Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
5. SYARAT-SYARAT TAYAMUM
Ulama madzhab Hanafi menetapkan delapan syarat
bagi sahnya tayamum. Adapun ulama madzhab Syafi'i menetapkan sepuluh syarat.
Sedangkan, ulama Maliki dan Hambali hanya menetapkan dua syarat. Syarat-syarat ini
kadang bercampur dengan fardhu-fardhu tayamum yang telah disebutkan dan kadang juga
menjadi sebab-sebab tayamum.
Ulama madzhab Maliki (Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah halaman 37) menafsirkan syarat dengan sebab, lalu mereka
menerangkannya secara keseluruhan. Untuk sah tayamum, mereka menetapkan dua
syarat, yaitu tidak adanya air atau tidak sanggup menggunakan air.
Secara terperinci dapat diterangkan
sebagaimana berikut: (1) tidak ada air ketika dalam perjalanan (musafir); (2)
sakit dan sedang bermukim (tidak musafir). Begitu juga apabila seseorang
mendapati air, tetapi air itu tidak cukup untuk bersuci, tidak ada alat yang
dapat digunakan untuk mendapatkan air seperti tidak ada timba atau tidak ada tali,
atau dia khawatir haus terhadap dirinya sendiri, orang lain ataupun binatang,
dia takut pencuri atau binatang buas ketika dia mencari air; dia mendapati air,
tetapi harga air sangat mahal, jika dia keluar mencari air atau menggunakannya
maka dia khawatir akan terlewat waktu shalat, dia takut mati kedinginan jika
menggunakan air, takut sakit atau bertambah sakitnya ataupun lambat sembuh jika
ia menggunakan air, dia dalam keadaan sakit dan tidak ada orang yang
menolongnya untuk mendapatkan air, ataupun luka atau kudis berada di sebagian
besar tubuh badan orang yang berjunub, atau berada di sebagian besar anggota
wudhu bagi orang yang berhadats kecil.
Perlu diperhatikan bahwa keadaan-keadaan yang
disebutkan di sini adalah sebab-sebab tayamum yang dapat dijadikan syarat menurut
pendapat ulama Maliki dengan ketentuan dia melakukannya setelah masuk waktu dan
setelah mencari air. Adapun menurut ulama Hambali, syarat tayamum adalah dua,
yaitu masuknya waktu (kewajiban) amalan yang hendak ditayamumi dan kedua adalah
tidak sanggup menggunakan air.
Dari yang disebutkan di atas, maka
syarat-syarat tayamum adalah seperti berikut.
A. Debu yang Suci
Tidak sah tayamum dengan benda selain debu (sha’id
al-ardh). Kata sha’id menurut ulama Syafi'i artinya adalah turab
(debu/tanah) dan menurut ulama Hanafi dan Maliki adalah semua benda yang masih
termasuk jenis bumi.
Demikian juga, tayamum tidak sah jika dengan
menggunakan tanah (sha'id) yang terkena najis, karena Allah Ta’ala berfirman, "...maka
bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)...." (Al-Maa'idah: 6)
Syarat ini adalah syarat sah tayamum menurut
jumhur. Adapun menurut ulama madzhab Maliki, semua ini dinamakan fardhu seperti
yang telah dijelaskan sebelum ini dalam pembahasan mengenai fardhu tayamum.
Sementara itu, ulama Hambali menambahkan bahwa
tanah yang digunakan untuk tayamum hendaklah tanah yang mubah. Oleh karena itu,
jika tayamum menggunakan tanah yang ghasab ataupun tanah kuburan yang sering digali
ataupun tanah masjid, maka tayamum itu tidak boleh.
B. Tayamum Dilakukan Setelah Masuk Waktu
Maksudnya adalah setelah masuknya waktu
amalan/ibadah yang akan ditayamumi. Menurut jumhur ini termasuk syarat,
sedangkan menurut ulama Hanafi ia tidaklah menjadi syarat, seperti yang telah
kita jelaskan dalam pembahasan tentang sifat tayamum.
C. Mencari Air
Seluruh ulama madzhab empat sepakat mengatakan
bahwa mencari air adalah syarat tayamum selagi dia tidak yakin ketiadaan air tersebut.
Sebab, seseorang tidak dinamakan sebagai orang yang tidak mempunyai air,
kecuali setelah dia berusaha mencari air dan tidak mendapatinya. Tetapi, para
fuqaha berbeda pendapat dalam hal kadar jarak yang harus ditempuh bagi
pencarian air itu. Kita telah menyebut sekilas mengenai hal ini dalam pembahasan
sebab-sebab tayamum. Di
sini kita akan menerangkan secara terperinci.
Madzhab Hanafi (Al-Bada’i jilid 1
halaman 46 dan seterusnya; Fathul Qadir jilid 1 halaman 84, 98; Ad-Durrul
Mukhtar jilid 1 halaman 227 dan seterusnya; Al-Lubab jilid 1 halaman
36) mengatakan bahwa seseorang yang bermukim (bukan musafir) hendaklah mencari
air sebelum masuk waktu tayamum, baik dia mempunyai sangkaan tentang adanya air
yang tempatnya dekat dengannya atau tidak. Adapun musafir atau orang yang berada
di luar kawasan pemukiman yang hendak bertayamum, maka dia tidak perlu mencari
air jika dia tidak mempunyai sangkaan kuat bahwa ada air yang dekat denganmya. Karena,
biasanya memang tidak ada air di area padang pasir.
Jika dia mempuyai sangkaan kuat akan adanya air,
maka dia tidak boleh bertayamum hingga dia sendiri mencari air itu atau dia menyuruh
orang lain, dalam jarak yang jauhnya sama dengan jarak lepasnya anak panah dari
busurnya, yaitu jarak yang tidak sampai satu mil. Jarak yang dicapai oleh anak
panah ialah kira-kira 400 hasta atau 184,8 meter. Satu mil artinya menurut
bahasa adalah sejauh mata memandang. Ukurannya adalah sama dengan empat ribu
langkah atau sepertiga farsakh atau 1840 meter. Dia hendaklah mencari ke
semua penjuru dalam kawasan itu. Untuk mencari air tersebut, dia tidak
diharuskan berjalan mencarinya. Dia boleh hanya melihat atau memerhatikan ke
arah empat sudut. Cara ini adalah untuk menghindar dari terpisah dengan
kawannya. Juga, untuk menghindari kesusahan karena Allah Ta’ala berfirman, "...Allah
tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu...."
(Al-Maa'idah:6).
Mencari ke tempat yang jaraknya tidak sampai satu
mil adalah dibolehkan. Imam Al-Kasani berkata, di antara pendapat yang paling
dekat dengan kebenaran adalah pendapat yang mengatakan jaraknya adalah satu
mil. Karena, tayamum disyariatkan untuk menghilangkan kesusahan. Kemudian dia
menambahkan, menurut pendapat yang ashah, orang itu hendaklah mencari dalam kawasan
yang tidak membahayakan dirinya dan tidak membahayakan kawan-kawan yang menunggunya.
Jika dia
tidak serius dalam mencari air, lalu dia melakukan shalat sedangkan dia belum mencarinya,
maka menurut Abu Hanifah dan Muhammad Hassan Asy-Syaibani, orang tersebut wajib
mengulangi shalatnya.
Jika kawan-kawannya mempunyai air, hendaklah dia
meminta dulu sebelum dia bertayamum, karena biasanya mereka tidak akan
melarangnya. Jika kawannya tidak membagi air tersebut, hendaklah dia bertayamum,
karena sudah jelas ada udzur. Tetapi jika dia bertayamum sebelum dia menanyakan
kepada kawan-kawannya, maka apa yang dilakukannya itu sah menurut Abu Hanifah.
Sebab, dia tidak diwajibkan meminta milik orang lain. Kedua sahabat Abu Hanifah
mengatakan bahwa tayamum itu tidak sah, karena biasanya air akan dibagikan
dengan gratis. Jika kawannya tidak mau memberinya air kecuali dengan harga yang
patut, dan dia memang mempunyai harta (uang dan semacamnya) untuk membeli, maka
tayamumnya tidak sah. Sebab, pada kenyataannya dia mampu membayar harga (air)
tersebut. Namun jika harga air itu dijual lebih mahal, maka orang tersebut
tidak diwajibkan menanggung kerugian. Abu Hanifah berkata bahwa jika air itu
tidak dijual kepadanya, kecuali dengan harga dua kali lipat, maka itu dianggap
mahal. Ada yang mengatakan bahwa mahal ialah harga yang diluar perhitungan
pakar harga.
Jika seseorang tidak mempunyai sangkaan kuat bahwa
ada air yang tempatnya dekat dengannya, maka dia tidak wajib mencarinya. Namun
jika dia mempunyai harapan adanya air, maka ia disunnahkan mencarinya. Jika air berada di suatu tempat yang jaraknya adalah
satu mil atau lebih, maka dia hendaklah bertayamum.
Menurut madzhab Maliki (Asy-Syarhul Kabir jilid
1 halaman 153) jika memang kenyataannya tidak ada air, maka seseorang tidak
perlu mencarinya. Jika dia mengetahui ada air, menyangka, atau meragui
keberadaan air pada suatu tempat, maka setiap kali dia hendak shalat dia wajib
mencari air tersebut, sekiranya memang tidak menyusahkannya. Dia hendaklah
mencarinya dalam area yang jaraknya kurang dari dua mil. Dia juga mestinya
meminta air kepada kawan-kawannya, jika dia yakin atau mempunyai sangkaan kuat,
ragu, atau hanya waham bahwa kawan-kawannya tersebut akan memberinya air. Jika dia
tidak meminta air kepada kawan-kawannya, lalu dia bertayamum kemudian setelah itu
ada air ataupun tidak, maka dia hendaklah mengulangi shalatnya, baik waktunya
masih ada ataupun sudah terlewat, jika memang dia yakin atau mempunyai sangkaan
kuat bahwa kawan-kawannya akan memberinya air tersebut. Tetapi jika dia ragu
atau waham bahwa kawan-kawannya akan memberi, maka dia hendaklah mengulangi
shalat jika masih berada dalam waktunya saja.
Dia wajib membeli air dengan harga biasa, jika
memang dia tidak perlu kepada uang (harga) tersebut, baik pembayarannya dengan cara
tunai ataupun utang. Tetapi jika harga air itu melebihi harga biasa, meskipun
lebihnya hanya satu dirham, maka menurut pendapat yang rajih dia tidak
diharuskan membelinya.
Madzhab Syafi'i (Muhgnil Muhtaj jilid 1
halaman 87-90) berpendapat, jika seorang musafir atau orang yang bermukim yakin
bahwa air tidak ada di sekelilingnya, maka dia hendaklah bertayamum tanpa perlu
mencarinya terlebih dahulu. Jika dia tahu akan adanya air, hendaklah ia mencari
dengan cara bertanya kepada rombongannya, meminta kawannya, atau melihat
sekelilingnya, jika memang ia berada di tempat yang datar. Dan jika dia perlu
berjalan, hendaklah dia berjalan pada keempat arah mata angin sejauh jarak di mana
dia dapat melihat ketika dia berada di tanah datar, tempat pertama kali dia
berdiri. Hal ini jika memang dia tidak khawatir akan adanya bahaya yang akan
menimpa dirinya, hartanya, atau terpisah dari kawan-kawannya.
Berjalan mencari air itu hendaklah dilakukan sejauh
pekikan suara meminta tolong, yaitu kira-kira sejauh jarak sampainya anak panah
yang lepas dari busurnya. Namun jika dia tidak mendapati ait hendaklah dia
bertayamum. Dan apabila dia berada di tempatnya (mukim), maka menurut pendapat yang
ashah, dia wajib mencari air.
Jika dia yakin ada air pada suatu tempat, hendaklah
dia mencarinya dalam area yang dekat, yaitu sejauh 6.000 langkah.
Dia wajib membeli air jika air itu dijual dengan
harga yang pantas, dengan syarat dia mampu membelinya dengan harga tersebut. Harga
yang pantas menurut pendapat yang ashah adalah harga yang biasa disepakati oleh
semua orang di tempat tersebut dan pada waktu itu. Jika harga air lebih
daripada itu, maka dia tidak wajib membelinya, meskipun harganya lebih sedikit.
Tetapi jika air itu dijual dengan harga utang yang lebih mahal dari harga
kontan, namun harga itu memang sesuai dengan utang, dan dia seorang yang kaya,
maka dia wajib membelinya. Karena, harga itu tidak dianggap sebagai harga yang
keluar dari harga yang pantas. Disunnahkan (nadb) bagi orang tersebut
membeli air itu, jika air itu dijual dengan harga yang lebih daripada harga
biasa
apabila memang dia mampu membelinya. Seseorang tidak
wajib mencari air hingga ke satu area yang jauh (hadd al-bu'd), yaitu jarak
yang lebih dari 6.000 langkah kaki, dan dalam keadaan seperti itu dia
dibolehkan bertayamum.
Madzhab Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid
1 halaman 192 dan seterusnya; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 54)
berpendapat hukum mencari air bagi setiap waktu shalat sesudah masuknya waktu
adalah wajib. Dia hendaklah mencari di tempat kediamannya dan juga di kawasan
yang dekat dengannya. Hitungan dekat ini adalah menurut adat. Dia hendaklah mencari
ke arah empat penjuru mata air sejauh jarak yang dikira dekat oleh rombongan.
Dia hendaklah bertanya kepada kawan-kawannya yang
mempunyai pengalaman tentang tempat-tempat air. Dia juga hendaklah bertanya kepada
mereka, berkenaan dengan siapa yang menjual air atau mau memberi air kepadanya.
Jika dia melihat suatu area yang hijau, ataupun melihat sesuatu yang
menunjukkan ada air di situ, hendaklah dia mencari ke tempat tersebut.
Jika didekatnya ada tanah yang tinggi atau benda
yang tegak, hendaklah dia mendatangi (menaiki) tempat itu dan mencari air dari
situ, demi menghilangkan keraguannya.
Jika dia berjalan, hendaklah dia mencari air di
arah hadapannya saja. Karena, mencari ke arah lain akan menyusahkannya. Jika
ada orang yang dipercayai (orang yang adil lagi kuat ingatannya) memberikan
informasi tempat air kepadanya, maka dia wajib pergi ke tempat itu, apabila
tempat itu memang dekat dengannya menurut perkiraan adat.
Jika dia bertayamum dan melakukan shalat, setelah
berusaha sekuat tenaga mencari air, dan dia tidak menjumpai air, maka tayamum dan
shalatnya sah. Dia juga tidak perlu mengulang shalatnya, karena dia telah melakukan
shalat dengan tayamum yang sah.
Ulama madzhab Hambali menyebut satu lagi
syarat sahnya tayamum, yaitu tidak sanggup
menggunakan air. Sebab, orang yang sehat dapat
menggunakan air dengan cara yang tidak membahayakan dirinya. Allah Ta’ala
berfirman, "... Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan...
sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu...." (An-Nisaa':43)
Tetapi, perlu diingat bahwa sebab yang ini
adalah salah satu sebab tayamum yang telah diterangkan sebelum ini. Sebagian
ulama madzhab Hambali mengatakan, bahwa syarat tayamum ada sembilan yaitu niat,
Islam, berakal, tamyiz, istinja' atau istijmar, membuang najis
yang tampak
pada badan, masuk waktu shalat, meskipun shalat itu
adalah shalat nadzar yang dikaitkan
dengan waktu tertentu dan tidak sanggup menggunakan air,
meskipun disebabkan terkurung ataupun lainnya.
Syarat-syarat Tayamum Menurut Madzhab Hanafi
Ulama Hanafi mensyaratkan delapan perkara untuk
sahnya tayamum. Sebagiannya adalah masuk kategori sebab-sebab tayamum, dan
sebagian lagi masuk kategori fardhu tayamum (menurut ulama lain), dan sebagian yang
lain masuk dalam cara tayamum. Secara ringkas, syarat-syarat itu adalah sebagai
berikut (Al-Bada’i jilid 1 halaman 52 dan seterusnya; Ad-Durrul
Mukhtar jilid 1 halaman 213, 228; Muraqil Falah halaman 19 dan
seterusnya).
(1) Niat
Yaitu, tekad hati untuk melakukan (tayamum). Adapun
waktunya adalah ketika tangan menepuk debu yang akan digunakan untuk tayamum.
Mereka mensyaratkan tiga hal bagi sahnya niat yaitu islam, tamyiz, dan mengetahui
apa yang dia niatkan.
Supaya tayamum sah untuk mengerjakan shalat,
maka dia harus berniat dengan salah satu dari tiga cara yaitu niat untuk
bersuci, niat supaya boleh malaksanakan shalat (istibahah ash-shalah);
atau niat untuk melakukan ibadah yang dimaksudkan (ibadah maqshudah) yang
tidak sah jika tanpa thaharah. Maqshudah ialah sesuatu yang tidak
dihukumi wajib, dan sesuatu itu merupakan bagian dari sesuatu yang lain.
Tayamum dengan niat untuk shalat boleh
digunakan untuk shalat apa pun, shalat jenazah,
atau untuk sujud tilawah. Dia tidak boleh melakukan
shalat dengan tayamum yang diniatkan untuk masuk masjid atau untuk menyentuh Al-Qur'an,
meskipun dia seorang yang berjunub. Karena, masuk masjid atau menyentuh
Al-Qur'an bukan termasuk ibadah maqshudah. Dia juga tidak boleh
melakukan shalat dengan tayamum yang diniatkan untuk membaca Al-Qur'an,
sedangkan ia berhadats kecil. Adapun orang yang berjunub kemudian dia
bertayamum untuk membaca Al-Qur'an, maka dia boleh menggunakan tayamumnya itu
untuk shalat. Karena, membaca Al-Qur'an
dibolehkan bagi orang yang berhadats, tetapi tidak
dibolehkan bagi orang yang berjunub.
Dia juga tidak boleh melakukan shalat dengan
tayamum yang diniatkan untuk menziarahi kubur, adzan, iqamah, memberi salam,
menjawab salam, atau untuk masuk Islam. Sebab perkara tersebut sah dikerjakan, meskipun
tanpa thaharah.
(2) Adanya udzur yang membolehkan tayamum
Orang yang berada ditempat yang jauh sejauh
satu mil dari tempat air termasuk dalam syarat ini, meskipun dia berada dalam kawasan
pemukiman. Syarat ini juga memasukkan orang yang sakig orang yang berada di
hawa dingin dan takut rusak atau sakit anggota badannya, orang yang takut musuh
atau takut haus, orang yang memerlukan air untuk mengadon tepung bukan untuk
memasak yang tidak perlu, orang yang tidak mempunyai alat untuk mengambil air,
orang yang takut terlewat shalat jenazah, orang yang takut terlewat shalat Hari
Raya jika dia sibuk dengan wudhu.
Namun, takut terlewat shalat Jumat tidaklah dianggap
sebagai satu udzur, Demikian juga takut terlewat waktu shalat tidak dianggap udzur
yang membolehkan tayamum.
(3) Tayamum hendaklah dilakukan dengan benda-benda yang
termasuk tanah yang suci seperti debu, batu, pasir, fairuz (permata), dan akik
Tayamum tidak sah dengan menggunakan kayu,
perak, ernas, tembaga, atau besi. Kaidahnya adalah sesuatu yang dapat meleleh dengan
cara dibakar tidak boleh digunakan untuk bertayamum. Selain benda yang seperti itu,
boleh digunakan untuk berta)ramum, karena Allah Ta’ala berfirman, "...maka
bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)...." (Al-Maa'idah: 6)
Sha’id artinya apa
saja yang ada di atas permukaan bumi baik itu debu ataupun lainnya.
(4) Meratakan tempat dengan usapan
(5) Mengusap dengan seluruh telapak tangan atau dengan
tiga jari
Jika mengusap dilakukan dengan dua jari saja, maka
tidak boleh, meskipun diulang-ulang
dan diusap secara rata. Hal ini berbeda dengan mengusap
kepala ketika berwudhu.
(6) Hendaklah dilakukan dengan cara dua kali tepukan ke
tanah dengan telapak tangan, biarpun di tempat yang sama.
Jika badannya terkena debu, kemudian
debu itu diusapkan dengan niat tayamum,
maka hal itu dibolehkan.
(7) Tidak ada halangan yang menaJika n tayamum seperti
haid, nifas, atau hadats, sebagaimana yang disyaratkan dalam wudhu.
(8) Menghilangkan perkara-perkara yang dapat menghalangi
usapan seperti lilin atau lemak
Syarat ini bertujuan agar usapan debu itu
dapat mengenai kulit. Sementara, benda-benda
tersebut dapat menghalang usapan ke atas tubuh.
Syarat-syarat Tayamum Menurut Madzhab Syafl'i
Madzhab Syafi'i menetapkan sepuluh syarat,
yaitu: pertama, hendaklah menggunakan debu walau apa pun bentuknya,
seperti tanah liat, tanah, baja, atau lainnya asalkan berdebu. Tayamum juga
boleh dilakukan dengan menggunakan tanah yang dibuat obat seperti armani jika
memang dihaluskan, termasuk juga debu pasir baik kasar atau halus. Tetapi,
tidak boleh dengan tanah yang telah dibakar yang namanya masih ada, tetapi
debunya sudah hilang.
Kedua, hendaklah tanah
tersebut suci, karena Allah Ta’ala berfirman, "...debu yang baik (suci)...."
(Al-Maa'idah: 6) Ibnu Abbas berkata bahwa maksud ayat ini adalah debu yang
suci.
Ketiga, hendaknya debu itu bukan debu yang sudah digunakan, yaitu debu yang masih melekat
pada anggota tayamum atau yang jatuh setelah diusapkan pada anggota tubuh
ketika tayamum. Debu yang demikian hukumnya sama dengan hukum air musta'mal.
Ini menurut pendapat yang ashah.
Keempat, hendaknya debu itu tidak bercampur dengan tepung atau yang semacamnya;
seperti bercampur dengan minyak za'faran, kapur atau lainnya. Karena, ia dapat
menghalangi sampainya tanah ke anggota tayamum.
Kelima, hendaklah dilakukan dengan maksud bertayamum. Jika ada angin yang membawa
debu itu ke anggota tayamum, lalu diusap-usapkan pada
anggota tayamum tersebut dan diniatkan, maka tayamum itu tidak sah. Karena,
tidak ada tujuan (niat) memindahkan tanah itu. Tetapi, debu itu datang dengan
sendirinya. Tetapi jika dia ditayamumkan oleh orang lain dengan izinnya, maka
tayamumnya sah.
Keenam, hendaklah dia mengusap muka dan kedua tangannya itu dengan dua kali tepukan
ke debu, meskipun dia hanya dapat menepuk dengan kain atau yang semacamnya.
Ketujuh, hendaklah dia terlebih dahulu menghilangkan najis. Jika dia bertayamum
sebelum membuang najis, maka menurut pendapat yang mu'tamad, tayamumnya tidak
sah. Sebab, tayamum dilakukan supaya boleh melakukan ibadah (ibahah) dan ibadah
tidak akan terjadi jika ada halangan. Kasusnya sama seperti bertayamum
sebelum waktunya.
Kedelapan, hendaklah berijtihad mengenai arah kiblat sebelum bertayamum. Jika
seseorang bertayamum sebelum ijtihad arah qiblat, maka menurut pendapat yang
kuat, tayamumnya tidaklah sah.
Kesembilan, tayamum hendaklah dikerjakan setelah masuk waktu. Sebab, ia adalah bentuk
bersuci darurat, dan kondisi darurat tidak akan terwujud
sebelum waktunya datang. Namun dalam kasus untuk shalat sunnah mutlak, tayamum
boleh dikerjakan pada waktu kapan saja, kecuali pada waktu makruh. Boleh
bertayamum untuk shalat jenazah jika memang jenazah itu telah dimandikan. Boleh
tayamum untuk shalat minta hujan (istisqa’) setelah jamaah berkumpul.
Dan untuk shalat yang terlewat, tayamum boleh dilakukan apabila sadar dan
teringat.
Kesepuluh,
hendaklah
tayamum dilakukan setiap kali melakukan fardhu 'ain, karena tayamum adalah thaharah
dharurah (cara bersuci darurat). Oleh karena itu, hendaklah ia ditimbang
mengikut kadarnya.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments