BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


5. SYARAT-SYARAT TAYAMUM

Ulama madzhab Hanafi menetapkan delapan syarat bagi sahnya tayamum. Adapun ulama madzhab Syafi'i menetapkan sepuluh syarat. Sedangkan, ulama Maliki dan Hambali hanya menetapkan dua syarat. Syarat-syarat ini kadang bercampur dengan fardhu-fardhu tayamum yang telah disebutkan dan kadang juga menjadi sebab-sebab tayamum.
Ulama madzhab Maliki (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 37) menafsirkan syarat dengan sebab, lalu mereka menerangkannya secara keseluruhan. Untuk sah tayamum, mereka menetapkan dua syarat, yaitu tidak adanya air atau tidak sanggup menggunakan air.
Secara terperinci dapat diterangkan sebagaimana berikut: (1) tidak ada air ketika dalam perjalanan (musafir); (2) sakit dan sedang bermukim (tidak musafir). Begitu juga apabila seseorang mendapati air, tetapi air itu tidak cukup untuk bersuci, tidak ada alat yang dapat digunakan untuk mendapatkan air seperti tidak ada timba atau tidak ada tali, atau dia khawatir haus terhadap dirinya sendiri, orang lain ataupun binatang, dia takut pencuri atau binatang buas ketika dia mencari air; dia mendapati air, tetapi harga air sangat mahal, jika dia keluar mencari air atau menggunakannya maka dia khawatir akan terlewat waktu shalat, dia takut mati kedinginan jika menggunakan air, takut sakit atau bertambah sakitnya ataupun lambat sembuh jika ia menggunakan air, dia dalam keadaan sakit dan tidak ada orang yang menolongnya untuk mendapatkan air, ataupun luka atau kudis berada di sebagian besar tubuh badan orang yang berjunub, atau berada di sebagian besar anggota wudhu bagi orang yang berhadats kecil.
Perlu diperhatikan bahwa keadaan-keadaan yang disebutkan di sini adalah sebab-sebab tayamum yang dapat dijadikan syarat menurut pendapat ulama Maliki dengan ketentuan dia melakukannya setelah masuk waktu dan setelah mencari air. Adapun menurut ulama Hambali, syarat tayamum adalah dua, yaitu masuknya waktu (kewajiban) amalan yang hendak ditayamumi dan kedua adalah tidak sanggup menggunakan air.
Dari yang disebutkan di atas, maka syarat-syarat tayamum adalah seperti berikut.


A. Debu yang Suci

Tidak sah tayamum dengan benda selain debu (sha’id al-ardh). Kata sha’id menurut ulama Syafi'i artinya adalah turab (debu/tanah) dan menurut ulama Hanafi dan Maliki adalah semua benda yang masih termasuk jenis bumi.
Demikian juga, tayamum tidak sah jika dengan menggunakan tanah (sha'id) yang terkena najis, karena Allah Ta’ala berfirman, "...maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)...." (Al-Maa'idah: 6)
Syarat ini adalah syarat sah tayamum menurut jumhur. Adapun menurut ulama madzhab Maliki, semua ini dinamakan fardhu seperti yang telah dijelaskan sebelum ini dalam pembahasan mengenai fardhu tayamum.
Sementara itu, ulama Hambali menambahkan bahwa tanah yang digunakan untuk tayamum hendaklah tanah yang mubah. Oleh karena itu, jika tayamum menggunakan tanah yang ghasab ataupun tanah kuburan yang sering digali ataupun tanah masjid, maka tayamum itu tidak boleh.

B. Tayamum Dilakukan Setelah Masuk Waktu

Maksudnya adalah setelah masuknya waktu amalan/ibadah yang akan ditayamumi. Menurut jumhur ini termasuk syarat, sedangkan menurut ulama Hanafi ia tidaklah menjadi syarat, seperti yang telah kita jelaskan dalam pembahasan tentang sifat tayamum.

C. Mencari Air

Seluruh ulama madzhab empat sepakat mengatakan bahwa mencari air adalah syarat tayamum selagi dia tidak yakin ketiadaan air tersebut. Sebab, seseorang tidak dinamakan sebagai orang yang tidak mempunyai air, kecuali setelah dia berusaha mencari air dan tidak mendapatinya. Tetapi, para fuqaha berbeda pendapat dalam hal kadar jarak yang harus ditempuh bagi pencarian air itu. Kita telah menyebut sekilas mengenai hal ini dalam pembahasan sebab-sebab tayamum. Di
sini kita akan menerangkan secara terperinci.
Madzhab Hanafi (Al-Bada’i jilid 1 halaman 46 dan seterusnya; Fathul Qadir jilid 1 halaman 84, 98; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 227 dan seterusnya; Al-Lubab jilid 1 halaman 36) mengatakan bahwa seseorang yang bermukim (bukan musafir) hendaklah mencari air sebelum masuk waktu tayamum, baik dia mempunyai sangkaan tentang adanya air yang tempatnya dekat dengannya atau tidak. Adapun musafir atau orang yang berada di luar kawasan pemukiman yang hendak bertayamum, maka dia tidak perlu mencari air jika dia tidak mempunyai sangkaan kuat bahwa ada air yang dekat denganmya. Karena, biasanya memang tidak ada air di area padang pasir.
Jika  dia mempuyai sangkaan kuat akan adanya air, maka dia tidak boleh bertayamum hingga dia sendiri mencari air itu atau dia menyuruh orang lain, dalam jarak yang jauhnya sama dengan jarak lepasnya anak panah dari busurnya, yaitu jarak yang tidak sampai satu mil. Jarak yang dicapai oleh anak panah ialah kira-kira 400 hasta atau 184,8 meter. Satu mil artinya menurut bahasa adalah sejauh mata memandang. Ukurannya adalah sama dengan empat ribu langkah atau sepertiga farsakh atau 1840 meter. Dia hendaklah mencari ke semua penjuru dalam kawasan itu. Untuk mencari air tersebut, dia tidak diharuskan berjalan mencarinya. Dia boleh hanya melihat atau memerhatikan ke arah empat sudut. Cara ini adalah untuk menghindar dari terpisah dengan kawannya. Juga, untuk menghindari kesusahan karena Allah Ta’ala berfirman, "...Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu...." (Al-Maa'idah:6).
Mencari ke tempat yang jaraknya tidak sampai satu mil adalah dibolehkan. Imam Al-Kasani berkata, di antara pendapat yang paling dekat dengan kebenaran adalah pendapat yang mengatakan jaraknya adalah satu mil. Karena, tayamum disyariatkan untuk menghilangkan kesusahan. Kemudian dia menambahkan, menurut pendapat yang ashah, orang itu hendaklah mencari dalam kawasan yang tidak membahayakan dirinya dan tidak membahayakan kawan-kawan yang menunggunya.
Jika  dia tidak serius dalam mencari air, lalu dia melakukan shalat sedangkan dia belum mencarinya, maka menurut Abu Hanifah dan Muhammad Hassan Asy-Syaibani, orang tersebut wajib mengulangi shalatnya.
Jika  kawan-kawannya mempunyai air, hendaklah dia meminta dulu sebelum dia bertayamum, karena biasanya mereka tidak akan melarangnya. Jika kawannya tidak membagi air tersebut, hendaklah dia bertayamum, karena sudah jelas ada udzur. Tetapi jika dia bertayamum sebelum dia menanyakan kepada kawan-kawannya, maka apa yang dilakukannya itu sah menurut Abu Hanifah. Sebab, dia tidak diwajibkan meminta milik orang lain. Kedua sahabat Abu Hanifah mengatakan bahwa tayamum itu tidak sah, karena biasanya air akan dibagikan dengan gratis. Jika kawannya tidak mau memberinya air kecuali dengan harga yang patut, dan dia memang mempunyai harta (uang dan semacamnya) untuk membeli, maka tayamumnya tidak sah. Sebab, pada kenyataannya dia mampu membayar harga (air) tersebut. Namun jika harga air itu dijual lebih mahal, maka orang tersebut tidak diwajibkan menanggung kerugian. Abu Hanifah berkata bahwa jika air itu tidak dijual kepadanya, kecuali dengan harga dua kali lipat, maka itu dianggap mahal. Ada yang mengatakan bahwa mahal ialah harga yang diluar perhitungan pakar harga.
Jika  seseorang tidak mempunyai sangkaan kuat bahwa ada air yang tempatnya dekat dengannya, maka dia tidak wajib mencarinya. Namun jika dia mempunyai harapan adanya air, maka ia disunnahkan mencarinya. Jika  air berada di suatu tempat yang jaraknya adalah satu mil atau lebih, maka dia hendaklah bertayamum.
Menurut madzhab Maliki (Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 153) jika memang kenyataannya tidak ada air, maka seseorang tidak perlu mencarinya. Jika dia mengetahui ada air, menyangka, atau meragui keberadaan air pada suatu tempat, maka setiap kali dia hendak shalat dia wajib mencari air tersebut, sekiranya memang tidak menyusahkannya. Dia hendaklah mencarinya dalam area yang jaraknya kurang dari dua mil. Dia juga mestinya meminta air kepada kawan-kawannya, jika dia yakin atau mempunyai sangkaan kuat, ragu, atau hanya waham bahwa kawan-kawannya tersebut akan memberinya air. Jika dia tidak meminta air kepada kawan-kawannya, lalu dia bertayamum kemudian setelah itu ada air ataupun tidak, maka dia hendaklah mengulangi shalatnya, baik waktunya masih ada ataupun sudah terlewat, jika memang dia yakin atau mempunyai sangkaan kuat bahwa kawan-kawannya akan memberinya air tersebut. Tetapi jika dia ragu atau waham bahwa kawan-kawannya akan memberi, maka dia hendaklah mengulangi shalat jika masih berada dalam waktunya saja.
Dia wajib membeli air dengan harga biasa, jika memang dia tidak perlu kepada uang (harga) tersebut, baik pembayarannya dengan cara tunai ataupun utang. Tetapi jika harga air itu melebihi harga biasa, meskipun lebihnya hanya satu dirham, maka menurut pendapat yang rajih dia tidak diharuskan membelinya.
Madzhab Syafi'i (Muhgnil Muhtaj jilid 1 halaman 87-90) berpendapat, jika seorang musafir atau orang yang bermukim yakin bahwa air tidak ada di sekelilingnya, maka dia hendaklah bertayamum tanpa perlu mencarinya terlebih dahulu. Jika dia tahu akan adanya air, hendaklah ia mencari dengan cara bertanya kepada rombongannya, meminta kawannya, atau melihat sekelilingnya, jika memang ia berada di tempat yang datar. Dan jika dia perlu berjalan, hendaklah dia berjalan pada keempat arah mata angin sejauh jarak di mana dia dapat melihat ketika dia berada di tanah datar, tempat pertama kali dia berdiri. Hal ini jika memang dia tidak khawatir akan adanya bahaya yang akan menimpa dirinya, hartanya, atau terpisah dari kawan-kawannya.
Berjalan mencari air itu hendaklah dilakukan sejauh pekikan suara meminta tolong, yaitu kira-kira sejauh jarak sampainya anak panah yang lepas dari busurnya. Namun jika dia tidak mendapati ait hendaklah dia bertayamum. Dan apabila dia berada di tempatnya (mukim), maka menurut pendapat yang ashah, dia wajib mencari air.
Jika dia yakin ada air pada suatu tempat, hendaklah dia mencarinya dalam area yang dekat, yaitu sejauh 6.000 langkah.
Dia wajib membeli air jika air itu dijual dengan harga yang pantas, dengan syarat dia mampu membelinya dengan harga tersebut. Harga yang pantas menurut pendapat yang ashah adalah harga yang biasa disepakati oleh semua orang di tempat tersebut dan pada waktu itu. Jika harga air lebih daripada itu, maka dia tidak wajib membelinya, meskipun harganya lebih sedikit. Tetapi jika air itu dijual dengan harga utang yang lebih mahal dari harga kontan, namun harga itu memang sesuai dengan utang, dan dia seorang yang kaya, maka dia wajib membelinya. Karena, harga itu tidak dianggap sebagai harga yang keluar dari harga yang pantas. Disunnahkan (nadb) bagi orang tersebut membeli air itu, jika air itu dijual dengan harga yang lebih daripada harga biasa
apabila memang dia mampu membelinya. Seseorang tidak wajib mencari air hingga ke satu area yang jauh (hadd al-bu'd), yaitu jarak yang lebih dari 6.000 langkah kaki, dan dalam keadaan seperti itu dia dibolehkan bertayamum.
Madzhab Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 192 dan seterusnya; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 54) berpendapat hukum mencari air bagi setiap waktu shalat sesudah masuknya waktu adalah wajib. Dia hendaklah mencari di tempat kediamannya dan juga di kawasan yang dekat dengannya. Hitungan dekat ini adalah menurut adat. Dia hendaklah mencari ke arah empat penjuru mata air sejauh jarak yang dikira dekat oleh rombongan.
Dia hendaklah bertanya kepada kawan-kawannya yang mempunyai pengalaman tentang tempat-tempat air. Dia juga hendaklah bertanya kepada mereka, berkenaan dengan siapa yang menjual air atau mau memberi air kepadanya. Jika dia melihat suatu area yang hijau, ataupun melihat sesuatu yang menunjukkan ada air di situ, hendaklah dia mencari ke tempat tersebut.
Jika didekatnya ada tanah yang tinggi atau benda yang tegak, hendaklah dia mendatangi (menaiki) tempat itu dan mencari air dari situ, demi menghilangkan keraguannya.
Jika  dia berjalan, hendaklah dia mencari air di arah hadapannya saja. Karena, mencari ke arah lain akan menyusahkannya. Jika ada orang yang dipercayai (orang yang adil lagi kuat ingatannya) memberikan informasi tempat air kepadanya, maka dia wajib pergi ke tempat itu, apabila tempat itu memang dekat dengannya menurut perkiraan adat.
Jika  dia bertayamum dan melakukan shalat, setelah berusaha sekuat tenaga mencari air, dan dia tidak menjumpai air, maka tayamum dan shalatnya sah. Dia juga tidak perlu mengulang shalatnya, karena dia telah melakukan shalat dengan tayamum yang sah.
Ulama madzhab Hambali menyebut satu lagi syarat sahnya tayamum, yaitu tidak sanggup
menggunakan air. Sebab, orang yang sehat dapat menggunakan air dengan cara yang tidak membahayakan dirinya. Allah Ta’ala berfirman, "... Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan... sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu...." (An-Nisaa':43)
Tetapi, perlu diingat bahwa sebab yang ini adalah salah satu sebab tayamum yang telah diterangkan sebelum ini. Sebagian ulama madzhab Hambali mengatakan, bahwa syarat tayamum ada sembilan yaitu niat, Islam, berakal, tamyiz, istinja' atau istijmar, membuang najis yang tampak
pada badan, masuk waktu shalat, meskipun shalat itu adalah shalat nadzar yang dikaitkan
dengan waktu tertentu dan tidak sanggup menggunakan air, meskipun disebabkan terkurung ataupun lainnya.

Syarat-syarat Tayamum Menurut Madzhab Hanafi

Ulama Hanafi mensyaratkan delapan perkara untuk sahnya tayamum. Sebagiannya adalah masuk kategori sebab-sebab tayamum, dan sebagian lagi masuk kategori fardhu tayamum (menurut ulama lain), dan sebagian yang lain masuk dalam cara tayamum. Secara ringkas, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut (Al-Bada’i jilid 1 halaman 52 dan seterusnya; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 213, 228; Muraqil Falah halaman 19 dan seterusnya).

(1) Niat

Yaitu, tekad hati untuk melakukan (tayamum). Adapun waktunya adalah ketika tangan menepuk debu yang akan digunakan untuk tayamum. Mereka mensyaratkan tiga hal bagi sahnya niat yaitu islam, tamyiz, dan mengetahui apa yang dia niatkan.
Supaya tayamum sah untuk mengerjakan shalat, maka dia harus berniat dengan salah satu dari tiga cara yaitu niat untuk bersuci, niat supaya boleh malaksanakan shalat (istibahah ash-shalah); atau niat untuk melakukan ibadah yang dimaksudkan (ibadah maqshudah) yang tidak sah jika tanpa thaharah. Maqshudah ialah sesuatu yang tidak dihukumi wajib, dan sesuatu itu merupakan bagian dari sesuatu yang lain.
Tayamum dengan niat untuk shalat boleh digunakan untuk shalat apa pun, shalat jenazah,
atau untuk sujud tilawah. Dia tidak boleh melakukan shalat dengan tayamum yang diniatkan untuk masuk masjid atau untuk menyentuh Al-Qur'an, meskipun dia seorang yang berjunub. Karena, masuk masjid atau menyentuh Al-Qur'an bukan termasuk ibadah maqshudah. Dia juga tidak boleh melakukan shalat dengan tayamum yang diniatkan untuk membaca Al-Qur'an, sedangkan ia berhadats kecil. Adapun orang yang berjunub kemudian dia bertayamum untuk membaca Al-Qur'an, maka dia boleh menggunakan tayamumnya itu untuk shalat. Karena, membaca Al-Qur'an
dibolehkan bagi orang yang berhadats, tetapi tidak dibolehkan bagi orang yang berjunub.
Dia juga tidak boleh melakukan shalat dengan tayamum yang diniatkan untuk menziarahi kubur, adzan, iqamah, memberi salam, menjawab salam, atau untuk masuk Islam. Sebab perkara tersebut sah dikerjakan, meskipun tanpa thaharah.

(2) Adanya udzur yang membolehkan tayamum
           
Orang yang berada ditempat yang jauh sejauh satu mil dari tempat air termasuk dalam syarat ini, meskipun dia berada dalam kawasan pemukiman. Syarat ini juga memasukkan orang yang sakig orang yang berada di hawa dingin dan takut rusak atau sakit anggota badannya, orang yang takut musuh atau takut haus, orang yang memerlukan air untuk mengadon tepung bukan untuk memasak yang tidak perlu, orang yang tidak mempunyai alat untuk mengambil air, orang yang takut terlewat shalat jenazah, orang yang takut terlewat shalat Hari Raya jika dia sibuk dengan wudhu.
Namun, takut terlewat shalat Jumat tidaklah dianggap sebagai satu udzur, Demikian juga takut terlewat waktu shalat tidak dianggap udzur yang membolehkan tayamum.

(3) Tayamum hendaklah dilakukan dengan benda-benda yang termasuk tanah yang suci seperti debu, batu, pasir, fairuz (permata), dan akik

Tayamum tidak sah dengan menggunakan kayu, perak, ernas, tembaga, atau besi. Kaidahnya adalah sesuatu yang dapat meleleh dengan cara dibakar tidak boleh digunakan untuk bertayamum. Selain benda yang seperti itu, boleh digunakan untuk berta)ramum, karena Allah Ta’ala berfirman, "...maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)...." (Al-Maa'idah: 6)
Sha’id artinya apa saja yang ada di atas permukaan bumi baik itu debu ataupun lainnya.

(4) Meratakan tempat dengan usapan

(5) Mengusap dengan seluruh telapak tangan atau dengan tiga jari

Jika  mengusap dilakukan dengan dua jari saja, maka tidak boleh, meskipun diulang-ulang
dan diusap secara rata. Hal ini berbeda dengan mengusap kepala ketika berwudhu.

(6) Hendaklah dilakukan dengan cara dua kali tepukan ke tanah dengan telapak tangan, biarpun di tempat yang sama.

Jika badannya terkena debu, kemudian
debu itu diusapkan dengan niat tayamum,
maka hal itu dibolehkan.

(7) Tidak ada halangan yang menaJika n tayamum seperti haid, nifas, atau hadats, sebagaimana yang disyaratkan dalam wudhu.

(8) Menghilangkan perkara-perkara yang dapat menghalangi usapan seperti lilin atau lemak

Syarat ini bertujuan agar usapan debu itu dapat mengenai kulit. Sementara, benda-benda
tersebut dapat menghalang usapan ke atas tubuh.

Syarat-syarat Tayamum Menurut Madzhab Syafl'i

Madzhab Syafi'i menetapkan sepuluh syarat, yaitu: pertama, hendaklah menggunakan debu walau apa pun bentuknya, seperti tanah liat, tanah, baja, atau lainnya asalkan berdebu. Tayamum juga boleh dilakukan dengan menggunakan tanah yang dibuat obat seperti armani jika memang dihaluskan, termasuk juga debu pasir baik kasar atau halus. Tetapi, tidak boleh dengan tanah yang telah dibakar yang namanya masih ada, tetapi debunya sudah hilang.
Kedua, hendaklah tanah tersebut suci, karena Allah Ta’ala berfirman, "...debu yang baik (suci)...." (Al-Maa'idah: 6) Ibnu Abbas berkata bahwa maksud ayat ini adalah debu yang suci.
Ketiga, hendaknya debu itu bukan debu yang sudah digunakan, yaitu debu yang masih melekat pada anggota tayamum atau yang jatuh setelah diusapkan pada anggota tubuh ketika tayamum. Debu yang demikian hukumnya sama dengan hukum air musta'mal. Ini menurut pendapat yang ashah.
Keempat, hendaknya debu itu tidak bercampur dengan tepung atau yang semacamnya; seperti bercampur dengan minyak za'faran, kapur atau lainnya. Karena, ia dapat menghalangi sampainya tanah ke anggota tayamum.
Kelima, hendaklah dilakukan dengan maksud bertayamum. Jika ada angin yang membawa
debu itu ke anggota tayamum, lalu diusap-usapkan pada anggota tayamum tersebut dan diniatkan, maka tayamum itu tidak sah. Karena, tidak ada tujuan (niat) memindahkan tanah itu. Tetapi, debu itu datang dengan sendirinya. Tetapi jika dia ditayamumkan oleh orang lain dengan izinnya, maka tayamumnya sah.
Keenam, hendaklah dia mengusap muka dan kedua tangannya itu dengan dua kali tepukan ke debu, meskipun dia hanya dapat menepuk dengan kain atau yang semacamnya.
Ketujuh, hendaklah dia terlebih dahulu menghilangkan najis. Jika dia bertayamum sebelum membuang najis, maka menurut pendapat yang mu'tamad, tayamumnya tidak sah. Sebab, tayamum dilakukan supaya boleh melakukan ibadah (ibahah) dan ibadah tidak akan terjadi jika ada halangan. Kasusnya sama seperti bertayamum
sebelum waktunya.
Kedelapan, hendaklah berijtihad mengenai arah kiblat sebelum bertayamum. Jika seseorang bertayamum sebelum ijtihad arah qiblat, maka menurut pendapat yang kuat, tayamumnya tidaklah sah.
Kesembilan, tayamum hendaklah dikerjakan setelah masuk waktu. Sebab, ia adalah bentuk
bersuci darurat, dan kondisi darurat tidak akan terwujud sebelum waktunya datang. Namun dalam kasus untuk shalat sunnah mutlak, tayamum boleh dikerjakan pada waktu kapan saja, kecuali pada waktu makruh. Boleh bertayamum untuk shalat jenazah jika memang jenazah itu telah dimandikan. Boleh tayamum untuk shalat minta hujan (istisqa’) setelah jamaah berkumpul. Dan untuk shalat yang terlewat, tayamum boleh dilakukan apabila sadar dan teringat.
Kesepuluh, hendaklah tayamum dilakukan setiap kali melakukan fardhu 'ain, karena tayamum adalah thaharah dharurah (cara bersuci darurat). Oleh karena itu, hendaklah ia ditimbang mengikut kadarnya.


PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)