BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

4. SUNNAH-SUNNAH WUDHU

Ulama madzhab Hanafi membedakan antara perkara sunnah dan mandub. Mereka mengatakan bahwa sunnah adalah sesuatu yang sangat dianjurkan, yaitu amalan yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Secara berterusan yang hanya kadang-kadang ditinggalkan oleh beliau tanpa uzur. Hukumnya adalah diberi pahala apabila dilakukan dan dicela
apabila ditinggalkan.
Adapun mandub dan mustahab adalah amalan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam secara tidak berterusan. Di sini ia dikenal sebagai adab-adab wudhu. Hukumnya diberikan pahala apabila dilaksanakan dan tidak dicela apabila ditinggalkan.
Sunnah-sunnah wudhu yang paling penting di kalangan ulama madzhab Hanafi ada 18 perkara. Adapun di kalangan ulama madzhab Maliki ada delapan perkara dan di kalangan ulama madzhab Syafi'i terdapat lebih kurang 30 perkara. Perbedaan ini terjadi karena mereka tidak membedakan antara amalan sunnah dengan amalan mandub. Di kalangan ulama madzhab Hambali, jumlah yang dianjurkan untuk dilakukan ketika wudhu lebih kurang 20 perkara (Al-Bada'i, halaman 18 - 23; Fathul Qadir, halaman 13-23; Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman 101-114; Muraqil Falah, halaman 13; Asy-Syarhush Shaghir, halaman 117-121; Asy-Syarhul Kabir, jilid l halaman 96-104; Bidayatul Mujtahid, jilid l halaman 8-12; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 22; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 15-19; Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 118-122; Al-Mughni, jilid 1 halaman 96 - 143).

1. Niat

Niat adalah sunnah menurut pendapat ulama madzhab Hanafi. Waktunya adalah sebelum melakukan istinja'. Caranya adalah dengan berniat untuk menghilangkan hadats, mendirikan shalat, berniat untuk berwudhu, atau mematuhi perintah. Tempat niat adalah dalam hati. Para ulama terkemuka mengatakan bahwa membaca lafal niat adalah disunnahkan. Mereka juga berkata bahwa niat adalah fardhu di kalangan jumhur ulama selain ulama madzhab Hanafi, seperti yang telah dijelaskan dalam penjelasan tentang fardhu atau rukun-rukun wudhu di atas.

2. Membasuh kedua tangan

Membasuh kedua tangan hingga ke pergelangan sebanyak tiga kali sebelum memasukkan kedua tangan ke dalam tempat air, baik setelah seorang itu bangun dari tidur ataupun tidak tidur. Hal ini karena kedua tangan merupakan alat untuk berwudhu. Terdapat sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Apabila salah satu di antara kamu bangun dari tidur, maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan ke dalam tempat air. Karena, tidak ada orang di antara kamu yang tahu dimanakah ia meletakkan tangannya pada waktu tidur.” Hadits riwayat Al-A'immah As-Sittah dalam kitab-kitab mereka dari Abu Hurairah (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 2).
Dalam hadits yang lain disebutkan, "Sehingga dia membasuhnya sebanyak tiga kali." Akan tetapi menurut pendapat yang rajih, ia cukup dilakukan sekali saja, sebagaimana amalan lain pada wudhu. Melakukan sebanyak tiga kali adalah sunnah. Ulama madzhab Hambali mengatakan bahwa membasuh sebanyak tiga kali adalah sunnah bagi orang yang bangun tidur selain tidur malam.

3. Membaca bismillah pada permulaan wudhu

Yaitu ketika membasuh kedua tangan hingga sampai kepada dua pergelangan. Bacaan yang diriwayatkan dari Rasul seperti yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Abu Hurairah dengan sanad yang hasan adalah, "Dengan menyebut nama Allah Yang Mahaagung dan segala puji bagi-Nya atas nikmat agama Islam." Menurut pendapat lain, bacaan yang afdhal adalah, "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
Hal ini berdasarkan hadits, "Setiap perkara yang penting yang tidak dimulai dengan membaca bismillah, maka ia terputus.” Hadits ini disebut oleh Abdul Qadir Ar-Rahawi dalam kitab Al-Arba'in dari Abu Hurairah. Namun, ia hadits yang lemah.
Ulama madzhab Maliki menganggap bahwa membaca bismillah merupakan salah satu kelebihan berwudhu. Ulama madzhab Hambali juga mewajibkan membacanya ketika berwudhu. Dalilnya ialah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, "Tidaklah sah shalat seseorang yang tidak berwudhu, dan tidaklah sah wudhu seseorang yang tidak menyebut nama Allah.” Hadits riwayat Abu Dawud, Ibnu Malah, dan Al-Hakim, dia berkata, "Hadits ini sanadnya shahih dari Abu Hurairah." (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 3)
Ulama madzhab Hambali berhujjah dengan hadits-hadits ini untuk mempertahankan pendapat mereka yang mengatakan, wajib membaca bismillah ketika mulai berwudhu. Akan tetapi, jumhur ulama menakwilkan maksud hadits tersebut, bahwa ia menafikan kesempurnaan wudhu dan tidak menafikan sahnya berwudhu. Kedudukannya sama dengan hadits yang menyatakan bahwa tidak sah shalat bagi tetangga masjid, kecuali di masjid. Hadits riwayat Ad-Daruquthni dari Jabir dan Abu Hurairah. Ia adalah hadits yang lemah (Al-Jami’ush Shaghir, Nailul Authar, jilid 1 halaman 136).
Dan juga hadits, "Mengingat Allah adalah berada di hati seorang Mukmin, baik bismillah dibaca ataupun tidak.” Hadits riwayat Ad-Daruquthni. Ia adalah hadits yang lemah (Nashbur Rayah, jilid 4 halaman 183; Nailul Authar, jilid 1 halaman 136).
Takwil tersebut berdasarkan kepada hadits marfu' dari Ibnu Umar (Ibnu Sayyid An-Nas telah menjelaskan dalam kitab Syarh At-Tirmidzi bahwa hadits dalam sebagian riwayat dengan menggunakan lafal, "Bukanlah wudhu yang sempurna." Ar-Rafi'i juga menggunakannya sebagai dalil. Ibnu Hajar berkata, "Saya tidak pernah mendapatinya demikian." (Nailul Authar, jilid 1 halaman 136), "Barangsiapa berwudhu dengan menyebut nama Allah, maka semua badannya akan menjadi suci. Dan barangsiapa berwudhu tanpa menyebut nama Allah, maka hanya anggota wudhunya saja yang menjadi suci.” Hadits riwayat Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Di dalamnya ada perawi yang matruk dan ia dianggap sebagai hadits maudhu'. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah. Dalam sanadnya terdapat dua perawi yang lemah. Ia juga diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi lagi dan dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk (Nailul Authar, jilid 1 halaman 136).
Alasan lain adalah karena terdapat riwayat An-Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid dari Anas radhiyallahu ‘anhu, "Berwudhulah dengan nama Allah." Bacaan bismillah yang paling sempurna adalah dengan cara menyebutnya secara lengkap, setelah itu memuji Allah dengan mengucapkan, Adapun alasan tidak diwajibkannya membaca bismillah adalah karena ayat
wudhu yang menjelaskan perkara-perkara wajib tidak menyebutnya.

4. Berkumur dan membersihkan hidung

Berkumur adalah memasukkan air ke dalam mulut sambil mengocok-ngocoknya, setelah itu mengeluarkannya kembali. Atau dengan kata lain, mengenakan air ke seluruh bagian mulut. Membersihkan hidung adalah memasukkan air dan menghisapnya ke dalam hidung.
Kedua perbuatan tersebut diikuti dengan kesunnahan istintsar, yaitu mengeluarkan air dengan angin dari lubang hidung dengan cara meletakkan dua jari, yaitu jari telunjuk dan ibu jari pada hidung, seperti yang dilakukan ketika mengeluarkan ingus. Semua perbuatan tersebut adalah sunnah mu'akkad menurut pendapat jumhur ulama selain ulama madzhab Hambali. Hal ini karena
terdapat sebuah hadits riwayat Muslim, "Orang yang memulai wudhunya, kemudian ia berkumur, memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya (beristintsar), maka akan dikikis segala kesalahan dan kotoran dalam mulut dan dalam rongga hidungnya bersama-sama dengan air wudhunya itu.
Adapun hadits, "Berkumurlah dan masukkanlah air ke dalam hidung," merupakan hadits yang dhaif. Alasan istintsar tidak diwajibkan, karena ayat yang menjelaskan hukum-hukum berwudhu tidak menyebutkannya.

Cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Berkumur dan Ber-istinsyaq ketika Berwudhu

Berkumur dan ber-istinsyaq disunnahkan sebanyak tiga kali, karena terdapat sebuah hadits muttafaq 'alaih dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa dia meminta satu ciduk air, kemudian dia menuangkannya ke atas kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, setelah itu membasuh kedua-duanya. Kemudian dia memasukkan tangan kanan ke dalam tempat air itu, dan dilanjutkan dengan berkumur dan ber-istintsar. Setelah itu, dia membasuh muka sebanyak tiga kali, kemudian membasuh kedua tangannya hingga sampai pada kedua siku sebanyak tiga kali. Kemudian mengusap kepala dan membasuh kedua kaki hingga sampai pada kedua mata kaki sebanyak tiga kali. Setelah itu dia berkata, "Saya telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu seperti wudhu saya tadi." Kemudian dia berkata, "Barangsiapa berwudhu seperti wudhu saya ini, kemudian setelah itu dia melaksanakan shalat sebanyak dua rakaat dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan mengampunkan segala dosa yang telah lewat." (Nailul Authar, jilid l halaman 139; hadits ini didukung oleh sebuah hadits lemah riwayat Ad-Daruquthni dari lbnu Abbas secara marfu' dengan lafal, "Madhmadhah dan istinsyaq itu sunnah.")
Baginda Rasul bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan Ashabus Sunan Al-Arba'ah dari Aisyah, "Terdapat sepuluh perkara yang dianggap sebagai perkara fitrah.” Kemudian beliau menyebutkan di antaranya adalah madhmadhah (berkumur) dan
istinsyaq. Fitrah berarti sunnah karena mulut dan hidung merupakan dua anggota batin. Oleh sebab itu, tidak diwajibkan membasuh kedua anggota tersebut seperti bagian dalam janggut dan dua mata. Alasan lain adalah karena wajah merupakan anggota yang digunakan untuk muwajahah (bertatap muka), sedangkan hidung dan mulut bukan termasuk bagian untuk muwajahah.
Para fuqaha telah bersepakat mengenai sunnahnya melakukan madhmadhah (berkumur) dan istintsar secara berlebihan/keras bagi orang yang tidak berpuasa. Hal ini karena terdapat sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah riwayat yang sanadnya disahkan oleh Ibnul Qaththan, "Apabila kamu berwudhu, hendaklah berlebihan ketika bermadhmadhah (berkumur) dan beristinsyaq selama kamu tidak berpuasa."
Sebuah hadits yang lain riwayat Laqith bin Sabrah menyebutkan, "Sempurnakanlah wudhu, gosoklah celah-celah jari, dan lebihkan istinsyaq kecuali jika kamu berpuasa.” Hadits ini telah dihukumi shahih oleh A-Tirmidzi dan perawi lainnya. Ia diriwayatkan juga oleh Imam Hadits yang lima (al-khamsah) (Nailul Authar, jilid l halaman 145).
Tidak disunnahkan berlebihan dalam ber-istinsyaq bagi orang yang berpuasa, malah ia dihukumi makruh, karena dikhawatirkan dapat membatalkan puasa.
Perbuatan berlebihan dalam ber-madhmadhah (berkumur) adalah dengan memasukkan air hingga sampai ke akhir langit-langit (ujung tenggorokan), dua sisi gigi dan anak lidah. Sunnah memasukkan jari tangan kiri ke bagian-bagian tersebut. Berlebihan dalam ber-instinsyaq adalah dengan memasukkan air dan menghisap napas hingga ke dalam hidung. Menggerakkan air ke sana kemari dalam mulut kemudian mengeluarkannya adalah sunnah.
Istintsar disunnahkan karena terdapat perintah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan lbnu Abbas dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Ber-istintsar-lah sebanyak dua kali atau tiga kali dengan cara berlebihan.” Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnul Jarud, dan dihukumi shahih oleh lbnul Qaththan. Hadits ini juga disinggung oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Talkhish tanpa menyatakan bahwa ia lemah, begitu juga dengan pendapat Al-Mundziri (Nailul Authar, jilid l halaman 146).
Menurut ulama madzhab Hanafi, madhmadhah dan istinsyaq adalah sunnah mu'akkad. Ia mengandung lima sunnah yang lain yaitu tartib, mengulang sebanyak tiga kali, memperbarui air, keduanya dilakukan dengan tangan kanan dan dilakukan dengan berlebihan pada keduanya, yaitu dengan cara ghargharah dan menghisap air hingga sampai ke batang hidung bagi orang yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa tidak boleh melakukan hal tersebut karena dikhawatirkan dapat membatalkan puasanya. (Ad-Durrul Mukhtar jilid l halaman 108.)
Ulama madzhab Maliki juga mengatakan bahwa sunnah melakukan madhmadhah dan istinsyaq dengan tiga kali gayungan air bagi tiap satunya. Melakukan secara berlebihan dapat membatalkan puasa.
Ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa menurut pendapat yang ashah, tartib pada kedua perbuatan tersebut (berkumur dan istinsyaq) merupakan sesuatu yang perlu, bukan sekadar perbuatan yang dianjurkan saja. Hal ini berbeda dengan mendahulukan tangan kanan atas tangan kiri.
Menurut pendapat yang azdhar seperti yang dikatakan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj, madhmadhah dan istinsyaq yang dilakukan secara serentak adalah diutamakan daripada melakukan keduanya secara sendiri-sendiri. Caranya adalah tiap satu dari tiga gayungan air hendaklah digunakan untuk madhmadhah terlebih dahulu, kemudian digunakan juga untuk ber-istinqyaq. Yaitu, menggabungkan keduanya dengan segayung air di tangan merupakan perbuatan yang lebih afdhal daripada memisahkannya. Hal ini karena terdapat beberapa hadits yang shahih yang menjelaskan tentang hal ini.” (Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 58)
Menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama madzhab Hambali, madhmadhah (berkumur) dan istinsyaq adalah wajib dalam wudhu dan mandi. Karena, membasuh muka dalam kedua jenis thaharah tersebut adalah wajib. Dan mulut serta hidung merupakan termasuk anggota
muka. Terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan Aisyah yang bermaksud, "Melakukan madhmadhah dan istinsyaq adalah bagian dari wudhu yang pasti." Hadits riwayat Abu Bakar dalam kitab Asy-Syafi dengan sanadnya. Diriwayatkan iuga oleh Ad-Daruquthni dalam kitab Sunan-nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan kedua tindakan tersebut. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam setiap hadits yang menjelaskan tentang wudhu Rasul. Yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh Utsman yang telah disebut di atas, dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali yang menyatakan bahwa, "Jika Rasul berwudhu, beliau ber-madhmadhah, ber-istinsyaq, dan ber-istinfsar dengan tangan kirinya. Beliau melakukan hal itu sebanyak tiga kali.” Setelah itu beliau bersabda, "Inilah cara bersuci Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam.' Diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa'i dari Ali radhiyallahu ‘anhu (Nailul Authar, jilid 1 halaman 143)
Hadits lain yang diriwayatkan Abu Hurairah menyatakan bahwa bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila salah satu di antara kamu berwudhu, maka hendaklah ia memasukkan air ke dalam hidung, kemudian hendaklah dia beristintsar."     
Beliau juga telah menyuruh orang yang berwudhu untuk melakukan madhmadhah dan istinsyaq. Hadits pertama munnfaq 'alaih. Hadits kedua diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (Nailul Authar, jilid l halaman 143).
Sebenarnya, zhahir hadits ini menunjukkan hukum wajib dalam melakukan madhmadhah dan istinsyaq. Sebagian dari ulama madzhab Syafi'i dan ulama yang lain telah mengakui kelemahan dalil orang yang berpendapat tidak wajib melakukan madhmadhah, istintsar, dan istinsyaq. Al-Hafizh lbnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari, "lbnul Mundzir menyebut bahwa Asy-Syafi'i tidak pernah berhujjah mengenai hukum tidak wajib ber-istinsyaq walaupun terdapat perintah yang shahih untuk melakukannya. Yang jelas, dia tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat tentang orang yang tidak mengerjakan perkara tersebut, tidak wajib mengulanginya. Ini adalah dalil fiqih, masalah ini tidak diterima dari sahabat dan tabi'in mana pun kecuali hanya dari
Atha'.” (Nailul Authar, jilid l halaman 141)

5. Bersiwak

Hukum sunnahnya bersiwak disepakati oleh seluruh ulama kecuali ulama madzhab Maliki, yang menganggap bersiwak adalah salah satu perbuatan yang baik. Disini akan membicarakan hal ini secara khusus pada pasal tertentu.

6. Menyela-nyelai jenggot, jari tangan, dan jari kaki

Sunnah hukumnya menyela jenggot yang tebal dengan seciduk air. Ia dilakukan dari bagian bawah jenggot. Adapun janggut yang tipis dan juga ianggut milik orang bukan lelaki yang tebal yang masih berada dalam paras muka, maka waiib menyampaikan air ke bagian luar dan dalam serta ke pangkalnya dengan cara menyela-nyelainya ataupun dengan cara yang lain (Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 60). Begitu juga sunnah hukumnya menyela jari tangan dan jari kaki menurut kesepakatan seluruh fuqaha. Hal ini karena terdapat sebuah Hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, dan dia menganggapnya sebagai hadits shahih, bahwa Rasul telah menyela jenggotnya. Selain itu, terdapat hadits lain yang diriwayatkan Abu Dawud yang menyatakan bahwa jika Rasul hendak berwudhu, maka beliau mengambil seciduk air. Lalu mengarahkannya ke bawah dagu dan beliau menyela jenggotnya. Setelah itu, beliau bersabda, "Beginilah Tuhanku menyuruh aku melakukannya.” Lihat dua hadits tersebut dalam Nailul Authar, jilid 1 halaman 148, Hadits Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Bukhari, bab sifat wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak wajib menyampaikan air ke bagian dalam janggut yang tebal. Nailul Authar, jilid 1 halaman 147. Lihat juga hadits hadits yang berkaitan menyela-nyelai janggut dalam kitab Nashbur Rayah jilid 1 halaman 23.
Dan juga, disebabkan ada sebuah hadits yang telah diriwayatkan oleh Laqith bin Sabrah tentang istinsyaq, "Sempurnakanlah wudhu, sela-selailah celah-celah jari dan berlebihanlah dalam istinsyaq kecuali jika kamu berpuasa.” Hadis riwayat Imam Hadis yang lima (al-khamsah) dan dihukumi sahih oleh At-Tirmidzi (Nailul Authar jilid 1 halaman 145.
Hadits riwayat lbnu Abbas menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila kamu berwudhu, maka selailah jari kedua tangan dan juga jari kedua kakimu.” Hadis riwayat Ahmad, Ibn Majah dan At-Tirmidzi. (Nailul Authar, jilid 1 halaman 153)
Begitu juga yang terdapat dalam hadits riwayat Al-Mustaurid bin Syaddad, "Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika beliau berwudhu, beliau menyela jari kedua kaki dengan jari kelingking.” Hadits riwayat al-khamsah kecuali Ahmad (ruiukan yang lalu), lihat hadits-hadits mengenai menyela-nyelai jari-jari dalam Nashbur Rayah jilid l halaman 27.

7. Membasuh sebanyak tiga kali

Para fuqaha bersepakat tentang hukum sunnah membasuh sebanyak tiga kali. Akan tetapi,
ulama madzhab Maliki menganggap hal tersebut sebagai perbuatan yang baik. Hal ini disebabkan karena perbuatan ini terdapat dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti dalam hadits yang diriwayatkan Amru bin Syu'aib yang menjelaskan bahwa Rasul membasuh dua telapak tangan, muka, dan kedua lengannya sebanyak tiga kali. Hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa'i, dan lbnu Malah. Pada bagian akhirnya disebut, "Demikianlah wudhu. Siapa yang menambah atau menguranginya, maka dia telah melakukan kesalahan dan zalim, atau zalim dan melakukan kesalahan." (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 29)
Ia tidak diwajibkan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada satu waktu berwudhu dengan sekali basuh saja. Lalu beliau bersabda, "lnilah amalan yang diterima oleh Allah.” Pada waktu yang lain, Rasul berwudhu dengan membasuh sebanyak dua kali. Setelah itu beliau bersabda, “Allah akan menggandakan pahalanya sebanyak dua kali." Pada waktu yang lain juga, Rasul berwudhu dengan membasuh sebanyak tiga kali. Setelah itu beliau bersabda, "lnilah wudhuku dan iuga wudhu para Nabi sebelumku.” Hadits riwayat Ad-Daruquthni dari Zaid bin Tsabit dan Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang lemah (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 29).
Pendapat para ulama dan mayoritas sahabat menyatakan bahwa tidak disunnahkan mengulangi mengusap kepala. Hal ini karena terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah yang menjelaskan tentang wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadits tersebut adalah, "Beliau mengusap kepala dengan satu kali usap saja." (Muttafaq'alaih). Sebuah hadits lain yang diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasul berwudhu dan mengusap kepala dengan satu kali usap saja, kemudian dia berkata, "lni adalah wudhu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa ingin mengetahui cara Rasulullah saw bersuci, maka lihatlah kepada cara ini." At-Tirmidzi berkata hadits ini adalah hadits hasan shahih.
Ini merupakan penjelasan yang disebut oleh Abdullah bin Abi Aufa, Ibnu Abbas, Salamah ibnul Akwa' dan Ar-Rubayi'. Mereka semua berkata, "Rasul menyapu kepala dengan satu kali usap saja." Kisah mereka tentang perbuatan wudhu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan  satu kenyataan tentang perbuatan yang berterusan. Suatu perbuatan tidak akan dianjurkan secara berterusan, kecuali ia menunjukkan lebih baik dan sempurna.
Disebabkan ia mengusap dalam bersuci, maka tidak disunnahkan melaksanakannya secara berulang-ulang. Hal ini sama ketika mengusap dalam tayamum, mengusap di atas balutan, dan semua jenis usapan yang lain.
Ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa sunnah mengulang usapan sebanyak tiga kali. Hal ini karena terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas, "Mengulang sebanyak tiga kali adalah perbuatan yang lebih afdhal.” Hadits lain riwayat Syaqiq bin Salamah menurut catatan Abu Dawud, dia berkata, "Saya melihat Utsman bin Affan membasuh dua lengannya sebanyak tiga kali dan mengusap kepala sebanyak tiga kali, kemudian dia berkata, 'Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal yang seperti ini.” Telah diriwayatkan hadits yang sama seperti tersebut di atas oleh beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti Utsman, Ali, Ibnu Umar; Abu Hurairah, Abdullah bin Abi Aufa, Ar-Rubayi’ dan Ubay bin Ka'ab. Mereka semua meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berwudhu dengan mengulang (perbuatan wudhunya) sebanyak tiga kali.
Akan tetapi, jumhur ulama menolak pendapat ulama madzhab Syafi'i dengan mengatakan bahwa tidak terdapat penjelasan yang terang dalam hadits yang menjadi hujjah mereka. Dengan ini, maka jelaslah bahwa pendapat jumhur menjadi bukti yang lebih kuat dari sunnah yang shahih.

8. Mengusap seluruh kepala

Sunnah hukumnya mengusap seluruh kepala menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i dan
Hanafi. Hal ini berdasarkan atas hadits yang telah diriwayatkan oleh Asy-Syaikhan (Al-Bukhari dan Muslim). Sunnah dengan sekali usap saja menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, dan dengan tiga kali usap menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i. Di samping itu, pendapat ini merupakan solusi atas pertentangan dengan pendapat orang yang mewajibkannya. Karena seperti yang telah dijelaskan terdahulu, mengusap seluruh kepala adalah wajib mengikuti kalangan ulama
madzhab Maliki dan Hambali.
Melaksanakan kesunnahan sewaktu mengusap kepala, maksudnya adalah meletakkan kedua tangan pada bagian depan kepala dengan mempertemukan kedua jari telunjuk, serta meletakkan kedua ibu jari di atas dua ujung pipit (ati-ati). Kemudian kedua jari tersebut digerakkan ke arah tengkuk, setelah itu dikembalikan ke tempat semula jika dia memiliki rambut yang mudah terbalik. Begitulah riwayat al-jamaah dari Abdullah bin Zaid (Nailul Authar, jilid l halaman 154).
Akan tetapi jika rambutnya tidak mudah terbalik karena pendek atau karena tiada rambut, maka tidak perlu mengembalikan kedua tangan karena tidak ada manfaatnya.
Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa sunnah hukumnya mengembalikan usapan kepala ke arah depan kepala, setelah diusapkan ke arah belakang yang merupakan usapan wajib. Hal ini disunnahkan, meskipun dia tidak mempunyai rambut. Yaitu, dengan cara meratakan usapan satu kali lagi jika masih terdapat rasa basah pada tangan hasil dari usapan yang wajib. Adapun jika tidak ada, yaitu jika tangannya sudah kering, maka hukum sunnah tersebut menjadi gugur.
Dalil pendapat ulama madzhab Hanafi adalah hadits riwayat Amru bin Syu'aib dan hadits dari Utsman yang telah disebutkan. Dalam kedua hadits tersebut, terdapat lafal yang berbunyi, "Kemudian Rasul mengusap kepalanya.” tanpa menyebut jumlah usapannya. Begitulah hadits yang diriwayatkan Abu Habbah yang menjelaskan tentang cara wudhu Ali yang disebut di dalamnya, "Dan beliau mengusap kepala dengan sekali usap." Hadis riwayat At-Tirmidzi dan beliau telah menetapkan keshahihannya (Nailul Authar, jilid 1 halaman 158).  
Dalil bagi pendapat ulama madzhab Syafi'i adalah hadits yang diriwayatkan oleh Utsman yang telah disebutkan. Ia berdasarkan riwayat Abu Dawud dengan sanad yang hasan bahwa dia telah berwudhu, lalu dia mengusap kepala sebanyak tiga kali. Setelah itu dia berkata, "Saya melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dengan cara seperti itu." Begitu juga hadits Ali menurut catatan Al-Baihaqi, dia berwudhu lalu mengusap kepala sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkata, "Beginilah yang saya lihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya."
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali membolehkan mengusap sebagian kepala saja, dan selebihnya disempurnakan dengan mengusap serban jika ia sulit untuk membuka serban tersebut. Hal ini karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap ubun-ubun di atas serban beliau, dan juga mengusap ke atas kedua khuf-nya. Hadis riwayat Muslim dan At-Tirmidzi. Dia menghukumi hadits ini shahih dari Al-Mughirah bin Syu'bah (Nailul Authar, jilid 1 halaman 164).

9. Mengusap kedua telinga pada bagian luar dan bagian dalam dengan air yang baru

Menurut pendapat jumhur ulama', sunnah hukumnya mengusap kedua telinga pada bagian luar dan dalam dengan air yang baru. Ini karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sewaktu berwudhu, mengusap kepala dan kedua telinga bagian luar dan dalam, Rasul juga memasukkan kedua iari telunjuk pada kedua cuping telinga serta beliau menggunakan air yang baru untuk kedua perbuatan tersebut.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid, bahwa dia telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu. Lalu Rasul mengambil air lain untuk kedua telinga, yaitu mengambil
air selain air yang telah digunakan untuk mengusap kepala. Hadits riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dan Al-Baihaqi berkata, sanadnya adalah shahih (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 22).
Begitu juga Ibnu Umar. Jika dia berwudhu, dia mengambil air dengan kedua jari untuk kedua telinganya. Hadits riwayat Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa' (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 22).
Ulama madzhab Hambali mengatakan bahwa wajib mengusap dua telinga, karena kedua-duanya masuk dalam anggota kepala. Terdapat sebuah hadits yang menyebutkan, "Dua telinga adalah sebagian dari kepala." Hadits riwayat Ibnu Majah melalui beberapa sanad. Tetapi, di dalamnya ada seorang perawi yang diperselisihkan (Nailul Authar, jilid 1 halaman 160).
Selain itu, Nabi telah mengusap kedua telinga bersama-sama kepala beliau, seperti yang ditetapkan dalam beberapa hadits. Di antaranya adalah hadits lbnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud; hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan hadits Ar-Rubayi' binti Mu'awwidz yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Mereka berdua berkata bahwa hadits ini adalah hadits yang baik. Lihat Nailul Authar, jilid 1 halaman 160-162.
Pada pandangan Syeikh Wahbah Zuhaili dalam Kitabnya, pendapat yang rajih adalah pendapat yang mengatakan bahwa sunnah mengusap kedua telinga karena hadits yang menyatakan bahwa kedua telinga termasuk sebagian dari kepala tidak ada. Dan jika hadits tersebut ada, maka ia adalah sebuah hadits yang lemah, sehingga Ibnush Shalah berkata, "Kelemahannya adalah banyak, sehingga tidak dapat ditutup dengan banyaknya jumlah sanadnya." Asy-Syaukani berkata, "Hadits yang lain tidak dapat digunakan sebagai dalil. Apa yang diyakini adalah hukum sunnah. Ia tidak akan menjadi wajib kecuali jika terdapat dalil yang dapat menetapkannya. Jika tidak terdapat dalil, maka ia merupakan rekaan terhadap hukum Allah, sedangkan Dia tidak pernah berkata begitu." (Nailul Authar, jilid 1 halaman 161)
Mengusap kedua telinga disunnahkan sebanyak tiga kali. Hal ini menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i. Adapun menurut pendapat jumhur ulama, ia disunnahkan satu kali.

10. Memulakan dengan anggota yang sebelah kanan ketika membasuh kedua tangan dan juga kedua kaki

Ulama madzhab Maliki menganggap hal ini sebagai perbuatan yang baik saja. Dalil yang menunjukkan hal tersebut sebagai perbuatan sunnah adalah hadits riwayat Aisyah, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat gemar untuk memulai dengan anggota kanan ketika memakai sepatu, menyisir rambut, dan ketika bersuci. Begitu juga dalam semua urusannya." Muttafaq ‘alaihi dan hadits ini dihukumi sebagai hadits shahih oleh lbnu Hibban dan lbnu Mindah (Nailul Authar, jilid l halaman 170).
Ini adalah bukti yang menunjukkan pensyariatan atau hukum sunnah ketika memakai sepatu, menyisir rambut, dan bersuci. Oleh sebab itu, seseorang dianjurkan memulakan membasuh tangan kanan sebelum membasuh tangan kiri, mencurahkan air pada bagian kanan badan sebelum
mengucurkan air pada bagian kiri badan ketika mandi. Hal ini karena memulakan dengan anggota kanan adalah sunnah dalam semua perkara.
Amalan ini didukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila kau memakai pakaian dan berwudhu, maka mulailah dengan anggota kananmu.” Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi. Ibnu Daqiq Al-Aid berkata, "Hadits ini adalah hadits shahih." (Nailul Authar, jilid 1 halaman 170)
Ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i juga menambah kesunnahan yang lain pada sunnah ini, yaitu memulakan dengan ujung jari dan bagian depan kepala. Begitu juga ulama madzhab Syafi'i menambah satu sunnah lagi, yaitu memulakan dengan bagian atas muka. Ulama madzhab Maliki
mengatakan, sunnah memulakan pada bagian depan setiap anggota, baik membasuh ataupun mengusap. Yaitu pada muka, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki.

11. Tartib, berturut-turut, dan menggosok anggota bagi mereka yang berpendapat tidak difardhukan

Hal ini seperti yang telah kita jelaskan dalam pembicaraan tentang rukun wudhu.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)