Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
4. SUNNAH-SUNNAH WUDHU
Ulama madzhab Hanafi membedakan antara perkara
sunnah dan mandub. Mereka mengatakan bahwa sunnah adalah sesuatu yang sangat
dianjurkan, yaitu amalan yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam Secara berterusan yang hanya kadang-kadang ditinggalkan oleh
beliau tanpa uzur. Hukumnya adalah diberi pahala apabila dilakukan dan dicela
apabila ditinggalkan.
Adapun mandub dan mustahab
adalah amalan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
secara tidak berterusan. Di sini ia dikenal sebagai adab-adab wudhu. Hukumnya
diberikan pahala apabila dilaksanakan dan tidak dicela apabila ditinggalkan.
Sunnah-sunnah wudhu yang paling penting di
kalangan ulama madzhab Hanafi ada 18 perkara. Adapun di kalangan ulama madzhab Maliki
ada delapan perkara dan di kalangan ulama madzhab Syafi'i terdapat lebih kurang
30 perkara. Perbedaan ini terjadi karena mereka tidak membedakan antara amalan
sunnah dengan amalan mandub. Di kalangan ulama madzhab Hambali, jumlah yang
dianjurkan untuk dilakukan ketika wudhu lebih kurang 20 perkara (Al-Bada'i,
halaman 18 - 23; Fathul Qadir, halaman 13-23; Ad-Durrul Mukhtar,
jilid 1 halaman 101-114; Muraqil Falah, halaman 13; Asy-Syarhush
Shaghir, halaman 117-121; Asy-Syarhul Kabir, jilid l halaman 96-104;
Bidayatul Mujtahid, jilid l halaman 8-12; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah,
halaman 22; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 15-19; Kasysyaful Qina',
jilid 1 halaman 118-122; Al-Mughni, jilid 1 halaman 96 - 143).
1. Niat
Niat adalah sunnah menurut pendapat ulama
madzhab Hanafi. Waktunya adalah sebelum melakukan istinja'. Caranya
adalah dengan berniat untuk menghilangkan hadats, mendirikan shalat, berniat
untuk berwudhu, atau mematuhi perintah. Tempat niat adalah dalam hati. Para
ulama terkemuka mengatakan bahwa membaca lafal niat adalah disunnahkan. Mereka juga
berkata bahwa niat adalah fardhu di kalangan jumhur ulama selain ulama madzhab
Hanafi, seperti yang telah dijelaskan dalam penjelasan tentang fardhu atau
rukun-rukun wudhu di atas.
2. Membasuh kedua tangan
Membasuh kedua tangan hingga ke pergelangan sebanyak
tiga kali sebelum memasukkan kedua tangan ke dalam tempat air, baik setelah
seorang itu bangun dari tidur ataupun tidak tidur. Hal ini karena kedua tangan
merupakan alat untuk berwudhu. Terdapat sabda Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, "Apabila salah satu di antara kamu bangun dari
tidur, maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan ke dalam
tempat air. Karena, tidak ada orang di antara kamu yang tahu dimanakah ia
meletakkan tangannya pada waktu tidur.” Hadits riwayat Al-A'immah
As-Sittah dalam kitab-kitab mereka dari Abu Hurairah (Nashbur Rayah,
jilid 1 halaman 2).
Dalam hadits yang lain disebutkan, "Sehingga
dia membasuhnya sebanyak tiga kali." Akan tetapi menurut pendapat yang
rajih, ia cukup dilakukan sekali saja, sebagaimana amalan lain pada wudhu.
Melakukan sebanyak tiga kali adalah sunnah. Ulama madzhab Hambali mengatakan bahwa
membasuh sebanyak tiga kali adalah sunnah bagi orang yang bangun tidur selain
tidur malam.
3. Membaca bismillah pada permulaan wudhu
Yaitu ketika membasuh kedua tangan hingga
sampai kepada dua pergelangan. Bacaan yang diriwayatkan dari Rasul seperti yang
diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Abu Hurairah dengan sanad yang hasan
adalah, "Dengan menyebut nama Allah Yang Mahaagung dan segala puji bagi-Nya
atas nikmat agama Islam." Menurut pendapat lain, bacaan yang afdhal
adalah, "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang."
Hal ini berdasarkan hadits, "Setiap
perkara yang penting yang tidak dimulai dengan membaca bismillah, maka ia
terputus.” Hadits ini disebut oleh Abdul Qadir Ar-Rahawi dalam kitab Al-Arba'in
dari Abu Hurairah. Namun, ia hadits yang lemah.
Ulama madzhab Maliki menganggap bahwa membaca
bismillah merupakan salah satu kelebihan berwudhu. Ulama madzhab Hambali juga
mewajibkan membacanya ketika berwudhu. Dalilnya ialah sabda Rasul shallallahu
‘alaihi wasallam, "Tidaklah sah shalat seseorang yang tidak
berwudhu, dan tidaklah sah wudhu seseorang yang tidak menyebut nama Allah.”
Hadits riwayat Abu Dawud, Ibnu Malah, dan Al-Hakim, dia berkata, "Hadits
ini sanadnya shahih dari Abu Hurairah." (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman
3)
Ulama madzhab Hambali berhujjah dengan
hadits-hadits ini untuk mempertahankan pendapat mereka yang mengatakan, wajib
membaca bismillah ketika mulai berwudhu. Akan tetapi, jumhur ulama menakwilkan
maksud hadits tersebut, bahwa ia menafikan kesempurnaan wudhu dan tidak
menafikan sahnya berwudhu. Kedudukannya sama dengan hadits yang menyatakan
bahwa tidak sah shalat bagi tetangga masjid, kecuali di masjid. Hadits riwayat
Ad-Daruquthni dari Jabir dan Abu Hurairah. Ia adalah hadits yang lemah (Al-Jami’ush
Shaghir, Nailul Authar, jilid 1 halaman 136).
Dan juga hadits, "Mengingat Allah
adalah berada di hati seorang Mukmin, baik bismillah dibaca ataupun tidak.”
Hadits riwayat Ad-Daruquthni. Ia adalah hadits yang lemah (Nashbur Rayah,
jilid 4 halaman 183; Nailul Authar, jilid 1 halaman 136).
Takwil tersebut berdasarkan kepada hadits
marfu' dari Ibnu Umar (Ibnu Sayyid An-Nas telah menjelaskan dalam kitab Syarh
At-Tirmidzi bahwa hadits dalam sebagian riwayat dengan menggunakan lafal,
"Bukanlah wudhu yang sempurna." Ar-Rafi'i juga menggunakannya
sebagai dalil. Ibnu Hajar berkata, "Saya tidak pernah mendapatinya
demikian." (Nailul Authar, jilid 1 halaman 136), "Barangsiapa
berwudhu dengan menyebut nama Allah, maka semua badannya akan menjadi suci. Dan
barangsiapa berwudhu tanpa menyebut nama Allah, maka hanya anggota wudhunya
saja yang menjadi suci.” Hadits riwayat Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Di
dalamnya ada perawi yang matruk dan ia dianggap sebagai hadits maudhu'.
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dari Abu
Hurairah. Dalam sanadnya terdapat dua perawi yang lemah. Ia juga diriwayatkan
oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi lagi dan dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk
(Nailul Authar, jilid 1 halaman 136).
Alasan lain adalah karena terdapat riwayat An-Nasa'i
dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid dari Anas radhiyallahu ‘anhu,
"Berwudhulah dengan nama Allah." Bacaan bismillah yang paling
sempurna adalah dengan cara menyebutnya secara lengkap, setelah itu memuji
Allah dengan mengucapkan, Adapun alasan tidak diwajibkannya membaca bismillah
adalah karena ayat
wudhu yang menjelaskan perkara-perkara wajib tidak
menyebutnya.
4. Berkumur dan membersihkan hidung
Berkumur adalah memasukkan air ke dalam mulut sambil
mengocok-ngocoknya, setelah itu mengeluarkannya kembali. Atau dengan kata lain,
mengenakan air ke seluruh bagian mulut. Membersihkan hidung adalah memasukkan
air dan menghisapnya ke dalam hidung.
Kedua perbuatan tersebut diikuti dengan kesunnahan
istintsar, yaitu mengeluarkan air dengan angin dari lubang hidung dengan
cara meletakkan dua jari, yaitu jari telunjuk dan ibu jari pada hidung, seperti
yang dilakukan ketika mengeluarkan ingus. Semua perbuatan tersebut adalah
sunnah mu'akkad menurut pendapat jumhur ulama selain ulama madzhab Hambali. Hal
ini karena
terdapat sebuah hadits riwayat Muslim, "Orang
yang memulai wudhunya, kemudian ia berkumur, memasukkan air ke hidung dan
mengeluarkannya (beristintsar), maka akan dikikis segala kesalahan dan kotoran
dalam mulut dan dalam rongga hidungnya bersama-sama dengan air wudhunya itu.
Adapun hadits, "Berkumurlah dan
masukkanlah air ke dalam hidung," merupakan hadits yang dhaif. Alasan istintsar
tidak diwajibkan, karena ayat yang menjelaskan hukum-hukum berwudhu tidak menyebutkannya.
Cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Berkumur dan Ber-istinsyaq ketika Berwudhu
Berkumur dan ber-istinsyaq disunnahkan sebanyak
tiga kali, karena terdapat sebuah hadits muttafaq 'alaih dari Utsman bin
Affan radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa dia meminta satu ciduk
air, kemudian dia menuangkannya ke atas kedua telapak tangannya sebanyak tiga
kali, setelah itu membasuh kedua-duanya. Kemudian dia memasukkan tangan kanan
ke dalam tempat air itu, dan dilanjutkan dengan berkumur dan ber-istintsar.
Setelah itu, dia membasuh muka sebanyak tiga kali, kemudian membasuh kedua
tangannya hingga sampai pada kedua siku sebanyak tiga kali. Kemudian mengusap
kepala dan membasuh kedua kaki hingga sampai pada kedua mata kaki sebanyak tiga
kali. Setelah itu dia berkata, "Saya telah melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berwudhu seperti wudhu saya tadi." Kemudian dia
berkata, "Barangsiapa berwudhu seperti wudhu saya ini, kemudian setelah
itu dia melaksanakan shalat sebanyak dua rakaat dengan sungguh-sungguh, maka
Allah akan mengampunkan segala dosa yang telah lewat." (Nailul
Authar, jilid l halaman 139; hadits ini didukung oleh sebuah hadits lemah
riwayat Ad-Daruquthni dari lbnu Abbas secara marfu' dengan lafal, "Madhmadhah
dan istinsyaq itu sunnah.")
Baginda Rasul bersabda sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan Ashabus Sunan Al-Arba'ah dari
Aisyah, "Terdapat sepuluh perkara yang dianggap sebagai perkara fitrah.”
Kemudian beliau menyebutkan di antaranya adalah madhmadhah (berkumur)
dan
istinsyaq. Fitrah
berarti sunnah karena mulut dan hidung merupakan dua anggota batin. Oleh sebab
itu, tidak diwajibkan membasuh kedua anggota tersebut seperti bagian dalam
janggut dan dua mata. Alasan lain adalah karena wajah merupakan anggota yang
digunakan untuk muwajahah (bertatap muka), sedangkan hidung dan mulut
bukan termasuk bagian untuk muwajahah.
Para fuqaha telah bersepakat mengenai sunnahnya
melakukan madhmadhah (berkumur) dan istintsar secara
berlebihan/keras bagi orang yang tidak berpuasa. Hal ini karena terdapat sabda
Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah riwayat yang sanadnya disahkan
oleh Ibnul Qaththan, "Apabila kamu berwudhu, hendaklah berlebihan ketika
bermadhmadhah (berkumur) dan beristinsyaq selama kamu tidak berpuasa."
Sebuah hadits yang lain riwayat Laqith bin
Sabrah menyebutkan, "Sempurnakanlah wudhu, gosoklah celah-celah jari,
dan lebihkan istinsyaq kecuali jika kamu berpuasa.” Hadits ini telah
dihukumi shahih oleh A-Tirmidzi dan perawi lainnya. Ia diriwayatkan juga oleh
Imam Hadits yang lima (al-khamsah) (Nailul Authar, jilid l halaman
145).
Tidak disunnahkan berlebihan dalam ber-istinsyaq
bagi orang yang berpuasa, malah ia dihukumi makruh, karena dikhawatirkan dapat
membatalkan puasa.
Perbuatan berlebihan dalam ber-madhmadhah (berkumur)
adalah dengan memasukkan air hingga sampai ke akhir langit-langit (ujung
tenggorokan), dua sisi gigi dan anak lidah. Sunnah memasukkan jari tangan kiri
ke bagian-bagian tersebut. Berlebihan dalam ber-instinsyaq adalah dengan
memasukkan air dan menghisap napas hingga ke dalam hidung. Menggerakkan air ke
sana kemari dalam mulut kemudian mengeluarkannya adalah sunnah.
Istintsar disunnahkan karena terdapat perintah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
lbnu Abbas dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Ber-istintsar-lah
sebanyak dua kali atau tiga kali dengan cara berlebihan.” Hadits riwayat
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnul Jarud, dan dihukumi shahih oleh
lbnul Qaththan. Hadits ini juga disinggung oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
kitab Al-Talkhish tanpa menyatakan bahwa ia lemah, begitu juga dengan
pendapat Al-Mundziri (Nailul Authar, jilid l halaman 146).
Menurut ulama madzhab Hanafi, madhmadhah
dan istinsyaq adalah sunnah mu'akkad. Ia mengandung lima sunnah yang
lain yaitu tartib, mengulang sebanyak tiga kali, memperbarui air, keduanya
dilakukan dengan tangan kanan dan dilakukan dengan berlebihan pada keduanya,
yaitu dengan cara ghargharah dan menghisap air hingga sampai ke batang hidung
bagi orang yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa tidak boleh melakukan hal
tersebut karena dikhawatirkan dapat membatalkan puasanya. (Ad-Durrul Mukhtar
jilid l halaman 108.)
Ulama madzhab Maliki juga mengatakan bahwa
sunnah melakukan madhmadhah dan istinsyaq dengan tiga kali
gayungan air bagi tiap satunya. Melakukan secara berlebihan dapat membatalkan puasa.
Ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa menurut
pendapat yang ashah, tartib pada kedua perbuatan tersebut (berkumur dan istinsyaq)
merupakan sesuatu yang perlu, bukan sekadar perbuatan yang dianjurkan saja. Hal
ini berbeda dengan mendahulukan tangan kanan atas tangan kiri.
Menurut pendapat yang azdhar seperti
yang dikatakan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj, madhmadhah dan
istinsyaq yang dilakukan secara serentak adalah diutamakan daripada
melakukan keduanya secara sendiri-sendiri. Caranya adalah tiap satu dari tiga
gayungan air hendaklah digunakan untuk madhmadhah
terlebih dahulu, kemudian digunakan juga untuk ber-istinqyaq. Yaitu,
menggabungkan keduanya dengan segayung air di tangan merupakan perbuatan yang
lebih afdhal daripada memisahkannya. Hal ini karena terdapat beberapa hadits
yang shahih yang menjelaskan tentang hal ini.” (Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman
58)
Menurut pendapat yang masyhur di kalangan
ulama madzhab Hambali, madhmadhah (berkumur) dan istinsyaq adalah
wajib dalam wudhu dan mandi. Karena, membasuh muka dalam kedua jenis thaharah tersebut
adalah wajib. Dan mulut serta hidung merupakan termasuk anggota
muka. Terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan Aisyah
yang bermaksud, "Melakukan madhmadhah dan istinsyaq adalah bagian dari
wudhu yang pasti." Hadits riwayat Abu Bakar dalam kitab Asy-Syafi
dengan sanadnya. Diriwayatkan iuga oleh Ad-Daruquthni dalam kitab Sunan-nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah meninggalkan kedua tindakan tersebut. Hal ini sebagaimana yang
disebutkan dalam setiap hadits yang menjelaskan tentang wudhu Rasul. Yaitu,
hadits yang diriwayatkan oleh Utsman yang telah disebut di atas, dan juga
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali yang menyatakan bahwa, "Jika Rasul
berwudhu, beliau ber-madhmadhah, ber-istinsyaq, dan ber-istinfsar dengan tangan
kirinya. Beliau melakukan hal itu sebanyak tiga kali.” Setelah itu beliau
bersabda, "Inilah cara bersuci Nabi Allah shallallahu ‘alaihi
wasallam.' Diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa'i dari Ali radhiyallahu
‘anhu (Nailul Authar, jilid 1 halaman 143)
Hadits lain yang diriwayatkan Abu Hurairah
menyatakan bahwa bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, "Apabila salah satu di antara kamu berwudhu, maka hendaklah
ia memasukkan air ke dalam hidung, kemudian hendaklah dia beristintsar."
Beliau juga telah menyuruh orang yang berwudhu
untuk melakukan madhmadhah dan istinsyaq. Hadits pertama munnfaq
'alaih. Hadits kedua diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (Nailul Authar,
jilid l halaman 143).
Sebenarnya, zhahir hadits ini menunjukkan hukum
wajib dalam melakukan madhmadhah dan istinsyaq. Sebagian dari ulama
madzhab Syafi'i dan ulama yang lain telah mengakui kelemahan dalil orang yang
berpendapat tidak wajib melakukan madhmadhah, istintsar, dan istinsyaq.
Al-Hafizh lbnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari, "lbnul
Mundzir menyebut bahwa Asy-Syafi'i tidak pernah berhujjah mengenai hukum tidak
wajib ber-istinsyaq walaupun terdapat perintah yang shahih untuk
melakukannya. Yang jelas, dia tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat
tentang orang yang tidak mengerjakan perkara tersebut, tidak wajib mengulanginya.
Ini adalah dalil fiqih, masalah ini tidak diterima dari sahabat dan tabi'in
mana pun kecuali hanya dari
Atha'.” (Nailul Authar, jilid l halaman 141)
5. Bersiwak
Hukum sunnahnya bersiwak disepakati oleh
seluruh ulama kecuali ulama madzhab Maliki, yang menganggap bersiwak adalah
salah satu perbuatan yang baik. Disini akan membicarakan hal ini secara khusus
pada pasal tertentu.
6. Menyela-nyelai jenggot, jari tangan, dan jari kaki
Sunnah hukumnya menyela jenggot yang tebal
dengan seciduk air. Ia dilakukan dari bagian bawah jenggot. Adapun janggut yang
tipis dan juga ianggut milik orang bukan lelaki yang tebal yang masih berada
dalam paras muka, maka waiib menyampaikan air ke bagian luar dan dalam serta ke
pangkalnya dengan cara menyela-nyelainya ataupun dengan cara yang lain (Mughnil
Muhtaj, jilid 1 halaman 60). Begitu juga sunnah hukumnya menyela jari
tangan dan jari kaki menurut kesepakatan seluruh fuqaha. Hal ini karena terdapat
sebuah Hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, dan dia
menganggapnya sebagai hadits shahih, bahwa Rasul telah menyela jenggotnya.
Selain itu, terdapat hadits lain yang diriwayatkan Abu Dawud yang menyatakan bahwa
jika Rasul hendak berwudhu, maka beliau mengambil seciduk air. Lalu mengarahkannya
ke bawah dagu dan beliau menyela jenggotnya. Setelah itu, beliau bersabda,
"Beginilah Tuhanku menyuruh aku melakukannya.” Lihat dua hadits tersebut
dalam Nailul Authar, jilid 1 halaman 148, Hadits Ibnu Abbas di dalam
kitab Al-Bukhari, bab sifat wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
tidak wajib menyampaikan air ke bagian dalam janggut yang tebal. Nailul Authar,
jilid 1 halaman 147. Lihat juga hadits hadits yang berkaitan menyela-nyelai
janggut dalam kitab Nashbur Rayah jilid 1 halaman 23.
Dan juga, disebabkan ada sebuah hadits yang
telah diriwayatkan oleh Laqith bin Sabrah tentang istinsyaq, "Sempurnakanlah
wudhu, sela-selailah celah-celah jari dan berlebihanlah dalam istinsyaq kecuali
jika kamu berpuasa.” Hadis riwayat Imam Hadis yang lima (al-khamsah)
dan dihukumi sahih oleh At-Tirmidzi (Nailul Authar jilid 1 halaman 145.
Hadits riwayat lbnu Abbas menyatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila kamu berwudhu,
maka selailah jari kedua tangan dan juga jari kedua kakimu.” Hadis riwayat
Ahmad, Ibn Majah dan At-Tirmidzi. (Nailul Authar, jilid 1 halaman 153)
Begitu juga yang terdapat dalam hadits riwayat
Al-Mustaurid bin Syaddad, "Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam jika beliau berwudhu, beliau menyela jari kedua kaki dengan jari
kelingking.” Hadits riwayat al-khamsah kecuali Ahmad (ruiukan yang
lalu), lihat hadits-hadits mengenai menyela-nyelai jari-jari dalam Nashbur Rayah
jilid l halaman 27.
7. Membasuh sebanyak tiga kali
Para fuqaha bersepakat tentang hukum sunnah
membasuh sebanyak tiga kali. Akan tetapi,
ulama madzhab Maliki menganggap hal tersebut sebagai
perbuatan yang baik. Hal ini disebabkan karena perbuatan ini terdapat dalam
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti dalam hadits yang
diriwayatkan Amru bin Syu'aib yang menjelaskan bahwa Rasul membasuh dua telapak
tangan, muka, dan kedua lengannya sebanyak tiga kali. Hadits riwayat Abu Dawud,
An-Nasa'i, dan lbnu Malah. Pada bagian akhirnya disebut, "Demikianlah
wudhu. Siapa yang menambah atau menguranginya, maka dia telah melakukan
kesalahan dan zalim, atau zalim dan melakukan kesalahan." (Nashbur
Rayah, jilid 1 halaman 29)
Ia tidak diwajibkan, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pada satu waktu berwudhu dengan sekali basuh saja. Lalu
beliau bersabda, "lnilah amalan yang diterima oleh Allah.” Pada
waktu yang lain, Rasul berwudhu dengan membasuh sebanyak dua kali. Setelah itu
beliau bersabda, “Allah akan menggandakan pahalanya sebanyak dua kali."
Pada waktu yang lain juga, Rasul berwudhu dengan membasuh sebanyak tiga kali.
Setelah itu beliau bersabda, "lnilah wudhuku dan iuga wudhu para Nabi
sebelumku.” Hadits riwayat Ad-Daruquthni dari Zaid bin Tsabit dan Abu
Hurairah, tetapi dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang lemah (Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 29).
Pendapat para ulama dan mayoritas sahabat
menyatakan bahwa tidak disunnahkan mengulangi mengusap kepala. Hal ini karena
terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah yang menjelaskan tentang
wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadits tersebut adalah,
"Beliau mengusap kepala dengan satu kali usap saja." (Muttafaq'alaih).
Sebuah hadits lain yang diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu menyatakan
bahwa Rasul berwudhu dan mengusap kepala dengan satu kali usap saja, kemudian
dia berkata, "lni adalah wudhu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Barangsiapa ingin mengetahui cara Rasulullah saw bersuci, maka
lihatlah kepada cara ini." At-Tirmidzi berkata hadits ini adalah hadits
hasan shahih.
Ini merupakan penjelasan yang disebut oleh
Abdullah bin Abi Aufa, Ibnu Abbas, Salamah ibnul Akwa' dan Ar-Rubayi'. Mereka
semua berkata, "Rasul menyapu kepala dengan satu kali usap saja."
Kisah mereka tentang perbuatan wudhu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam ini merupakan satu
kenyataan tentang perbuatan yang berterusan. Suatu perbuatan tidak akan dianjurkan
secara berterusan, kecuali ia menunjukkan lebih baik dan sempurna.
Disebabkan ia mengusap dalam bersuci, maka
tidak disunnahkan melaksanakannya secara berulang-ulang. Hal ini sama ketika
mengusap dalam tayamum, mengusap di atas balutan, dan semua jenis usapan yang
lain.
Ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa sunnah
mengulang usapan sebanyak tiga kali. Hal ini karena terdapat sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Anas, "Mengulang sebanyak tiga kali adalah perbuatan
yang lebih afdhal.” Hadits lain riwayat Syaqiq bin Salamah menurut catatan
Abu Dawud, dia berkata, "Saya melihat Utsman bin Affan membasuh dua
lengannya sebanyak tiga kali dan mengusap kepala sebanyak tiga kali, kemudian
dia berkata, 'Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan
hal yang seperti ini.” Telah diriwayatkan hadits yang sama seperti tersebut
di atas oleh beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
seperti Utsman, Ali, Ibnu Umar; Abu Hurairah, Abdullah bin Abi Aufa, Ar-Rubayi’
dan Ubay bin Ka'ab. Mereka semua meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah berwudhu dengan mengulang (perbuatan wudhunya) sebanyak
tiga kali.
Akan tetapi, jumhur ulama menolak pendapat
ulama madzhab Syafi'i dengan mengatakan bahwa tidak terdapat penjelasan yang
terang dalam hadits yang menjadi hujjah mereka. Dengan ini, maka jelaslah bahwa
pendapat jumhur menjadi bukti yang lebih kuat dari sunnah yang shahih.
8. Mengusap seluruh kepala
Sunnah hukumnya mengusap seluruh kepala
menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i dan
Hanafi. Hal ini berdasarkan atas hadits yang telah
diriwayatkan oleh Asy-Syaikhan (Al-Bukhari dan Muslim). Sunnah dengan sekali
usap saja menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, dan dengan tiga kali usap
menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i. Di samping itu, pendapat ini merupakan solusi
atas pertentangan dengan pendapat orang yang mewajibkannya. Karena seperti yang
telah dijelaskan terdahulu, mengusap seluruh kepala adalah wajib mengikuti
kalangan ulama
madzhab Maliki dan Hambali.
Melaksanakan kesunnahan sewaktu mengusap
kepala, maksudnya adalah meletakkan kedua tangan pada bagian depan kepala
dengan mempertemukan kedua jari telunjuk, serta meletakkan kedua ibu jari di
atas dua ujung pipit (ati-ati). Kemudian kedua jari tersebut digerakkan ke arah
tengkuk, setelah itu dikembalikan ke tempat semula jika dia memiliki rambut yang
mudah terbalik. Begitulah riwayat al-jamaah dari Abdullah bin Zaid (Nailul
Authar, jilid l halaman 154).
Akan tetapi jika rambutnya tidak mudah
terbalik karena pendek atau karena tiada rambut, maka tidak perlu mengembalikan
kedua tangan karena tidak ada manfaatnya.
Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa sunnah
hukumnya mengembalikan usapan kepala ke arah depan kepala, setelah diusapkan ke
arah belakang yang merupakan usapan wajib. Hal ini disunnahkan, meskipun dia
tidak mempunyai rambut. Yaitu, dengan cara meratakan usapan satu kali lagi jika
masih terdapat rasa basah pada tangan hasil dari usapan yang wajib. Adapun jika
tidak ada, yaitu jika tangannya sudah kering, maka hukum sunnah tersebut
menjadi gugur.
Dalil pendapat ulama madzhab Hanafi adalah
hadits riwayat Amru bin Syu'aib dan hadits dari Utsman yang telah disebutkan. Dalam
kedua hadits tersebut, terdapat lafal yang berbunyi, "Kemudian Rasul
mengusap kepalanya.” tanpa menyebut jumlah usapannya. Begitulah hadits yang
diriwayatkan Abu Habbah yang menjelaskan tentang cara wudhu Ali yang disebut di
dalamnya, "Dan beliau mengusap kepala dengan sekali usap." Hadis riwayat At-Tirmidzi dan beliau telah menetapkan
keshahihannya (Nailul Authar, jilid 1 halaman 158).
Dalil bagi pendapat ulama madzhab Syafi'i adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Utsman yang telah disebutkan. Ia berdasarkan riwayat
Abu Dawud dengan sanad yang hasan bahwa dia telah berwudhu, lalu dia mengusap
kepala sebanyak tiga kali. Setelah itu dia berkata, "Saya melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dengan
cara seperti itu." Begitu juga hadits Ali menurut catatan
Al-Baihaqi, dia berwudhu lalu mengusap kepala sebanyak tiga kali. Kemudian dia
berkata, "Beginilah yang saya lihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam melakukannya."
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali membolehkan
mengusap sebagian kepala saja, dan selebihnya disempurnakan dengan mengusap
serban jika ia sulit untuk membuka serban tersebut. Hal ini karena Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap ubun-ubun di atas serban
beliau, dan juga mengusap ke atas kedua khuf-nya. Hadis riwayat Muslim dan At-Tirmidzi.
Dia menghukumi hadits ini shahih dari Al-Mughirah bin Syu'bah (Nailul
Authar, jilid 1 halaman 164).
9. Mengusap kedua telinga pada bagian luar dan bagian
dalam dengan air yang baru
Menurut pendapat jumhur ulama', sunnah hukumnya
mengusap kedua telinga pada bagian luar dan dalam dengan air yang baru. Ini
karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sewaktu berwudhu,
mengusap kepala dan kedua telinga bagian luar dan dalam, Rasul juga memasukkan
kedua iari telunjuk pada kedua cuping telinga serta beliau menggunakan air yang
baru untuk kedua perbuatan tersebut.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid, bahwa dia
telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu. Lalu
Rasul mengambil air lain untuk kedua telinga, yaitu mengambil
air selain air yang telah digunakan untuk mengusap
kepala. Hadits riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dan Al-Baihaqi berkata,
sanadnya adalah shahih (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 22).
Begitu juga Ibnu Umar. Jika dia berwudhu, dia
mengambil air dengan kedua jari untuk kedua telinganya. Hadits riwayat Imam
Malik dalam kitab Al-Muwaththa' (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman
22).
Ulama madzhab Hambali mengatakan bahwa wajib
mengusap dua telinga, karena kedua-duanya masuk dalam anggota kepala. Terdapat
sebuah hadits yang menyebutkan, "Dua telinga adalah sebagian dari
kepala." Hadits riwayat Ibnu Majah melalui beberapa sanad. Tetapi, di
dalamnya ada seorang perawi yang diperselisihkan (Nailul Authar, jilid 1
halaman 160).
Selain itu, Nabi telah mengusap kedua telinga
bersama-sama kepala beliau, seperti yang ditetapkan dalam beberapa hadits. Di
antaranya adalah hadits lbnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud;
hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan hadits Ar-Rubayi'
binti Mu'awwidz yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Mereka berdua
berkata bahwa hadits ini adalah hadits yang baik. Lihat Nailul Authar,
jilid 1 halaman 160-162.
Pada pandangan Syeikh Wahbah Zuhaili dalam
Kitabnya, pendapat yang rajih adalah pendapat yang mengatakan bahwa sunnah mengusap
kedua telinga karena hadits yang menyatakan bahwa kedua telinga termasuk
sebagian dari kepala tidak ada. Dan jika hadits tersebut ada, maka ia adalah sebuah
hadits yang lemah, sehingga Ibnush Shalah berkata, "Kelemahannya adalah
banyak, sehingga tidak dapat ditutup dengan banyaknya jumlah sanadnya."
Asy-Syaukani berkata, "Hadits yang lain tidak dapat digunakan sebagai
dalil. Apa yang diyakini adalah hukum sunnah. Ia tidak akan menjadi wajib
kecuali jika terdapat dalil yang dapat menetapkannya. Jika tidak terdapat
dalil, maka ia merupakan rekaan terhadap hukum Allah, sedangkan Dia tidak
pernah berkata begitu." (Nailul Authar, jilid 1 halaman 161)
Mengusap kedua telinga disunnahkan sebanyak
tiga kali. Hal ini menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i. Adapun menurut
pendapat jumhur ulama, ia disunnahkan satu kali.
10. Memulakan dengan anggota yang sebelah kanan ketika
membasuh kedua tangan dan juga kedua kaki
Ulama madzhab Maliki menganggap hal ini
sebagai perbuatan yang baik saja. Dalil yang menunjukkan hal tersebut sebagai
perbuatan sunnah adalah hadits riwayat Aisyah, "Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sangat gemar untuk memulai dengan anggota kanan ketika memakai
sepatu, menyisir rambut, dan ketika bersuci. Begitu juga dalam semua urusannya."
Muttafaq ‘alaihi dan hadits ini dihukumi sebagai hadits shahih oleh lbnu
Hibban dan lbnu Mindah (Nailul Authar, jilid l halaman 170).
Ini adalah bukti yang menunjukkan pensyariatan
atau hukum sunnah ketika memakai sepatu, menyisir rambut, dan bersuci. Oleh
sebab itu, seseorang dianjurkan memulakan membasuh tangan kanan sebelum
membasuh tangan kiri, mencurahkan air pada bagian kanan badan sebelum
mengucurkan air pada bagian kiri badan ketika mandi. Hal
ini karena memulakan dengan anggota kanan adalah sunnah dalam semua perkara.
Amalan ini didukung oleh sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, "Apabila kau memakai pakaian dan berwudhu, maka
mulailah dengan anggota kananmu.” Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah,
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi. Ibnu Daqiq Al-Aid berkata, "Hadits
ini adalah hadits shahih." (Nailul Authar, jilid 1 halaman 170)
Ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i juga menambah
kesunnahan yang lain pada sunnah ini, yaitu memulakan dengan ujung jari dan
bagian depan kepala. Begitu juga ulama madzhab Syafi'i menambah satu sunnah
lagi, yaitu memulakan dengan bagian atas muka. Ulama madzhab Maliki
mengatakan, sunnah memulakan pada bagian depan setiap
anggota, baik membasuh ataupun mengusap. Yaitu pada muka, kedua tangan, kepala,
dan kedua kaki.
11. Tartib, berturut-turut, dan menggosok anggota bagi
mereka yang berpendapat tidak difardhukan
Hal ini seperti yang telah kita jelaskan dalam
pembicaraan tentang rukun wudhu.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########