BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


5. Syarat Kelima: Menghadap Kiblat

Para fuqaha sepakat untuk mengatakan bahwa menghadap kiblat adalah salah satu syarat sahnya shalat. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluan hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam, sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari Tuhanmu. Allah Ta’ala tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram ...” (Al-Baqarah: 149-150)

Kondisi ini dikecualikan dalam dua keadaan, yaitu ketika dalam ketakutan yang sangat dan ketika shalat sunnah di atas kendaraan bagi musafir.
Ulama Maliki dan Hahafi berpendapat bahwa syarat menghadap kiblat hanya ditetapkan ketika keadaan aman dari musuh dan dari binatang buas dan juga apabila memang mampu dilakukan. Oleh sebab itu, tidak diwajibkan menghadap kiblat ketika berada dalam ketakutan dan ketika tidak ada kemampuan melakukannya, seperti diikat oleh musuh ke arah selain kiblat dan sakit yang tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat dan tidak ada siapa pun yang dapat menolongnya untuk menghadap kiblat. Dalam keadaan seperti itu, hendaklah orang tersebut shalat
dengan menghadap ke arah mana yang dimampuinya, karena dia sedang dalam keadaan uzur.
Para fuqaha juga sependapat untuk mengatakan bahwa seseorang yang dapat melihat Ka'bah diwajibkan menghadap tepat ke bangunan Ka'bah tersebut dengan yakin. Begitu juga, wajib menghadap ke arah Ka'bah dengan tepat bagi penduduk kota Mekah atau orang-orang yang tinggal di situ, sekalipun ada sesuatu yang menghalangi antara mereka dengan Ka'bah seperti dinding. Pendapat terakhir ini adalah pendapat ulama Hambali.
Menurut pendapat jumhur (kecuali ulama madzhab Syafi'i) (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 397-406; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 292-296; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 222, 228; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 55; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 350, 364; Al-Mughni jilid 1 halaman 431-452; Al-Lubab jilid 1 halaman 67; Muraqil Falah halaman 34; Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 100 dan setelahnya), orang yang tidak dapat melihat Ka'bah juga diwajibkan menghadap ke arah Ka'bah. Ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Di antara timur dengan barat adalah kiblat.” Hadis riwayat Ibnu Majah dan At-Tirmidzi. Dia berkata hadis hasan shahih. Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah. Hadis ini menerangkan tentang kiblat penduduk Madinah dan Syam.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa semua bagian di antara timur dengan barat adalah kiblat. Ini disebabkan kalau diwajibkan menghadap tepat ke Ka'bah, niscaya tidak sah shalat orang yang berada dalam barisan (shatr) yang paniang dan lurus. Dan tidak sah juga shalat sendirian yang dilakukan dua orang yang berjauhan tempat dan keduanya menghadap ke arah kiblat. Karena, dalam satu barisan yang panjang tidak mungkin dapat menghadap tepat ke arah Ka'bah kecuali sekadar ukuran searah Ka'bah saja. Inilah pendapat yang terkuat.
Imam Asy-Syafi'i berkata dalam kitab Al-Umm, “Orang yang berada di luar Mekah diwajibkan mengadap tepat ke Ka'bah, karena perintah nash ada yang mewajibkan menghadap kiblat. Artinya, diwajibkan menghadap tepat ke Ka'bah sebagaimana penduduk Mekah juga wajib menghadap tepat ke Ka'bah.”
Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “... Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu ...” (Al-Baqarah:144)
Yang diwajibkan adalah menghadap ke arah Ka'bah. Ini berarti diwajibkannya menghadap
tepat ke Ka'bah sebagaimana juga orang yang dapat melihat Ka'bah (Al-Majmu’ jilid 3 halaman 194, 212; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 67; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 147 dan setelahnya).
Apa yang dimaksudkan oleh para imam madzhab dengan menghadap ke arah Ka'bah adalah menghadapkan tubuh dan pandangan seseorang yang shalat ke arah Ka'bah. Ulama Syafi'i berkata bahwa wajib menghadap kiblat secara nyata (haqiiqatan) ketika dalam keadaan berdiri dan duduk. Wajib menghadap secara hukum (hukman) saja ketika rukuk dan suiud. Dan kalau berbaring, maka wajib menghadapnya dengan dada dan muka. Kalau telentang, maka dengan muka dan kedua pipi. Maksudnya, hendaklah sebagian dari mukanya terus mengarah ke Ka'bah, atau ruang udara di atas Ka'bah, menurut pendapat jumhur (kecuali ulama Maliki). Yaitu, jika dipanjangkan garis lurus ke depan dari tengah-tengah mukanya, niscaya akan mengenai Ka'bah atau ruang udara di atasnya. Ka'bah berada dari bumi ketujuh hingga ke Arsy. Oleh sebab itu, boleh melakukan shalat di atas bukit yang tinggi dan telaga yang dalam, sebagaimana juga boleh melakukan shalat di atas atap Ka'bah dan di dalamnya. Jika seandainya dinding Ka'bah roboh, niscaya sah juga shalat dengan menghadap ke arah tempat asal bangunan dinding Ka'bah tersebut.
Menurut pendapat ulama Maliki, yang diwajibkan adalah menghadap ke arah bangunan Ka'bah. Oleh sebab itu, tidaklah cukup jika menghadap ke langit arah ruang udara di atas Ka'bah.

Ijtihad Mencari Arah Kiblat

Orang yang tidak mengetahui kiblat dan ragu-ragu mengenai arahnya serta tidak ada siapa pun yang dapat dipercayai untuk memberi tahu kepadanya tentang arah kiblat dengan yakin dan jelas, maka ia diwajibkan melakukan penelitian dan ijtihad. Yaitu, berusaha semampu daya upaya untuk mengetahui arah kiblat dengan bukti yang meyakinkan. Jikalau ada orang yang dapat dipercayai untuk memberi tahu kepadanya tentang arah kiblat dengan yakin, maka dia diwajibkan mengikuti informasi yang diberikan oleh orang itu. Karena, informasi orang yang mengetahui arah kiblat lebih kuat dari ijtihad.
Dalil yang menunjukkan wajibnya melakukan penelitian arah kiblat adalah riwayat Amir bin Rabi'ah yang artinya, “Pada suatu malam yang gelap gulita, kami bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kami tidak tahu ke manakah arah kiblat. Lalu setiap orang dari kami melakukan shalat mengikuti arah masing-masing. Tatkala pagi, kami memberi tahu masalah itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka turunlah ayat yang artinya 'Maka ke mana saja kamu arahkan diri (ke kiblat untuk menghadap Allah Ta’ala), di situlah arah yang diridhai Allah.” Hadits riwayat At-Tirmidzi dan lbnu Majah. Akan tetapi, kata At-Tirmidzi hadits ini sanadnya kurang begitu kuat. Sanadnya adalah dhaif. Terdapat juga sebuah hadits lain yang iuga dhail dari fabir yang diriwayatkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ad-Daruquthni (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 304).
Siapa saja yang tidak mampu untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercayai tentang kiblat, hendaklah berusaha mencari arah kiblat berdasarkan bukti-bukti seperti cahaya fajar, cahaya matahari pada waktu senja (syafaq), kedudukan matahari, kedudukan bintang kutub dan sinar bintang-bintang, angin timur, barat, atau angin selatan dan lain-lain lagi. Bukti yang paling lemah adalah angin dan yang paling kuat adalah bintang kutub pada waktu malam.     
Bintang kutub adalah bintang biduk kecil yang terletak di antara bintang Farqadan (ursa minor) dengan Jady (capricorn). Kedudukan bintang kutub ini berbeda-beda menurut iklimnya. Di Mesir ia terletak di sebelah belakang telinga kiri orang shalat. Di Iraq ia terletak di sebelah belakang telinga orang shalat. Di kebanyakan kawasan di Yaman, ia terletak di hadapan sebelah kiri orang shalat dan di Syam, ia terletak di sebelah belakang orang yang shalat.

Kesalahan dalam Ijtihad Mencari Arah Kiblat

Menurut ulama madzhab Hanafi, apabila kesalahan dalam ijtihad mencari arah kiblat disadari dengan yakin ketika sedang shalat, hendaklah orang tersebut berpaling ke arah kiblat yang sebenarnya, serta meneruskan shalat (menyempurnakannya). Jika shalat seseorang dilakukan dengan setiap satu rakaat menghadap ke arah satu kiblat yang berbeda-beda, maka sah shalatnya.
Jika kesalahan itu disadari sesudah shalat, maka orang tersebut tidak dituntut mengulangi
shalat yang sudah dilakukan. Karena, dia telah melakukan shalat menurut kemampuannya. Tetapi, dia hendaklah menghadap ke arah kiblat yang diyakini betul dalam shalat yang akan dilakukan setelah itu. Imam Ali berkata, “Kiblat orang yang sudah berusaha meneliti arahnya adalah apa yang menjadi keyakinan niatnya.” Oleh sebab itu, siapa saja yang melakukan shalat tanpa berusaha meneliti dulu arah kiblat, maka shalatnya tidak sah sekalipun arah yang diikutinya itu tepat mengarah kepada kiblat. Karena, dia telah meninggalkan kewajiban meneliti, kecuali jika dia mengetahui ketepatan arah yang diikuti itu segera setelah selesai shalat. Ulama madzhab Hanafi bersepakat bahwa orang seperti itu tidak tidak perlu mengulangi shalatnya.       
Seseorang yang menjadi imam shalat dalam satu jamaah pada malam yang gelap gulita dan dan dia telah meneliti arah kiblat, kemudian menjalankan shalat dengan menghadap ke arah yang diyakininya, sedangkan orang yang di di belakangnya (makmum) melakukan penelitian sendiri dan menghadap ke arah kiblat yang diyakini oleh masing-masing (tetapi hasil penelitiannya berbeda dengan arah yang diyakini oleh imam) dan semua makmum berada di belakang imam, maka siapa (dari makmum) yang menyadari bahwa imamnya menghadap ke arah yang berlainan dari arahnya, shalat orang tersebut batal. Namun bagi orang yang tidak menyadari keadaan imam
tersebut, maka shalatnya dianggap sah dan tidak dituntut untuk mengulangi shalat lagi. Karena, dia menghadap ke arah yang telah ditelitinya. Perbedaan antara makmum dengan imam ketika menghadap kiblat ini, tidak menyebabkan rusaknya keshahihan shalat yang dilakukan, sebagaimana hukum shalat di dalam Ka'bah.
Menurut pendapat ulama Maliki, jika orang yang berijtihad itu sadar ketika sedang shalat bahwa arah kiblatnya salah, baik sadar secara yakin atau atas sangkaan kuat, maka hendaklah dia berhenti dari shalat, jika memang dia arahnya menyimpang jauh dari arah kiblat yang sebenarnya. Umpamanya dia membelakangi atau menghadap ke sebelah Timur ataupun ke Barat dari arah kiblat yang sebenarnya. Kemudian dia hendaklah memulai shalatnya lagi dengan iqamah. Dia tidak cukup hanya dengan memalingkan diri ke arah Ka'bah yang sebenarnya.
Jika orang itu buta, ataupun arah yang diikutinya menyimpang sedikit saja dari arah yang sebenarnya, maka ia tidak dituntut mengulangi shalatnya. Tetapi jika dia sadar bahwa arah yang diikutinya menyimpang jauh dari arah yang sebenarnya, atau dia lupa arah yang telah dihasilkan dari ijtihadnya, ataupun lupa arah yang telah diberi tahu kepadanya oleh orang yang tahu, maka hendaklah dia mengulangi shalatnya itu dalam waktu shalat itu juga. Ini menurut pendapat yang masyhur.
Menurut ulama Syafi'i, jika munculnya keyakinan kesalahan itu ketika sedang shalat atau sesudahnya, maka hendaklah orang tersebut mengulangi shalatnya. Karena, kesalahannya sangat jelas pada perkara yang seharusnya tidak boleh salah, sebagaimana dalam perkara yang berkaitan dengan kehakiman. Maka, apa yang yang sudah berlalu tidak dianggap lagi, sebagaimana hakim apabila menjatuhkan hukuman kemudian didapati ada nash (Al-Qur'an atau hadits) bertentangan dengan keputusannya.
Jika ijtihad seseorang bagi shalat yang kedua berubah, yaitu ijtihad itu menunjukkan ke arah yang berlainan dari arah kiblat bagi shalat yang telah dilakukan pertama, maka hendaklah dia melakukan shalat yang kedua dengan menghadap ke arah Kiblat hasil ijtihad terakhirnya. Dia tidak diwajibkan mengulangi lagi shalat yang pertama tadi, sebagaimana hakim apabila menjatuhkan hukuman menurut ijtihad, kemudian ijtihadnya berubah, maka ijtihad yang kedua tidak membatalkan hukuman ijtihad yang pertama tadi.
Hendaklah seseorang berijtihad pada setiap shalat fardhu. Jika masih ragu-ragu, hendaklah melakukan shalat ke arah mana yang dikehendaki dan diwajibkan qadha', karena itu perkara yang jarang berlaku.
Menurut ulama Hambali, jika seseorang yakin bahwa dia salah dan itu terjadi ketika sedang shalat, maka dia hendaknya berpaling mengadap ke arah Ka'bah (kiblat yang sebenarnya) dan meneruskan shalatnya, sebagaimana pendapat ulama Hanafi. Karena apa yang sudah berlaku dianggap sebagai sah. Dia boleh meneruskan shalatnya, sebagaimana juga jika dia tidak tahu tentang kesalahannya itu. Para makmum juga hendaklah berganti arah sesegera mungkin mengikuti arah yang diikuti imam, jika kesalahan itu memang mereka ketahui secara jelas.
Jika kesilapan ijtihadnya itu disadari sesudah shalat, yaitu dia yakin bahwa arah yang diikuti itu berlainan dari arah Ka'bah yang sebenarnya, maka tidak diwajibkan mengulangi lagi shalatnya. Hukum orang yang bertaqlid (orang yang mengikuti pendapat mujtahid) yang melakukan shalat secara taqlid, sama seperti orang mujtahid. Pendapat ini sama dengan pendapat ulama Hanafi.
Bagi orang yang ber-mustauthin (bukan musafir) yang melakukan shalat menghadap ke arah lain dari Ka'bah, baik dia melihat atau buta, kemudian dia sadar akan kesalahan arah yang diikutinya, maka ia wajib mengulangi shalat lagi. Karena, orang yang ber-mustauthin (bukan musafir) tidak layak melakukan ijtihad. Orang seperti itu semestinya berupaya mengetahui kiblat berdasarkan mihrab (tempat imam shalat) dan biasanya ada orang yang dapat memberitahunya tentang arah kiblat dengan yakin. Maka, ia tidak boleh berijtihad, sebagaimana orang yang berupaya mendapati nash dalam semua hukum.
Kesimpulannya, ulama Hanafi dan Hambali menegaskan supaya shalat seseorang diteruskan hingga sempurna, apabila munculnya kesadaran akan kesalahan arah kiblat adalah sewaktu shalat. Dan seseorang tidak diwajibkan mengulangi lagi shalatnya jika munculnya kesadaran akan salahnya arah kiblat yang dia peroleh melalui ijtihad adalah sesudah shalat.
Ulama Maliki dan Syafi'i menegaskan supaya seseorang menghentikan shalatnya jika ia sadar akan kesalahannya itu ketika sedang melakukan shalat. Dan hendaklah seseorang mengulangi shalatnya apabila ia menyadari kesalahannya itu sesudah shalat. Tetapi, ulama Maliki mewajibkan seseorang untuk mengulangi shalatnya hanya di dalam al-waqt adh-dharuri. Sementara, ulama Syafi'i mewajibkan seseorang mengulangi shalatnya dalam semua keadaan, baik dalam waktu atau selepas waktu. Karena, jelas shalatnya yang pertama telah batal.

Dua Pembahasan tentang Syarat Menghadap Kiblat

A. Shalat dalam Bangunan Ka'bah

Sebagaimana dimaklumi, menurut syara', shalat diwajibkan menghadap ke arah Ka'bah, ataupun ke arah ruang udara di atas Ka'bah menurut pendapat ulama selain Maliki.
Menurut sebuah riwayat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk sekali saja ke dalam Ka'bah, yaitu pada hari pembukaan kota Mekah (Fathu Makkah) dan baginda Rasul melakukan shalat di dalamnya. Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar bahwa dia bertanya kepada Bilal, “Adakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat di dalam Ka'bah?” Jawab Bilal, “Ya! Baginda melakukan shalat dua rakaat di antara dua tiang yang terdapat di sebelah kiri pintu masuk ke dalam Ka'bah. Kemudian Baginda keluar dan melakukan shalat dua rakaat menghadap ke Ka'bah.” Hadis riwayat Ahmad dan Al-Bukhari: lmam Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits dari lbnu Umar yang menjelaskan tentang orang-orang yang bersama-sama dengannya. Mereka ialah Usamah bin Zaid, Bilal, dan Utsman bin Thalhah (Nailul Authar jilid II halaman 140).
Tetapi, Imam Al-Bukhari dan para perawi lain menceritakan bahwa Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah hadits lain, “Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan takbir dalam Ka'bah, tetapi tidak melakukan shalat.”
Di antara kedua hadits tersebut terdapat pertentangan. Namun, hadits riwayat Ibnu Umar lebih diutamakan dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Karena, hadits Ibnu Umar adalah mutsbit (positif) sementara hadits Ibnu Abbas adalah naafi (negatif). Menurut apa yang ditetapkan oleh jumhur fuqaha selain ulama Syafi'i, apabila ada pertentangan antara nash yang mufsbit (positif) dengan nash yang naafi (negatif), maka yang diutamakan adalah yang mutsbit (positif). Karena yang mutsbit (positif) mengandung tambahan ilmu (Musallam Ats-Tsubut jilid 1 halaman 162; Al-Mustashfa jilid 2 halaman 129; At-Talwih ‘alat Taudhih jilid 2 halaman 109; Al-Ihkam lil Amidi jilid 3 halaman 186).
Dan juga karena Ibnu Umar bersama-sama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Ibnu Abbas tidak bersama-sama beliau. Bila kita perhatikan, riwayat Usamah memang menafikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat, karena yang dilihatnya adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berdoa di satu sudut, sedangkan Usamah berada di satu sudut yang lain dan kejadian ini berlaku di dalam keadaan gelap karena pintu Ka'bah tertutup (Nailul Authar jilid 2 halaman 141 dan setelahnya).
Para fuqaha telah menegaskan bahwa shalat di dalam Ka'bah adalah disyaratkan. Menurut ulama Hanafi (Al-Bada’i jilid 1 halaman 115; Fathul Qadir jilid 1 halaman 479 dan setelahnya; Muraqil Falah halaman 70; Al-Lubab jilid 1 halaman 138 dan setelahnya), shalat fardhu atau sunnat sunnah, meskipun dilakukan secara berjamaah, baik di dalam Ka'bah atau di atas atapnya sekalipun tidak ada pembatasnya adalah sah. Tetapi shalat di atas atap adalah makruh, dianggap kurang sopan karena meletakkan Ka'bah di bawahnya dan meninggalkan tuntutan supaya menghormatinya, serta dilarang oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jika shalat di dalam Ka'bah dilakukan secara berjamaah (yaitu imam dan para makmum berkeliling menghadap ke arah dinding Ka'bah) dan ada makmum yang memposisikan punggungya di belakang punggung imam, maka shalatnya sah. Namun jika ada seseorang yang memosisikan punggungnya di hadapan wajah imam, maka shalatnya tidak sah, karena dia berada di depan Imam.
Jika imam shalat di Masjidil Haram dan para makmum yang shalat mengikuti imam mengelilingi Ka'bah, maka makmum yang posisinya lebih dekat dengan Ka'bah dibanding imam, shalatnya dianggap sah jika dia memang tidak berada samping Imam (tidak selajur dengan imam). Karena, posisi seseorang dianggap berada di depan atau di belakang imam jika memang dia berada dalam satu lajur dengan posisi imam.
Menurut Asy-Syaikh Khalil dari madzhab Maliki (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 297; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 49), melakukan shalat sunnah bukan muakkad di dalam Ka'bah dengan menghadap ke arah mana saja dan juga di atas atap Ka'bah dibolehkan. Shalat sunnah yang boleh dilakukan itu termasuk sunnah rawatib seperti empat rakaat sebelum shalat Zhuhut sunnah Dhuha, sunnah asy-Syaf (sunnah Isya). Boleh juga melakukan shalat sunnah di dalam kawasan Hijr Ismail dengan menghadap kiblat. Tetapi menurut pendapat ulama Maliki, tidak sah melakukan shalat fardhu di dalam Ka'bah.
Adapun hukum melakukan shalat sunnah muakkad seperti shalat sunnah, witir, shalat dua hari raya, shalat sunnah fajar dua rakaat, dan shalat sunnah thawaf dua rakaat di dalam Ka'bah adalah makruh.
Tidak boleh melakukan shalat fardhu di dalam Ka'bah atau di dalam kawasan Hijr Ismail. Jika dilakukan juga, hendaklah diulangi lagi dalam waktu darurat (waqt dharurah) yaitu untuk shalat Zhuhur dan Ashar adalah ketika langit berwarna kekuning-kuningan. Adapun untuk shalat Maghrib dan Isya adalah sepanjang malam dan untuk shalat Shubuh ketika matahari naik.
Shalat fardhu di atas Ka'bah dianggap batal, dan hendaklah orang yang melakukannya mengulangi shalatnya tersebut, karena menghadap ke arah bangunan Ka'bah adalah wajib. Oleh sebab itu, menghadap ke langit saja tidaklah cukup.
Kesimpulannya, menurut Imam Ad-Dardir (yang mensyarahi kitab Khalil) penjelasan terperinci yang dibuat oleh Al-Allamah Khalil dan pendapat yang mengatakan dibolehkannya shalat di dalam Ka'bah adalah pendapat yang lemah di kalangan ulama Maliki. Ibnu Juzi Al-Maliki mengatakan bahwa shalat di atas Ka'bah adalah makruh dan madzhab ini melarang shalat fardhu di dalam Ka'bah.
Menurut pendapat ulama Syafi'i (Al-Majmu’ jilid 3 halaman 197; Al-Hadramiyyah halaman 52; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 67), shalat fardhu atau sunnah di dalam atau di atas atap Ka'bah dibolehkan, jika memang menghadap ke dinding atau tanahnya, yaitu dengan menghadap kepada sesuatu yang tetap seperti bandul, pintu yang tertutup, atau tongkat yang dipaku atau dibina di atas Ka'bah. Ukurannya kira-kira setinggi dua pertiga hasta ataupun lebih dengan ukuran hasta manusia, meskipun jaraknya berada sejauh tiga hasta atau lebih darinya.
Alasan sahnya shalat seseorang yang berada di luar Ka'bah yang hanya menghadap ke ruang udara di atas Ka'bah adalah karena dia dianggap menghadap ke arah Ka'bah, seperti orang yang shalat di kawasan yang lebih tinggi dari bangunan Ka'bah. Contohnya adalah shalat di atas bukit Abi Qubais. Berbeda jika orang tersebut shalat di dekat, di dalam, atau di atas Ka'bah, maka ia harus menghadap ke bangunan Ka'bah.
Ulama Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 354; Al-Mughni jilid 2 halaman 73) juga membolehkan shalat sunnah di dalam Ka'bah atau di atas atapnya. Tetapi, mereka berpendapat bahwa shalat fardhu di dalam atau di atas Ka'bah tidak sah. Pendapat mereka berdasarkan firman
Allah Ta’ala, “... Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu ...” (Al-
Baqarah: 150)
Alasannya adalah orang yang shalat di dalam atau di atas Ka'bah tidak mengadap ke arah Ka'bah. Berbeda dengan shalat sunnah yang dilakukan di atas asas keringanan (al-takhfiif dan musaamahah). Buktinya adalah shalat sunnah boleh dilakukan dengan cara duduk atau menghadap ke arah selain kiblat ketika musafir di atas kendaraan.

B. Shalat Sunnah di Atas Kendaraan oleh Orang Musafir

Ijma' ulama mengatakan bahwa seseorang musafir boleh melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya dengan menghadap ke arah yang ditujunya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Amir bin Rabi'ah, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat sunnah Dhuha di atas kendaraannya dengan cara memberi isyarat dengan kepala dan menghadap ke arah yang dituju dalam perjalanannya. Tetapi, baginda Rasul tidak melakukan cara seperti itu bagi shalat fardhu.” Hadis muttafaqun ‘alaihi (Nailul Authar jilid 2 halaman 144).

Pendapat Fuqaha Mengenai Shalat Sunnah di Atas Kendaraan

Menurut pendapat ulama Hanafi (Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 402, 654-658), kiblat bagi orang yang uzur karena sakit atau karena menunggang binatang adalah arah yang ia mampu menghadap kepadanya, sekalipun shalatnya dilakukan secara berbaring. Dan hendaknya shalatnya dilakukan secara isyarat. Uzur tersebut banyak macamnya, di antaranya adalah karena bepergian, takut kepada musuh, binatang buas, pencuri, atau lari dari musuh. Tetapi, shalat di atas binatang tunggangan disyaratkan untuk menghentikan binatang tersebut dulu, jika memang itu mampu dilakukan. Kecuali, jika muncul kekhawatiran atau bahaya seperti akan ditinggalkan rombongan dan terputus hubungan dengannya jika ia berhenti. Dalam keadaan seperti itu, maka ia tidak wajib menghentikan tunggangannya dan ia juga tidak wajib menghadap ke arah kiblat meskipun itu pada awal mula shalat (iftitah) sewaktu takbiratul ihram.
Shalat yang boleh dilakukan di atas tunggangan adalah shalat sunnah dan sunnah muakkad selain sunnah fajar. Oleh sebab itu, shalat fardhu dan semua jenis shalat yang wajib seperti witir, shalat yang dinazarkan, dan shalat sunnah jenazah tidak boleh dilakukan di atas tunggangan. Semuanya ini tidak boleh dilakukan di atas binatang tunggangan tanpa uzur, karena tidak ada kesulitan.
Orang bermukim yang melakukan perjalanan ke luar kota sejauh jarak yang dibolehkan qashar (yaitu 89 kilometer) dengan menunggang binatang, boleh melakukan shalat sunnat di atas kendaraan. Berdasarkan hukum tersebut, maka bagi orang yang sedang dalam perjalanan adalah lebih utama untuk dibolehkan shalat di atas kendaraan. Hukum pertama (orang yang bermukim) adalah sama dengan hukum kedua (orang yang bepergian).
Shalat-shalat tersebut sudah sah jika dilakukan dengan cara isyarat dan dengan rukuk serta sujud. Shalat tersebut dilakukan dengan menghadap ke arah yang dituju oleh binatang tunggangan karena darurat. Juga, tidak disyaratkan menghadap kiblat pada permulaan shalat sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini. Karena kalaulah dibolehkan shalat tanpa menghadap kiblat, maka boleh juga memulai shalat tanpa menghadap kiblat.
Madzhab yang zhahir dan yang ashah adalah sah hukumnya shalat di atas pelana ataupun tempat letak kaki yang ada banyak najisnya.
Menurut pendapat ulama Maliki (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 55; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 298-302), orang yang bepergian dengan menunggang binatang sedangkan dia khawatir akan keselamatannya dan juga keselamatan hartanya dari pencurian atau terkaman binatang buas jika dia turun dari kendaraannya, maka dia dibolehkan melakukan shalat sunnah di atas tunggangannya sekalipun shalat sunnah witir, baik shalatnya itu menghadap kiblat atau menghadap arah perjalanan binatangnya dan meskipun dilakukan di atas tempat duduk (mahmil dari mihaffah, haudaj atau seumpamanya) dengan cara bersila. Mihaffah adalah sejenis kendaraan untuk wanita seperti haudaj tetapi ia tidak tertutup.
Penunggang kendaraan hendaklah melakukan shalat dengan cara isyarat. Ketika sujud hendaklah lebih rendah dari pada rukuk, dan dia tidak boleh bercakap dan memalingkan muka. Tetapi, bumi yang dilalui oleh binatang tunggangannya tidak disyaratkan suci. Syarat sahnya shalat sunnah dengan menghadap ke arah yang dituju dalam perjalanan. Pertama, musafir dalam jarak jauh yang dibenarkan mengqashar shalat (yaitu 89 kilometer) dan perjalanan tersebut dibolehkan oleh syara'. Tidak boleh shalat sunnah bagi musafir yang melakukan perjalanan maksiat. Kedua, perjalanan tersebut dilakukan dengan cara menunggang kendaraan, bukan dengan berjalan kaki atau duduk. Orang yang bermusafir dengan naik kapal laut hendaklah melakukan shalat dengan menghadap Kiblat, apabila kapal berbalik arah, maka dia juga hendaklah berbalik menghadap kiblat. Ketiga, binatang yang dijadikan tunggangan adalah keledai, bighal, kuda atau unta, bukannya kapal atau berjalan kaki. Keempat, cara menunggangnya adalah seperti yang biasa dilakukan, bukan dengan cara duduk terbalik atau duduk menyamping dengan kedua belah kaki diletakkan di sebelah sisi binatang tunggangan.
Shalat fardhu di atas binatang tidaklah sah sekalipun menghadap ke arah kiblat, kecuali dalam empat kondisi sebagai berikut: pertama, ketika sesorang bertempur dengan musuh yang kafir atau lainnya dan peperangan tersebut dibolehkan oleh syara', serta dia tidak mungkin turun dari tunggangan. Dalam keadaan demikian, hendaknya orang tersebut melakukan shalat fardhu di atas binatang tunggangannya, dengan cara memberi isyarat ke arah kiblat jika memang dia mampu melakukannya dan dia tidak perlu mengulangi shalatnya itu. Kedua, ketika seseorang merasa takut atau khawatir terhadap binatang buas atau pencuri, jika turun dari tunggangannya. Dalam keadaan demikian, hendaknya orang tersebut melakukan shalat fardhu di atas binatang tunggangannya dan -jika mampu- dengan cara memberikan isyarat ke arah kiblat. Jika tidak mampu, dia boleh menghadap ke arah lainnya. Apabila rasa takutnya sudah hilang sesudah shalat, maka hendaklah dia segera mengulangi shalatnya tersebut dalam waktu shalat itu.
Ketiga, penunggang berada di kawasan yang becek dan air yang ada hanya sedikit, sehingga dia tidak mungkin turun dari tunggangannya atau khawatir iika turun, pakaiannya akan koto( atau khawatir akan keluar dari waktu shalat ikhtiyaari, atau waktu shalat darurat (al-waqt adh-dharuri). Waktu shalat menurut ulama Maliki, Hanafi, dan Syafi'i ada dua jenis: (a) Waktu al-ikhtiar, yaitu waktu yang dikenali untuk setiap shalat. (b) Waktu darurat, yaitu waktu yang setelah waktu al-ikhtiyar. Waktu ini adalah waktu yang dibolehkan menjamak dua shalat (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 43 dan setelahnya). Dalam keadaan seperi itu, hendaklah dia melakukan shalat fardhu di atas binatang tunggangannya dengan cara isyarat. Jika dia tidak khawatir terlepas waktu, maka hendaklah dia menangguhkan shalatnya hingga ke akhir waktu ikhtiyari.
Keempat, penunggang sedang sakit yang tidak mungkin baginya turun dari tunggangan. Oleh sebab itu, hendaklah dia melakukan shalat fardhu dengan cara isyarat di atas tunggangannya dengan menghadap kiblat setelah tunggangannya itu diberhentikan, sebagaimana dia melakukannya di atas daratan dengan cara isyarat.
Menurut pendapat ulama Syafi'i (Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 148 dan setelahnya; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 69; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 214 dan setelahnya; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 142 dan setelahnya), orang yang melakukan perjalanan (dan perjalanannya
itu dibenarkan oleh syara'), baik dalam jarak jauh ataupun dekat, boleh melakukan shalat sunnah di atas tunggangannya. Tetapi orang yang bersafar dengan tujuan maksiat, tidak boleh melakukan shalat seperti di atas, Demikian juga orang yang pergi ke sana kemari tanpa tujuan (ha'im) atau orang yang melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, juga tidak boleh melakukan shalat di atas
tunggangan. Oleh sebab itu, mereka haruslah menyempurnakan segala syarat dan rukun shalat, termasuk juga menghadap kiblat dan menyempurnakan rukuk serta sujud. Adapun orang yang berjalan kaki, dia tidak boleh berjalan ketika shalat kecuali ketika qiam (berdiri) dan tasyahhud (duduk tahiyat).
Orang yang melakukan shalat sunnah hendaklah membuat isyarat bagi rukuk dan sujudnya. Sujudnya hendaklah lebih rendah daripada rukuknya dan disyaratkan supaya memulai shalatnya dengan menghadap ke arah kiblat, jika memang dia mampu melakukannya.
Tidak sah shalat yang dilakukan oleh seseorang yang memegang tali penambat binatang yang ada najisnya. Jika binatang tunggangan terpijak najis yang basah ataupun yang kering dan melekat padanya, maka shalatnya juga batal. Penjelasan yang terperinci adalah seperti berikut:
Pertama, jika penunggang berada di tempat duduk di atas binatang tunggangannya (marqad) atau (haudaf), hendaklah dia menghadap ke arah kiblat sepanjang shalatnya itu dan hendaklah dia menyempurnakan semua rukun atau sebagian darinya, yaitu rukuk dan sujud, karena perkara itu mudah dilakukan olehnya. Tetapi jika perkara itu menyulitkannya, maka yang diwajibkan hanyalah menghadap ke arah kiblat ketika takbiratul ihram. Itu pun jika tidak menyulitkannya, yaitu jika binatang tersebut berhenti sehingga dia mampu mengubah arahnya, ataupun binatang itu berjalan dan dia memegang tali penambat binatang sehingga dia mudah memandunya. Tetapi jika susah atau dia tidak dapat memalingkan binatang itu, ataupun binatang
itu terikat dengan binatang lain secara berderet, maka dia tidak diwajibkan menghadap ke arah kiblat karena sulit dan akan mengganggu perjalanannya, dan dia tidak boleh membelokkan arah perjalanannya kecuali ke arah kiblat. Dalil yang mensyaratkan menghadap ke arah kiblat pada permulaan shalat adalah hadits riwayat Anas radhiyallahu ‘anhu, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan dan baginda hendak melakukan shalat sunnah di atas tunggangannya, beliau menghadap ke arah kiblat dan melakukan takbir, kemudian shalat dengan
menghadap ke arah yang dituju oleh binatang tunggangannya.” Hadis riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadis yang serupa ini juga diriwayatkan oleh asy-syaikhan (Nailul Authar jilid 2 halaman 172)
Kedua, nakhoda kapal tidak diwajibkan menghadap ke arah kiblat, karena itu menyulitkannya.
Menurut pendapat ulama Hambali (Al-Mughni jilid 1 halaman 434-438, 600; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 350-353), musafir yang menunggang binatang (bukan berjalan kaki) baik safarnya itu berjarak jauh ataupun dekat, apabila dia menuju ke suatu tujuan tertentu, maka dia boleh melakukan shalat sunnah di atas tunggangannya. Rukuk serta sujudnya dilakukan dengan cara memberi isyarat. Sujudnya pun harus lebih rendah dari bentuk rukuk. Jabir berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu aku pun datang
menghadapnya dan aku dapati baginda melakukan shalat di atas binatang tunggangannya dengan menghadap ke arah timur dan sujudnya lebih rendah dari bentuk rukuknya.” Hadis riwayat Abu Dawud.
Menghadap kiblat tetap diwajibkan apabila shalat sunnah dilakukan dalam keadaan bermukim (bukan musafir), seperti penunggang yang berjalan-jalan di sekitar kota atau kampungnya. Orang yang pergi ke sana kemari tanpa tujuan (ha'im), orang yang sesat (taa'ih) dan pelancong (sa'ih) tidak boleh melakukan shalat sunnah di atas tunggangannya, karena dia tidak mempunyai tujuan yang tertentu.
Shalat boleh dilakukan di atas unta, keledai dan tunggangan lainnya. Ibnu Umar berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat di atas keledai ketika beliau menuju ke Khaibar.” Hadis riwayat Abu Dawud dan An-Nasa’i.
Tetapi jika binatang tersebut ada najisnya, maka kalau seseorang akan shalat di atasnya, harus ada penyekat yang suci.
Kiblat shalat adalah arah yang ditujunya dan -jika mampu- dia tidak boleh berpaling dari arah perjalanannya kecuali berpaling menghadap ke arah kiblat. Jika seseorang berada di dalam perahu atau kapal besar sehingga dia dapat menghadap ke arah mana saja yang dikehendakinya, dan dia dapat melakukan shalat dengan menghadap ke arah kiblat, rukuk, dan juga sujud, maka hendaklah dia menghadap ke arah kiblat dan sujud di atas tempat shalatnya -jika memang dia mampu melakukannya. Jika dia hanya dapat menghadap kiblat saja, tapi dia tidak dapat rukukdan sujud secara sempurna, maka hendaklah dia menghadap kiblat dan rukuk serta sujud dilakukan dengan cara isyarat.
Jika dia tidak mampu menghadap kiblat, maka kewajiban menghadap kiblat itu gugur. Ini menurut pendapat jumhur ulama, sebagaimana menghadap kiblat juga gugur bagi orang yang uzur seperti semasa pertempuran dengan musuh, menyelamatkan diri dari banjir, api, binatang buas dan seumpamanya. Meskipun, keuzuran itu yang jarang berlaku, seperti orang sakit yang tidak mampu
menghadap kiblat, tempat duduk yang tidak dapat diarahkan ke arah kiblat, atau seperti diikat dan lain-lainnya. Jika seseorang tidak mampu menghadap kiblat sejak mulai melakukan shalat, seperti penunggang binatang namun binatang tersebut tidak mau ikut arahan pemandunya (penunggangnya) atau dalam kafilah (deretan binatang yang diikat antara satu dengan yang lain), maka dia tidak diwajibkan menghadap kiblat ketika shalat.
Nakhoda kapal juga tidak diwajibkan menghadap ke arah kiblat meskipun shalat yang dilaksanakannya adalah shalat fardhu. Karena, dia bertanggung jawab memandu kapal sekalipun dia mampu menghadap kiblat ketika mulai (iftitah) shalat.
Berkaitan dengan kewajiban menghadap arah kiblat bagi musafir yang menunggang binatang, terdapat dua riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad bin Hanbal: Pertama, yaitu pendapat yang terkuat orang tersebut wajib menghadap kiblat berdasarkan hadits dari Anas (yang telah disebutkan sebelum ini dalam madzhab Syafi'i). Berdasarkan riwayat ini, penunggang hendaklah menghadap kiblat bersama-sama binatang tunggangannya ketika memulai (iftitah) shalat sunnah. Yaitu, dengan mengarahkan binatang tunggangannya ke arah kiblat jika dia memang mampu melakukannya dan jika memang tidak menyulitkan. Atau, dengan
cara dirinya sendiri menghadap ke arah kiblat. Itu pun jika ia mampu dan dirasa tidak menyulitkan.
Kedua, orang tersebut tidak wajib menghadap kiblat, dengan alasan menghadap kiblat adalah bagian dari shalat, sehingga dia juga sama seperti bagian-bagian lain dari shalat dan juga karena menghadap kiblat dalam kondisi demikian dianggap menyulitkan, maka gugurlah kewajiban menghadap kiblat, Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas itu hanya menunjukkan kelebihan (fadhilah) dan kesunnahan.
Musafir boleh melakukan shalat sunnah di atas tunggangannya, sekalipun shalat tersebut adalah shalat sunnah witir atau sunnah rawatib lain atau sujud tilawah. Musafir yang berjalan kaki tidak boleh melakukan shalat ketika dalam keadaan berjalan. Ketika dia melakukan shalat sunnah, hendaklah memulainya (iftitah) dengan menghadap kiblat. Rukuk dan sujudnya juga hendaklah dilakukan ke arah kiblat di atas tempat perjalanannya. Karena, cara seperti ini mudah ia lakukan. Adapun sisa shalat (setelah iftitah) boleh menghadap arah mengikuti arah perjalanannya.
Adapun shalat di atas tunggangan dikarenakan sakit, terdapat dua riwayat mengenai masalah ini: Pertama, orang yang sakit tersebut boleh melakukan shalat di atas tunggangan, karena
turun dari tunggangan sewaktu sakit lebih sulit daripada turun sewaktu hujan. Siapa saja yang shalat di atas tunggangan karena sakit atau karena hujan, tidak boleh berpaling dari arah kiblat. Kedua, tidak boleh. Alasannya adalah karena Ibnu Umar (ketika hendak shalat) turun dari tunggangan semasa sakit. Juga, karena orang sakit tersebut masih mampu melakukan shalat dan sujud. Sehingga, dia tidak boleh meninggalkannya sebagaimana orang yang tidak sakit.
Kesimpulannya adalah, para fuqaha sepakat membolehkan orang yang dalam perjalanan melakukan shalat di atas tunggangan, dan shalatnya dilakukan dengan cara isyarat. Tetapi, mereka berbeda pendapat berkenaan dengan musafir yang dekat. Ulama Syafi'i dan Hambali membolehkannya, sementara ulama Maliki dan Hanafi tidak membolehkannya.
Menurut pendapat ulama Maliki dan Hanafi, menghadap kiblat dalam kondisi di atas tidaklah disyaratkan. Tetapi, ulama Syafi'i dan Hambali mensyaratkannya pada permulaan takbir untuk shalat jika memang orang itu mampu menghadap ke arah Kiblat. Namun jika dia tidak sanggup, maka syarat itu gugur. Seperti ketika memulai (iftitah) shalat sunnah dia kesulitan menghadap kiblat (karena binatang tunggangannya sangat liar dan susah untuk diarahkan), maka dia tidak diwaiibkan menghadap kiblat.
Menurut pendapat ulama Hanafi dan Maliki, sah shalat jika binatang tunggangan itu terkena najis. Tetapi menurut pendapat ulama Syafi'i, tidak sah. Adapun ulama Hambali mengatakan bahwa shalat tersebut sah, dengan syarat ada pelapis yang menjadi penghalang.
Menurut mereka, syarat sah shalat adalah sucinya tempat shalat seperti pelana, alat-alat untuk menarik kereta dan lain-lain, karena masalah ini tidaklah menyulitkan. Jikalau binatang tunggangan itu sendiri najis (najis al-‘ain) atau tempat duduk itu terkena najis, tetapi di atasnya terdapat lapisan (penghalang) yang suci seperti pelana dan seumpamanya, maka shalatnya sah.
Jika binatang tunggangan itu memijak benda najis, menurut ulama Hambali shalat tersebut tidak batal.
Tidak sah melakukan shalat fardhu di atas binatang tunggangan, kecuali jika shalat itu dilakukan dengan sempurna lengkap dengan segala rukun dan syaratnya.
Siapa saja yang melakukan shalat di dalam kapal, hendaklah menghadap kiblat -jika memang dia mampu. Dan apabila kapal itu berpindah arah, hendaklah orang yang shalat juga berpindah arah supaya tetap menghadap ke arah kiblat.


PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)