BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


7 dan 8. Syarat Ketujuh dan Kedelapan: Tertib dalam Menunaikan Shalat dan Muwaalaat (Tidak Terputus Hubungan) dalam Setiap Perbuatannya (Sebenarnya kedua hal ini adalah syarat bagi rukun-rukun shalat)

9. Syarat Kesembilan: Meninggalkan Percakapan yang tidak Berkaitan dengan shalat

Shalat adalah ibadah untuk Allah Ta’ala semata-mata. Makanya, tidak boleh bercakap-cakap sewaktu mengerjakan shalat. Jika seseorang mengucapkan dua huruf yang dapat dipahami, maka shalatnya batal, sekalipun percakapan itu untuk keperluan shalat seperti perkataan “Qum!” (bangun) atau “Uq'ud” (duduk), atau dengan satu huruf yang boleh dipahami seperti “qi” (jaga) dari perkataan wiqayah (pengawasan), “'i” (perhatikan) dari perkataan al-wa'yu (perhatian), “fi“ (sempurnakan) dari perkataan al-wafaa' (kesempurnaan), “syi” (ubahlah) dari perkataan al-wasyyu
(perubahan). Menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama Syafi'i, shalat juga akan batal apabila seseorang memanjangkan (madd) sebagian huruf melebihi kadarnya, sekalipun tidak dipahami, seperti aa. Yang termasuk huruf madd adalah alif, wawu dan ya', karena bacaan panjang mengandung dua huruf.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Zaid bin Arqam yang artinya, “Dulu kami bercakap dalam shalat, sehingga turunlah ayat, '...Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah Ta’ala dengan khusyuk.” (Al-Baqarah: 238) Lalu kami pun diperintahkan supaya diam dan kami juga dilarang bercakap.”
Dan juga, riwayat dari Mu'awiyah ibnul Hakam As-Sulami yang berkata kepada orang yang sedang bersin dalam shalat, (Yarhamukallah (Semoga Allah Ta’ala memberi rahmat kepadamu]), lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya shalat ini tidak layak dibarengkan dengan percakapan manusia di dalamnya, melainkan shalat adalah tasbih dan takbir dan juga bacaan Al-Qur'an.” Hadis riwayat Imam Ahmad, Muslim, An-Nasa'i, dan Abu Dawud. Dia berkata, "Tidak halal" -sebagai ganti dari "Tidak Sah"- menyebutkan suatu perkataan yang di luar dari bacaan shalat. Menurut riwayat lmam Ahmad, "Sesungguhnya shalat adalah takbir, tahmid.” (Nailul Authar jilid 2 halaman 314)
Perkara ini akan dibahas dengan lebih terperinci lagi dalam pembahasan berikutnya mengenai perkara-perkara yang dapat membatalkan shalat.

10. Syarat Kesepuluh: Meninggalkan Perbuatan yang Banyak yang tidak Ada Kaitannya dengan Shalat

Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang menyebabkan seseorang tidak dianggap seperti orang yang sedang shalat oleh orang yang melihatnya. Masalah ini akan dibincangkan lebih terperinci dalam pembahasan mengenai perkara yang membatalkan shalat.

11. Syarat Kesebelas: Meninggalkan Makan Minum

Penjelasan terperinci masalah ini akan dibahas dalam bab perkara-perkara yang membatalkan shalat.

Namun, ulama madzhab Syafi'i menambah lima syarat lagi, yaitu:

12. Mengetahui kefardhuan shalat

13. Tidak shalat fardhu yang mana pun sebagai sunnah

14. Ketika mengucapkan atau melakukan perbuatan yang termasuk rukun, tidak disertai perasaan ragu-ragu mengenai niatnya

Yaitu, apakah telah niat atau belum, apakah niatnya sudah sempurna atau apakah sebagian dari niat atau sebagian dari syarat niat sudah dilaksanakan atau belum.

15. Tidak berniat untuk menghentikan shalat, atau ragu-ragu untuk menghentikan shalat

            Dan apabila dia niat keluar dari shalat, maka shalatnya batal, meskipun niatnya adalah berpindah ke bentuk shalat yang lain, ataupun hanya ragu-ragu untuk menghentikan atau meneruskan shalat. Maka, shalatnya dianggap batal karena menafikan ketegasan dalam niat.

16. Tidak menggantungkan berhentinya shalat dengan sesuatu apapun, apabila berhentinya shalat digantungkan dengan sesuatu, sekalipun ia tidak mungkin terjadi

Maka, shalatnya batal karena menggantungkan niat sama dengan menafikan ketegasan niat.


PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)