Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
3. Syarat Ketiga: Suci dari Berbagai Najis
Syarat sah shalat adalah suci dari berbagai najis
yang tidak dimaafkan oleh syara', baik najis tersebut terletak pada pakaian,
badan, termasuk tempat berpijaknya kedua telapak kaki, tangan dan lutut juga
dahi. Ini menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Hanafi. Pendapat
ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan bersihkanlah pakaianmu.“ (Al-Muddatstsir:
4)
Ibnu Sirin menafsirkan ayat, “Yaitu basuh
dengan air.” Pendapat ini juga berdasarkan kepada dua hadits shahih yang
sebelum ini telah disebutkan, “Apabila perempuan datang haid, maka hendaknya
ia meninggalkan shalat. Apabila haidnya habis, hendaklah ia mandi dan shalat.”
Dan juga, hadits tentang seorang Arab yang kencing di dalam masjid, “Siramkan
setimba air di atas air kencingnya itu.”
Ayat Al-Qur'an di atas menunjukkan bahwa
pakaian haruslah bersih. Hadits yang pertama menunjukkan badan juga harus
bersih, dan hadits yang kedua menunjukkan tempat shalat harus bersih.
Menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama
madzhab Maliki, suci dari najis adalah sunnah muakkad. Adapun ulama yang menganggap
suci itu sebagai syarat, seperti Asy-Syaikh Khalil dan para ulama yang
mensyarahi kitabnya, mereka mengatakan bahwa suci dari najis adalah wajib,
apabila memang orang tersebut ingat dan mampu menyucikan diri dari najis.
Kasus-Kasus yang Berkaitan dengan Kebersihan Pakaian,
Badan dan Tempat
A. Kesucian Pakaian dan Badan
(i) Pakaian yang Terkena Najis
Jika baju orang yang shalat –umpamanya iba'ah
(baju yang mengurai panjang)- terkena najis yang berada di tempat shalat,
ketika orang tersebut sedang bersujud, maka menurut pendapat ulama madzhab
Hanafi shalat orang tersebut masih sah, Karena –menurut mereka- yang
membatalkan shalat adalah najis yang berada pada tempat berdiri atau pada
tempat dahi ketika sujud, pada tempat tangan, atau pada tempat lutut ketika
sujud (Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 374 dan setelahnya).
Namun menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i
dan Hambali, shalat tersebut batal. Oleh karena itu, jika sebagian dari pakaian
atau tubuh seorang yang melakukan shalat terkena najis, maka shalatnya tidak
sah. Karena, pakaian dianggap sebagai bagian dari tubuh orang yang shalat dan
pakaiannya juga disamakan dengan anggota sujudnya (Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 190; Asy-Syarhul Kabir li Ibni Qudamah jilid 1 halaman 475).
(ii) Tidak Mengetahui Kalau Terkena Najis
Jika ada orang yang melakukan shalat dalam
keadaan terkena najis yang tidak dimaafkan dan orang tersebut tidak mengetahui kalau
terkena najis, maka menurut ulama dari ketiga madzhab selain madzhab Maliki,
shalat orang tersebut batal dan wajib diqadha. Karena, suci dari berbagai najis
adalah tuntutan syara' meskipun orang yang melakukan shalat tidak mengetahui
terkena najis, atau ia tidak tahu kalau najis tersebut membatalkan shalat. Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta’ala “Dan bersihkanlah pakaianmu.“ (Al-Muddatstsir:
4)
Menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama
madzhab Maliki, suci dari benda najis dan menghilangkannya adalah wajib apabila
memang diketahui dan orang tersebut mampu menghilangkan najis tersebut. Oleh sebab
itu, siapa yang shalat dengan pakaian yang terkena najis dan dia mengetahui
najis tersebut serta mampu menghilangkannya, maka hendaklah ia mengulangi
shalatnya. Namun jika seseorang tidak sanggup menghilangkan najis atau lupa,
maka hukum wajib menghilangkan najis tersebut gugur. Oleh karena itu, seseorang
tidak dituntut mengulangi lagi shalatnya, apabila dia lupa melakukan
pembersihan dari najis atau tidak mampu membersihkannya (Fathul Qadir jilid
1 halaman 179; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 373; Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 188: Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 64, 293;
Kasysyaful Qina jilid 1 halaman 22; Al-Mughni jilid 1 halaman 109;
Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 59 dan setelahnya; Al-Majmu’ jilid 3
halaman 163).
(iii) Pakaian atau Tempat yang Terkena Najis
Jika seseorang tidak mempunyai pakaian selain
pakaian yang terkena najis yang tidak termasuk dimaafkan oleh syara' (al-mafu
'anha), serta ia tidak mampu menyucikan najis tersebut, ataupun ada air,
tetapi tidak ada orang yang membantu menyucikannya sedangkan dia sendiri tidak
mampu melakukannya, ataupun ada orang yang dapat menyucikannya tetapi menuntut
upah yang dia tidak mampu membayarnya, ataupun dia mampu membayar upah, namun
orang lain itu menuntut bayaran yang sangat tinggi dari kebiasaan, ataupun dia
ditahan di tempat yang najis dan dia memerlukan benda yang menghampar untuk
memisahkannya dari tempat najis tersebut, maka menurut pendapat ulama madzhab
Syafi'i, orang tersebut tidak boleh menggunakan pakaian yang terkena najis tersebut
untuk shalat. Karena, pakaiannya tersebut termasuk pakaian yang terkena najis. Adapun
menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali, orang tersebut
dibolehkan memakai pakaian yang terkena najis tersebut dan shalat dengan
menggunakan pakaian itu.
Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki,
hendaknya orang tersebut shalat dalam keadaan berdiri dan bertelanjang jika
memang ia tidak mendapatkan pakaian lain untuk menutup auratnya, karena menutup
aurat dituntut ketika seseorang memang mampu melakukannya.
Namun menurut pendapat yang dapat diikuti
(mu'tamad), jika shalat dilakukan dengan menggunakan pakaian yang terkena najis,
atau dengan pakaian yang terbuat dari sutra, emas sekalipun berbentuk cincin, ataupun
shalat dalam keadaan telanjang, maka hendaknya shalat tersebut diulangi lagi
ketika sudah ada pakaian yang suci (memenuhi syarat).
Menurut ulama madzhab Hambali dan Hanafi, jika
seseorang tidak mempunyai pakaian sama sekali, maka hendaklah ia shalat dengan
cara duduk dan dengan cara isyarat. Pendapat ini berdasarkan perbuatan Ibnu Umar.
Al-Khalal meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Umar mengenai satu kaum yang kendaraannya
rusak (karena kecelakaan), sehingga mereka keluar dalam keadaan bertelanjang. Ibnu
Umar berkata, “Mereka melakukan shalat sambil duduk dan membuat isyarat
dengan kepala mereka.”
Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Orang
yang melakukan shalat di dalam kapal dan orang yang melakukan shalat dalam
keadaan telanjang hendaklah melakukannya dengan duduk.”
Adapun jika seseorang mempunyai (kain) penutup,
namun terkena najis, maka ia hendaklah shalat dengan menggunakan penutup tersebut
dan tidak perlu mengulangi lagi. Dia juga tidak boleh shalat secara telanjang, karena
tuntutan supaya menutup aurat adalah lebih kuat dari menyucikan najis. Maka, shalat
dengan penutup yang najis adalah lebih diutamakan karena Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Tutuplah pahamu.” Perintah Rasul ini
bersifat umum dan tuntutan supaya menutup aurat adalah syarat yang disepakati
oleh semua ulama. Adapun tuntutan supaya bersuci dari najis, terdapat
perselisihan pendapat di kalangan ulama. Maka, perkara yang disepakati ulama
mestinya lebih diutamakan.
Menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i, shalat
dalam keadaan telanjang (karena udzur) hendaklah dilakukan dengan berdiri supaya
rukun-rukunnya sempurna. Shalat tersebut tidak harus diulangi lagi, karena
melakukan shalat secara telanjang sudah menggugurkan kewajiban shalat. Tetapi
jika pada tubuh orang yang melakukan shalat ada benda najis yang tidak
dimaafkan oleh syara' dan ia tidak mempunyai air untuk menyucikannya, maka
hendaknya ia shalat dengan keadaan apa adanya. Kemudian di lain waktu ia mengulanginya
lagi apabila sudah bisa bersuci. Hukum shalat orang tersebut seperti hukum shalatnya
orang yang tidak menemukan air dan debu untuk menghilangkan hadats. Oleh sebab
itu, shalat dengan benda najis tidak dapat menggugurkan kewajiban.
Ulama madzhab Hanafi (Tabyinul Haqa’iq jilid
1 halaman 98) telah menjelaskan masalah ini secara terperinci. Sekiranya seperempat
bagian atau lebih pakaian yang digunakan untuk shalat itu suci, hendaknya orang
tersebut shalat dengan menggunakan pakaian itu. Ia tidak boleh shalat secara telanjang
karena seperempat seumpama dengan semua bagian. Seperempat bagian tersebut
dapat menggantikan bagian lain untuk menutup aurat. Di samping itu, orang tersebut
juga dituntut untuk meminimalisasi najis dari pakaiannya tersebut, sesuai
dengan kadar kemampuan yang dapat ia lakukan. Ia juga harus berusaha mengenakan
pakaian yang najisnya paling sedikit. Syara' telah menetapkan dalam banyak
kasus bahwa seperempat bagian dianggap serupa kedudukannya dengan keseluruhan bagian.
Di antara contohnya adalah bercukur bagi orang yang berihram cukup seperempat
rambut kepalanya saja, menyapu seperempat bagian kepala ketika berwudhu, dan
juga terbukanya aurat. Karena, permasalah ini termasuk dalam permasalahan
kehatihatian ihtiyaath.
Jika bagian yang suci pada pakaian tersebut kurang
dari seperempat, maka orang tersebut disunnahkan melakukan shalat dengan menggunakan
pakaian tersebut secara berdiri, rukuk dan sujudnya juga sempurna. Namun, ia
juga dibolehkan melakukan shalat dan bertelanjang dengan cara memberikan isyarat.
Menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf, shalat dengan pakaian yang semua bagiannya
terkena najis lebih baik daripada shalat dengan bertelanjang (Ad-Durrul
Mukhtar jilid 1 halaman 283 dan setelahnya; Al-Bada’i jilid 1
halaman 117; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 283 dan setelahnya;
Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 186; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1
halaman 144; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 60-61; Al-Mughni jilid
1 halaman 587, 592, 594; Fathul Qadir jilid 1 halaman 184; Al-Lubab jilid
1 halaman 66; Muraqil Falah halaman 38).
Jika seseorang musafir tidak mampu mendapatkan
sesuatu untuk menghilangkan atau mengurangkan najis pada pakaiannya, hendaklah
dia melakukan shalat dengan pakaian yang terkena najis itu, atau melakukan shalat
dengan telanjang. Setelah itu, dia tidak dituntut supaya mengulangi shalatnya lagi.
Menurut ketetapan di kalangan ulama madzhab Hanafi, orang yang tidak mempunyai sesuatu
untuk menghilangkan najis hendaklah melakukan shalat dengan pakaian yang najis
itu. Setelah itu, dia tidak dituntut supaya mengulangi shalatnya lagi. Begitu
juga orang yang tidak mempunyai sesuatu untuk menutup auratnya, shalat secara
telanjang yang dilakukannya tidak dituntut lagi supaya diulangi.
Shalat dengan telanjang adalah dengan cara
memanjangkan kaki ke arah kiblat supaya aurat tertutup dan shalatnya dilakukan dengan
memberikan isyarat ketika rukuk dan sujud. Cara seperti ini lebih diutamakan
daripada shalat secara berdiri. Karena, shalat secara duduk tadi lebih menjamin
tertutupnya aurat.
(iv) Tidak Mengetahui Tempat yang Terkena Najis pada
Pakaian
Jika ada pakaian yang terkena najis, tetapi tidak
diketahui bagian mana yang terkena najis, maka -menurut pendapat ulama madzhab Hanafi-
untuk menghilangkannya cukup dengan membasuh bagian-bagian pakaian tersebut
tanpa harus meneliti dengan cermat bagian yang terkena najis.
Menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i, untuk
menghilangkan najis tersebut, hendaklah
dibasuh seluruh pakaian atau seluruh tubuh jika memang
tidak diketahui tempat yang terkena najis secara pasti. Menurut pendapat yang
shahih, hendaklah dibasuh seluruh pakaian jika diragui terkena najis pada satu bagian
saja, karena pakaian dan badan adalah satu kesatuan. Jika timbul keraguan
antara dua helai pakaian yang manakah yang terkena najis dan yang manakah yang
suci, maka hendaklah orang tersebut berijtihad terlebih dahulu sebelum
melakukan shalat (Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 61; Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 189).
(v) Ujung Pakaian yang Terkena Najis
Jika seseorang yang sedang shalat memakai pakaian
atau suatu benda lain dan ujungnya terkena najis, umpamanya ujung serban atau
ujung lengan baju yang panjang terkena najis, maka menurut pendapat ulama
madzhab Syafi'i, shalatnya dianggap tidak sah –kasus ini disamakan dengan kasus
pakaian yang terkena najis- meskipun ujung serban atau ujung lengan baju yang
terkena najis itu tidak bergerak mengikuti gerakan orang yang shalat ketika
berdiri, duduk, rukuk dan sujud. Ketidaksahan shalat tersebut disebabkan terkena
najis adalah menafikan penghormatan terhadap shalat. Padahal, menghindar dari najis
ketika shalat adalah untuk menghormati shalat.
Keadaan di atas berbeda dengan kasus apabila
ada seseorang sujud di atas sesuatu (seperti kain hamparan) yang bersambung dengan
benda najis, maka shalat itu dianggap sah jika memang tempat sujud itu (yaitu
kain hamparan) tidak bergerak dengan sebab pergerakannya dalam shalat. Karena,
yang sesuai tuntutan syara' adalah sujud di atas sesuatu yang tetap (tidak
bergerak). Ini berdasarkan hadits tetapkan dahimu.
Oleh sebab itu, jika dia sujud di atas sesuatu
(seperti kain hamparan) yang bersambung dengan benda najis, yang tidak bergerak
dengan sebab pergerakannya dalam shalat, maka shalatnya sah. Berdasarkan kaidah
ini juga, apabila ada najis yang searah dengan dada ketika rukuk atau sujud,
hal ini tidak menyebabkan batalnya shalat karena dada tersebut tidak menyentuh
najis. Ini adalah pendapat yang shahih.
Adapun menurut pendapat ulama madzhab Hanafi,
shalat itu dihukumi sah jika ujung pakaian yang terkena najis tersebut tidak bergerak
mengikuti pergerakan orang yang shalat. Sebaliknya, jika ujung pakaian itu bergerak,
maka shalat itu tidak sah karena syarat sah shalat menurut pendapat mereka adalah
sucinya pakaian dan apa yang bergerak mengikuti gerakannya dan juga apa saja
yang dibawanya, seperti yang akan dibahas nanti. Sebaliknya, jika sesuatu itu
tidak bersambung dengan orang yang shalat seperti hamparan yang ujungnya
terkena najis, sedangkan tempat berdiri dan tempat dahi ketika sujud dalam keadaan
suci, maka dia tidak menghalangi sahnya shalat (Ad-Durrul Mukhtar dan Ar-Raddul
Mukhtar jilid 1 halaman 373; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 190; Al-Muhadzdzab
jilid 1 halaman 38; Muraqil Falah halaman 38).
(vi) Memegang Tali yang Terikat pada Sesuatu Najis
Apabila seseorang yang sedang shalat memegang
tali yang terikat pada benda najis, seperti tali pengikat anjing, tali pengikat
binatang, atau perahu kecil yang terkena najis, maka menurut pendapat yang
ashah di kalangan ulama Syafi'i, shalat orang tersebut dianggap tidak sah.
Menurut pendapat mereka juga, anjing baik yang kecil atau yang besar adalah
najis zatnya ('ain). Orang yang melakukan shalat dalam keadaan demikian,
dianggap membawa benda najis yang apabila dia bergerak, najis-najis tersebut
juga akan bergerak bersamanya. Berbeda dengan kapal besar yang tidak bergerak
jika ditarik ataupun rumah, jika tali penambatnya bersambung dengan orang yang
sedang shalat, maka shalatnya sah. Begitu juga apabila tali pengikat (anjing,
binatang, atau perahu kecil yang terkena najis) tersebut diletakkan di bawah telapak
kakinya, maka shalatnya dianggap sah. Ini adalah pendapat ulama madzhab
Syafi'i.
Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, shalat
dalam keadaan memegang tali pengikat anjing dianggap sah. Hal ini berdasarkan pendapat
yang rajih di kalangan mereka yang mengatakan bahwa anjing bukan najis 'ain,
tetapi termasuk binatang yang lahiriahnya suci seperti binatang-binatang lain -kecuali
babi- yang dihukumi najis hanya apabila mati. Shalat orang tersebut sah selama
anjing tersebut tidak mengeluarkan cairan atau benda yang menghalangi sahnya shalat
(seperti air Iiur, air kencing, atau kotoran). (Ad-Durrul Mukhtar dan Ar-Raddul
Mukhtar jilid 1 halaman 374; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 190; Al-Muhadzdzab
jilid 1 halaman 38; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 155 dan setelahnya)
(vii) Membawa Telur yang Sudah Berubah Menjadi Darah
Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, boleh
melakukan shalat dengan membawa telur yang sudah rusak, yaitu telur yang isi
kuningnya telah berubah menjadi darah sebagaimana dalam kasus anjing. Mereka berpendapat
bahwa darah tersebut berada di tempat asalnya, yaitu di dalam telur; dan sesuatu
yang berada di tempat asalnya tidak dihukum sebagai najis. Sebaliknya jika
membawa botol yang berisi air kencing, maka tidak sah shalat karena air kencing
itu tidak berada
di tempat asalnya.
Menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama
madzhab Syafi'i, tidak sah shalat dalam kasus telur tersebut. Begitu juga
menurut pendapat yang shahih di kalangan mereka, tidak sah shalat dalam kasus
botol yang berisi air kencing, karena ia membawa benda yang najis (Ar-Raddul
Mukhtar jilid 1 halaman 374; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 38; Al-Majmu’
jilid 3 halaman 157).
(viii) Menggendong Anak-anak yang Terkena Najis Ketika
Shalat
Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, jika
anak-anak tersebut naik ke tubuh orang yang shalat karena sengaja digendong
orang tersebut, bukan karena inisiatif anak-anak itu sendiri, maka orang
tersebut dianggap membawa benda najis, karenanya shalatnya batal. Mereka
mensyaratkan sesuatu yang dibawa itu haruslah suci, kecuali jika benda najis
itu berada di tempat asalnya seperti dalam kasus telur dan anjing. Sebaliknya,
jika anak-anak itu sendiri yang menggelantung pada orang yang shalat, maka
shalat orang tersebut dianggap sah. Karena, dalam keadaan seperti ini orang yang
shalat itu tidak dianggap membawa benda najis.
Ulama madzhab Syafi'i sependapat dengan pendapat
ulama madzhab Hanafi dan para ulama lain, yaitu dalam hal tidak batal shalat
seseorang jika dia menggendong anak-anak yang tidak terdapat najis padanya.
Oleh sebab itu, jika seseorang menggendong binatang yang suci ketika shalat.
Maka shalatnya juga dianggap sah, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah menggendong Amamah binti Abil Ash ketika baginda sedang
shalat (hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim), dan juga karena
najis yang berada dalam tubuh binatang sama seperti najis manusia yang masih
berada dalam perut (Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 374; Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 190; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 62; Muraqil
Falah halaman 38).
(ix) Menyambung Tulang yang Patah dengan Benda Najis
Ulama madzhab Syafi'i berpendapat bahwa jika
tulang seseorang yang patah disambung dengan sesuatu yang najis (karena memang tidak
ada benda lain yang suci), maka ia dimaafkan dan shalatnya dianggap sah karena
darurat (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 190).
B. Kesucian Tempat shalat
Tempat shalat disyaratkan harus suci. Apabila
tempat shalat tersebut tidak terkena najis, maka shalatnya sah.
(i) Shalat di Atas Hamparan yang Ada Najis di Atasnya
Jika shalat dilakukan di tempat yang ada najisnya,
maka ulama sepakat bahwa shalat tersebut tidak sah. Karena, tempat tersebut terkena
najis dan meletakkan anggota tubuh pada benda yang terkena najis sama seperti membawa
benda yang bernajis. Tetapi jika shalat dilakukan di tempat yang suci, maka ulama
sepakat mengatakan sah, meskipun hamparan tempat shalat tersebut sempit. Ini
adalah pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Hanafi. Sahnya shalat di
hamparan yang sempit tersebut dikarenakan tempat tersebut tidak terkena najis
dan maknanya orang yang shalat tidak membawa benda yang terkena najis (Raddul
Mukhtar jilid 1 halaman 374; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 190; Al-Muhadzdzab
jilid 1 halaman 62; Muraqil Falah halaman 38).
(ii) Shalat di Tempat Bernajis Tapi Ada Penghalang
Jika di atas tanah yang ada najis dibentangkan
kain atau benda lain yang suci dan seseorang melakukan shalat di atasnya, ulama
sependapat untuk mengatakan bahwa shalat orang tersebut adalah sah. Karena,
orang yang shalat tersebut tidak terkena benda yang najis secara langsung dan
ia juga tidak membawa sesuatu yang terkena najis. Tetapi jika dia menyentuh
benda najis melalui lubang yang ada pada hamparan kain atau benda lain
tersebut, maka shalatnya batal (Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 374;
Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 62).
Ulama Hanafi juga mengatakan bahwa shalat di
atas permadani tebal yang permukaannya
suci dan bagian bawahnya najis adalah sah. Begitu juga
sah shalat di atas kain yang suci, tetapi lapisan dalamnya bernajis, karena ia
seperti dua helai kain yang salah satunya terletak di atas yang satu lagi.
(iii) Najis yang Terdapat di Dalam Rumah atau di Padang
Pasir
Jika terdapat najis di dalam rumah atau di atas
padang pasir dan diketahui tempat najis tersebut dangan pasti, maka orang yang
akan melakukan shalat hendaknya mencari tempat yang suci dari najis tersebut.
Namun jika letak najis itu tidak diketahui, maka
hendaklah orang tersebut mencari tempat yang suci dan shalat di atas tempat
yang suci tersebut. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi. Adapun menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i
(Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 62; Al-Majmu’ jilid 1 halaman 160
dan setelahnya). Jika kawasan itu luas seperti padang pasir, maka seseorang
boleh melakukan shalat di tempat mana pun di kawasan tersebut. Karena, tempat
yang najis itu tidak diketahui secara pasti dan karena memang pada asalnya
tempat tersebut adalah bersih dan tidak ada kemampuan untuk membasuh semua
kawasan tersebut.
Jika kawasannya sempit seperti rumah, maka
seseorang tidak boleh melakukan shalat di dalamnya hingga semua tempat dibasuh terlebih
dahulu sebagaimana dalam kasus sebagian pakaian yang diragui terkena najis. Ini
disebabkan rumah atau seumpamanya yang sempit masih mampu dibasuh dan
dibersihkan dari benda najis. Oleh karena itu, apabila suatu tempat terkena
najis dan ada kemampuan untuk membasuh semua tempat tersebut namun tidak
diketahui bagian manakah dari tempat tersebut yang terkena najis, maka tempat tersebut
boleh dibasuh seluruhnya seperti pakaian yang sebagiannya terkena najis. Jika najis
itu terdapat pada salah satu dari dua buah rumah dan diragui rumah yang manakah
yang terkena najis, maka hendaklah diteliti dulu sebagaimana dianjurkan untuk
meneliti di antara dua pakaian yang salah satunya terkena najis dan salah
satunya lagi suci.
Jika seseorang dikurung pada suatu tempat yang
penuh dengan najis seperti kandang di antara dua rumah yang menjadi tempat tambatan
binatang, maka dia tetap wajib melakukan shalat menurut pendapat jumhur ulama.
Pendapat ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apabila
aku memerintahkanmu supaya melakukan sesuatu, maka lakukanlah sesuai dengan
kemampuanmu.” Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah dengan
lafaz, “Apa yang aku larang untukmu hendaklah kamu menjauhinya, dan apa yang
aku perintahkan untukmu hendaklah kamu melakukannya sesuai dengan kemampuanmu.”
Pendapat ini juga berdasarkan qiyas kepada orang
sakit yang tidak mampu menyempurnakan sebagian rukun shalat.
Apabila orang yang dikurung di kandang tersebut
melakukan shalat, hendaklah ia merenggangkan diri dari benda-benda najis
sewaktu duduk dengan bertumpu kepada kedua tangan dan lututnya. Usaha ini harus
dilakukan sekuat kemampuan. Dan sewaktu sujud, ia wajib melakukan isyarat atau
membungkuk supaya tidak menyentuh najis itu. Menurut pendapat yang shahih, ia
tidak boleh melakukan sujud di atas tanah (lantai). Karena, shalatnya sudah sah
bila dilakukan dengan cara isyarat dan tidak sah apabila terkena benda najis.
Menurut pendapat jadid yang ashah, orang
yang ditahan tersebut wajib mengulangi lagi shalatnya pada tempat yang suci,
sementara pendapat qadim mengatakan bahwa mengulangi shalatnya itu hanya
disunnahkan saja, karena ia meninggalkan perkara fardhu karena ada udzur yang
luar biasa dan udzur tersebut termasuk udzur eksternal (bukan disebabkan oleh
dirinya sendiri). Oleh karena itu, fardhunya tidak gugur, sebagaimana juga jika
ia terlupa melakukan sujud. Dan yang dianggap sebagai melaksanakan fardhu adalah
shalat yang kedua, menurut pendapat yang paling ashah di kalangan ulama madzhab
Syafi'i.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments