Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
4. SYARAT-SYARAT ADZAN
Syarat-syarat adzan dan iqamah adalah
sebagaimana berikut (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 362-365; Al-Bada'i
jilid 1 halaman 149-151; Fathul Qadir jilid 1 halaman 170-176 dan
setelahnya; Muraqil Falah halaman 32; Al-Lubab jilid 1 halaman 64;
Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 251 dan setelahnya; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah halaman 47 dan setelahnya; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman
104 dan setelahnya; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 137 -139; Al-Hadramiyyah
halaman 34; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 55 dan jilid 1 halaman 57; Al-Mughni
jilid 1 halaman 409, 411, 413-415, 424, dan setelahnya; Kasysyaful Qina'
jilid 1 halaman 271-279; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 87; Asy-Syarhul
Kabir ma'a Ad-Dasuqi jilid 1 halaman 194 dan setelahnya. Lihat juga
jilid 1 halaman 198; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 57 dan setelahnya; Tuhfatuth
Thullab halaman 54; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 135).
A. Masuk Waktu
Semua ahli fiqh sepakat bahwa adzan yang dilakukan
sebelum masuk waktu shalat adalah tidak sah dan haram. Jika sudah dilakukan, maka
adzan tersebut hendaknya diulang lagi setelah masuk waktunya, karena adzan
adalah untuk memberi tahu tentang masuknya waktu shalat. Jika ia dilakukan
sebelum masuk waktu, maka hal itu akan menyebabkan kekeliruan. Oleh sebab itu, adzan
diharamkan sebelum masuk waktu shalat, karena ia akan menimbulkan kesamaran dan
pembohongan tentang pemberitahuan masuknya waktu shalat. Ulama Syafi'i juga
mengatakan bahwa mengulangi adzan adalah haram. Tetapi, hal ini tidak termasuk adzan-adzan
yang dilakukan oleh para tukang adzan yang bertugas di setiap masjid yang
berbeda-beda.
Tetapi jumhur ulama, selain ulama Hanafi dan
Abu Yusuf, membolehkan adzan untuk shalat Shubuh selepas lewatnya separuh
malam, dan dihukumi sunnah apabila dikumandangkan
pada waktu sahur. Yaitu, seperenam malam (bagian akhir),
kemudian disunnahkan mengulang adzan tersebut selepas datangnya fajar shadiq. Membaca
tasbih, tarhim, meninggikan suara doa dan amalan-amalan lain yang dilakukan
sebelum fajar pada pagi Jumat kecuali adzan baik dilakukan di tempat adzan atau
lainnya bukan termasuk amalan yang disunnahkan. Tidak ada seorang ulama pun
yang mengatakan bahwa amalan tersebut adalah mustahab. Bahkan, amalan itu
tergolong dalam iumlah bid'ah yang tercela. Amalan tersebut tidak pernah
dilakukan pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga
pada zaman sahabat, dan tidak ada juga dalil yang menguatkannya (Kasysyaful
Qina' jilid 1 halaman 281; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 91).
Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari
dan Muslim dari Abdullah bin Amr, “Bilal mengumandangkan adzan pada waktu
malam. Oleh sebab itu, makan dan minumlah (bersahur) hingga kamu mendengar adzan
lbnu Ummi Maktum.” Al-Bukhari berkata, “Dia (Ibnu Ummi Maktum) adalah
seorang buta dan dia tidak akan adzan hingga diberi tahu kepadanya, bahwa waktu
shubuh telah masuk.”
Tetapi bagi orang yang melakukan adzan sebelum
masuknya waktu shubuh, hendaknya melakukannya pada masa yang sama setiap malam.
Hal ini untuk menghindari kesalahan dugaan banyak orang berkenaan dengan
masuknya waktu shubuh. Disyaratkan juga kepada muadzdzin yang tetap (petugas
tetap) untuk mengetahui waktu-waktu masuknya shalat. Adapun selain petugas,
tetap tidak disyaratkan demikian. Oleh sebab itu, siapa saja yang melakukan
adzan, baik untuk dirinya sendiri atau untuk jamaah (yang hanya dilakukan sesekali
saja) ataupun ia adalah seorang buta, adalah sah adzannya, meskipun dia
mengetahui masuknya waktu shalat tersebut dari
informasi yang diberikan orang lain.
B. Hendaklah dengan Bahasa Arab
Tidak sah mengumandangkan adzan untuk shalat
berjamaah dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Jika seseorang yang
bukan Arab mengumandangkan adzan untuk dirinya sendiri, dan dia tidak
mengetahui bahasa Arab, maka menurut ulama Syafi'i dia boleh melakukannya
dengan bahasa lain. Tetapi menurut ulama Hambali dan Hanafi, ia tidak boleh
sama sekali karena adzan itu disyariatkan dalam bentuk bahasa Arab, sama seperti
Al-Qur'an.
C. Adzan dan Iqamah Harus Dapat Didengar oleh Sebagian
Jama’ah
Memperdengarkan kepada sebagian jamaah adalah
salah satu syarat adzan dan iqamah. Begitu juga memperdengarkan untuk dirinya
sendiri jika dia memang shalat secara sendirian.
D. Tertib dan Muwaalaah (Bersambung tidak terputus-putus)
di Antara Lafaz-Lafaz Adzan dan Iqamah
Cara seperti ini adalah cara yang mengikuti sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dan lain-lain. Meninggalkan muwaalah ketika mengumandangkan kalimat-kalimat
adzan adalah merusak maksud utama adzan itu sendiri, yaitu memberi tahu kepada
pihak lain. Oleh sebab itu, adzan juga tidak sah jika dikumandangkan
tidak secara tertib. Demikian juga apabila tanpa muwaalah,
maka adzan tersebut juga tidak sah.
Adzan yang dilakukan tanpa tertib dan tanpa muwaalah
hendaklah diulang lagi. Jarak waktu yang tidak terlalu lama, umpamanya tertidur
atau marah atau diam sekejap atau menyelingi dengan sedikit percakapan asing dianggap
tidak membatalkan muwaalah adzan.
Menurut para fuqaha, adzan dianggap batal
apablia orang yang adzan murtad. Jika dia murtad setelah selesainya adzan, maka
adzannya itu tidak batal.
Semua ini adalah syarat-syarat menurut ulama
Syafi'i dan Hambali. Adapun menurut pendapat ulama Hanafi dan Maliki,
mengurutkan kalimat-kalimat adzan dan iqamah serta menjaga muwaalah antara
kalimat-kalimatnya adalah sunnah. Meskipun adzan dan iqamah dikumandangkan
dengan tidak urut dan tanpa muwaalah, ia tetap dianggap sah, tetapi makruh.
Tindakan yang Iebih baik adalah hendaknya orang tersebut mengulangi lagi adzan
dan iqamahnya itu.
Sebagian ulama Hambali berpendapat bahwa adzan
menjadi batal, jika diselingi dengan percakapan yang haram seperti memaki dan
sebagainya, meskipun hanya sedikit. Tetapi jika ia diselingi dengan percakapan
yang dibolehkan oleh syara', maka ia tidak batal.
E. ADZAN MESTILAH DILAKUKAN OLEH SEORANG SAJA
Jika adzan itu dilakukan oleh seseorang, kemudian
disambung oleh orang lain, maka adzan tersebut tidak sah. Begitu juga jika
dilakukan oleh dua orang secara bergantian, yaitu seorang membaca satu kalimat
kemudian disambung oleh yang lain (secara berbalas-balasan), maka ia juga tidak
sah. Sebab, adzan adalah termasuk ibadah badaniah. Oleh sebab itu, ia tidak sah
dilakukan oleh dua orang secara bergiliran dengan cara seorang menyambung lafaz
orang yang lain.
Adzan yang dilakukan oleh sekumpulan orang
secara serentak dan setiap orang mengumandangkannya dengan sempurna, maka adzan
seperti itu adalah sah. Ulama Maliki menambahkan, melakukan adzan secara
beramai-ramai dengan cara sambung-menyambung antara para muadzdzin adalah
makruh. Begitu juga mengumandangkan adzan lebih dari satu untuk satu shalat.
Yang pertama kali melakukan dua kali adzan
adalah Bani Umayyah. Adapun adzan secara kumpulan tidaklah dimakruhkan seperti yang
telah diteliti oleh Ibnu Abidin.
F. Orang yang Mengumandangkan Adzan Hendaklah Lelaki
Muslim yang Berakal
Tidaksah adzan yang dilakukan oleh orang
kafir, orang gila, anak-anak yang belum mumayyiz, orang ayan, dan orang yang
mabuk. Hal ini disebabkan mereka bukanlah orang yang berkelayakan untuk
menjalankan ibadah, yaitu tidak dituntut mempertanggungjawabkan kewajiban-kewajiban
ibadah. Tidak sah juga adzan yang dilakukan oleh perempuan, karena adzan adalah
haram baginya dan adzan juga tidak disyariatkan untuk mereka. Begitu juga perempuan
tidak sah menjadi imam kepada lelaki. Suara mereka dapat menimbulkan fitnah. Adzan
juga tidak sah jika dikumandangkan oleh seorang khunsa, sebab tidak diketahui hakikatnya
apakah dia lelaki ataupun perempuan. Syarat ini adalah syarat menurut ulama Maliki,
Syafi'i, dan Hambali.
Adapun madzhab Hanafi juga mempunyai pendapat
yang hampir sama dengan mereka. Madzhab ini mengatakan bahwa tukang adzan yang
tidak memenuhi syarat-syarat tersebut hukumnya makruh tahrim dan adzan tersebut
disunnahkan untuk diulangi (oleh orang lain). Berdasarkan pertimbangan ini,
maka ulama Hanafi berpendapat orang yang beradzan disunnahkan lelaki yang
berakal lagi bertakwa, dan mengetahui sunnah Rasul serta waktu-waktu shalat.
Menurut jumhur, selain ulama Maliki, muadzdzin
tidak disyaratkan baligh ataupun adil. Oleh sebab itu, adzan yang dilakukan
oleh anak-anak yang mumayyiz dan lelaki yang fasik adalah sah. Meskipun
demikian, orang yang melakukan adzan disunnahkan orang yang sudah baligh, adil,
dan amanah. Karena, dia adalah orang yang dipercayai berkenaan dengan masuknya
waktu shalat dan puasa. Jika tidak mempunyai sifat-sifat ini, maka kemungkinan dia
akan menipu banyak orang.
Ulama Hanafi berpendapat adzan yang dilakukan
oleh orang fasik adalah makruh dan disunnahkan mengulangi adzan tersebut (oleh
orang lain).
Menurut ulama Maliki, orang yang beradzan disyaratkan
adil dan baligh. Oleh sebab itu, adzan orang yang fasik dan anak-anak yang
mumayyiz tidak sah, kecuali jika dia mengetahui masuknya waktu shalat itu dari
orang yang sudah baligh.
Syarat adil yang ditentukan oleh mereka adalah
berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abbas, “Hendaklah orang yang terbaik di
antara kamu yang mengumandangkan adzan dan hendaklah yang terbaik bacaan
Al-Qur'annya di kalangan kamu yang menjadi imam.” Hadis riwayat Abu Dawud,
Ibnu Majah dan Ath-Thabrani di dalam Mu’jamnya (Nashbur Rayah jilid
1 halaman 279).
Perihal Lain-Lain
Berkenaan dengan niat adzan, para ulama madzhab
Hanafi tidak mensyaratkannya. Begitu
juga pendapat yang ashah dalam madzhab Syafi'i. Walaupun
demikian, orang yang adzan disyaratkan tidak mempunyai tujuan lain selain
beradzan. Sekiranya tujuan azan yang dilakukan adalah untuk mengajar orang lain
tentang adzan, maka adzan tersebut tidak disah.
Menurut ahli fiqih yang lain, niat termasuk syarat
dalam adzan. Oleh sebab itu, jika seseorang melafazkan lafaz-lafaz adzan yang tertentu
tanpa tujuan adzan, maka adzannya tidak sah.
Jumhur fuqaha tidak mensyaratkan bersuci (thahaarah)
bagi para muadzdzin. Mereka juga tidak disyaratkan menghadap kiblat, berdiri, dan
tidak bercakap semasa adzan. Meskipun demikian, para ulama mengatakan bahwa perkara-perkara
itu disunnahkan dan patut dilakukan. Seseorang yang sedang berhadats makruh
mengumandangkan adzan menurut pandangan jumhur, terlebih lagi mereka yang junub.
Demikian juga dengan iqamah, orang yang sedang berhadats dan junub sangat
makruh mengumandangkannya. Menurut pendapat ulama Hanafi, adzan yang
dikumandangkan oleh orang yang junub adalah makruh tahrim. Menurut mereka dan
juga ulama Hambali, adzan yang dibaca oleh orang yang junub hendaklah diulang
lagi. Menurut pendapat yang terkenal dalam madzhab Hanafi, orang yang berhadats
dan melakukan adzan tidak dihukumi
makruh. Dalil yang menunjukkan bahwa bersuci (thahaarah)
adalah sunnah dalam adzan adalah hadits, “Tidak boleh adzan kecuali orang
yang berwudhu.” Hadits riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah (Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 292). Hadits ini dhaif (Subulus Salam jilid 1
halaman 129). Mengumandangkan adzan sambil duduk hukumnya makruh. Begitu juga
membelakangi kiblat dan bercakap-cakap.
Menurut ulama madzhab Maliki, Hanafi, Syafi'i,
dan Hambali, siapa yang mengumandangkan adzan disunnahkan mengumandangkan iqamah.
Cara seperti ini adalah cara yang mengikuti sunnah. Hadits riwayat At-Tirmidzi
dari Ziyad ibnul Harits As-Suda'i, "Sesungguhnya saudara Suda'telah
mengumandangkan adzan. Barangsiapa telah mengumandangkan adzan, maka dialah
yang mengumandangkan iqamah." Hadits ini adalah dhaif. Al-Atsram meriwayatkan
bahwa Abu Mahdhurah telah mengumandangkan adzan, maka dia jugalah yang
mengumandangkan iqamah (Subulus Salam jilid 1 halaman 129; Al-Mughni
jilid 1 halaman 416).
Namun jika iqamah dikumandangkan oleh selain
orang yang beradzan, hukumnya boleh. Sebab, Bilal pernah membaca adzan dan
Abdullah bin Zaid (sahabat yang melihat adzan sewaktu tidur (mimpi) membaca iqamah
atas perintah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadis ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Kata Al-Hakim, hadis ini matannya
adalah dhaif (Subulus Salam jilid 1 halaman 129; Nailul Authar jilid
2 halaman 57; Al-Mughni jilid 1 halaman 415-416)
Berdasarkan syarat-syarat ini, maka adzan dan
iqamah menjadi batal jika orang yang mengumandangkannya murtad, mabuk, ayan,
tidur yang panjang, gila, meninggalkan beberapa kalimat adzan dan iqamah, dan
berlakunya pemisahan yang lama, baik karena diselingi kata asing atau karena
diam.
Menurut pendapat yang terkuat dalam madzhab
Syafi'i, jika seseorang yang mengumandangkan adzan itu murtad kemudian dalam
waktu itu juga dia kembali kepada Islam, maka dia boleh menyempurnakan adzannya.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments