BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


Syarat-Syarat Mengusap Khuf

Terdapat tiga syarat yang disepakati dan beberapa syarat yang tidak disepakati di kalangan
para fuqaha bagi membolehkan mengusap khuf. Sebagaimana dimaklumi, semua syarat yang disebut ini adalah syarat mengusap bagi tujuan berwudhu. Adapun untuk tujuan junub, maka mengusap khuf tidak diperbolehkan. Dengan kata lain, mengusap khuf tidak boleh bagi mereka yang diwajibkan mandi. Hal ini berdasarkan hadits Shafwan bin Assal yang telah disebutkan sebelum ini. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menganjurkan, “Supaya mengusap khuf apabila kami memakainya dalam keadaan suci, tiga hari pada waktu dalam musafir dan sehari semalam pada waktu kami mukim. Tidak perlu membukanya disebabkan membuang air besar atau kecil, ataupun tidur. Tidak membukanya kecuali disebabkan junub.” (Ad-Durrul Mukhtar, jilid l halaman 241-245; Al-Bada'i, jilid 1 halaman 9 dan seterusnya; Muraqi Al-Falah, halaman 22; Asy-Syarhush Shaghir jilid l halaman 151-156; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 38; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 65 dan seterusnya; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 21; Al-Mughni jilid 1 halaman 282, 293, 294, 296; Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 124-133; Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 19-21)

Syarat-Syarat yang Disepakati

Para fuqaha telah bersepakat mensyaratkan tiga perkara untuk mengusap khuf bagi maksud wudhu:

l. Memakai kedua-duanya pada waktu suci

Hal ini berdasarkan hadits Al-Mughirah. Dia berkata, "Aku bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu perjalanan,lalu aku tertunduk untuk mencabut khuf Rasul.” Maka, Rasul bersabda, “Biarkan, karena aku telah memakainya pada kedua kakiku dalam keadaan bersih.” Lalu beliau pun mengusap kedua-duanya." Muttafaqun ‘alaihi.
Jumhur ulama mensyaratkan juga bahwa kebersihan kaki tersebut adalah yang dihasilkan dengan menggunakan air. Ulama madzhab Syafi'i mensyaratkan kebersihan itu dengan air, baik itu wudhu, mandi, ataupun dengan tayamum yang bukan disebabkan oleh ketiadaan air.
Ulama madzhab Maliki menganggap syarat ini termasuk dalam lima syarat bagi orang yang mengusap khuf. Lima syarat tersebut adalah:
Pertama, hendaklah memakai khuf dalam keadaan suci. Jika dia memakainya pada waktu
berhadats, maka tidak dia sah mengusap khuf. Ulama golongan Syi'ah Imamiyah membolehkan memakai khuf baik pada waktu suci atau tidak.
Kedua, hendaklah keadaan suci itu dihasilkan dari air, bukan dengan debu. Ini adalah syarat dari jumhur ulama selain ulama madzhab Syafi'i. Jika dia bertayamum kemudian memakai khuf, maka menurut jumhur dia tidak boleh mengusap khuf karena dia memakai pada waktu suci yang
tidak sempurna. Ia dianggap suci dalam keadaan darurat saja dan yang batal dari asalnya. Selain itu, tayamum sendiri tidak menyucikan hadats. Oleh sebab itu, dia memakainya pada waktu dia dalam keadaan berhadats. Ulama madzhab Syafi'i berpendapat, jika tayamum dilakukan dengan sebab tidak ada air, maka dia tidak boleh mengusap khuf setelah mendapatkan air. Dia hanya wajib membuka khuf nya dan mengambil wudhu secara sempurna. Sebaliknya, jika dia bertayamum karena sakit dan tidak bisa menggunakan air atau sebagainya, lalu berhadats, maka dalam kasus ini dia boleh mengusap khuf  nya.
Ketiga, hendaklah kesucian tersebut secara sempurna, yaitu dia memakainya setelah selesai
semua wudhu atau mandi yang tidak membatalkan wudhunya. Jika wudhunya batal sebelum membasuh kaki misalnya, maka dia tidak boleh lagi mengusap khuf, karena kaki tersebut telah masuk ke tempatnya pada waktu ia sedang berhadats. Maka, kedudukannya seperti jika dia memakai pada waktu tidak langsung mengambil wudhu.
Menurut ulama madzhab Maliki dan Syafi'i, hendaklah dia dalam keadaan suci sepenuhnya sewaktu memakai khuf. Dengan kata lain, haruslah memakai khuf dalam keadaan suci secara keseluruhan. Sementara ulama madzhab Hanafi, memasukkan suci yang lengkap itu sewaktu berlaku hadats setelah memakai khuf-nya. Mereka tidak mensyaratkan keadaan suci secara sempurna pada waktu memakai khuf. Mereka berpendapat bahwa yang perlu hanyalah menyempurnakan keadaan suci saja. Perbedaan ini akan jelas dalam permasalahan, jika seseorang yang berhadats itu membasuh kedua kaki sewaktu berwudhu, dan setelah itu terus memakai khuf-nya. Kemudian dia baru menyempurnakan wudhunya dengan mencuci anggota yang lain sebelum berhadats. Dalam hal ini, jika dia berhadats lagi setelah itu, maka menurut ulama madzhab Hanafi dia berhak untuk mengusap khuf  nya, karena telah ada syaratnya. Yaitu, memakai khuf dalam keadaan suci yang sempurna pada waktu berhadats setelah memakai khuf. Menurut ulama madzhab Syafi'i dan Hambali, orang tersebut tidak boleh mengusap khuf. Karena pada waktu memakai khuf, dia tidak dalam keadaan suci yang sempurna. Bagi mereka, tartib adalah menjadi syarat wudhu. Oleh sebab itu, mendahulukan membasuh kaki dari anggota yang lain berarti ia tidak dibasuhnya.
Keempat, hendaklah orang yang mengusap itu tidak memakai khuf hanya untuk tujuan bermegah-megah, seperti memakai khuf dengan tujuan menjaga inai yang dipakai di kedua kaki, karena semata-mata hendak tidur, karena dia seorang hakim, hanya karena bertujuan mengusapnya saja, ataupun karena mengelakkan dari kutu, dan sebagainya. Dalam semua keadaan tersebut, mengusap khuf tidak dibolehkan. Akan tetapi jika ia dipakai karena untuk menghindari panas, dingin, becek, ataupun takut disengat kalajengking dan sebagainya, maka barulah dia boleh mengusapnya.
Kelima, janganlah memakai khuf menimbulkan maksiat. Contohnya seperti mereka yang sedang dalam ihram haji atau umrah, yang tidak terpaksa memakainya. Dalam keadaan ini, dia tidak boleh mengusap khuf. Jika dia memakai dengan keadaan terpaksa ataupun oleh wanita, maka mengusap khuf adalah boleh. Pendapat yang kuat di kalangan ulama madzhab Maliki, Hambali, dan Syafi'i, orang yang musafir yang maksiat boleh mengusap khuf. Contohnya, seperti mereka yang durhaka kepada kedua orang tua atau perompak.
Kaidah yang dipegang di kalangan ulama madzhab Maliki adalah, setiap kelonggaran yang diberikan pada waktu tidak musafir seperti mengusap khuf, bertayamum, memakan bangkai, kesemua itu boleh dilakukan pada waktu musafir dan setiap keringanan (rukhshah) yang ditentukan pada waktu musafir saja, seperti qashar shalat, berbuka puasa, maka ia boleh bagi mereka yang tidak melakukan perjalanan dengan tujuan maksiat. Jika perjalanan dilakukan dengan tujuan maksiat, maka kemudahan tersebut tidak boleh untuknya (Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 143; Kasysyaful Qina jilid 1 halaman 128; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 66).

2. Hendaklah khuf tersebut bersih serta menutup semua bagian kaki yang harus di basuh kettka be wudhu

Anggota yang harus ditutupi adalah kaki dan kedua mata kaki dari semua sudut, kecuali dari sebelah atas. Mengusap khuf tidak boleh sekiranya khuf tersebut tidak menutupi dua mata kaki serta keseluruhan kaki. Begitu juga tidak sah mengusap khuf iika ia najis, seperti khuf yang dibuat dari kulit bangkai yang tidak disamak, menurut pendapat ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i. Bahkan, yang telah disamak sekalipun mengikut pendapat ulama madzhab Maliki dan Hambali. Hal ini karena bagi mereka menyamak tidak akan menjadikan kulit bangkai tersebut menjadi suci. Menggunakan perkara yang najis adalah terlarang.

3. Khuf tersebut boleh digiunakan untuk meneruskan perjalanan menurut kebiasaan

Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan ukuran tersebut. Ulama madzhab Hanafi berpendapat, hendaklah khuf tersebut mampu digunakan untuk perjalanan biasa sejauh satu farsakh (tiga mil atau 12.000 langkah, satu mil adalah 1.848 meter, oleh sebab itu satu farsakh adalah 5.544 meter) atau lebih. Oleh sebab itu, tidak boleh mengusap khuf yang dibuat dari kaca, kayu, besi, ataupun yang terlalu tipis dan terkoyak bila digunakan untuk berjalan. Mereka juga mensyaratkan khuf tersebut harus melekat di kaki tanpa diikat.
Ulama madzhab Maliki menjelaskan kemungkinan khuf tersebut digunakan untuk berjalan seperti biasa. Untuk itu, tidak boleh mengusap khuf yang luas, yang mana kaki pada seluruh waktu atau kebanyakan waktu tidak dapat berada tetap di dalamnya, tetapi senantiasa menggelongsor pada waktu berjalan.
Apa yang ditetapkan di kalangan kebanyakan ulama madzhab Syafi'i adalah khuf tersebut dapat digunakan untuk berjalan bolak-balik untuk melakukan keperluan mereka, dalam masa sehari semalam untuk orang yang bermukim dan bagi orang yang musafir dalam masa tiga hari tiga malam, yaitu masa bermusafir yang pendek, karena setelah itu semuanya wajib membuka khuf.
Sehubungan dengan masalah ini, ulama madzhab Hambali mempunyai pendapat yang tersendiri. Mereka berpendapat, yang pasti, khuf tersebut dapat digunakan untuk berjalan menurut kebiasaan, sekalipun ia tidak biasa digunakan. Mereka berpendapat boleh mengusap khuf yang dibuat dari kulit, bulu yang dianyam dan ditenun, kayu, kaca, besi, dan sebagainya. Karena, semua itu merupakan khuf yang menutupi dan boleh digunakan untuk berjalan. Selain itu, karena ia menyerupai kulit, dengan syarat semuanya tidak longgar sehingga memperlihatkan bagian yang wajib dibasuh. Syarat ini menyerupai pendapat ulama madzhab Hanafi dan Maliki.

Syarat-syarat yang tidak disepakati fuqaha

Terdapat beberapa syarat yang tidak disepakati dan ditetapkan dalam beberapa madzhab, di antaranya adalah:

1. Hendaklah khuf itu sempurna dan tidak ada yang robek

Syarat ini merupakan kesan dari syarat ketiga yang diterima oleh semua madzhab. Hanya mereka berbeda pendapat tentang sebatas manakah ukuran minimal robek yang boleh dimaafkan.
Ulama madzhab Syafi'i dalam qaul jadid dan juga ulama madzhab Hambali tidak membenarkan mengusap khuf yang robek, walaupun hanya sedikit. Hal ini disebabkan dengan adanya robek tersebut, maka khuf tidak lagi melindungi dan menutupi keseluruhan kaki, walaupun lubang robek itu dari tempat jahitan. Karena, bagian yang tebuka memiliki hukum wajib dicuci dan bagian yang tertutup pula hukumnya adalah diusap. Oleh karena menggabungkan kedua hukum tersebut tidak boleh, maka diutamakan hukum membasuh. Dengan kata lain, anggota yang tampak hukumnya harus dibasuh dan yang anggota yang tertutup harus dibasuh. Hingga apabila berkumpul dua bagian ini, maka diutamakan hukum membasuh seperti jika terbuka salah satu kakinya.
Ulama madzhab Maliki dan Hanafi secara istihsan dan untuk tujuan menghindari kesukaran, membolehkan mengusap khuf yang terdapat robek sedikit, karena kebiasaannya khuf selalu terdapat robek sedikit. Oleh sebab itu, perlu diberi kebenaran untuk mengelakkan kesukaran
tersebut. Adapun robek yang besar, maka ia tetap menghalang dari kebolehan mengusap. Menurut ulama madzhab Maliki, robek besar ini adalah yang tidak boleh dipakai lagi untuk meneruskan perjalanan. Yaitu, robek yang kira-kira satu pertiga kaki, baik itu ia terbuka ataupun bertaut di antara satu dengan lain, seperti teriris atas, terputus jahitannya, sedangkan kedudukan kulit masih bertaut rapat. Jika robek tersebut kurang dari satu pertiga kaki, maka ia juga dihitung tidak boleh, seandainya terbuka hingga tampak kaki. Jika ia bertaut rapat, maka tidak mengapa. Hanya koyak yang sangat kecil saja yang dapat dimaafkan, yaitu yang tidak menyebabkan air sampai ke kulit kaki dari tangan yang basah pada waktu mengusap.
Menurut ulama madzhab Hanafi, robek yang termasuk besar adalah yang sebesar tiga jari kaki yang terkecil.

2. Hendaklah khuf dibuat dari kulit

Ini adalah syarat menurut ulama madzhab Maliki. Bagi mereka, mengusap khuf tidak boleh jika khuf yang dipakai dibuat dari kain, sebagaimana tidak sah mengusap kaos kaki (stocking) yaitu yang dibuat dari kapas atau bulu, kecuali jika dilapisi dengan kulit. Jika tidak dilapisi kulit, maka
mengusap di atasnya tidaklah sah. Begitu juga ulama madzhab Syafi'i, mereka berpendapat tidak sah mengusap di atas sulaman tenun yang tidak dapat menghalangi air sampai ke kulit kaki, apabila dicurahkan air di atasnya melalui tempat jahitan apabila dicurahkan air ke atasnya, karena ia tidak tebal.
Ulama madzhab Maliki juga mensyaratkan, hendaklah khuf itu dijahit. Mengusap tidak dibolehkan jika khuf itu dilem. Hal ini ditetapkan untuk membatasi hukum rukhshah yang didasarkan pada pernyataan yang ada dalam nash.
Jumhur ulama selain madzhab Maliki membolehkan usapan ke atas khuf yang dibuat dari kulit, anyaman bulu, atau sebagainya. Ulama madzhab Syafi'i dan Hanafi mensyaratkan agar khuf tersebut hendaklah yang dapat menahan air sampai ke jasad, karena kebiasaan khuf berkeadaan demikian. Dengan demikian, nash syara' yang menunjukkan kebolehan mengusap adalah merujuk kepada pengertian tersebut.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali membolehkan mengusap khuf atau sepatu yang terbelah sampai ke kaki, yang mempunyai bagian betis dan diikat dengan tali, di mana tidak tampak sedikit pun tempat yang wajib dicuci apabila ia berjalan menggunakannya.

3. Hendaklah khuf itu selapis

Ini merupakan syarat yang ditetapkan oleh kalangan ulama madzhab Maliki (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 39; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 145; Ash-Sharhush Shaghir jilid 1 halaman 157 dan seterusnya). Oleh sebab itu, jika seseorang memakai jurmuq (lapisan luar khuf ), maka mereka mempunyai dua pendapat berkaitan dengan kebolehan mengusap untuk lapisan yang luar. Pendapat yang rajih adalah dalam keadaan ini dia boleh mengusap khuf yang luar. Jika dia membuka pada waktu masih belum berhadats, maka dia wajib segera mengusap lapisan khuf bagian dalam.
Ulama madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 247; Fathul Qadir jilid 1 halaman 108; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 124, 131 dan seterusnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 284), mencukupi mengusap di atas jurmuq sebagaimana pendapat ulama madzhab Maliki. Ini berdasarkan kenyataan Bilal yang artinya, "Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap khuf bagian luar (al-muq),” riwayat Ahmad dan Abu Dawud, berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Hendaklah kamu mengusap di atas serban dan khuf bagian luar.” Riwayat Sa’id bin Manshur dalam sunannya dari Bilal.
Supaya usapan yang dibuat di atas khuf luar ini sah, ulama madzhab Hanafi menetapkan tiga syarat: pertama, hendaklah lapisan luar ini dibuat dari kulit. Jika ia bukan kulit, maka sah usapan tersebut jika air yang diusapkan sampai ke khuf di bawahnya. Kedua, hendaklah bagian luar itu dapat digunakan untuk berjalan secara perseorangan. Jika ia tidak dapat, maka mengusap di atasnya tidak sah, kecuali usapan itu sampai ke khuf yang di bawahnya. Ketiga, hendaklah khuf atas dipakai dalam keadaan suci seperti juga memakai khuf yang bagian dalam.
Ulama madzhab Hambali membolehkan mengusap khuf yang di luar sebelum berhadats, walaupun salah satunya robek. Jika kedua-duanya robek, maka tidak boleh mengusapnya. Mengusap khuf di bagian dalam saja juga hukumnya boleh, yaitu dengan memasukkan tangan ke bawah khuf yang di luar dan mengusapnya. Karena, kedua-duanya merupakan tempat yang boleh diusap. Oleh sebab itu, ia boleh diusap sekiranya khuf itu bagus.
Menurut pendapat yang azdhar di kalangan ulama madzhab Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 66), tidak cukup hanya dengan mengusap lapisan khuf yang luar saja (apabila memakai dua lapis khuf yang keduanya sesuai untuk diusap). Karena, kelonggaran (rukhshah) yang diberikan oleh syara' adalah untuk khuf biasa.Hal ini dilakukan karena keperluan yang meliputi semua orang, sedangkan memakai khuf atas (jurmuq) bukanlah merupakan keperluan yang menyeluruh. Mereka berpendapat, boleh mengusap kedua lapis khuf yang di luar dan di dalam.

4. Memakai khuf yang boleh

Ini adalah syarat menurut ulama madzhab Maliki dan Hambali. Dengan itu, tidak sah mengusap khuf yang dirampas. Begitu juga khuf yang haram digunakan seperti yang dibuat dari sutra (bagi lelaki), walaupun dalam keadaan darurat menurut ulama madzhab Hambali. Contohnya, seperti mereka yang berada di negara bersalju dan takut membahayakan jari-jarinya jika membuka khuf yang dirampas, atau khuf yang dibuat dari sutra yang dipakainya. Maka tidak boleh untuk mengusap khuf tersebut, karena pemakaiannya dicegah dari asal. Keadaan darurat yang dihadapinya adalah suatu perkara yang sangat jarang berlaku. Oleh sebab itu, tidak ditentukan hukum untuknya.
Ulama madzhab Hambali juga berpendapat orang yang sedang berihram haji atau umrah tidak boleh mengusap khuf walaupun dengan keperluan. Pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Syafi'i juga menyatakan, semua syarat ini tidak diperlukan. Seseorang itu dapat mengusap walaupun khuf yang dipakainya digunakan tanpa seizin pemiliknya atau dibuat dari sutra tebal (anti air), ataupun yang dibuat dari perak ataupun emas untuk lelaki dan lainnya. Kedudukan hukumnya adalah seperti masalah bertayamum dengan debu yang digunakan tanpa seizin pemiliknya. Seseorang yang berihram untuk ibadah haji atau umrah sambil memakai khuf terkecuali karena orang yang berihram dilarang dari memakainya sebagai pakaian semata-mata. Larangan dari memakai pakaian yang dirampas bukanlah karena memakainya, akan tetapi karena merampas dengan menggunakan hak orang lain.

5. Hendaklah khuf itu tidak menampakkan kaki baik itu disebabkan oleh sinar ataupun terlalu tipis

Syarat ini adalah menurut pendapat ulama madzhab Hambali. Dengan demikian, tidak sah mengusap khuf yang dibuat dari kaca, karena ia tidak menutup anggota tubuh yang wajib dibasuh. Begitu juga, tidak sah mengusap khuf yang menampakkan kulit disebabkan terlalu tipis.
Menurut pendapat ulama madzhab Maliki seperti yang telah disebutkan, sebaiknya khuf dibuat dari kulit. Menurut ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i, ia harus dapat menghalang air sampai ke kaki, selain melalui tempat jahitannya kalaulah dicurahkan air ke atasnya. Karena kalau demikian, ia tidak tembus air. Berdasarkan hal ini, maka sah mengusap khuf yang dibuat dari kain nilon tebal serta bahan lain yang sejenisnya. Karena, tujuannya adalah untuk menghalang dari diresapi air.

6. Masih ada sisa dari bagian telapak kaki sekadar tiga jari tangan yang terkecil

Ini adalah syarat yang ditetapkan oleh ulama madzhab Hanafi, dalam kasus apabila seseorang itu telah terpotong sebagian kakinya, supaya masih ada bagian yang diusap sekadar yang fardhu. Seandainya seseorang itu terpotong kakinya di atas mata kaki, maka gugurlah kewajiban membasuh kaki dan tidak perlu lagi dia mengusap khuf nya. Dia hanya perlu mengusap khuf untuk kaki yang satu lagi. Seandainya masih ada bagian telapak kaki yang tersisa, tetapi tidak sampai sekadar tiga jari, ia tidak boleh diusap. Karena, bagian itu fardhu dibasuh. Berdasarkan hal ini, seseorang yang tidak mempunyai bagian punggung kaki, tidak boleh mengusap khuf, walaupun bagian tumitnya masih ada. Karena, ia bukan merupakan tempat untuk diusap bahkan ia wajib dibasuh.
Menurut pendapat fuqaha yang lain, mengusap khuf sah dilakukan ke atas khuf yang dipakai menutupi setiap bagian kaki yang masih ada, yang pada asalnya wajib dibasuh. Jika daerah yang wajib dibasuh telah tiada dan hanya tinggal satu kaki saja, maka dia hanya perlu mengusap khuf untuk kaki yang ada. Tidak boleh sama sekali seseorang mengusap sebelah kaki atau sebagian yang ada, dan membasuh kaki yang sebelah lagi supaya tidak bersatu antara perkara gantian dengan yang asal pada satu tempat.

Ringkasan Syarat-Syarat dalam Berbagai Madzhab

1. Madzhab Hanafi

Mereka menetapkan tujuh syarat untuk membolehkan mengusap khuf, yaitu: (a) Hendaklah ia dipakai setelah membasuh kedua kaki, walaupun sebelum sempurna wudhunya. Jika dia telah dapat menyempurnakan wudhunya sebelum berlaku hal-hal yang membatalkan, maka dia dibolehkan mengusap khuf; (b) Hendaklah khuf tersebut menutup kedua mata kaki; (c) Khuf itu dapat digunakan untuk meneruskan perjalanan; (d) Kedua-duanya hendaklah tidak terdapat robek yang sebesar tiga jari kaki atau lebih; (e) Ia tetap melekat di kaki tanpa harus diikat; (f) Kedua-duanya mampu menghalang air dari sampai ke anggota kaki; (g) Jika kaki terpotong, hendaklah masih ada sebagian dari bagian punggung kaki, sekurang-kurangnya sekadar tiga jari menurut ukuran jari tangan yang paling kecil.

2. Madzhab Maliki

Untuk membolehkan mengusap khuf, ulama madzhab Maliki menetapkan sebelas syarat. Enam syarat khusus untuk khuf yang diusap, dan lima syarat untuk orang yang melakukannya. Syarat untuk orang yang mengusap, telah kita kemukakan pada permulaan perbincangan mengenai syarat yang disepakati. Tentang syarat-syarat untuk khuf yang diusap pula adalah seperti berikut: (a) Hendaklah khuf itu terbuat dari kulit. Tidak sah mengusap khuf yang terbuat dari bahan lain; (b) Hendaklah ia suci, untuk menghindari kulit bangkai, walaupun disamak; (c) Hendaklah khuf itu dijahit, bukan dilekatkan dengan lem; (d) Hendaklah ia mempunyai bagian betis yang melindungi bagian yang wajib dibasuh pada waktu berwudhu. Yaitu, ia haruslah melindungi kedua mata kaki. Jika khuf itu tidak melindunginya, maka ia tidak sah untuk diusap; (e) Menurut kebiasaannya, ia dapat digunakan untuk berjalan, terhindar dari longgar dan terbuka ketika berjalan.

3. Ulama madzhab Syafi'i

Mereka menetapkan dua syarat untuk membolehkan khuf diusap: pertama, ia hendaklah dipakai setelah dalam keadaan suci secara sempurna dari hadats besar dan hadats kecil.
Kedua, hendaklah khuf itu bersih dan kuat serta dapat digunakan untuk meneruskan perjalanan dalam melaksanakan kebutuhan. Yaitu kebutuhan sewaktu memakainya, tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi yang bermukim.
Di samping itu, ia juga menutupi semua bagian yang wajib dibasuh pada waktu berwudhu
dari semua sudut, kecuali dari atas. Yaitu, semua kaki dan kedua mata kaki. Kalau bagian belakang kaki dapat kelihatan dari atas, yaitu kalau sandal itu luas, maka tidak mengapa.
Ia juga harus dapat menahan meresapnya air, kecuali melalui tempat jahitan dan tempat yang pecah. Menurut pendapat yang shahih, boleh juga mengusap khuf yang terbelah dari kaki, tetapi diikat dengan tali. Sehingga, ia tidak memperlihatkan satu pun bagian yang fardhu dibasuh ketika berjalan.

4. Ulama madzhab Hambali

Mereka pula mensyaratkan tujuh perkara bagi membolehkan mengusap khuf, yaitu: pertama, kedua khuf tersebut dipakai setelah berada dalam keadaan suci secara sempurna yang menggunakan air
Kedua, khuf tersebut dapat dipakai di kaki dengan sendiri ataupun dengan perantaraan sandal. Tidak sah mengusap khuf yang hanya dapat dipakai apabila diikat. Bagaimanapun, sah mengusap khuf yang teguh dengan sendiri, tetapi sebagiannya terbuka lalu diikat dengan tali seperti yang mempunyai bagian betis, sebagiannya disilangkan dan diikat. Ia melindungi semua tempat yang fardhu.
Ketiga, kebolehan memakainya. Tidak sah mengusap ke atas khuf yang dirampas dan yang dibuat dari sutra, walaupun dalam keadaan terdesak (darurat).
Keempat, dapat digunakan untuk berjalan mengikut 'urf, walaupun ia tidak biasa digunakan. Dengan demikian, sah mengusap khuf yang dibuat dari kulit, anyaman bulu, kayu, kaca, besi, dan sebagainya, karena ia tetap merupakan khuf yang menutup dan dapat digunakan untuk berjalan.
Kelima, bahannya itu sendiri haruslah suci. Tidak sah mengusap khuf yang najis, walaupun dalam keadaan darurat. Dalam keadaan terpaksa pula, ia hendaklah bertayamum untuk kedua kakinya, karena keduanya harus dibasuh.
Keenam, khuf tersebut tidak memperlihatkan kaki dengan sebab kejernihan warnanya seperti kaca, karena ia tidak lagi melindungi bagian yang wajib. Tidak sah mengusap khuf yang terkoyak atau sebagainya yang memperlihatkan sebagian kaki, walaupun dari tempat jahitan. Karena dalam keadaan ini, ia tidak lagi melindungi tempat yang wajib dibasuh. Namun seandainya
tempat yang robek itu tercantum karena dipakai, maka ia sah diusap. Karena, syarat harus menutup bagian yang wajib dibasuh telah terpenuhi.
Ketujuh, khuf itu jangan terlalu longgar hingga memperlihatkan tempat yang wajib dibasuh.


PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)