adapun syarat-syarat
sah adalah perkara yang menjadikan sahnya amalan bersuci.
1. Syarat-Syarat Wajib
Seseorang wajib berwudhu apabila terdapat delapan
syarat berikut ini. Pertama, berakal Orang yang gila tidak wajib dan tidak
sah wudhunya, yaitu pada waktu gila ataupun pada waktu penyakit ayannya kambuh.
Wudhu juga tidak diwajibkan bagi orang yang tidur dan yang terlupa. Wudhu tidak
sah apabila dilakukan oleh kedua orang tersebut. Pendapat ini adalah menurut
jumhur ulama selain madzhab Hanafi, karena tidak terdapat niat pada orang yang
sedang tidur atau terlupa.
Kedua, baligh. Wudhu
tidak diwajibkan kepada anak-anak dan tidak sah kecuali dari seorang yang mumayyiz.
Mumayyiz juga merupakan syarat bagi sahnya wudhu.
Ketiga, islam. Islam adalah syarat wajib menurut ulama madzhab Hanafi. Hal ini
berdasarkan pendapat yang masyhur di kalangan mereka, yang mengatakan bahwa orang
kafir tidak diperintahkan menunaikan ibadah dan hukum-hukum syariah yang lain.
Oleh sebab itu, orang kafir tidak diwajibkan berwudhu, karena orang kafir tidak
diperintah untuk melaksanakan hukum-hukum syariah. Akan tetapi, jumhur ulama
menyatakan bahwa Islam merupakan syarat sah. Hal ini berdasarkan ketetapan mereka
bahwa orang kafir diperintahkan melaksanakan hukum-hukum syariah. Oleh sebab
itu, tidak sah orang kafir yang melakukan hukum-hukum tersebut, karena di
antara syarat sah melaksanakannya adalah Islam. (Lihat buku kami Al-Wasith
fi Ushulil Fiqh, halaman 153 dan seterusnya, cetakan pertama). Syarat ini juga
menjadi syarat dalam semua ibadah seperti bersuci, shalat, zakat, puasa, dan juga
haji.
Keempat, mampu menggunakan air yang suci dan mencukupi. Wudhu tidak diwajibkan kepada
orang yang tidak mampu menggunakan air yang suci. Ia juga tidak diwajibkan kepada
orang yang tidak memiliki air dan debu. Orang yang mempunyai air, tetapi tidak
mencukupi bagi semua anggota meskipun hanya untuk sekali penggunaan (maka ia
tidak diwajibkan). Tidak diwajibkan juga atas orang yang apabila menggunakan
air dapat memberi mudharat kepadanya. Yang dimaksud dengan orang yang mampu
adalah orang yang mempunyai air yang penggunaannya tidak memudharatkan dirinya.
Ini merupakan pendapat di kalangan ulama madzhab Hanafi dan Maliki. Akan
tetapi, pendapat yang azhar di kalangan ulama madzhab Syafi'i dan Hambali
mengatakan bahwa wajib menggunakan air yang tidak mencukupi tersebut, kemudian
ia melakukan tayamum.
Kelima, hadats. Orang yang sedang dalam keadaan memiliki wudhu tidak diwajibkan mengulangi
wudhu, yaitu berwudhu atas wudhu yang belum batal.
Keenam dan ketujuh,
suci dari haid dan nifas. Yaitu ketika seorang wanita berhenti dari keduanya menurut
pandangan syara'. Oleh sebab itu, wudhu tidak diwajibkan atas perempuan yang
sedang haid dan nifas.
Kedelapan, waktu yang sempit. Hal ini karena perkara-perkara syara' ditujukan kepada
seorang mukallaf dalam waktu yang sempit (yaitu pada akhir waktu) dan
dalam waktu yang panjang (yaitu pada permulaan waktu), maka wudhu tidak
diwajibkan ketika waktu yang panjang. Akan tetapi, ia diwajibkan ketika waktu
sempit.
Syarat-syarat ini dapat diringkas dengan "kemampuan
seorang mukallaf dalam melaksanakan bersuci dengan menggunakan air."
2. Syarat-Syarat Sah
Menurut ulama madzhab Hanafi, wudhu dapat
dianggap sah dengan adanya tiga syarat. Adapun menurut jumhur ulama, wudhu
dapat dianggap sah dengan empat syarat.
Pertama, meratakan air yang suci ke atas kulit, yaitu meratakan air ke seluruh anggota
yang
wajib dibasuh, hingga tidak ada bagian yang tertinggal.
Perbuatan ini bertujuan untuk meratakan air pada seluruh bagian kulit. Oleh
sebab itu, jika terdapat bagian sebesar jarum yang tidak terkena air, maka wudhunya
tidak sah.
Berdasarkan syarat ini, maka wajib menggerakkan
cincin yang ketat menurut jumhur ulama selain ulama madzhab Maliki. Ulama
madzhab Maliki berpendapat bahwa tidak wajib menggerakkan cincin yang boleh
dipakai, baik oleh laki-laki ataupun perempuan, walaupun cincin
tersebut ketat dan tidak dapat dimasuki air. Keadaan ini
tidak dianggap sebagai penghalang, berbeda dengan cincin yang tidak dibenarkan
oleh syara', seperti emas bagi laki-laki ataupun memakai cincin dengan jumlah
yang melebihi batas. Oleh sebab itu, wajib menanggalkan cincin tersebut jika
air tidak bisa memasuki bagian bawah cincin. Namun jika air bisa masuk hanya
dengan menggerakkannya saja (maka ia dibolehkan), karena ia dianggap seperti
menggosok dengan kain.
Menurut kesepakatan para fuqaha, wudhu tidak
sah dengan menggunakan benda cair selain air; seperti cuka, jus, susu, dan
sejenisnya. Begitu juga tidak sah berwudhu dengan air mutanajjis (air
yang terkena najis), karena shalat tidak sah kecuali dengan air suci, ataupun
tidak sah satu shalat itu kecuali dengan keadaan suci.
Kedua, menghilangkan
apa saja yang menghalangi air sampai ke anggota wudhu. Dengan kata lain, tidak
terdapat suatu penghalang yang menghalangi air sampai ke kulit seperti lemak,
minyak, dan termasuk juga kotoran mata, dawat cina yang liat dan cat kuku bagi
perempuan. Namun, minyak biasa dan sejenisnya tidaklah menghalangi air sampai
ke kulit.
Ketiga, tidak terdapat perkara-perkara yang menafikan wudhu atau berhentinya
perkara-perkara yang membatalkan wudhu. Maksudnya adalah berhentinya semua hal yang
dapat menyebabkan batalnya wudhu sebelum wudhu itu dimulai -selain bagi orang
yang uzur seperti berhentinya darah haid, nifas, air kencing, dan semacamnya. Begitu
juga disyaratkan berhentinya
hadats ketika sedang melakukan wudhu. Karena apabila
seseorang keluar air kencing ketika sedang wudhu, maka wudhunya batal dan
menyebabkan wudhu tidak sah.
Sebagai kesimpulan, wudhu yang dilakukan ketika
hadats berlangsung atau ketika perkara yang membatalkan wudhu wujud adalah
tidak sah bagi orang yang tidak uzur.
Keempat, masuk waktu untuk tayamum menurut pendapat jumhur ulama selain ulama
madzhab Hanafi. Menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i, ia juga disyaratkan
bagi orang yang memiliki hadats yang berketerusan seperti orang yang mengidap penyakit
beser (selalu kencing) disebabkan bersuci dalam keadaan demikian dianggap bersuci
karena uzur dan darurat. Oleh sebab itu, ia terikat dengan waktu.
Beragama Islam merupakan syarat sah ibadah
menurut pendapat ulama selain ulama madzhab Hanafi. Menurut ulama madzhab Hanafi,
ia adalah syarat wajib. Akan tetapi, syarat mumayyiz merupakan syarat
sah wudhu dan syarat sah bagi ibadah yang lain menurut kesepakatan seluruh
ulama.
Ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa syarat wudhu
dan mandi ada tiga belas yaitu beragama Islam, mumayyiz, suci dari haid
dan nifas, bersih dari apa saja yang menghalangi air sampai ke kulit,
mengetahui hukum fardhu, tidak menganggap salah satu rukun sebagai sunnah,
menggunakan air yang suci, menghilangkan najis 'ain yang tedapat pada badan dan
pakaian orang yang berwudhu, pada anggota wudhu tidak terdapat bahan yang dapat
mengubah air, tidak menggantungkan niat, mengucurkan air ke atas anggota wudhu,
masuk waktu bagi orang yang hadatsnya berterusan, dan berturut-turut (muwalah).
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########