Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
4. Syarat Keempat: Menutup Aurat
Definisi aurat dari segi bahasa adalah kekurangan.
Adapun menurut istilah syara' adalah sesuatu yang wajib disembunyikan dan diharamkan
melihatnya.
Pengertian pertama dari segi syara' adalah pengertian
yang berkaitan dengan masalah shalat. Menurut pendapat jumhur ulama, orang yang
shalat disyaratkan menutup auratnya, jika ia mampu melakukannya, sekalipun shalatnya
itu dilakukan sendirian di tempat yang gelap.
Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, menutup
aurat ketika berada di khalayak ramai wajib dilakukan. Begitu juga ketika sendirian,
menurut pendapat yang shahih dari madzhab itu. Oleh sebab itu, seseorang tidak
boleh melakukan shalat sendirian secara telanjang, sekalipun di dalam rumah
yang gelap gulita. Padahal, dia mempunyai pakaian yang bersih (Raddul
Mukhtar jilid 1 halaman 375).
Ketika melakukan shalat, seseorang diwajibkan menutup
aurat. Begitu juga pada waktu-waktu lainnya meskipun ketika sedang sendirian.
Kecuali, jika ia perlu untuk telanjang seperti untuk mandi, buang air besar,
dan beristinja.
Dalil yang mewajibkan menutup aurat adalah
firman Allah Ta’ala, “Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki)
masjid ...” (Al-A'raaf: 31)
Menurut Ibnu Abbas, “Apa yang dikehendaki
pada ayat ini adalah pakaian ketika shalat.” Dalil lainnya adalah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Allah Ta’ala tidak menerima
shalat perempuqn yang sudah datang haid (baligh) tanpa tudung kepala.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Hakim. Dia berkata hadis ini shahih menurut
syarat Muslim. Hadis ini juga diriwayatkan oleh lima orang imam hadis kecuali
An-Nasa’i. Hadis ini juga dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dari Aisyah.
Dalil lainnya juga adalah sabda baginda, “Wahai
Asma, perempuan apabila telah sampai umur haid (umur baligh), tidak boleh
dilihat padanya kecuali ini dan ini.” Baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam
menunjukkan muka dan kedua telapak tangannya. Hadis riwayat Abu Dawud, dari
Aisyah. Hadis ini adalah hadis mursal (Nashbur Rayah jilid 1
halaman 299).
Menurut ijma' ulama, menutup aurat bagi wanita
hukumnya adalah wajib dalam semua keadaan, baik sewaktu shalat maupun tidak.
Syarat Penutup Aurat
A. Tebal dan tidak Transparan
Wajib menutup aurat dengan menggunakan kain
tebal, kulit, atau kertas yang dapat menyembunyikan warna kulit dan juga tidak
menjelaskan sifatnya. Jika kainnya tipis atau tenunannya jarang-jarang,
sehingga dapat menampakkan apa yang di bawahnya atau dapat menggambarkan warna
kulitnya hingga tampak kulit pemakai yang cerah atau kemerah-merahan, maka kain
tersebut tidak memenuhi syarat untuk digunakan shalat. Shalatnya tidak sah,
karena tujuan menutup aurat tidak tercapai.
Sebaliknya, sekiranya kain itu dapat menutupi warna
kulit, tetapi dapat menggambarkan bentuk dan ukuran tubuh, maka shalat dengan
menggunakan pakaian itu hukumnya sah. Karena, yang seperti itu tidak dapat
dielakkan sekalipun memakai kain yang tebal. Walau bagaimanapun, menurut
pendapat ulama madzhab Syafi'i, kain seperti itu makruh dipakai oleh perempuan
dan khilaful Awa bagi lelaki.
Menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i, syarat
penutup aurat adalah sesuatu yang tidak
dapat menjelaskan warna kulit, sekalipun penutup itu
menggunakan air yang keruh atau tanah. Tetapi, kemah yang sempit dan ruang yang
gelap tidak boleh dijadikan sebagai penutup aurat. Menurut pendapat mereka
juga, penutup aurat haruslah suci.
Menurut ulama madzhab Maliki, jika penutup itu
masih bisa menjelaskan (zhahara) apa yang ada di bawahnya, maka ia
dianggap seperti tidak menutup aurat. Tetapi jika hanya menyifatkan (washafa)
apa yang di bawahnya, maka dihukumi makruh (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman
54).
B. Maksud Menutup Aurat di Kalangan Ulama
Ulama Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa
menutupi aurat hendaklah meliputi semua
bagian yang perlu ditutup, baik dengan cara berpakaian
atau yang serupa. Oleh sebab itu, menggunakan kemah yang sempit dan keadaan
gelap sebagai penutup aurat belum dianggap memadai.
Menurut ulama Hanafi dan Maliki, menggunakan keadaan
gelap sebagai penutup aurat ketika dalam keadaan darurat sudah dianggap memadai.
Ini disebabkan -menurut pendapat mereka- yang diwajibkan adalah menutup aurat
dari penglihatan orang lain, sekalipun bentuk penutup itu hanya hukmi (sekadar sesuai
dengan hukum) saja seperti tempat yang gelap. Menutup aurat bukanlah menutup bagian
tubuh dari pandangan matanya sendiri, ini adalah pendapat yang difatwakan.
C. Cara-Cara Menutup Aurat yang sesuai dengan Tuntutan
Syara'
Di kalangan ulama Hanafi dan para fuqaha lain,
yang dituntut adalah menutup sekeliling aurat. Maka, tidak wajib menutup di
sebelah bawah atau bagian atas baju. Oleh sebab itu, shalat di atas kaca yang
menampakkan semua yang terdapat di sebelah atasnya adalah sah.
Jika ada sesuatu yang hanya dapat menutup sebagian
aurat saja, maka wajib menggunakannya untuk menutup aurat, sekalipun dengan
tangan sebagaimana pendapat yang ashah di kalangan ulama Syafi'i. Karena,
dengan cara itu tercapailah tujuan menutup aurat. Sekiranya sesuatu itu
mencukupi untuk menutup dua kemaluan saja, maka ia wajib menggunakannya untuk
menutup kedua kemaluannya itu. Jika penutup itu hanya cukup untuk menutup salah
satu dari kedua kemaluannya, maka yang harus ditutup dahulu adalah kemaluan
bagian depan dulu, baru kemudian kemaluan bagian belakang. Ini adalah menurut
ulama madzhab Syafi'i.
Sebaliknya, menurut ulama Hanafi dan Maliki,
hendaklah diutamakan untuk menutup kemaluan belakang baru kemudian kemaluan yang
depan. Apabila kancing baju tidak dikancingkan atau kain di tengah-tengah baju
tidak diikat dapat menyebabkan tampaknya aurat ketika rukukatau lainnya, maka
mengancingkan kancing atau mengikat kain tersebut hukumnya wajib.
(i) Shalat dengan Menganakan Pakaian yang Haram
Menurut pendapat ulama Maliki dan Syafi'i, shalat
dengan menggunakan pakaian yang haram adalah sah, tetapi menggunakan pakaian itu
tetap haram.
Menurut pendapat ulama Hanafi, shalat dengan
menggunakan pakaian tersebut adalah sah, tetapi menggunakan pakaian itu
dihukumi makruh tahrim. Sebab, menggunakan pakaian yang tidak boleh dipakai
sama halnya memakai sutra bagi laki-laki dan orang tersebut juga berdosa
seperti hukum shalat di atas tanah ghashab tanpa ada alasan yang dibenarkan
oleh syara'.
Menurut pendapat ulama Hambali, tidak sah
shalat dengan menggunakan benda yang haram, seperti memakai pakaian yang dibuat
dari sutra, atau shalat di atas tanah ghashab sekalipun yang di-ghashab hanya
faedahnya atau sebagian darinya saja. Atau, shalat menggunakan pakaian yang
dibeli dengan uang haram, dengan sebagian uang haram, ataupun shalat dengan
memakai cincin emas. Ini semua jika ia mengetahui tentang keharaman memakai pakaian
itu dan tidak dalam keadaan lupa (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 313; Al-Mughni
jilid 1 halaman 587 dan setelahnya).
Pendapat ini berdasarkan apa yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar, “Siapa yang membeli pakaian dengan harga
sepuluh dirham, sedangkan satu dirham darinya adalah uang haram, niscaya Allah
tidak menerima shalatnya selama pakaian itu dipakainya.” Kemudian Ibnu Umar
memasukkan dua jarinya ke dalam dua lubang telinganya dan berkata, “Tulilah
kedua telinga ini jika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
bersabda demikian.” Namun pada sanad hadis ini terdapat dua lelaki, yaitu
Hasyim dan Buqayyah. Al-Bukhari berkata, Hasyim itu tidak tsiqah sedangkan
Buqayyah adalah mudallas.
Juga, berdasarkan hadits riwayat Aisyah, “Barangsiapa
melakukan suatu pekerjaan yang tidak kami perintahkan, maka ia ditolak.”
Hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim, dari Aisyah. Hadis ini shahih.
Ini karena perbuatan berdiri, duduk dan berada
dalam pakaian yang haram, hukumnya adalah haram dan juga dilarang. Maka, shalat
dengan memakai pakaian yang haram tidak dianggap sebagai ibadah, seperti hukum
shalat ketika datang haid dan shalat dengan memakai pakaian yang terkena najis.
Jika seseorang tidak mengetahui atau lupa bahwa
pakaian yang ia pakai adalah terbuat dari sutra atau pakaian hasil ghashab, atau
dikurung di tempat hasil ghashab atau tempat bernajis, maka shalat dalam
keadaan tersebut dianggap sah, karena itu tidak termasuk berdosa. Sebagaimana
diketahui, ulama Maliki dan Hanafi membolehkan shalat dengan menggunakan
pakaian yang najis, seperti yang telah dijelaskan sebelum ini.
Para ulama sependapat bahwa menutup aurat
adalah wajib sekalipun dengan pakaian yang dipinjam. Oleh sebab itu, jika
seseorang melakukan shalat secara telanjang sedangkan ada pakaian yang dapat
dipinjam, atau dia shalat secara telanjang sedangkan ada pakaian yang dibuat
dari sutra serta suci, maka menurut pendapat jumhur; kecuali ulama Hambali,
shalat yang dilakukan tersebut hukumnya batal. Jika seseorang dijanjikan akan diberi
pinjam pakaian, hendaklah ia menunggu selagi tidak menyebabkan terlepasnya
waktu shalat. Ini adalah pendapat yang azhar di kalangan ulama Hanafi. Dia juga
wajib berusaha membeli pakaian dengan harga yang patut. Sebagaimana hukum yang
ditetapkan dalam masalah pembelian air untuk berwudhu, seperti yang telah
dibincangkan sebelum ini (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 283; Al-Majmu’
jilid 3 halaman 193).
Tidak Ada Penutup Aurat
Menurut pendapat ulama Maliki, seseorang yang
tidak mempunyai penutup aurat hendaklah shalat dengan telanjang. Karena, menutup
aurat dituntut di saat memang ada kemampuan memenuhinya. Jika tidak mampu, maka
tuntutan tersebut gugur.
Menurut pendapat ulama Hambali, ketika seseorang
dalam keadaan tidak ada penutup aurat hendaklah ia melakukan shalat dengan cara
duduk dan melakukan isyarat. Hal ini berdasarkan perbuatan Ibnu Umar seperti yang
telah dijelaskan sebelum ini dalam syarat ketiga.
Menurut pendapat ulama Syafi'i dan Hanafi, orang
tersebut wajib melakukan shalat meskipun dengan cara melumuri tanah pada tubuhnya
sebagai penutup aurat. Dan hendaknya, ia terus berada dalam keadaan demikian hingga
selesai shalat, ataupun dengan cara melumuri badan dengan air yang keruh sebagai
penutup aurat.
Menurut pendapat ulama Hanafi dan Maliki,
orang tersebut cukup menutupi aurat dengan kegelapan karena dalam keadaan
darurat. Sementara menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama Syafi'i, orang
tersebut hendaklah menutupi auratnya dengan tangan. Begitu juga menurut
pendapat ulama Hambali, karena dengan cara itu tercapailah tujuan menutup aurat
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini.
Dalam keadaan seperti di atas –menurut pendapat
ulama Syafi'i- hendaklah shalat dilakukan dengan cara berdiri supaya rukun shalat
dapat sempurna. Dan menurut pendapat di kalangan mereka, shalat tersebut tidak wajib
diulangi lagi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini.
Sementara menurut pendapat ulama Hanafi,
hendaknya shalat tersebut dilakukan dengan cara duduk dan membuat isyarat ketika
rukuk dan sujud. Hal ini sama dengan pendapat ulama Hambali. Cara duduk seperti
itu lebih utama daripada shalat dengan berdiri dan membuat isyarat ketika rukuk
dan sujud. Karena, menutup aurat lebih penting daripada menunaikan rukun.
Menurut pendapat ulama Hambali, siapa yang
berada di dalam air dan tanah (yaitu tempat yang berlumpur) sedangkan dia tidak
mampu bersujud di tanah bumi, karena kalau dia sujud ke tanah, niscaya dia akan
berlumuran dengan tanah dan basah, maka hendaklah ia melakukan shalat di atas
tunggangannya, dengan membuat isyarat ketika rukuk dan sujud (Al-Mughni jilid
1 halaman 599).
(ii) Terbuka Aurat secara Tiba-Tiba
Jika aurat seseorang yang sedang shalat terbuka
secara tiba-tiba karena tiupan angin umpamanya dan tidak sengaja, lalu ia
menutup auratnya kembali seketika itu juga, maka menurut ulama Syafi'i dan
Hambali, shalat tersebut tidak batal karena tidak termasuk dalam larangan.
Tetapi jika aurat itu terbuka kerena kesembronoan atau ia tidak segera menutup
kembali aurat tersebut, maka shalatnya itu batal karena kecerobohannya. Hal ini
disebabkan lamanya waktu terbukanya aurat itu menimbulkan keburukan, sedangkan
dia mampu mengelakkan dari berlakunya hal itu. Atas dasar itu, maka dia tidak
dimaafkan (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 188; Al-Mughni jilid 1
halaman 580).
Menurut pendapat ulama Maliki, jika yang terbuka
adalah aurat yang berat (mughallazhah)
maka shalatnya batal dengan serta merta.
Menurut pendapat ulama Hanafi, jika yang
terbuka adalah seperempat anggota aurat, maka shalatnya batal. Jika memang,
aurat yang terbuka itu dibiarkan terbuka selama kadar melakukan satu rukun dan
dengan syarat terbukanya aurat itu tidak disebabkan oleh perbuatannya sendiri.
Jika disebabkan oleh perbuatannya sendiri, maka shalatnya batal pada saat aurat
terbuka.
Shalat Berjamaah dalam Keadaan Telanjang
Orang yang tidak ada pakaian boleh melakukan shalat
berjamaah. Oleh sebab itu, menurut pendapat ulama Syafi'i dan Hambali, mereka
boleh melakukan shalat baik sendirian ataupun berjamaah. Jika shalat secara berjamaah,
maka imamnya hendaklah berdiri di tengah-tengah dalam barisan (shatr) yang
sama dan semua makmum berada dalam satu barisan saja, supaya tidak tampak aurat
sesama mereka. Jika terpaksa mengadakan dua barisan (shaff), maka
hendaklah shalat dengan memejamkan mata masing-masing.
Jika perempuan-perempuan yang tidak ada
pakaian berkumpul, maka mereka disunnahkan shalat secara berjamaah dan imamnya berdiri
di tengah-tengah barisan (shaff) karena mereka semua ini adalah aurat.
Ini semua disebabkan shalat berjamaah lebih diutamakan daripada shalat secara
sendirian, sebagaimana yang tersebut dalam hadits.
Shalat tersebut juga hendaklah dilakukan secara
berdiri dengan menyempurnakan segala rukun-rukunnya. Ini menurut pendapat ulama
Syafi'i. Menurut pendapat ulama Hambali, mereka hendaklah melakukannya secara isyarat.
Dan sujud pula, hendaklah lebih rendah dari rukuk.
Apakah shalat berjamaah lebih afdhal daripada
shalat sendirian? Menurut pendapat ulama Syafi'i, jika mereka semua buta atau berada
di tempat yang gelap sehingga tidak jelas pandangan sesama mereka, maka
disunnahkan melakukan shalat secara berjamaah menurut kesepakatan semua ulama, dan
imamnya hendaklah berdiri di hadapan mereka. Tetapi jika di antara mereka dapat
saling melihat, maka shalat secara berjamaah atau secara sendirian hukumnya
adalah sama. Hal ini menurut pendapat yang ashah.
Jika ada salah seorang yang mempunyai pakaian,
maka ia disunnahkan meminjamkan kepada mereka. Jika ia tidak mau meminjamkan, maka
mereka tidak boleh merampas (ghashab) pakaian itu, karena shalat mereka tanpa
menutup aurat sudah dianggap sah.
Sementara menurut pendapat ulama Maliki dan Hanafi,
hendaklah shalat tersebut dilakukan secara sendirian dan menjauhkan diri di
antara satu sama lain. Jika mereka berada di tempat gelap, maka hendaklah
mereka melakukan shalat secara berjamaah dan imamnya berdiri di hadapan (Al-Majmu’
jilid 3 halaman 191 dan setelahnya; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman
66; Al-Mughni jilid 1 halaman 596, 598; Asy-Syarhul Kabir ma’a
Ad-Dasuqi jilid 1 halaman 221).
Jika mereka tidak dapat dipisah-pisahkan, maka
hendaklah shalatnya dilakukan secara berjamaah dengan berdiri di dalam satu
barisan (shaff) saja. Rukuk dan sujud juga hendaknya dilakukan secara sempurna.
Adapun imam hendaknya berada di tengah-tengah mereka dan masing-masing diwajibkan
memejamkan mata.
(iii) Batas Aurat
Semua imam madzhab mensyaratkan menutup aurat
supaya shalat seseorang menjadi sah, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum
ini. Tetapi, para fuqaha berbeda pendapat dalam menetapkan batas aurat bagi laki-laki,
hamba perempuan dan juga perempuan biasa (bukan hamba). Pendapat mereka ssecara
terperinci adalah seperti berikut.
Madzhab Hanafi
Menurut
pendapat ulama madzhab Hanafi (Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid
1 halaman 375-379; Tabyinul Haqa’iq li Az-Zaila’i jilid 1 halaman 95-97)
adalah:
Aurat lelaki adalah dimulai dari bawah pusar hingga bawah lutut. Menurut pendapat yang
ashah, lutut termasuk bagian dari aurat. Pendapat ini berdasarkan hadits berikut,
“Aurat lelaki adalah apa yang terdapat antara pusar dengan lututnya. Apa
yang terdapat di bawah pusarnya hingga melewati lututnya.” Hukum ini
diambil dari tiga buah hadits yaitu: (a) Hadits Ad-Daruqutni, Ahmad, dan Abu
Dawud, dari Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, "Sekiranya
seseorang dari kamu kawin dengan seorang hamba perempuan, hamba lelaki atau
pekerjanya, maka ianganlah kamu melihat pada bagian bawah pusar dan bagian atas
lutut. Sesungguhnya apa yang di bawah pusar hingga ke lutut itu adalah aurat."
Ini adalah hadits dhaif. (b) Hadits Hakim bin Abdullah bin Ja'far, "Apa
yang ada di antara pusar hingga ke lutut adalah aurat." Hadits ini
adalah hadits maudhu'. (c) Hadits Ad-Daruqutni dari Abu Ayyub, "Apa
yang di atas kedua lutut itu adalah aurat dan apa yang di bawah pusar itu juga
aurat." Hadits ini adalah hadits gharib (Nashbur Rayah jilid
1 halaman 296-297).
Pendapat ini juga berdasarkan sebuah hadits
yang didhaifkan oleh Ad-Daruqutni, “Lutut adalah sebagian dari aurat.” (Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 297)
Aurat hamba perempuan sama dengan aurat lelaki. Tetapi ditambah bagian
punggung, perut dan bagian sisi lambungnya. Hal ini berdasarkan perkataan Umar,
yang artinya, “Hulurkanlah kain tudung kepala wahai hamba perempuan, Apakah
kamu menyerupai wanita-wanita yang merdeka.” Menurut Az-Zaila’i, hadis ini
adalah gharib. Abdurrazaq juga meriwayatkan hadis yang maknanya sama
dari Umar. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Baihaqi. Dia berkata bahwa, atsar
dari Umar tersebut shahih (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 300).
Disebabkan, hamba perempuan sering keluar rumah untuk memenuhi keperluan
tuannya dengan memakai pakaian kerjanya. Maka, ia dianggap sebagai muhrim
(orang yang diharam kawin) bagi orang lain untuk mengelakkan kesulitan.
Perempuan (selain hamba sahaya) dan khunsa
(orang yang tidak dapat dipastikan kelaminnya), menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama Hanafi,
aurat mereka adalah seluruh anggota tubuh sehingga rambutnya yang terurai, kecuali
muka, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki (pergelangan hingga ujung jari),
baik bagian luar telapak kaki atau telapak tangan itu maupun bagian dalamnya. Ini
menurut pendapat yang mu'tamad karena darurat.
Menurut pendapat yang rajih, suara bukanlah aurat.
Seorang wanita yang menyanyi, atau mengalunkan suaranya dengan lembut dianggap
aurat, baik di dalam adzan atau selainnya. Oleh sebab itu, tidak halal
mendengarnya.
Menurut pendapat yang azhhar, sebelah luar
tapak tangan adalah aurat. Tetapi menurut pendapat yang ashah, tapak tangan dan
sebelah luarnya bukanlah aurat.
Menurut pendapat yang mu'tamad, kedua telapak
kaki (pergelangan hingga ujung jari) bukan termasuk aurat semasa shalat. Tetapi
menurut pendapat yang shahih, keduanya adalah aurat, baik dilihat maupun
disentuh sama-sama tidak dibolehkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “...dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat....”
(An-Nuur: 31)
Tempat perhiasan yang zahir adalah muka dan
dua telapak tangan, sebagaimana perkataan
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dan juga sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Perempuan adalah aurat. Apabila ia keluar, maka setan
akan memandang kepadanya.” Hadis riwayat At-Tirmidzi, dari Abdullah bin
Mas’ud. Ia berkata, hadis hasan shahih gharib. Hadis ini juga
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 298).
Juga, berdasarkan hadits riwayat Aisyah yang
telah disebut sebelum ini, “Wahai Asma, perempuan apabila mencapai umur haid
(umur baligh) tidak boleh dilihat padanya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk
ke arah muka dan kedua telapak tangannya. Hadis riwayat Abu Dawud. Hadis ini
adalah mursal.
Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh
Aisyah yang telah disebutkan sebelum ini, “Allah Ta’ala tidak menerima
shalat perempuan yang sudah datang haid (baligh) tanpa menggunakan tudung
kepala.”
Perempuan remaja dilarang memperlihatkan mukanya
di kalangan lelaki. Larangan ini bukan karena muka itu sebagai aurat, tetapi
untuk mengelak timbulnya fitnah atau nafsu syahwat. Tujuan larangan
memperlihatkan mukanya adalah karena dikhawatirkan laki-laki akan melihat
mukanya sehingga mengakibatkan timbulnya fitnah. Hal ini karena memperlihatkan
mukanya dapat menyebabkan laki-laki memandangnya dengan keinginan syahwat.
Tidak boleh melihat muka perempuan dan pemuda amrad
(pemuda tampan yang belum tumbuh kumis dan janggut) dengan nafsu syahwat,
kecuali karena keperluan syar'i, seperti keperluan sebagai qadhi, saksi, atau pembuktian
terhadapnya.
Begitu juga dengan orang yang ingin meminang
perempuan, boleh melihatnya sekalipun timbul nafsu syahwat. Tetapi, hal ini
harus didasari niat mengamalkan sunnah Nabi, bukan untuk memuaskan nafsu.
Begitu juga ketika untuk keperluan mengobati
orang yang sakit, namun sekadar yang diperlukan saja.
Menurut pendapat yang mu'tamad di kalangan ulama
Hanafi, membuka seperempat bagian anggota aurat (yang berat, mughallazhah)
yaitu kemaluan bagian depan dan bagian belakang dan sekitarnya, ataupun aurat
ringan (mukhaffafah), yaitu selain dua kemaluan tadi, dengan tidak sengaja
selama kadar melakukan satu rukun shalat, menyebabkan batalnya shalat. Hal ini
disebabkan seperempat bagian sama hukumnya dengan seluruh bagian, sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelum ini. Tidak ada perbedaan di antara dua aurat
tersebut. Melainkan, hukum haramnya adalah lebih berat bagi mereka yang melihat
kepada al-aurat al-ghalizah, yaitu kemaluan bagian depan dan belakang.
Oleh sebab itu, jika yang terbuka kurang dari
seperempat, maka tidak batal shalatnya. Atas dasar ini, maka jika seseorang
membuka seperempat dari perut, paha, rambut yang terurai dari kepala, kemaluan
belakang, zakar, kedua buah zakar atau kemaluan bagian depan perempuan, maka shalatnya
batal jika berlangsung selama kadar melakukan satu rukun shalat. Tetapi jika berlangsungnya
tidak selama kadar tersebut, maka hal itu tidak membatalkan shalatnya.
Madzhab Maliki
Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi (Asy-Syarhush
Shaghir jilid 1 halaman 285; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 111;
Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 53; Asy-Syarhul Kabir jilid 1
halaman 211-217; Syarhur Risalah jilid 1 halaman 98), pendapat yang
disepakati dalam madzhab ini mewajibkan menutup aurat dari pandangan orang.
Menurut pendapat yang shahih dari madzhab ini, ketika seseorang melakukan shalat,
ia diwajibkan menutup beberapa perkara berikut.
Aurat laki-laki ketika shalat adalah aurat berat (mughallazah)
saja, yaitu kemaluan bagian depan: zakar berserta buah zakar dan kemaluan
belakang yang terletak antara kedua pantat. Oleh sebab itu, sekalipun yang
terbuka adalah kedua pantatnya saja ataupun kelihatan rambut kelamin, maka
diwajibkan mengulangi shalat dengan segera. Menurut pendapat mereka, paha tidak
termasuk bagian aurat. Hanya zakar dan buah zakar saja yang termasuk aurat
bagian depan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Anas, “Pada peperangan
Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah terkoyak kain pada
pahanya, sehingga tampak bagiku putih pahanya.” Hadis riwayat Imam Ahmad
dan Al-Bukhari (Nailul Authar jilid 2 halaman 64). Hadis ini diperkuat
lagi oleh hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Aisyah.
Aurat hamba perempuan adalah kedua kemaluan dan pantatnya. Oleh karena itu,
jika terbuka sebagian darinya atau terbuka paha seluruhnya atau sebagian saja,
maka hendaklah shalatnya diulangi dengan segera sebagaimana halnya dengan
lelaki. Waktu mengulangi shalat Zhuhur dan Ashar adalah semasa matahari
kekuning-kuningan. Adapun bagi shalat Maghrib dan Isya, adalah pada seluruh malam
dan bagi shalat Shubuh adalah sewaktu matahari naik.
Aurat berat (mughallazhah) perempuan (bukan
hamba sahaya) adalah seluruh badan kecuali dada, tepi
kepala, kedua belah tangan dan kedua belah kaki (dari pangkal paha hingga ujung
jari). Adapun bagian punggung yang searah dengan dada, hukumnya sama dengan
dada. Jika perempuan yang shalat terbuka aurat ringan (mukhaffafah)-nya,
yaitu dada atau sebagian darinya, atau bagian luar telapak kaki bukan bagian
dalamnya, maka hendaklah ia mengulangi shalatnya pada masa yang dikehendaki,
sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini. Yaitu, bagi waktu Zhuhur dan
Ashar sewaktu langit kekuning-kuningan dan bagi waktu Maghrib dan Isya
sepanjang malam. Adapun bagi waktu Shubuh, adalah ketika matahari naik.
Ini semua adalah dari segi hukum yang berhubungan
dengan masalah shalat. Adapun hukum yang berhubungan dengan masalah memandang dan
juga shalat, maka diwajibkan juga menutup aurat-aurat tersebut.
Lelaki dan hamba perempuan di luar shalat, tidak
disyaratkan menutup auratnya. Aurat perempuan (selain hamba sahaya) di hadapan perempuan
Islam atau kafir adalah antara pusar dengan lutut.
Seluruh tubuh perempuan (selain hamba sahaya)
wajib ditutup ketika berada di hadapan lelaki asing (bukan muhrim), kecuali
bagian muka dan kedua belah telapak tangan. Karena, kedua-duanya bukan termasuk
aurat. Meskipun begitu, menutup muka dan telapak tangan tetap diwajibkan supaya
tidak menimbulkan fitnah.
Lelaki tidak dibenarkan melihat bagian dada
atau yang lainnya dari perempuan muhrim, sekalipun sebab menjadi muhrim itu karena
pernikahan dan persusuan dan meskipun melihatnya itu tidak menimbulkan syahwat.
Mereka hanya dibolehkan melihat bagian muka dan bagian-bagian luar (athraaf,
yang meliputi, kepala, leher dan bagian punggung telapak kaki).
Hukum tersebut berbeda dengan hukum menurut
ulama Syafi'i dan para ulama lain yang membolehkan melihat seluruh tubuh, kecuali
yang berada di antara pusar dan lutut. Pendapat ini dimaksudkan untuk kemudahan
(fushah).
Dari uraian di atas, jelas bahwa aurat lelaki
dan perempuan dalam shalat terdiri atas aurat berat (mughallazhah) dan
aurat ringan (mukhaffafah). Aurat berat bagi lelaki adalah kemaluan
bagian depan dan lubang dubur. Sedangkan aurat ringan mereka adalah
bagian-bagian yang terdapat di antara pusar dan lutut, selain kemaluan depan
dan lubang dubur.
Aurat berat bagi hamba sahaya perempuan adalah
kedua pantat dan yang terdapat di antaranya seperti lubang dubur, kemaluan bagian
depan dan yang ada di sekitarnya termasuk rambut kemaluan. Aurat ringan baginya
adalah paha dan apa yang terdapat di atas rambut kemaluan hingga pusar.
Aurat berat bagi perempuan (selain hamba
sahaya) adalah seluruh tubuhnya kecuali kaki, tangan, dada, dan punggung yang
searah dengan dada. Aurat ringan baginya adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka
dan kedua belah telapak tangannya.
Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan shalat
dalam keadaan terbuka aurat beratnya, sedangkan ia tahu dan mampu untuk
menutupinya meskipun dengan cara membeli atau meminjam penutup aurat, maka
menurut pendapat yang rajih, shalatnya batal dan hendaknya ia mengulanginya.
Ini menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama Maliki.
Sebaliknya, seseorang yang melakukan shalat
dalam keadaan terbuka aurat ringannya, maka shalatnya tidak batal, sekalipun
hukum membuka aurat ringan adalah makruh dan melihatnya diharamkan. Walaupun
begitu, orang yang melakukan shalat dalam keadaan terbuka aurat ringannya
disunnahkan untuk mengulangi shalatnya dalam waktu darurat (bagi Zhuhur dan
Ashar adalah waktu langit kekuning-kuningan, Maghrib dan Isya adalah sepanjang
malam dan Shubuh sewaktu terbit matahari).
Melihat aurat ketika terbuka hukumnya haram,
sekalipun tidak menimbulkan syahwat. Tetapi melihatnya ketika tertutup,
hukumnya boleh. Kecuali jika dengan cara mengintip dari sebelah atas
penutupnya, maka hukumnya tidak boleh.
Aurat yang tidak boleh dipandang pada diri
lelaki adalah apa yang terdapat di antara pusar dengan lutut. Aurat perempuan
ketika berada di hadapan lelaki asing adalah seluruh badannya, kecuali muka dan
kedua belah telapak tangannya. Dan ketika berada di hadapan muhrimnya, adalah
seluruh tubuhnya kecuali muka, kepala, leher, kedua belah tangan dan kedua
belah kaki. Tetapi jika dikhawatirkan menimbulkan syahwat, maka hukumnya haram membuka
perkara-perkara tadi. Pengharaman itu bukan karena perkara tersebut bagian dari
aurat, tetapi karena dikhawatirkan akan menimbulkan syahwat.
Perempuan dengan perempuan lain atau dengan muhrimnya
sama seperti lelaki dengan lelaki. Mereka boleh dilihat selain yang berada di
antara pusar dengan lutut.
Bagian yang boleh dilihat oleh perempuan pada
lelaki asing adalah sama dengan hukum lelaki dengan muhrim-muhrimnya, yaitu muka,
kepala, kedua belah tangan dan kedua belah kaki.
Madzhab Syafi'i
Menurut
pendapat ulama madzhab Syafi’i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 185; Al-Muhadzdzab
jilid 1 halaman 64; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 170-176) adalah:
Aurat lelaki ketika shalat, thawaf dan ketika
berada di hadapan lelaki asing dan perempuan yang termasuk muhrim adalah antara pusar dengan lututnya. Ini berdasarkan
riwayat Al-Harits bin Abi Usamah dari Abu Usamah, dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu
‘anhu “Aurat orang mukmin adalah antara pusar dengan lututnya.” Dan
juga, berdasarkan riwayat Al-Baihaqi, “Dan apabila salah seorang dari kamu
mengawinkan hamba perempuannya dengan hamba lelakinya, maka janganlah hamba
perempuan itu melihat auratnya.” Dan banyak juga hadits yang diriwayatkan tentang
penutupan paha sebagai aurat. Di antaranya adalah hadits, “Janganlah kamu
membuka pahamu dan janganlah kamu melihat paha orang hidup dan orang mati.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Bazzar. Di
dalamnya terdapat illah (Nailul Authar jilid 2 halaman 62).
Dan juga, sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam kepada Jarhad Al-Aslami, “Tutuplah pahamu, sesungguhnya
paha itu aurat.” Hadis riwayat Malik dalam Al-Muwaththa’. Diriwayatkan
juga oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dia berkata, ini hadis hasan.
Hadis ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban (Nailul Authar jilid 1 halaman
63).
Menurut pendapat yang shahih di kalangan ulama
Syafi'i, bahwa pusar dan lutut tidak termasuk sebagai aurat. Hal ini
berdasarkan hadits riwayat Anas yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam membuka pahanya sebagaimana yang diterangkan dalam madzhab
Maliki sebelum ini. Tetapi, diwajibkan menutup sebagian lutut supaya tertutup
juga paha. Begitu juga diwajibkan menutup sebagian pusar supaya tertutup juga
bagian di bawah pusar. Karena apabila tidak sempurna kewajiban kecuali dengan
sesuatu hal, maka sesuatu itu juga menjadi wajib sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh ulama Syafi'i, Hambali dan Maliki dalam Usulul Fiqh (Syarhul
Isnawi jilid 1 halaman 127; Al-Madkhal ila Madzhab Ahmad halaman 61;
Mukhtashar Ibn Al-Hajib halaman 38).
Adapun aurat lelaki ketika berada di hadapan
perempuan asing (bukan muhrim) adalah seluruh
tubuhnya dan ketika sendirian hanya dua kemaluannya saja. Argumentasi ulama
Maliki yang bersandar kepada hadits riwayat Anas dan Aisyah yang membuktikan
bahwa paha bukan sebagian dari aurat, ditolak dengan empat alasan:
Pertama, hadits tersebut menceritakan perbuatan, sedangkan ujung paha boleh dibuka
khususnya ketika peperangan dan permusuhan dan Ushulul Fiqh menetapkan
bahwa perkataan lebih kuat hujjahnya dari perbuatan. Kedua, hadits yang
diriwayatkan oleh Anas dan Aisyah tidak dapat mengalahkan perkataan-perkataan
ulama yang shahih lagi telah menyebar. Ketiga, hadits yang diriwayatkan
oleh Aisyah dalam Shahih Muslim terdapat keraguan. Hadits itu menyatakan bahwa,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di rumahku sedangkan
kedua paha atau betisnya terbuka.” Betis tidak dianggap sebagai aurat
menurut ijma' ulama. Maka, bagian yang terbuka itu diragui apakah betis ataupun
paha yang terbuka. Keempat, terbukanya paha yang menjadi isu dalam
peristiwa ini adalah khusus bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
dan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan teladan yang
harus diikuti. Oleh sebab itu, berpegang pada perkataan-perkataan yang jelas
menunjukkan bahwa paha adalah sebagian dari aurat adalah wajib (Nailul
Authar jilid 2 halaman 64; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 176).
Lelaki tidak wajib menutup auratnya dari pandangannya
sendiri, tetapi hukum melihat auratnya sendiri adalah makruh.
Aurat hamba sahaya perempuan sama seperti aurat lelaki menurut pendapat yang ashah.
Karena, kepala dan tangan hamba perempuan dan lelaki dianggap bukan aurat dan
karena kepala dan tangan adalah anggota yang sangat diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sehingga sering dibuka.
Aurat perempuan (selain hamba) dan juga khunsa
(orang yang tidak tentu kelaminnya atau yang mempunyai dua organ kelamin) adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak
tangan, baik telapak tangan bagian belakang atau bagian dalam yang meliputi
ujung jari hingga ke pergelangan tangan. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala, “... dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang
(biasa) terlihat ...” (An-Nuur: 3 1)
Ibnu Abbas dan Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah muka dan kedua telapak
tangan. Karena, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
perempuan yang berihram (baik untuk mengerjakan haji atau umrah) memakai sarung
tangan dan penutup muka. Jika muka dianggap sebagai aurat, mestinya tidak
diharamkan menutupnya semasa berihram. Muka dan kedua telapak tangan tidak
dianggap aurat, karena sangat
dibutuhkan untuk keperluan jual beli, untuk keperluan
mengambil dan memberi sesuatu, maka ia tidak dikira sebagai aurat. Hadis ini
diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Perempuan yang dalam ihram janganlah menutup
muka dan memakai sarung tangan.”
Jika sebagian dari aurat seorang yang melakukan
shalat terbuka, sedangkan orang tersebut mampu menutup aurat tersebut, maka
shalatnya batal. Kecuali jika terbukanya aurat tersebut disebabkan oleh tiupan
angin atau karena terlupa kemudian ditutup dengan segera. Maka, ia tidak
membatalkan shalat, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini. Namun jika
terbukanya aurat tersebut bukan karena tiupan angin, atau bukan sebab binatang
atau anak-anak yang belum mumayyiz, maka shalatnya batal.
Aurat perempuan (selain hamba sahaya) selain
pada waktu shalat, yaitu ketika di hadapan lelaki asing (bukan muhrim) adalah seluruh badannya. Adapun auratnya semasa di
hadapan perempuan kafir adalah seluruh badannya, kecuali anggota yang perlu
dibuka untuk keperluan kerja dan menunaikan hajat. Adapun semasa di hadapan
perempuan Islam dan lelaki muhrim, auratnya adalah anggota badan yang berada di
antara pusar dengan lututnya.
Dalil yang digunakan seluruh ulama tentang kewajiban
menutup aurat dan larangan terhadap lelaki dari melihat aurat lelaki lain, dan
larangan terhadap perempuan dari melihat aurat perempuan lain adalah hadits
riwayat Abu Sa'id Al-Khudri, “Lelaki tidak boleh memandang aurat lelaki lain
dan perempuan tidak boleh memandang aurat perempuan yang lain dan lelaki tidak
boleh tidur bersama-sama lelaki lain dalam satu pakaian dan perempuan tidak
boleh tidur bersama-sama perempuan lain dalam satu pakaian.” Hadis riwayat
Imam Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi (Nailul Authar jilid 2 halaman
61).
Begitu juga hadits riwayat Bahz bin Hakim dari
ayahnya, dari kakeknya yang artinya, “Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada siapakah aurat kami boleh dibuka dan
kepada siapa dilarang?' Rasul menjawab, 'Peliharalah auratmu kecuali
dari istrimu atau hamba sahaya milikmu.' Saya berkata, 'Kalau di antara
orang banyak?' Rasul menjawab, 'Jika kamu mampu mengelak dari dilihat
oleh siapa pun, maka jangan biarkan auratmu dilihat.' Saya bertanya lagi, 'Jika
kami sedang sendirian?' Rasul menjawab, 'Kepada Allah Ta’ala mestinya
lebih utama untuk malu.” Diriwayatkan oleh lima orang Imam Hadis kecuali An-Nasa’i (Nailul
Authar jilid 2 halaman 61).
Hadits itu menunjukkan bahwa seseorang tidak
boleh telanjang di tempat yang sepi. Pendapat ini juga didukung oleh hadits riwayat
Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kamu bertelanjang. Sesungguhnya
bersama-sama kamu ada (malaikat) yang tidak berpisah dari kamu, kecuali ketika
komu membuang air dan ketika seorang lelaki berhubungan
badan dengan istrinya. Maka, malulah kepada mereka (malaikat) dan hormatilah
mereka.”
Imam Bukhari mengatakan bahwa bertelanjang ketika
mandi hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan kisah Nabi Musa dan Nabi Ayub.
Madzhab Hambali
Menurut
pendapat ulama madzhab Hambali (Al-Mughni jilid 1 halaman 577, 582,
601-606; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 306-315; Ghayatul Muntaha jilid
1 halaman 97-99) adalah:
Aurat lelaki adalah anggota tubuh yang berada di antara pusar dengan lututnya. Hal ini
berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelum ini yang dipakai oleh ulama
Hanafi dan Syafi'i sebagai dalil mereka. Tetapi, pusar dan lutut sendiri bukan
termasuk aurat. Ini berdasarkan hadits riwayat Amr bin Syu'aib yang telah disebutkan
sebelum ini, “Apa yang di bawah pusar sampai lutut adalah aurat.”
Dan juga, berdasar hadits Abu Ayyub Al-Anshari,
“Di bawah pusar dan di atas kedua lutut adalah aurat.” Hadis riwayat Abu
Bakar dengan isnadnya.
Alasannya adalah lutut merupakan batas daerah
yang bukan termasuk aurat sebagaimana pusar.
Aurat khunsa musykil (seseorang yang mempunyai dua organ kelamin) yang tidak
jelas kelaki-lakian ataupun perempuannya dihukumi seperti aurat lelaki.
Di samping itu, menurut yang zahir dari
madzhab ini, agar shalat lelaki menjadi sah, maka dia diwajibkan menutup salah
satu bahunya sekalipun dengan kain yang tipis yang dapat menjelaskan warna kulitnya.
Kewajiban menutup bahu adalah berdasarkan hadits, “Janganlah seorang lelaki
melakukan shalat di dalam satu kain yang tidak ada sesuatu apa pun di atas
bahunya.”
Larangan tersebut menunjukkan pengharaman dan
penetapan hukum dengan hadits ini, lebih diutamakan daripada dengan cara qiyas.
Abu Dawud meriwayatkan dari Buraidah, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam melarang seseorang melakukan shalat di dalam kain selimut tanpa
menutup bahunya (seperti selimpang).”
Tetapi, orang yang hanya mempunyai sesuatu (kain
umpamanya) yang hanya dapat digunakan untuk menutup aurat atau bahunya saja,
maka hendaklah dia mengutamakan untuk menutup auratnya, dan shalatnya wajib
dilakukan dengan cara berdiri. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Jika kain itu luas, maka selisihkan dan ikatkan kedua
tepinya. Dan jika ia sempit, maka ikatkan kuat-kuat pada pinggangnya.”
Hadis riwayat Abu Dawud.
Lelaki hendaklah menutup auratnya dari
penglihatan orang lain. Bahkan, ia hendaknya melindungi auratnya dari penglihatannya
sendiri ketika sedang mengerjakan shalat. Jika auratnya kelihatan melalui saku
bajunya yang terbuka luas apabila rukukatau sujud, maka hendaklah ia
mengancingkan atau mengikatnya supaya ia tertutup. Hal ini karena perintah menutup
aurat bersifat umum.
Begitu juga, diwajibkan menutup aurat ketika
dia sedang sendirian atau berada di dalam gelap. Hal ini berdasarkan hadits riwayat
Bahz bin Hakim yang telah disebut sebelum ini yang berbunyi, “Pelihara olehmu
aurat kamu kecuali dari istrimu atau hamba milikmu....”
Tidak diwajibkan menutup aurat dengan tikar,
tanah, air keruh, atau lumpur yang berada di dalam parit. Karena, menjadikan benda-benda
itu sebagai penutup aurat tidak ada dalil yang kuat dan mengambil lumpur di
dalam parit juga menyusahkan.
Jika ketika shalat terbuka sebagian kecil
aurat, maka shalatnya tidak batal. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Dawud dari
Amru bin Salmah yang terbuka kain tutupnya ketika sujud karena berlangsung
hanya dalam waktu yang singkat. Jika yang terbuka adalah sebagian besar dari
aurat, maka shalatnya batal. Untuk menentukan besar kecilnya aurat yang terbuka
adalah menurut kebiasaan. Jika terbukanya sebagian besar dari aurat karena
tidak disengaja dan segera ditutup kembali tanpa melewati masa yang panjang,
maka shalatnya tidak batal. Ini disebabkan pendeknya masa terbuka disamakan dengan
kecilnya ukuran aurat yang terbuka. Tetapi jika terbukanya berlangsung dalam
masa yang panjang atau sengaja dibuka, maka shalatnya batal secara mutlak.
Aurat hamba perempuan sama seperti aurat lelaki, yaitu apa yang ada antara pusar
dengan lutut menurut pendapat yang rajih. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Amr
bin Syu'aib (hadits marfu' yang telah disebutkan sebelum ini yang
artinya, “Dan apabila salah seorang dari kamu mengawinkan hamba perempuannya
dengan hamba lelakinya, maka janganlah hamba perempuan itu melihat auratnya.”)
Aurat perempuan yang sudah baligh (selain hamba
sahaya) adalah seluruh tubuhnya kecuali muka. Menurut
pendapat yang rajih dari dua riwayat di kalangan ulama, kedua telapak tangan
juga tidak termasuk aurat. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “... dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat....”
(An-Nuur: 31)
Ibnu Abbas dan Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah muka dan kedua telapak
tangan. Hadis riwayat Al-Baihaqi. Hadis ini dhaif. Riwayat Ibnu Mas’ud berbeda
dengan riwayat Aisyah dan Ibnu Abbas.
Begitu juga perempuan tidak boleh membuka
selain muka dan kedua telapak tangannya sewaktu shalat. Ini berdasarkan
hadits-hadits yang telah disebutkan sebelum ini yang dijadikan dalil oleh ulama
madzhab Syafi'i. Dalil yang mewajibkan menutup kedua telapak kaki adalah hadits
riwayat Ummu Salamah yang artinya, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah
perempuan shalat dengan memakai baju dan tudung kepala tanpa sarung?”
Baginda menjawab, “Ya, jika memang bajunya panjang, maka tutuplah bagian
punggung tapak kakinya.” Hadis riwayat Abu Dawud. Dia berkata, jamaah Ahli
Hadits memauqufkan hadits ini kepada Ummu Salamah. Sementara, Abdurrahman bin
Abdullah bin Dinar memarfu'kannya. At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari
Ibnu Umar tentang tema yang sama dan dia berkata ini hadits hasan shahih.
Hadits tersebut menunjukkan wajibnya menutup
kedua belah telapak kaki, karena ia termasuk bagian tubuh yang tidak boleh
dibuka semasa berihram baik untuk haji atau umrah. Maka, ia juga tidak boleh
dibuka ketika shalat sebagaimana halnya kedua betis.
Perempuan sudah cukup menggunakan pakaian yang
dapat menutupi bagian yang wajib saja. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ummu
Salamah yang telah disebutkan tadi. Tetapi ketika melakukan shalat, mereka
disunnahkan memakai baju yang lebar dan panjang yang dapat menutup kedua
telapak kakinya dan juga tudung kepala yang dapat menutup kepala dan leher,
serta menggunakan selendang yang diselimutkan ke atas baju yang dipakai.
Jika perempuan terbuka aurat, selain muka dan
kedua tapak tangan, baik sebagian kecil atau besar, rnaka hukumnya adalah sama
dengan hukum pada kasus lelaki, seperti yang telah dibincangkan sebelum ini.
Aurat perempuan di hadapan lelaki yang
termasuk muhrim adalah seluruh tubuhnya kecuali muka, leher, kedua belah
tangan, telapak kaki dan betis.
Sebagaimana pendapat ulama Syafi'i, ulama
Hambali mengatakan bahwa seluruh tubuh perempuan termasuk muka dan kedua telapak
tangannya, di luar shalat, adalah termasuk aurat. Ini berdasarkan sabda
Rasulullah yang telah disebutkan sebelum ini yang artinya, “Perempuan adalah
aurat.”
Membuka aurat karena untuk keperluan berobat
dibolehkan. Begitu juga ketika sedang sendiri di bilik air, berkhitan, untuk
mengetahui pencapaian umur baligh, untuk mengetahui keperawanan dan bukan
perawan, serta untuk mengetahui kecacatan.
Aurat perempuan Muslim (selain hamba) di
hadapan perempuan kafir menurut
pendapat ulama Hambali adalah sama seperti auratnya di hadapan lelaki muhrim,
yaitu bagian yang berada di antara pusar dengan lutut. Adapun menurut pendapat
jumhur, auratnya adalah seluruh tubuh kecuali yang biasa terbuka ketika
melakukan pekerjaan rumah.
Penyebab perbedaan pendapat dalam masalah ini
adalah penafsiran ayat Al-Qur'an dalam Surah An-Nuur ayat 31, “... dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, ...atau
para perempuan (sesama Islam) mereka...”
Menurut pendapat ulama Hambali dan para ulama
lain, kata ganti hinna (mereka) mencakupi perempuan secara umum tanpa membedakan
antara Islam dengan kafir. Oleh sebab itu, perempuan Islam boleh memperlihatkan
perhiasan tubuhnya kepada perempuan kafir, sama dengan bolehnya ia
memperlihatkan kepada perempuan Islam lainnya.
Menurut pendapat jumhur, kata ganti hinna
di sini adalah khusus menunjuk perempuan Islam saja, yaitu khusus bagi
persahabatan dan persaudaraan Islam. Oleh sebab itu, perempuan Islam tidak
boleh memperlihatkan apa pun dari perhiasan tubuhnya kepada perempuan kafir (Tafsir
Ayatil Ahkam bil Azhar jilid 3 halaman 164).
(iv) Bagian Aurat yang Terpisah dari Badan
Menurut pendapat ulama mAdzhab Hanafi dan
Syafi'i, melihat aurat lelaki baik dalam bentuk yang masih sedaging dengan tubuh
si empunya atau sudah terpisah dari tubuh seperti rambut, lengan, ataupun paha
adalah haram hukumnya.
Menurut pendapat ulama madzhab Hambali, bagian
aurat yang telah terpisah dari tubuh si empunya tidak diharamkan melihatnya. Karena,
ia telah hilang kemuliaannya ketika sudah terpisah.
Menurut pendapat ulama madzhab Maliki, boleh
melihat bagian aurat yang sudah terpisah dari tubuh ketika pemiliknya masih hidup.
Tetapi, diharamkan melihatnya apabila si empunya sudah mati. Hukum ini sama seperti
melihat bagian aurat yang masih sedaging dengan tubuh si empunya.
(v) Suara Perempuan
Menurut pendapat jumhur, suara perempuan tidak
dianggap sebagai aurat, karena para sahabat mendengar suara istri-istri Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mempelajari hukum-hukum
agama. Tetapi apabila suaranya berbentuk lagu dan irama sekalipun bacaan Al-Qur'an,
maka diharamkan karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.
Menurut ulama madzhab Hanafi, pendapat yang
rajih adalah yang menyatakan bahwa suara perempuan bukanlah termasuk aurat.
Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah, para
ulama sependapat untuk mengatakan bahwa kedua kemaluan adalah aurat, dan pusar
bukanlah aurat. Aurat lelaki adalah apa yang terdapat di antara pusar dengan
lutut. Adapun aurat perempuan ketika shalat adalah seluruh tubuh kecuali muka
dan kedua telapak tangan dan -menurut pendapat ulama Hanafi- juga selain kedua
telapak kaki (dari pergelangan hingga ke ujung jari). Aurat perempuan di luar
shalat adalah seluruh tubuh.
Di samping itu, ulama berbeda pendapat tentang
keauratan lutut. Menurut pendapat ulama Hanafi, lutut adalah aurat. Sementara
pendapat jumhur, lutut tidak termasuk sebagai aurat. Tetapi, diwajibkan menutup
sebagian darinya dan juga pusar karena keduanya adalah bagian permulaan bagi
aurat yang wajib ditutup. Karena apabila hukum wajib tidak dapat sempurna
kecuali dengan memenuhi sesuatu, maka sesuatu itu juga menjadi wajib hukumnya.
Menurut pendapat ulama Hanafi dan Syafi'i,
aurat perempuan ketika di hadapan keluarganya yang muhrim atau di hadapan perempuan
Muslim adalah apa yang terdapat di antara pusar dan lutut. Tetapi menurut pendapat
ulama Maliki, auratnya adalah seluruh tubuh kecuali muka, kepala, batang leher,
kedua belah tangan dan kaki (dari pangkal paha sampai ke ujung jari kaki).
Sementara pendapat ulama Hambali, aurat adalah seluruh tubuh kecuali muka,
leher, kepala, kedua tangan, telapak kaki (dari pergelangan hingga ke ujung
jari kaki) dan betis.
Telapak kaki bukanlah aurat menurut ulama
madzhab Hambali dan Hanafi.
(vi) Batas Aurat Anak-anak
Mengenai batas aurat anak lelaki dan
perempuan, para fuqaha berbeda pendapat. Ada kelompok yang cenderung kepada
sikap keras seperti ulama Syafi'i, kelompok yang lunak seperti ulama Maliki dan
kumpulan yang moderat seperti ulama Hambali dan Hanafi.
Menurut pendapat ulama Hanafi, anak-anak yang
berumur empat tahun ke bawah dianggap belum beraurat. Oleh sebab itu, boleh melihat
dan menyentuh tubuh anak tersebut. Apabila umurnya sudah lebih empat tahun, selagi
belum menimbulkan keinginan nafsu terhadapnya, maka auratnya adalah kemaluan depan
dan kemaluan belakang. Kemudian auratnya semakin meningkat hingga ia mencapai umur
sepuluh tahun, yaitu kemaluan belakang dan sekitarnya yang terdiri atas kedua pantat
dan juga kemaluan depan serta sekitarnya. Setelah umurnya lebih dari sepuluh tahun,
maka auratnya sama dengan aurat orang yang telah baligh baik ketika ia sedang mengerjakan
shalat ataupun di luar shalat. Hal ini berlaku bagi lelaki dan juga perempuan.
Ulama madzhab Maliki (Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 287; Asy-Syarhul Kabir ma’a Ad-Dasuqi jilid 1 halaman 216) membedakan
antara anak lelaki dengan anak perempuan:
(a) Ketika shalat: Aurat anak lelaki yang masih dalam masa disuruh shalat,
yaitu yang berumur tujuh tahun adalah kedua kemaluan depan dan belakangnya,
kedua pantatnya, daerah tempat tumbuh rambut kemaluan dan paha. Maka,
disunnahkan menutupi bagian-bagian tersebut sebagaimana yang dituntut di
kalangan orang yang sudah baligh. Adapun aurat anak perempuan yang masih dalam
umur disuruh shalat adalah apa yang terdapat di antara pusar dengan lutut.
Maka, disunnahkan menutupi semua bagian badan tersebut sebagaimana yang dituntut
di kalangan orang yang sudah baligh.
(b) Ketika di luar shalat: Anak lelaki yang berumur delapan tahun ke bawah
dianggap belum mempunyai aurat lagi. Maka, perempuan boleh melihat ke seluruh
tubuhnya dan memandikannya jika anak itu mati. Anak lelaki yang telah mencapai umur
sembilan tahun hingga dua belas tahun juga boleh dilihat seluruh tubuhnya oleh
perempuan. Tetapi, ia tidak boleh memandikannya jika anak itu mati. Anak lelaki
yang sudah mencapai umur tiga belas tahun ke atas, auratnya sama seperti aurat
lelaki yang sudah dewasa.
Anak perempuan yang berumur dua tahun delapan
bulan dianggap belum mempunyai aurat. Anak perempuan yang sudah mencapai umur
tiga tahun hingga empat tahun juga dianggap belum beraurat dari segi pandangan,
maka lelaki boleh memandang tubuhnya. Tetapi dari segi aurat yang disentuh,
anak perempuan tersebut sudah dianggap mempunyai aurat. Oleh sebab itu, lelaki
tidak boleh memandikannya. Anak perempuan yang sudah bisa menimbulkan keinginan
nafsu lelaki, seperti anak perempuan yang berumur enam tahun, maka auratnya
sama seperti aurat perempuan yang sudah dewasa. Sehingga, lelaki tidak boleh
melihat auratnya dan dia juga tidak boleh memandikannya sekiranya anak perempuan
itu mati.
Menurut pendapat ulama Syafi'i (Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 185), aurat anak lelaki -meskipun belum mutamayyiz
(belum dapat membedakan antara yang buruk dengan yang baik)-adalah sama seperti
aurat lelaki yang sudah dewasa. Yaitu, apa yang terdapat di antara pusar dengan
lutut. Aurat anak perempuan juga sama seperti aurat perempuan yang sudah
dewasa, baik ketika shalat ataupun di luar shalat.
Menurut pendapat ulama Hambali (Kasysyaful
Qina’ jilid 1 halaman 308 dan setelahnya), anak yang belum mencapai umur
tujuh tahun dianggap belum mempunyai aurat. Maka, boleh melihat seluruh
tubuhnya dan juga boleh menyentuhnya. Aurat anak lelaki yang telah mencapai
umur tujuh tahun hingga sepuluh tahun adalah kedua kemaluannya saja, baik sewaktu
shalat ataupun di luar shalat. Aurat anak perempuan yang sudah mencapai umur tujuh
tahun hingga sepuluh tahun, ketika shalat adalah apa yang terdapat di antara
pusar dengan lutut. Adapun di luar waktu shalat, auratnya adalah sama seperti
aurat perempuan yang sudah dewasa. Yaitu, apabila berada di hadapan lelaki
muhrimnya, auratnya adalah apa yang terdapat di antara pusar dengan lutut. Tetapi,
disunnahkan supaya menutup tubuh dan kepalanya seperti perempuan yang dewasa,
sebagai langkah berhati-hati. Apabila berada di hadapan lelaki asing (bukan muhrim),
auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka, leher, kepala, kedua belah
tangan hingga siku, betis dan telapak kaki (dari pergelangan hingga ujung
jari). Aurat anak-anak lelaki yang sudah mencapai umur sepuluh tahun adalah
sama seperti aurat lelaki yang dewasa.
Menurut pendapat Syeikh Wahbah Zuhaili,
pendapat terakhir ini dan juga pendapat ulama madzhab Hanafi lebih utama,
karena sesuai dengan hadits yang menyuruh anak-anak yang berumur tujuh tahun
supaya shalat dan menganjurkan untuk memukul anak-anak yang berumur sepuluh
tahun yang tidak mau melakukan shalat.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments