Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Syarat-Syarat Mengusap Khuf
Terdapat tiga syarat yang disepakati dan beberapa
syarat yang tidak disepakati di kalangan
para fuqaha bagi membolehkan mengusap khuf.
Sebagaimana dimaklumi, semua syarat yang disebut ini adalah syarat mengusap
bagi tujuan berwudhu. Adapun untuk tujuan junub, maka mengusap khuf tidak
diperbolehkan. Dengan kata lain, mengusap khuf tidak boleh bagi mereka
yang diwajibkan mandi. Hal ini berdasarkan hadits Shafwan bin Assal yang telah
disebutkan sebelum ini. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menganjurkan, “Supaya mengusap khuf apabila kami memakainya dalam keadaan
suci, tiga hari pada waktu dalam musafir dan sehari semalam pada waktu kami mukim.
Tidak perlu membukanya disebabkan membuang air besar atau kecil, ataupun tidur.
Tidak membukanya kecuali disebabkan junub.” (Ad-Durrul Mukhtar, jilid l
halaman 241-245; Al-Bada'i, jilid 1 halaman 9 dan seterusnya; Muraqi
Al-Falah, halaman 22; Asy-Syarhush Shaghir jilid l halaman 151-156; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah halaman 38; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 65 dan
seterusnya; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 21; Al-Mughni jilid 1
halaman 282, 293, 294, 296; Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 124-133; Bidayatul
Mujtahid, jilid 1 halaman 19-21)
Syarat-Syarat yang Disepakati
Para fuqaha telah bersepakat mensyaratkan tiga
perkara untuk mengusap khuf bagi maksud wudhu:
l. Memakai kedua-duanya pada waktu suci
Hal ini berdasarkan hadits Al-Mughirah. Dia
berkata, "Aku bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
satu perjalanan,lalu aku tertunduk untuk mencabut khuf Rasul.” Maka, Rasul
bersabda, “Biarkan, karena aku telah memakainya pada kedua kakiku dalam
keadaan bersih.” Lalu beliau pun mengusap kedua-duanya." Muttafaqun
‘alaihi.
Jumhur ulama mensyaratkan juga bahwa kebersihan
kaki tersebut adalah yang dihasilkan dengan menggunakan air. Ulama madzhab Syafi'i
mensyaratkan kebersihan itu dengan air, baik itu wudhu, mandi, ataupun dengan tayamum
yang bukan disebabkan oleh ketiadaan air.
Ulama madzhab Maliki menganggap syarat ini
termasuk dalam lima syarat bagi orang yang mengusap khuf. Lima syarat
tersebut adalah:
Pertama, hendaklah memakai khuf dalam keadaan suci. Jika dia memakainya pada
waktu
berhadats, maka tidak dia sah mengusap khuf. Ulama
golongan Syi'ah Imamiyah membolehkan memakai khuf baik pada waktu suci
atau tidak.
Kedua, hendaklah
keadaan suci itu dihasilkan dari air, bukan dengan debu. Ini adalah syarat dari
jumhur ulama selain ulama madzhab Syafi'i. Jika dia bertayamum kemudian memakai
khuf, maka menurut jumhur dia tidak boleh mengusap khuf karena
dia memakai pada waktu suci yang
tidak sempurna. Ia dianggap suci dalam keadaan darurat
saja dan yang batal dari asalnya. Selain itu, tayamum sendiri tidak menyucikan
hadats. Oleh sebab itu, dia memakainya pada waktu dia dalam keadaan berhadats.
Ulama madzhab Syafi'i berpendapat, jika tayamum dilakukan dengan sebab tidak ada
air, maka dia tidak boleh mengusap khuf setelah mendapatkan air. Dia
hanya wajib membuka khuf nya dan mengambil wudhu secara sempurna. Sebaliknya,
jika dia bertayamum karena sakit dan tidak bisa menggunakan air atau
sebagainya, lalu berhadats, maka dalam kasus ini dia boleh mengusap khuf nya.
Ketiga, hendaklah kesucian tersebut secara sempurna, yaitu dia memakainya setelah
selesai
semua wudhu atau mandi yang tidak membatalkan wudhunya. Jika
wudhunya batal sebelum membasuh kaki misalnya, maka dia tidak boleh lagi
mengusap khuf, karena kaki tersebut telah masuk ke tempatnya pada waktu
ia sedang berhadats. Maka, kedudukannya seperti jika dia memakai pada waktu
tidak langsung mengambil wudhu.
Menurut ulama madzhab Maliki dan Syafi'i, hendaklah
dia dalam keadaan suci sepenuhnya sewaktu memakai khuf. Dengan kata
lain, haruslah memakai khuf dalam keadaan suci secara keseluruhan. Sementara
ulama madzhab Hanafi, memasukkan suci yang lengkap itu sewaktu berlaku hadats
setelah memakai khuf-nya. Mereka tidak mensyaratkan keadaan suci secara
sempurna pada waktu memakai khuf. Mereka berpendapat bahwa yang perlu
hanyalah menyempurnakan keadaan suci saja. Perbedaan ini akan jelas dalam permasalahan,
jika seseorang yang berhadats itu membasuh kedua kaki sewaktu berwudhu, dan
setelah itu terus memakai khuf-nya. Kemudian dia baru menyempurnakan wudhunya
dengan mencuci anggota yang lain sebelum berhadats. Dalam hal ini, jika dia
berhadats lagi setelah itu, maka menurut ulama madzhab Hanafi dia berhak untuk
mengusap khuf nya, karena telah
ada syaratnya. Yaitu, memakai khuf dalam keadaan suci yang sempurna pada
waktu berhadats setelah memakai khuf. Menurut ulama madzhab Syafi'i dan
Hambali, orang tersebut tidak boleh mengusap khuf. Karena pada waktu memakai
khuf, dia tidak dalam keadaan suci yang sempurna. Bagi mereka, tartib adalah
menjadi syarat wudhu. Oleh sebab itu, mendahulukan membasuh kaki dari anggota
yang lain berarti ia tidak dibasuhnya.
Keempat, hendaklah orang yang mengusap itu tidak memakai khuf hanya untuk
tujuan bermegah-megah, seperti memakai khuf dengan tujuan menjaga inai
yang dipakai di kedua kaki, karena semata-mata hendak tidur, karena dia seorang
hakim, hanya karena bertujuan mengusapnya saja, ataupun karena mengelakkan dari
kutu, dan sebagainya. Dalam semua keadaan tersebut, mengusap khuf tidak
dibolehkan. Akan tetapi jika ia dipakai karena untuk menghindari panas, dingin,
becek, ataupun takut disengat kalajengking dan sebagainya, maka barulah dia
boleh mengusapnya.
Kelima, janganlah memakai khuf menimbulkan maksiat. Contohnya seperti mereka
yang sedang dalam ihram haji atau umrah, yang tidak terpaksa memakainya. Dalam keadaan
ini, dia tidak boleh mengusap khuf. Jika dia memakai dengan keadaan terpaksa
ataupun oleh wanita, maka mengusap khuf adalah boleh. Pendapat yang kuat
di kalangan ulama madzhab Maliki, Hambali, dan Syafi'i, orang yang musafir yang
maksiat boleh mengusap khuf. Contohnya, seperti mereka yang durhaka
kepada kedua orang tua atau perompak.
Kaidah yang dipegang di kalangan ulama madzhab
Maliki adalah, setiap kelonggaran yang diberikan pada waktu tidak musafir
seperti mengusap khuf, bertayamum, memakan bangkai, kesemua itu boleh
dilakukan pada waktu musafir dan setiap keringanan (rukhshah) yang
ditentukan pada waktu musafir saja, seperti qashar shalat, berbuka puasa, maka
ia boleh bagi mereka yang tidak melakukan perjalanan dengan tujuan maksiat. Jika
perjalanan dilakukan dengan tujuan maksiat, maka kemudahan tersebut tidak boleh
untuknya (Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 143; Kasysyaful Qina jilid
1 halaman 128; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 66).
2. Hendaklah khuf tersebut bersih serta menutup
semua bagian kaki yang harus di basuh kettka be wudhu
Anggota yang harus ditutupi adalah kaki dan
kedua mata kaki dari semua sudut, kecuali dari sebelah atas. Mengusap khuf tidak
boleh sekiranya khuf tersebut tidak menutupi dua mata kaki serta
keseluruhan kaki. Begitu juga tidak sah mengusap khuf iika ia najis,
seperti khuf yang dibuat dari kulit bangkai yang tidak disamak, menurut
pendapat ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i. Bahkan, yang telah disamak sekalipun
mengikut pendapat ulama madzhab Maliki dan Hambali. Hal ini karena bagi mereka menyamak
tidak akan menjadikan kulit bangkai tersebut menjadi suci. Menggunakan perkara
yang najis adalah terlarang.
3. Khuf tersebut boleh digiunakan untuk meneruskan
perjalanan menurut kebiasaan
Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan ukuran
tersebut. Ulama madzhab Hanafi berpendapat, hendaklah khuf tersebut mampu
digunakan untuk perjalanan biasa sejauh satu farsakh (tiga mil atau
12.000 langkah, satu mil adalah 1.848 meter, oleh sebab itu satu farsakh adalah
5.544 meter) atau lebih. Oleh sebab itu, tidak boleh mengusap khuf yang
dibuat dari kaca, kayu, besi, ataupun yang terlalu tipis dan terkoyak bila
digunakan untuk berjalan. Mereka juga mensyaratkan khuf tersebut harus melekat
di kaki tanpa diikat.
Ulama madzhab Maliki menjelaskan kemungkinan khuf
tersebut digunakan untuk berjalan seperti biasa. Untuk itu, tidak boleh mengusap
khuf yang luas, yang mana kaki pada seluruh waktu atau kebanyakan waktu
tidak dapat berada tetap di dalamnya, tetapi senantiasa menggelongsor pada
waktu berjalan.
Apa yang ditetapkan di kalangan kebanyakan ulama
madzhab Syafi'i adalah khuf tersebut dapat digunakan untuk berjalan
bolak-balik untuk melakukan keperluan mereka, dalam masa sehari semalam untuk
orang yang bermukim dan bagi orang yang musafir dalam masa tiga hari tiga
malam, yaitu masa bermusafir yang pendek, karena setelah itu semuanya wajib membuka
khuf.
Sehubungan dengan masalah ini, ulama madzhab
Hambali mempunyai pendapat yang tersendiri. Mereka berpendapat, yang pasti, khuf
tersebut dapat digunakan untuk berjalan menurut kebiasaan, sekalipun ia tidak
biasa digunakan. Mereka berpendapat boleh mengusap khuf yang dibuat dari
kulit, bulu yang dianyam dan ditenun, kayu, kaca, besi, dan sebagainya. Karena,
semua itu merupakan khuf yang menutupi dan boleh digunakan untuk berjalan.
Selain itu, karena ia menyerupai kulit, dengan syarat semuanya tidak longgar sehingga
memperlihatkan bagian yang wajib dibasuh. Syarat ini menyerupai pendapat ulama
madzhab Hanafi dan Maliki.
Syarat-syarat yang tidak disepakati fuqaha
Terdapat beberapa syarat yang tidak disepakati
dan ditetapkan dalam beberapa madzhab, di antaranya adalah:
1. Hendaklah khuf itu sempurna dan tidak ada yang
robek
Syarat ini merupakan kesan dari syarat ketiga
yang diterima oleh semua madzhab. Hanya mereka berbeda pendapat tentang sebatas
manakah ukuran minimal robek yang boleh dimaafkan.
Ulama madzhab Syafi'i dalam qaul jadid
dan juga ulama madzhab Hambali tidak membenarkan mengusap khuf yang
robek, walaupun hanya sedikit. Hal ini disebabkan dengan adanya robek tersebut,
maka khuf tidak lagi melindungi dan menutupi keseluruhan kaki, walaupun
lubang robek itu dari tempat jahitan. Karena, bagian yang tebuka memiliki hukum
wajib dicuci dan bagian yang tertutup pula hukumnya adalah diusap. Oleh karena menggabungkan
kedua hukum tersebut tidak boleh, maka diutamakan hukum membasuh. Dengan kata
lain, anggota yang tampak hukumnya harus dibasuh dan yang anggota yang tertutup
harus dibasuh. Hingga apabila berkumpul dua bagian ini, maka diutamakan hukum
membasuh seperti jika terbuka salah satu kakinya.
Ulama madzhab Maliki dan Hanafi secara istihsan
dan untuk tujuan menghindari kesukaran, membolehkan mengusap khuf yang
terdapat robek sedikit, karena kebiasaannya khuf selalu terdapat robek
sedikit. Oleh sebab itu, perlu diberi kebenaran untuk mengelakkan kesukaran
tersebut. Adapun robek yang besar, maka ia tetap
menghalang dari kebolehan mengusap. Menurut ulama madzhab Maliki, robek besar
ini adalah yang tidak boleh dipakai lagi untuk meneruskan perjalanan. Yaitu,
robek yang kira-kira satu pertiga kaki, baik itu ia terbuka ataupun bertaut di
antara satu dengan lain, seperti teriris atas, terputus jahitannya, sedangkan kedudukan
kulit masih bertaut rapat. Jika robek tersebut kurang dari satu pertiga kaki,
maka ia juga dihitung tidak boleh, seandainya terbuka hingga tampak kaki. Jika
ia bertaut rapat, maka tidak mengapa. Hanya koyak yang sangat kecil saja yang
dapat dimaafkan, yaitu yang tidak menyebabkan air sampai ke kulit kaki dari
tangan yang basah pada waktu mengusap.
Menurut ulama madzhab Hanafi, robek yang
termasuk besar adalah yang sebesar tiga jari kaki yang terkecil.
2. Hendaklah khuf dibuat dari kulit
Ini adalah syarat menurut ulama madzhab Maliki.
Bagi mereka, mengusap khuf tidak boleh jika khuf yang dipakai
dibuat dari kain, sebagaimana tidak sah mengusap kaos kaki (stocking)
yaitu yang dibuat dari kapas atau bulu, kecuali jika dilapisi dengan kulit. Jika
tidak dilapisi kulit, maka
mengusap di atasnya tidaklah sah. Begitu juga ulama
madzhab Syafi'i, mereka berpendapat tidak sah mengusap di atas sulaman tenun
yang tidak dapat menghalangi air sampai ke kulit kaki, apabila dicurahkan air
di atasnya melalui tempat jahitan apabila dicurahkan air ke atasnya, karena ia
tidak tebal.
Ulama madzhab Maliki juga mensyaratkan, hendaklah
khuf itu dijahit. Mengusap tidak dibolehkan jika khuf itu dilem. Hal
ini ditetapkan untuk membatasi hukum rukhshah yang didasarkan pada pernyataan
yang ada dalam nash.
Jumhur ulama selain madzhab Maliki membolehkan
usapan ke atas khuf yang dibuat dari kulit, anyaman bulu, atau sebagainya.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hanafi mensyaratkan agar khuf tersebut hendaklah
yang dapat menahan air sampai ke jasad, karena kebiasaan khuf berkeadaan
demikian. Dengan demikian, nash syara' yang menunjukkan kebolehan mengusap adalah
merujuk kepada pengertian tersebut.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali membolehkan
mengusap khuf atau sepatu yang terbelah sampai ke kaki, yang mempunyai
bagian betis dan diikat dengan tali, di mana tidak tampak sedikit pun tempat
yang wajib dicuci apabila ia berjalan menggunakannya.
3. Hendaklah khuf itu selapis
Ini merupakan syarat yang ditetapkan oleh
kalangan ulama madzhab Maliki (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 39; Asy-Syarhul
Kabir jilid 1 halaman 145; Ash-Sharhush Shaghir jilid 1 halaman 157
dan seterusnya). Oleh sebab itu, jika seseorang memakai jurmuq (lapisan luar
khuf ), maka mereka mempunyai dua pendapat berkaitan dengan kebolehan
mengusap untuk lapisan yang luar. Pendapat yang rajih adalah dalam keadaan ini
dia boleh mengusap khuf yang luar. Jika dia membuka pada waktu masih
belum berhadats, maka dia wajib segera mengusap lapisan khuf bagian
dalam.
Ulama madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat (Ad-Durrul
Mukhtar jilid 1 halaman 247; Fathul Qadir jilid 1 halaman 108; Kasysyaful
Qina’ jilid 1 halaman 124, 131 dan seterusnya; Al-Mughni jilid 1
halaman 284), mencukupi mengusap di atas jurmuq sebagaimana pendapat
ulama madzhab Maliki. Ini berdasarkan kenyataan Bilal yang artinya, "Aku
melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap khuf bagian luar
(al-muq),” riwayat Ahmad dan Abu Dawud, berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, "Hendaklah kamu mengusap di atas serban dan khuf bagian
luar.” Riwayat Sa’id bin Manshur dalam sunannya dari Bilal.
Supaya usapan yang dibuat di atas khuf luar
ini sah, ulama madzhab Hanafi menetapkan tiga syarat: pertama, hendaklah
lapisan luar ini dibuat dari kulit. Jika ia bukan kulit, maka sah usapan
tersebut jika air yang diusapkan sampai ke khuf di bawahnya. Kedua, hendaklah
bagian luar itu dapat digunakan untuk berjalan secara perseorangan. Jika ia
tidak dapat, maka mengusap di atasnya tidak sah, kecuali usapan itu sampai ke khuf
yang di bawahnya. Ketiga, hendaklah khuf atas dipakai dalam keadaan
suci seperti juga memakai khuf yang bagian dalam.
Ulama madzhab Hambali membolehkan mengusap khuf
yang di luar sebelum berhadats, walaupun salah satunya robek. Jika
kedua-duanya robek, maka tidak boleh mengusapnya. Mengusap khuf di bagian
dalam saja juga hukumnya boleh, yaitu dengan memasukkan tangan ke bawah khuf
yang di luar dan mengusapnya. Karena, kedua-duanya merupakan tempat yang
boleh diusap. Oleh sebab itu, ia boleh diusap sekiranya khuf itu bagus.
Menurut pendapat yang azdhar di kalangan ulama
madzhab Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 66), tidak cukup hanya
dengan mengusap lapisan khuf yang luar saja (apabila memakai dua lapis khuf
yang keduanya sesuai untuk diusap). Karena, kelonggaran (rukhshah)
yang diberikan oleh syara' adalah untuk khuf biasa.Hal ini dilakukan
karena keperluan yang meliputi semua orang, sedangkan memakai khuf atas
(jurmuq) bukanlah merupakan keperluan yang menyeluruh. Mereka
berpendapat, boleh mengusap kedua lapis khuf yang di luar dan di dalam.
4. Memakai khuf yang boleh
Ini adalah syarat menurut ulama madzhab Maliki
dan Hambali. Dengan itu, tidak sah mengusap khuf yang dirampas. Begitu juga
khuf yang haram digunakan seperti yang dibuat dari sutra (bagi lelaki),
walaupun dalam keadaan darurat menurut ulama madzhab Hambali. Contohnya,
seperti mereka yang berada di negara bersalju dan takut membahayakan jari-jarinya
jika membuka khuf yang dirampas, atau khuf yang dibuat dari sutra
yang dipakainya. Maka tidak boleh untuk mengusap khuf tersebut, karena pemakaiannya
dicegah dari asal. Keadaan darurat yang dihadapinya adalah suatu perkara yang
sangat jarang berlaku. Oleh sebab itu, tidak ditentukan hukum untuknya.
Ulama madzhab Hambali juga berpendapat orang
yang sedang berihram haji atau umrah tidak boleh mengusap khuf walaupun
dengan keperluan. Pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Syafi'i juga
menyatakan, semua syarat ini tidak diperlukan. Seseorang itu dapat mengusap walaupun
khuf yang dipakainya digunakan tanpa seizin pemiliknya atau dibuat dari
sutra tebal (anti air), ataupun yang dibuat dari perak ataupun emas untuk lelaki
dan lainnya. Kedudukan hukumnya adalah seperti masalah bertayamum dengan debu
yang digunakan tanpa seizin pemiliknya. Seseorang yang berihram untuk ibadah
haji atau umrah sambil memakai khuf terkecuali karena orang yang berihram
dilarang dari memakainya sebagai pakaian semata-mata. Larangan dari memakai
pakaian yang dirampas bukanlah karena memakainya, akan tetapi karena merampas
dengan menggunakan hak orang lain.
5. Hendaklah khuf itu tidak menampakkan kaki baik
itu disebabkan oleh sinar ataupun terlalu tipis
Syarat ini adalah menurut pendapat ulama
madzhab Hambali. Dengan demikian, tidak sah mengusap khuf yang dibuat
dari kaca, karena ia tidak menutup anggota tubuh yang wajib dibasuh. Begitu
juga, tidak sah mengusap khuf yang menampakkan kulit disebabkan terlalu
tipis.
Menurut pendapat ulama madzhab Maliki seperti
yang telah disebutkan, sebaiknya khuf dibuat dari kulit. Menurut ulama
madzhab Hanafi dan Syafi'i, ia harus dapat menghalang air sampai ke kaki, selain
melalui tempat jahitannya kalaulah dicurahkan air ke atasnya. Karena kalau demikian,
ia tidak tembus air. Berdasarkan hal ini, maka sah mengusap khuf yang dibuat
dari kain nilon tebal serta bahan lain yang sejenisnya. Karena, tujuannya adalah
untuk menghalang dari diresapi air.
6. Masih ada sisa dari bagian telapak kaki sekadar tiga
jari tangan yang terkecil
Ini adalah syarat yang ditetapkan oleh ulama madzhab
Hanafi, dalam kasus apabila seseorang itu telah terpotong sebagian kakinya, supaya
masih ada bagian yang diusap sekadar yang fardhu. Seandainya seseorang itu
terpotong kakinya di atas mata kaki, maka gugurlah kewajiban membasuh kaki dan
tidak perlu lagi dia mengusap khuf nya. Dia hanya perlu mengusap khuf
untuk kaki yang satu lagi. Seandainya masih ada bagian telapak kaki yang
tersisa, tetapi tidak sampai sekadar tiga jari, ia tidak boleh diusap. Karena,
bagian itu fardhu dibasuh. Berdasarkan hal ini, seseorang yang tidak mempunyai
bagian punggung kaki, tidak boleh mengusap khuf, walaupun bagian tumitnya
masih ada. Karena, ia bukan merupakan tempat untuk diusap bahkan ia wajib
dibasuh.
Menurut pendapat fuqaha yang lain, mengusap khuf
sah dilakukan ke atas khuf yang dipakai menutupi setiap bagian kaki yang
masih ada, yang pada asalnya wajib dibasuh. Jika daerah yang wajib dibasuh telah
tiada dan hanya tinggal satu kaki saja, maka dia hanya perlu mengusap khuf untuk
kaki yang ada. Tidak boleh sama sekali seseorang mengusap sebelah kaki atau
sebagian yang ada, dan membasuh kaki yang sebelah lagi supaya tidak bersatu antara
perkara gantian dengan yang asal pada satu tempat.
Ringkasan Syarat-Syarat dalam Berbagai Madzhab
1. Madzhab Hanafi
Mereka menetapkan tujuh syarat untuk
membolehkan mengusap khuf, yaitu: (a) Hendaklah ia dipakai setelah
membasuh kedua kaki, walaupun sebelum sempurna wudhunya. Jika dia telah dapat
menyempurnakan wudhunya sebelum berlaku hal-hal yang membatalkan, maka dia
dibolehkan mengusap khuf; (b) Hendaklah khuf tersebut menutup
kedua mata kaki; (c) Khuf itu dapat digunakan untuk meneruskan
perjalanan; (d) Kedua-duanya hendaklah tidak terdapat robek yang sebesar tiga
jari kaki atau lebih; (e) Ia tetap melekat di kaki tanpa harus diikat; (f)
Kedua-duanya mampu menghalang air dari sampai ke anggota kaki; (g) Jika kaki
terpotong, hendaklah masih ada sebagian dari bagian punggung kaki,
sekurang-kurangnya sekadar tiga jari menurut ukuran jari tangan yang paling
kecil.
2. Madzhab Maliki
Untuk membolehkan mengusap khuf, ulama
madzhab Maliki menetapkan sebelas syarat. Enam syarat khusus untuk khuf yang
diusap, dan lima syarat untuk orang yang melakukannya. Syarat untuk orang yang
mengusap, telah kita kemukakan pada permulaan perbincangan mengenai syarat yang
disepakati. Tentang syarat-syarat untuk khuf yang diusap pula adalah
seperti berikut: (a) Hendaklah khuf itu terbuat dari kulit. Tidak sah
mengusap khuf yang terbuat dari bahan lain; (b) Hendaklah ia suci, untuk
menghindari kulit bangkai, walaupun disamak; (c) Hendaklah khuf itu
dijahit, bukan dilekatkan dengan lem; (d) Hendaklah ia mempunyai bagian betis yang
melindungi bagian yang wajib dibasuh pada waktu berwudhu. Yaitu, ia haruslah
melindungi kedua mata kaki. Jika khuf itu tidak melindunginya, maka ia
tidak sah untuk diusap; (e) Menurut kebiasaannya, ia dapat digunakan untuk
berjalan, terhindar dari longgar dan terbuka ketika berjalan.
3. Ulama madzhab Syafi'i
Mereka menetapkan dua syarat untuk membolehkan
khuf diusap: pertama, ia hendaklah dipakai setelah dalam keadaan
suci secara sempurna dari hadats besar dan hadats kecil.
Kedua, hendaklah khuf
itu bersih dan kuat serta dapat digunakan untuk meneruskan perjalanan dalam
melaksanakan kebutuhan. Yaitu kebutuhan sewaktu memakainya, tiga hari tiga
malam bagi musafir dan sehari semalam bagi yang bermukim.
Di samping itu, ia juga menutupi semua bagian
yang wajib dibasuh pada waktu berwudhu
dari semua sudut, kecuali dari atas. Yaitu, semua kaki
dan kedua mata kaki. Kalau bagian belakang kaki dapat kelihatan dari atas,
yaitu kalau sandal itu luas, maka tidak mengapa.
Ia juga harus dapat menahan meresapnya air,
kecuali melalui tempat jahitan dan tempat yang pecah. Menurut pendapat yang
shahih, boleh juga mengusap khuf yang terbelah dari kaki, tetapi diikat
dengan tali. Sehingga, ia tidak memperlihatkan satu pun bagian yang fardhu
dibasuh ketika berjalan.
4. Ulama madzhab Hambali
Mereka pula mensyaratkan tujuh perkara bagi
membolehkan mengusap khuf, yaitu: pertama, kedua khuf tersebut
dipakai setelah berada dalam keadaan suci secara sempurna yang menggunakan air
Kedua, khuf tersebut dapat dipakai di kaki dengan sendiri ataupun dengan perantaraan sandal.
Tidak sah mengusap khuf yang hanya dapat dipakai apabila diikat.
Bagaimanapun, sah mengusap khuf yang teguh dengan sendiri, tetapi sebagiannya
terbuka lalu diikat dengan tali seperti yang mempunyai bagian betis,
sebagiannya disilangkan dan diikat. Ia melindungi semua tempat yang fardhu.
Ketiga, kebolehan memakainya. Tidak sah mengusap ke atas khuf yang dirampas dan
yang dibuat dari sutra, walaupun dalam keadaan terdesak (darurat).
Keempat, dapat digunakan untuk berjalan mengikut 'urf, walaupun ia tidak
biasa digunakan. Dengan demikian, sah mengusap khuf yang dibuat dari
kulit, anyaman bulu, kayu, kaca, besi, dan sebagainya, karena ia tetap
merupakan khuf yang menutup dan dapat digunakan untuk berjalan.
Kelima, bahannya itu sendiri haruslah suci. Tidak sah mengusap khuf yang
najis, walaupun dalam keadaan darurat. Dalam keadaan terpaksa pula, ia
hendaklah bertayamum untuk kedua kakinya, karena keduanya harus dibasuh.
Keenam, khuf tersebut tidak memperlihatkan kaki dengan sebab
kejernihan warnanya seperti kaca, karena ia tidak lagi melindungi bagian yang
wajib. Tidak sah mengusap khuf yang terkoyak atau sebagainya yang
memperlihatkan sebagian kaki, walaupun dari tempat jahitan. Karena dalam
keadaan ini, ia tidak lagi melindungi tempat yang wajib dibasuh. Namun
seandainya
tempat yang robek itu tercantum karena dipakai, maka ia
sah diusap. Karena, syarat harus menutup bagian yang wajib dibasuh telah
terpenuhi.
Ketujuh, khuf itu jangan terlalu longgar hingga memperlihatkan tempat
yang wajib dibasuh.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########