BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


6. Syarat Keenam: Niat

Niat adalah salah satu syarat shalat menurut pendapat ulama Hanafi dan Hambali, begitu juga menurut pendapat yang rajih di kalangan ulama Maliki. Adapun menurut pendapat ulama Syafi'i dan sebagian ulama Maliki, niat adalah salah satu dari fardhu shalat atau rukunnya, karena ia diwajibkan pada salah satu dari shalat, yaitu pada awal shalat bukan sepanjang waktu ketika sedang mendirikan shalat. Oleh karena itu –menurut mereka- niat adalah salah satu dari rukun sebagaimana takbir dan rukuk.

Arti niat dari segi bahasa adalah kehendak. Adapun menurut syara', niat bermakna azam/tekad hati untuk melakukan ibadah dengan tujuan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sehingga, dia menjadikan Allah Ta’ala sebagai tujuan perbuatannya, bukan karena perkara lain, seperti untuk makhluk ingin mendapat pujian dari manusia, atau semacamnya. Inilah yang dinamakan dengan keikhlasan.
Para ulama sepakat bahwa niat adalah wajib dalam mengerjakan shalat. Niat dilakukan untuk membedakan antara sesuatu yang dimaksudkan untuk ibadah dan sesuatu yang hanya adat (atau kebiasaan) dan ia juga dimaksudkan untuk mencapai keikhlasan kepada Allah Ta’ala dalam mengerjakannya. Shalat adalah ibadah dan ibadah harus berupa keikhlasan amalan yang sempurna hanya karena Allah Ta’ala. Firman-Nya, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama....” (Al-Bayyinah:5)
Imam Al-Mawardi berkata, “lkhlas dalam percakapan orang Arab biasanya diartikan dengan niat.” Pendapat ini didukung oleh hadits yang terkenal juga, yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya setiap perbuatan adalah dengan niat dan sesungguhnya (pahala yang didapat oleh) setiap individu adalah menurut niatnya.” Hadis riwayat imam hadis yang enam di dalam kitab-kitab mereka, dari Umar ibnul Khaththab (Nailul Authar jilid 1 halaman 301).
Oleh sebab itu itu, shalat yang dilakukan tanpa niat adalah tidak sah. Niat yang sempurna adalah ketika seseorang yang melakukan shalat berusaha untuk merasakan bahwa dirinya beriman dan tujuan melakukan shalat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dia juga harus meyakini bahwa niat itu wajib dan harus melaksanakan niatnya pada hari itu juga, serta menentukannya (ta'yiin) dan menetapkan bilangan rakaatnya. Dia juga harus menetapkan posisinya, apakah menjadi imam ataupun menjadi makmum atau sendirian, kemudian niat takbiratul ihram.
Ulama sepakat bahwa yang wajib berterusan (istishab) selama menjalankan shalat adalah niat yang dalam bentuk hukmi bukan dalam bentuk hakikatnya. Dengan arti, bahwa dia tidak boleh merencanakan untuk memutuskan niat. Jika di tengah-tengah shalat (setelah takbiratul ihram) dia lupa niatnya itu, maka shalatnya tetap dianggap sah.

Syarat Niat

Syarat-syarat niat adalah: (1) Beragama Islam; (2) Mumayyiz; dan (3) Tahu apa yang diniatkan.

Niat Harus Berbarengan dengan Takbir

Ulama Hanafi (Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 99), mensyaratkan bahwa niat shalat dan takbiratul ihram harus bersambung (ittishaal), tidak boleh ada apa pun penyela lain di antara keduanya. Yang dimaksud dengan penyela tersebut adalah suatu perbuatan yang tidak ada kaitannya dengan shalat seperti makan, minum dan seumpamanya.
Tetapi jika diselingi oleh perbuatan yang ada kaitannya dengan shalat seperti wudhu atau berjalan menuju ke masjid, maka hal itu tidak memutuskan hubungan antara niat dengan takbiratul ihram. Atas dasar ini, maka apabila seseorang berniat, kemudian mengambil wudhu atau berjalan menuju ke masjid dan kemudian melakukan takbir tanpa niat lagi, maka sahlah niatnya karena tidak ada penyela. Masalah ini disamakan dengan kasus seseorang yang berhadats di tengah-tengah
shalat. Maka, dia boleh meneruskan shalatnya sesudah memperbarui wudhunya.
Bagi mengelakkan dari perselisihan pendapat, maka seseorang disunnahkan berniat di saat atau berbarengan dengan takbiratul ihram. Menurut pendapat yang shahih, tidak sah melewatkan niat dari takbiratul ihram.
Begitu juga boleh mendahulukan niat dalam mengerjakan haji. Oleh sebab itu, jika seseorang keluar dari rumah dengan berniat melakukan ibadah haji, lalu berihram tanpa niat lagi, maka hajinya sah. Begitu juga dalam kasus zakat, yaitu zakat seseorang sah apabila niatnya terjadi ketika mengeluarkan zakat tersebut.
Berbeda dengan shalat, jika niat shalat terjadi selepas takbiratul ihram, maka shalatnya tidak sah. Tetapi dalam kasus puasa, seseorang boleh melewatkan niatnya melampaui awal waktu puasa. Karena, dia perlu mengetahui terlebih dahulu dengan yakin apakah waktu berpuasa sudah bermula atau belum. Berlainan dengan shalat yang mana apabila melakukan takbir; maka sudah tentu melakukan shalat, maka niatnya harus dilakukan pada waktu itu juga.
Menurut pendapat ulama Hambali (Kasysyaful Qina' jilid 1 halaman 367), adalah lebih utama (al-afdhal) jika niat shalat dibarengkan dengan takbir. Hal ini supaya tidak bertentangan dengan pendapat ulama yang mengatakan bahwa niat wajib dilakukan berbarengan dengan takbir. Namun jika seseorang melakukan niat untuk menunaikan shalat fardhu pada waktu itu, atau niat shalat sunnah rawatibnya dan itu dilakukan setelah masuk waktu, dia juga tidak berniat untuk membatalkannya serta masih dalam keadaan Islam (tidak murtad) dan niatnya itu dilakukan sebentar sebelum takbiratul ihram, maka shalatnya sah. Karena sekalipun niat berlaku lebih dahulu dari takbir, namun shalat masih menjadi tujuan utama niatnya dan orang yang shalat itu masih kekal dengan niatnya yang ikhlas. Karena, niat adalah termasuk syarat-syarat shalat. Maka, boleh mendahulukannya sebagaimana syarat-syarat lainnya. Selain itu, tuntutan supaya niat dilakukan berbarengan dengan takbiratul ihram akan menimbulkan kesulitan, maka tuntutan itu gugur berdasarkan firman Allah Ta’ala “... dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama ...” (Al-Hajj: 78)
Alasan lainnya adalah persiapan untuk shalat (awalan shalat) adalah termasuk sebagian dari shalat. Maka, niat shalat pada waktu itu sudah cukup untuk dihubungkan dengan aktivitas shalat, sebagaimana yang berlaku pada perkara-perkara lain juga.
Ulama Maliki berpendapat (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 305), niat wajib dilakukan sewaktu takbiratul ihram, ataupun sesaat sebelumnya.
Menurut ulama Syafi'i (Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 149), niat disyaratkan berbarengan dengan aktivitas shalat. Jika terjadinya niat terlambat dari perbuatan shalat, maka ia dianggap sebagai keinginan ('azam) bukannya niat. Jika seseorang berkata, “Nawaitu an Ushalliya azh-Zhuhra, Allahu Akbar, nawaitu (Aku berniat shalat Zhuhur, Allahu Akbar, aku berniat),” maka shalatnya batal. Karena, perkataan “nawaitu (aku berniat)” selepas takbir adalah perkataan yang tidak ada kaitannya dengan shalat. Perkataan tersebut terucap setelah shalat bermula, maka perkataan itu membatalkan shalat.

Menentukan (ta'yin) Apa yang Diniatkan

Fuqaha sependapat bahwa orang yang berniat hendaklah menentukan jenis shalat fardhu yang hendak dilakukan seperti Zhuhur atau Ashar. Karena, jenis shalat fardhu ada banyak. Maka salah satu shalat fardhu tidak akan terlaksana, jika yang diniatkan adalah shalat fardhu yang lain.

Tempat Niat

Ulama juga sepakat untuk mengatakan bahwa tempat niat adalah di hati. Menurut pendapat jumhur, kecuali ulama Maliki, melafalkan niat adalah sunnah. Ulama Maliki mengatakan melafalkan niat hukumnya boleh, tetapi lebih diutamakan tidak melafalkan niat baik untuk shalat atau ibadah lainnya.
Menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 149), kefardhuan shalat harus diniatkan juga. Adapun mengaitkan ibadah shalat dengan Allah Ta’ala tidak menjadi syarat niat. Oleh sebab itu, menurut ulama Syafi'i, syarat niat ada tiga: (a) Kehendak hati (al-Qashd); (b) Penentuan (at-Ta’yiin); dan (c) Kefardhuan (fardhiyah).

Pendapat Para Fuqaha Tentang Niat

A. Pendapat Ulama Madzhab Hanafi

Pembahasan tentang niat ini mencakup tiga perkara, yaitu penafsiran niat, cara berniat, dan waktu berniat (Al-Bada’i jilid 1 halaman 127 dan setelahnya; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 406 dan setelahnya; Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 99 dan setelahnya; Fathul Qadir jilid 1 halaman 185 dan setelahnya; Al-Lubab jilid 1 halaman 66).

Penafsiran Niat

Niat adalah kehendak. Oleh sebab itu, niat shalat adalah kehendak melakukan shalat karena
Allah Ta’ala. Kehendak adalah perbuatan hati, maka tempat niat adalah di hati. Yaitu, dengan cara hatinya mengetahui apakah shalat yang hendak dilakukan. Melafalkan atau menyebutkan niat dengan lidah tidaklah disyaratkan. Tetapi disunnahkan untuk menolong hati, yaitu dengan niat di hati dan menyebut dengan lidah.
Menentukan (ta'yin) suatu shalat adalah lebih baik dan lebih diutamakan. Jika yang hendak dilakukan adalah shalat fardhu, hendaklah shalat itu ditentukan, seperti fardhu Zhuhur atau Ashar. Begitu juga dengan shalat yang diwajibkan seperti shalat witir, sujud tilawah, nadzar dan shalat dua hari raya. Oleh sebab itu, semuanya mestilah ditentukan.
Begitu juga orang yang menqadha shalat harus menentukan hari atau waktu shalat yang telah lewat, tetapi niat mengqadha'nya tidak diharuskan. Bagi shalat tunai (bukan qadha') menentukan hari, waktu dan bilangan rakaatnya tidak diharuskan.
Menurut pendapat yang shahih di kalangan ulama Hanafi, niat untuk semua shalat sunnah, baik itu sunnah fajar, tarawih dan lain-lain, cukup dengan cara umum (tanpa menentukan jenisnya). Tetapi, lebih baik jika jenisnya ditentukan (tayin) juga sebagai menghormati sifat sunnah, baik itu sunnah tarawih atau sunnah waktu.
Niat shalat atau puasa jika dikaitkan dengan insya Allah, tidaklah batal karena tempat niat adalah di hati.
Menurut pendapat yang mu'tamad, ibadah yang mempunyai banyak jenis perbuatan cukup diniati secara global dan niat itu akan mencakup semua perbuatan yang ada di dalamnya. Jika seseorang mengikuti shalat berjamaah sedangkan dia tidak tahu apakah shalat berjamaah itu shalat fardhu atau tarawih, dan dia niat shalat fardhu, maka jika jamaah itu ternyata melakukan shalat fardhu, sahlah shalatnya. Namun jika tidah maka shalatnya menjadi shalat sunnah.

Cara Berniat

Jika seseorang mengerjakan shalat sendirian, hendaklah ia menentukan jenis fardhu atau wajibnya. Dan jika ia shalat sunnah, maka cukup dengan niat shalat saja, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini.
Jika seseorang shalat sebagai imam, hendaklah ia menyebutkannya ketika niat sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini. Lelaki yang menjadi imam kepada lelaki lain, tidak disyaratkan niat sebagai imam bagi jamaah laki-laki. Karena, para makmum sudah dianggap sah mengikuti imam tersebut, meskipun imamnya tidak meniatkan bahwa merekalah (kaum lelaki) yang menjadi makmumnya. Sebaliknya, lelaki yang menjadi imam bagi perempuan disyaratkan niat sebagai imam bagi mereka, supaya sah mereka mengikutnya.
Perbedaan antara kedua kasus ini adalah jika orang shalatnya perempuan yang menjadi makmum lelaki yang tidak berniat menjadi imam perempuan tersebut dianggap sah, maka jika perempuan itu shalat sebaris dengannya akan menyebabkan batalnya shalat imam lelaki tersebut. Padahal, dia tidak menghendakinya. Oleh sebab itu, laki-laki itu disyaratkan niat menjadi imam bagi perempuan di belakangnya, supaya shalat lelaki tersebut tidak rusak akibat perbuatan makmum perempuan yang tidak dikehendakinya. Hal ini tidak berlaku bagi makmum lelaki. Kesimpulannya, diwajibkannya niat mengimami jenis makmum di belakangnya hanya dalam satu kasus saja, yaitu dalam kasus lelaki menjadi imam perempuan.
Jika seseorang mengikuti imam (menjadi makmum), maka hendaklah dia menentukan (ta’yin) shalatnya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini. Dan hendaklah dia menambahi
dalam niatnya sebagai orang yang mengikuti imam (makmum). Contohnya adalah dengan meniatkan kefardhuan bagi waktu shalat itu dan mengikuti imam, atau berniat mengikuti shalatnya imam.

Waktu Berniat

Niat disunnahkan serentak dengan takbir, yaitu dengan cara membarengkan takbir dengan niat. Menurut mereka (ulama Hanafi), niat shalat seseorang sah dilakukan sebelum takbir jika dia tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dapat memutuskan antara niat dengan takbir. Membarengkan niat dalam satu masa dengan takbir bukanlah satu syarat.

B. Pendapat Ulama Madzhab Maliki

Menurut pendapat ulama madzhab Maliki (Asy-Syarhul Kabir ma’a Ad-Dasuqi jilid 1 halaman 233 dan 520; Asy-Syarhush Shaghir dan Hasyiyah As-Sawi jilid 1 halaman 303-305; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 57; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 116), niat adalah menghendaki sesuatu dan tempatnya adalah di hati. Niat shalat adalah fardhu. Adapun menurut pendapat yang rajih ia adalah syarat. Contohnya adalah kehendak hati untuk menunaikan shalat fardhu Zhuhur. Menghendaki sesuatu adalah perkara luaran bagi zat sesuatu itu. Niat lebih utama jika tidak dilafalkan kecuali bagi orang yang waswas. Maka, ia disunnahkan melafalkan niatnya supaya keraguannya hilang. Niat diwajibkan berbarengan dengan takbiratul ihram. Jika niat mendahului takbir atau selepas takbir dengan berlalu masa yang panjang, maka ulama sepakat untuk mengatakan bahwa niat tersebut batal. Jika terjadi niat mendahului takbir dengan masa yang singkat, maka menurut sebagian pendapat, yaitu pendapat yang terpilih (al-mukhtaar), niat itu sah
sebagaimana pendapat ulama Hanafi. Menurut sebagian pendapat yang lain, niat tersebut batal sebagaimana pendapat ulama Syafi'i.
Ketika niat hendaklah jenis fardhu, atau jenis sunnah yang lima (witir, hari raya, gerhana
matahari, gerhana bulan atau shalat meminta hujan) atau sunnah fajar, ditentukan (ta'yiin). Menurut pendapat yang mu’tamad ia adalah mandub.
Adapun untuk shalat-shalat sunnah yang lain seperti sunnah Dhuha, rawatib dan tahajud, yang hanya cukup dengan niat shalat sunnah saja, maka tidak perlu ditentukan (ta'yiin). Shalat sunnah seperti itu akan menjadi shalat sunnah Dhuha jika dilakukan sebelum az-Zawal (tergelincirnya matahari dari garis tengah langit), sunnah rawatib jika dilakukan sebelum atau sesudah Zhuhur, sunnah tahiyatul masiid jika dilakukan ketika masuk ke masjid, sunnah tahajud jika dilakukan pada tengah malam dan shalat sunnah Isya (asy-Syaf) jika dilakukan sebelum witir.
Niat tunai (adaa), qadha' atau bilangan rakaat, tidaklah disyaratkan. Shalat qadha' dengan niat tunai atau sebaliknya tetap dianggap sah.
Menentukan jenis shalat adalah wajib kecuali pada satu kasus saja, yaitu jika seseorang masuk ke dalam masjid dan didapati imam sedang shalat dan dia menyangka imam itu sedang melakukan shalat Jumat. Lalu dia pun niat shalat Jumat, tetapi kemudian ternyata imam itu melakukan shalat Zhuhur, maka hukum shalat orang tersebut adalah sah. Tetapi apabila yang teriadi sebaliknya, dia mengira imam shalat Zhuhur tapi ternyata shalat Jumat, maka tidak sah.
Shalat sendirian atau shalat mengikut imam (sebagai makmum) wajib diniatkan. Adapun niat sebagai imam tidaklah diwajibkan, kecuali dalam shalat Jumat atau jamak taqdim karena hujan, karena takut (khauf), atau istikhlaf. Karena di dalam shalat-shalat tersebut, imam dianggap sebagai syarat. Istikhlaf adalah imam atau makmum mendorong salah seorang yang melakukan shalat di belakang untuk menjadi imam menggantikan imam yang asal. Karena, shalat imam yang asal batal disebabkan oleh hadas.
Ibnu Rusyd menambahkan lagi, yaitu diwajibkan juga niat sebagai imam ketika shalat jenazah. Jika imam tidak berniat sebagai imam ketika shalat Jumat, maka shalat imam dan makmum batal. Jika imam tidak berniat sebagai imam ketika jamak taqdim karena hujan, maka shalat yang kedua (yaitu Ashar atau Isya) batal. Jika imam tidak berniat sebagai imam dalam shalat khauf, maka shalat kumpulan makmum pertama saja yang batal, tetapi shalat imam dan kumpulan makmum kedua sah. Jika imam tidak berniat sebagai imam dalam shalat istikhlaf, maka shalat imam sah, tetapi shalat makmum batal.

C. Pendapat Ulama Madzhab Syafi’i

Ulama madzhab Syafi'i (Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 149 dan setelahnya; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 148-150, 252-253 dan setelahnya; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 70; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 243-252) menetapkan bahwa niat haruslah berbarengan dengan perbuatan (apa yang dikehendaki itu) dan tempatnya adalah di hati. Disunnahkan melafalkan niat terlebih dahulu beberapa saat sebelum takbir. Jika di dalam hati atau dengan lidahnya seseorang berkata “insya Allah” sesudah niat dengan maksud untuk mendapat keberkatan, dan berkeyakinan bahwa berlakunya perbuatan shalat tersebut adalah dengan kehendak Allah Ta’ala maka ucapan itu tidak
membatalkan niatnya. Tetapi jika tujuannya adalah menggantungkan perbuatan shalatnya dengan kehendak Allah Ta’ala (yaitu jika diniatkan bahwa shalat itu dilakukan jika dikehendaki Allah Ta’ala) atau disertai rasa ragu-ragu, maka niatnya tersebut tidak sah.
Berhubungan dengan niat shalat fardhu meskipun fardhu kifayah seperti shalat jenazah, mengulangi shalat atau nadzar, maka ada tiga hal yang diwajibkan, yaitu niat kefardhuan (meniatkan bahwa shalat itu adalah shalat fardhu), niat melaksanakan perbuatan (yaitu berniat bahwa perbuatan shalatnya itu adalah untuk membedakan dari perbuatan lain), dan menentukan jenis shalat fardhu tersebut seperti niat menunaikan shalat fardhu Zhuhur. Seorang pakar bersyair, “Wahai yang bertanya tentang syarat niat, syaratnya adalah qashd, ta’yin dan fardhiyyah.”
Niat dan hal-hal yang berkaitan dengannya hendaklah dilakukan serentak dengan takbiratul
ihram. Itulah yang dimaksud oleh ulama madzhab Syafi'i dengan mendatangkan (niat) dan menyertakan (niat dengan takbir) sesuai dengan kebiasaan (al-istihdhar wal-muqaaranah al-'urfiyyain). (lni bermaksud mendatangkan dalam ingatan segala perbuatan shalat yang terdiri atas perkataan, perbuatan pada awal dan akhirnya, sekalipun secara umum, sebelum melakukan takbir. Ini adalah menurut pendapat yang mu'tamad, juga mengingat-ingat semua perkara tadi secara sepintas lalu ketika takbiratul ihram).
Jika seseorang melakukan shalat sunnah yang berkaitan depgan waktu seperti sunnah rawatib, atau yang berkaitan dengan sebab tertentu seperti shalat meminta hujan, maka dia diwajibkan melakukan dua perkara: yaitu niat menunaikannya (qashdu fi'lih) dan menentukannya (ta'yinih) seperti niat shalat sunnah Zhuhur atau Hari Raya Puasa atau Hari Raya Kurban. Adapun niat bahwa shalat yang dilaksanakan adalah sunnah (nafliyyah) adalah tidak disyaratkan.
Adapun shalat sunnah yang tidak dikaitkan dengan waktu atau sebab tertentu seperti tahiyatul masjid dan sunnah wudhu, maka cukuplah dengan niat menunaikan shalat saja.
Begitu juga niat karena Allah  (idafah) tidaklah diwajibkan, karena semua ibadah adalah karena Allah Ta’ala semata-mata. Tetapi, disunnahkan niat karena Allah Ta’ala supaya tercapai maksud keikhlasan.
Disunnahkan juga niat menghadap ke arah kiblat dan menyebutkan bilangan rakaat untuk mengelakkan perselisihan pendapat dalam masalah ini. Jika seseorang melakukan kesalahan dalam niat bilangan rakaat seperti niat shalat Zhuhur dengan tiga rakaat atau lima rakaat, maka shalat itu tidak sah. Begitu juga disunnahkan menyebutkan niat tunai (adaa) atau qadha'.     
Menurut pendapat yang ashah, shalat tunai (adaa) dengan niat qadha' atau sebaliknya adalah sah ketika memang ada uzur, seperti tidak tahu waktu, karena adanya awan mendung, atau seumpamanya. Oleh sebab itu, jika seseorang menyangka waktu shalat sudah habis, lalu dia melakukan shalat qadha’, namun kemudian dia mendapati bahwa waktu shalat masih longgar; atau dia menyangka waktu shalat masih ada lalu dia melakukan shalat dengan cara tunai (adaa), kemudian ternyata waktu shalat sudah tamat, maka shalatnya tetap sah.
Begitu juga shalat seperti di atas dihukumi sah apabila seseorang melakukannya tanpa ada uzur, jika memang ia menghendaki niat itu dari segi bahasa saja. Karena, keduanya (adaa' dan qadhaa) boleh digunakan untuk makna yang satunya, seperti perkataan, “Aku menunaikan (qadhaitu) utang” dan “Aku membayarnya (addaituhu).” Arti dari keduanya adalah sama yaitu membaya utang. Jika orang tersebut melakukan niat sebagaimana di atas sedangkan tidak ada uzur dan ia tidak menghendaki arti dari segi bahasanya, maka shalatnya tidak sah karena ada unsur mempermainkan.
Menentukan waktu bukanlah termasuk syarat dalam niat shalat. Jika seseorang menentukan hari, tetapi salah, maka shalatnya tidak batal.
Seseorang yang terlewat shalat pada waktu yang telah lalu, seperti terlewat shalat Zhuhur pada hari kemarin, maka dia tidak disyaratkan niat shalat Zhuhur bagi hari tersebut, cukuplah dia niat shalat Zhuhur saja. Menurut pendapat yang mu'tamad, menentukan hari, bulan, atau tahun tidaklah disunnahkan.
Niat disyaratkan dalam semua shalat. Jika timbul keraguan berkenaan dengan niat, seperti apakah sudah niat atau belum, maka shalatnya batal.
Imam tidak disyaratkan niat sebagai imam, tetapi disunnahkan supaya mendapat keutamaan berjamaah. Jika dia tidak berniat sebagai imam, maka dia tidak akan mendapat keutamaan tersebut. Karena, seseorang tidak akan mendapatkan buah pekerjaannya kecuali berdasarkan apa yang diniatkannya. Tetapi, niat sebagai imam disyaratkan dalam empat keadaan, yaitu shalat Jumat, shalat jamak taqdim karena hujan, shalat ulangan dalam waktu (al-mu'aadah fil-waqt) secara berjamaah dan shalat yang dinadzarkan untuk melakukannya secara berjamaah supaya terlepas dari dosa.
Makmum disyaratkan niat menjadi makmum. Dia hendaknya niat mengikuti, niat menjadi makmum, atau niat berjamaah dengan imam yang ada pada waktu dia shalat atau dengan orang yang berada di dalam mihrab atau seumpamanya. Niat tersebut hendaknya dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram. Karena, aktivitas mengikut (attab'iyyah) adalah perbuatan yang memerlukan niat, sebab seseorang itu tidak mendapat hasil dari perbuatannya kecuali dari apa yang diniatkan. Tidaklah cukup apabila makmum berniat mengikut (iqtidaa) secara umum tanpa dikaitkan dengan imam (yaitu mengikut imam (iqtidaa' al-imaam)). Jika seorang makmun mengikuti imam namun tanpa niat atau ragu-ragu pada niatnya tersebut, maka shalatnya batal, meskipun dia telah lama menunggu imam.

D. Pendapat Ulama Madzhab Hambali

Menurut pendapat ulama madzhab Hambali (Al-Mughni jilid 1 halaman 464-469 dan jilid 2 halaman 231; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 364-370), niat adalah keinginan hati untuk melakukan perbuatan ibadah dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Shalat apa pun yang tanpa disertai dengan niat tidak sah. Niat diwajibkan di dalam hati dan melafalkannya adalah sunnah.
Niat shalat fardhu disyaratkan dua hal, yaitu menentukan (ta'yin) jenis shalat seperti Zhuhur; Ashar; atau lainnya dan berazam untuk melakukannya. Adapun niat kefardhuan tidak disyaratkan, seperti mengucapkan, “Aku shalat Zhuhur secara fardhu.” Ibnu Qudamah berkata, “Pendapat yang shahih mengatakan bahwa ta’yin harus dilakukan. Shalat harus dilakukan sesuai dengan yang diniatkan.”
Adapun shalat qadha', jika hati orang yang melakukan telah menentukan bahwa shalatnya adalah Zhuhur untuk hari itu, maka niat qadha' atau tunai (adaa) tidak perlu lagi. Shalat qadha' dengan niat tunai (adaa) atau sebaliknya dianggap sah jika ketika memulainya diawali dengan dugaan dan ternyata dugaannya meleset.
Orang yang melakukan shalat sunnah, wajib menentukan (ta'yiin) shalatnya itu, jika memang shalat sunnah tersebut ada termasuk shalat mu'ayyanah atau shalat sunnah yang ada hubungannya dengan waktu (mu'aqqatah) seperti shalat gerhana matahari, shalat minta hujan (istisqaa), tarawih, witir dan sunnah rawatib.
Adapun shalat sunnah selain yang tersebut di atas seperti shalat malam, maka tidak wajib menentukan (ta'yiin) jenis shalatnya. Oleh sebab itu, shalat tersebut sah meskipun hanya dengan niat shalat saja, karena shalat itu tidak ditentukan. Pendapat mereka (ulama Hambali) ini sama dengan pendapat ulama Syafi'i.
Ulama Hambali juga berpendapat, jika seseorang memulai shalat dengan niat yang ragu-ragu antara menyempurnakan atau menghentikan shalatnya, maka shalatnya dihukumi tidak sah, karena niat haruslah kehendak yang tegas. Oleh sebab itu, jika muncul keraguan, maka tidak dianggap sebagai ketegasan, sebagaimana kesepakatan fuqaha.
Jika seseorang memulai shalat dengan niat yang betul kemudian dia niat berhenti atau keluar dari shalat, maka menurut pendapat jumhur batallah shalat tersebut. Karena, niat adalah syarat bagi semua perbuatan shalat. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat tersebut tidak dianggap batal, karena setiap ibadah apabila permulaannya dianggap sah, maka tidak akan batal dengan niat keluar darinya seperti ibadah haji.

Ragu-ragu terhadap Niat

Jika timbul keraguan semasa shalat, apakah sudah niat atau belum, atau ragu-ragu dalam hal takbiratul ihram, maka hendaklah orang tersebut memulai lagi shalatnya sebagaimana yang dikatakan oleh ulama Syafi'i: karena dalam masalah ini, yang asal adalah belum niat. Namun, jika seseorang ingat sebelum menghentikan shalat bahwa dia telah niat atau telah melakukan takbir, maka shalatnya boleh diteruskan, karena tidak ada perkara yang membatalkan. Keadaan ini adalah apabila dia belum melakukan perbuatan lain (dalam shalat itu). Tetapi jika dia sudah melakukan perbuatan lain sedangkan dia dalam keraguan, maka shalatnya batal sebagaimana menurut pendapat ulama Syafi'i.

Berubah Niat

Jika seseorang takbir dengan niat salah satu shalat fardhu, kemudian mengubah niat kepada fardhu lain, maka kedua fardhu tersebut batal. Ini disebabkan niat fardhu yang pertama telah terputus dan fardhu kedua tidak diniatkan dalam takbiratul ihram. Pendapat ini sama dengan pendapat ulama Syafi'i.
Jika niat shalat fardhu diubah menjadi niat shalat sunnah, maka terdapat dua pendapat, menurut ulama Syafi'i dan Hambali. Pendapat yang terkuat dalam kedua madzhab itu adalah shalat itu berubah menjadi sunnah, karena niat fardhu sudah mengandungi niat sunnah. Alasannya adalah jika melakukan takbiratul ihram dengan niat fardhu, kemudian ternyata belum masuk waktu shalat, maka shalat itu menjadi shalat sunnah dan shalat fardhunya dianggap tidak sah. Kenyataannya dalam shalat tersebut tidak ada sesuatu yang membatalkan shalat sunnah.
Menyebut “karena Allah Ta’ala” tidak disyaratkan dalam semua amalan ibadah, seperti berkata, “Aku shalat karena Allah Ta’ala, berpuasa karena Allah Ta’ala,” atau semacamnya, karena semua ibadah adalah memang diniatkan karena Allah Ta’ala. Tetapi, menyebut karena Allah Ta’ala disunnahkan supaya terhindar dari perselisihan pendapat dengan orang yang mewajibkannya.
Bilangan rakaat dan juga menghadap kiblat tidak diwajibkan sebagaimana pendapat ulama Syafi'i.
Niat hendaklah dilakukan sewaktu takbiratul ihram, baik serentak dengannya atau lebih dulu sedikit, sebagaimana yang dikatakan oleh ulama Maliki dan Hanafi. Tetapi, serentak dengan takbir lebih diutamakan sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini.
Syarat sah shalat jamaah adalah niat sebagai imam atau makmum. Maka, imam hendaklah berniat sebagai imam dan makmum berniat sebagai makmum pada permulaan shalat kecuali dalam dua kasus berikut: (a) Makmum masbuq. Maka, dia boleh mengikuti makmum masbuq lain setelah imam memberi salam dalam shalat selain shalat Jumat. (b) Apabila orang bermukim menjadi makmum mengikut imam (yang musafir) yang mengqasar shalat. Maka, orang mukim ini boleh mengikut orang mukim lainnya untuk menyempurnakan rakaat yang tersisa setelah rakaat qashar tersebut.


PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)