BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


Berikut ini akan dibahas mengenai sifat shalat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti yang telah diriwayatkan oleh para ahli hadits yang dipercayai. Tujuannya adalah supaya mudah diingat dan menjadi panduan serta teladan bagi kita.

Imam Al-Bukhari, Abu Dawud, dan At-Tirmizi telah meriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Atha'. Atha' berkata, “Aku mendengar Abu Humaid As-Sa'idi berbicara di hadapan sepuluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah Abu Qatadah  Abu Humaid berkata, “Aku lebih tahu darimu tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Mereka menjawab, “Mengapa? Demi Allah, sesungguhnya kau bukanlah orang yang lebih dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila dibanding dengan kami. Kau juga bukanlah orang yang lebih lama bersahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila dibanding dengan kami.” Abu Humaid menjawab, “Ya, betul.”
Mereka kemudian berkata, “Beritahukanlah (kepada kami tentang sifat shalat Rasul).” Lalu dia berkata, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga menghampiri kedua bahunya. Kemudian beliau bertakbir dan semua anggota badan tetap di tempat secara betul, kemudian beliau membaca (bacaan Al-Qur'an) bertakbir, mengangkat kedua belah tangannya hingga keduanya menghampiri kedua bahunya, kemudian beliau rukuk dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian beliau meluruskan rukuknya, tidak membungkukkan kepala dan tidak juga mendongak (yaitu tidak mengangkat kepalanya hingga lebih tinggi dari punggungnya). Kemudian beliau mengangkat kepalanya dengan mengucapkan takbir. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga keduanya menghampiri dua bahunya dalam keadaan tegak. Kemudian beliau membaca takbir. Kemudian beliau membungkuk turun ke bumi, lalu direnggangkan dua tangannya dari dua rusuknya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan melipatkan kaki kirinya, lalu beliau duduk di atasnya (ini dinamakan duduk istirahah).
Beliau kemudian membuka jari-jari kedua belah kakinya ketika bersujud. Kemudian beliau bersujud, lalu membaca takbir. Kemudian beliau mengangkat dan melipatkan kaki kirinya lalu duduk di atasnya, sehingga setiap tulang kembali ke tempatnya. Kemudian pada rakaat yang lain beliau juga melakukan hal yang serupa.
Kemudian apabila beliau bangun dari dua rakaat, beliau bertakbir dan mengangkat kedua belah tangannya. Sehingga, keduanya menghampiri kedua bahunya, sebagaimana ketika beliau bertakbir ketika iftitah shalat. Beliau melakukan hal-hal ini dalam rakaat-rakaat berikutnya. Hingga apabila sampai kepada sujud yang diakhiri dengan salam, beliau mengarahkan kakinya ke belakang dan duduk secara tawaruk (duduk di atas pangkal paha) di atas bagian kirinya.” Mereka berkata, “Betul.” Demikianlah sifat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam." HR. Lima perawi kecuali An-Nasa’i. Abu Dawud menshahihkan hadis ini, sedangkan Imam Bukhari meriwayatkannya secara ringkas (Nailul Authar jilid 2 halaman 184)
Dalam riwayat yang lain, dia berkata, "Pada suatu hari aku berada di dalam majelis yang dihadiri oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam" Kemudian ada yang berkata, "Coba kamu semua menceritakan tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam." Abu Humaid berkata (dia menyebut sebagian dari hadits di atas dan menambahi), “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam rukuk, baginda meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lutut dan merenggangkan jari-jarinya. Kemudian beliau membungkukkan punggungnya dan tidak mendongakkan kepalanya, juga tidak mencondongkan pipinya ke arah sebelah (yaitu tidak menampakkan pipinya dan tidak miring ke kiri atau ke kanan).”
Abu Humaid berkata, “Apabila baginda duduk dalam rakaat yang kedua, beliau duduk di atas perut kaki kirinya dan menegakkan yang kanan. Dalam rakaat yang keempat juga, beliau meletakkan paha kiri di atas tanah dan mengeluarkan keduanya ke arah yang sama.”
Dalam riwayat yang lain dia menyebutkan, “Apabila baginda bersujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa iftirasy, dan juga tidak merapatkannya ke badan, dan ujung jarinya diarahkan ke kiblat." Iftirasy yang dilarang ialah menempelkan dua lengan di atas lengan di atas tanah ketika sujud dan tidak mengangkatnya.
Dalam satu riwayat lain Abu Humaid mengatakan, "Kemudian baginda mengangkat kepalanya (dari rukuk), lalu mengucapkan: (سمع الله لمن حمده اللهم ربنا لك الحمد) dan beliau mengangkat kedua tangannya."
Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa'i meriwayatkan sebuah hadits dari Rifa'ah bin Rafi' radhiyallahu ‘anhu, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajar seorang Arab Badui mengenai cara shalat, ketika beliau melihat badui itu shalat dengan cepat dan tergesa-gesa. Menurut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Sesungguhnya tidak sempurna shalat seorang manusia sehingga dia mengambil air wudhu, melakukan wudhu dengan benar kemudian dia bertakbir, memuji Allah ('Azza wa Jalla), kemudian membaca ayat Al-Qur'an yang ia mampu, kemudian membaca takbir, lalu rukuk dalam keadaan sendi-sendinya tetap (lurus), kemudian bangkit (dari rukuk), dan membaca (سمع الله لمن حمده اللهم ربنا لك الحمد) hingga dia berdiri tegak (tetap), dan membaca takbir. Kemudian sujud hingga keadaan sendi-sendinya tetap, kemudian membaca takbir dan mengangkat kepalanya hingga duduk dengan tegak. Kemudian membaca takbir, kemudian sujud hingga sendi-sendinya tetap, lalu bangkit lagi untuk yang kedua kalinya dengan disertai takbir. Jika dia melakukan yang demikian, maka sempurnalah shalatnya."

Penjelasan Tata Cara Shalat

Dari hadits di atas dan dari hal-hal yang telah kami sebutkan, mulai dari syarat, rukun, sunnah, dan adab-adab shalat, telah jelas bahwa sifat shalat dalam beberapa madzhab yang berbeda adalah sebagai berikut. (Al-Lubab Syarhul Kitab jilid 1 halaman 68-77; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 57-66; Al-Muhadzdzab halaman 70-80; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 381-459; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 148-184; Muraqil Falah halaman 44-46)
Seseorang yang ingin shalat, hendaknya menjaga syarat-syarat shalat yang di antaranya
adalah menutup aurat, menjaga kesucian badan, pakaian, tempat shalat, dan sebagainya. Kemudian berwudhu, mengumandangkan adzan, dan iqamat sesuai waktu shalat, menghadap
kiblat, memulai shalat dengan takbir setelah niat dalam hati. Disunnahkan melafal kan niat shalat menurut mayoritas ulama selain Malikiyyah. Melafalkan takbir hukumnya wajib.
Menurut Malikiyyah, dengan mengeraskan suara takbir sambil mengangkat kedua tangan agar terlihat, merenggangkan jari-jari tangan ketika takbir menurut mayoritas ulama selain Hanabilah, menghadap kiblat, menghadapkan kedua ibu jari pada daun telinga menurut Hanafiyyah, namun setinggi bahu menurut selain Hanafiyyah. Mengangkat kedua tangan setinggi bahu ini menurut Hanafiyyah untuk kaum wanita, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Kemudian meletakkan telapak tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar menurut Hanafiyyah dan Hanabilah, dan di bawah dada menurut Syafi'iyyah. Pendapat ulama Malikiyyah dalam hal ini berbeda dengan ulama mayoritas, yaitu dengan melepaskan kedua tangan ke bawah.
Kemudian disunnahkan untuk melihat pada tempat sujud, membaca pujian menurut Hanafiyyah dan Hanabilah. Bacaan pujian itu berbunyi, “Subhanallahumma wa bihamdika wa ta’ala jadduka walaa ilaaha ghairuka.” Sedangkan menurut Syafi'iyyah, membaca tawajjuh. Bacaan tawajjuh itu berbunyi, "Wajjahtu wajhiya tilladzii fatharas samaawaati wal ardhi haniifam musliman wa maa anaa minal musyrikiin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaayaa wa mamaatii lillaahi Rabbil 'aalamiin. Laa syariika lah wa bidzaalika umirtu wa ana minal muslimiin.”
Akan tetapi, pujian atau tawajjuh tidak dibaca menurut ulama Malikiyyah. Kemudian membaca ta'awwudz dengan suara rendah menurut kesepakatan ulama. Membaca basmalah juga dengan suara rendah menurut Hanafiyyah dan Hanabilah, namun dengan suara keras menurut Syafi'iyyah, dan tidak membaca basmalah menurut Malikiyyah. Kemudian membaca
surah Al-Faatihah. Setelah selesai, disunnahkan bagi makmum untuk mengucapkan “amin” dengan suara rendah menurut Malikiyyah dan Hanafiyyah, namun dengan suara keras menurut
Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Kemudian membaca surah atau ayat setelah Al-Faatihah. Membaca surah thiwaalul mufashshal dalam shalat Subuh dan Zhuhur; surah ausaathul mufashshal dalam shalat Ashar dan Isya. Demikian juga pada shalat Zhuhur menurut Hanabilah, dan membaca surah qishaarul mufashshal dalam shalat Maghrib. Demikian juga dalam shalat Ashar menurut Malikiyyah, dan disunnahkan untuk membaca surah dengan bacaan keras pada malam hari dan dengan suara rendah pada siang hari.
Kemudian bertakbir untuk rukuk sambil mulai menunduh disertai mengangkat kedua tangan menurut mayoritas ulama selain Hanafiyyah. Memegang kedua lutut dengan kedua tangan, tuma'ninah, merenggangkan jari-jari tangan, meluruskan punggung sehingga kepala dan pinggul sama rata, tidak condong ke atas ataupun ke bawah. Menegakkan kedua kaki, membuka kedua siku ke samping sambil berucap (سبحان ربي العظيم) ditambah (وبحمده) menurut mayoritas ulama selain Hanafiyyah.
Setelah itu bangkit dari rukuk sambil mengucapkan tasmi', yaitu kalimat (سمع الله لمن حمده). Sedangkan bagi makmum untuk mengucapkan kalimat Rabbanaa lakal hamdu dengan suara rendah menurut mayoritas ulama selain Syafi'iyyah. Adapun bagi imam, menurut Syafi'iyyah untuk membaca keduanya, tasmi', dan tahmid, namun kalimat tahmidnya tidak dengan suara keras. Menurut Malikiyyah yang membaca keduanya hanyalah munfarid, sedangkan imam tidak membaca tahmid. Menurut Hanafiyyah dan Hanabilah, seorang imam disunnahkan untuk membaca keduanya. Mengangkat kedua tangan ketika bangkit dari rukuk menurut selain Hanafiyyah. Pada posisi i'tidal diharuskan untuk tuma'ninah, sesuai kesepakatan ulama. Adapun menurut Hanafiyyah, tidak mengangkat kedua tangan kecuali pada takbiratul ihram.
Kemudian turun untuk sujud dengan menurunkan kedua lutut terlebih dahulu, disusul kedua tangan, dan wajah [dahi dan hidung] menurut selain Malikiyyah. Adapun menurut Malikiyyah, yang didahulukan adalah kedua tangan daripada kedua lutut. Posisi selaniutnya, kedua telapak kaki tegak dengan jari-jari tetap menghadap kiblat, meletakkan wajahnya antara dua telapak tangannya menurut Hanafiyyah. Menjaga jarak antara perut dan kedua paha, kedua lengan dari lambung agar tidak menempel, namun ini tidak berlaku bagi perempuan yang sunnahnya untuk menyempitkan jarak anggota-anggota tersebut karena lebih menutup baiginya. Menurut selain Hanafiyyah, meletakkan kedua telapak tangan di hadapan kedua bahu dengan jari-jarinya menghadap kiblat, dan menggunakannya sebagai penopang tuma'ninah dalam sujud sambil berucap, Subhaana Rabbiyal A'laa ditambah wa bihamdih menurut ulama selain Malikiyyah.
Kemudian bangkit dari suiud sambil mengucapkan takbir, duduk antara dua sujud sambil tuma'ninah dengan posisi duduk iftirasy, yaitu menduduki kaki kiri dan menegakkan kaki kanan. Meletakkan kedua tangan pada kedua paha. Mengucapkan doa, Rabbighfir lii menurut ulama selain Hanafiyyah. Kemudian sujud kedua sambil bertakbir.
Kemudian bangkit berdiri dari sujud sambil bertakbir dan masuk rakaat kedua. Ketika bangkit, posisi kedua lutut menahan tubuh dan menggunakan kedua telapak kaki untuk bangkit
tanpa duduk istirahat menurut Hanafiyyah. Kecuali jika hal itu berat dilakukan, maka boleh bertopang ke lantai. Menurut ulama selain Syafi'iyyah, tidak disunnahkan duduk istirahat. Menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah menggunakan kedua tangan menekan ke lantai untuk membantu bangkit. Namun, sebelum berdiri disunnahkan untuk duduk istirahat menurut Syafi'iyyah.
Pada posisi berdiri rakaat kedua, tidak membaca doa iftitah lagi menurut kesepakatan
ulama, namun tetap membaca ta'awwudz dengan suara rendah menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah. Akan tetapi ta'awwudz itu tidak dibaca menutut Hanafiyyah dan Malikiyyah, juga
tidak membaca basmalah menurut Malikiyyah. Demikian juga menurut Hanafiyyah jika menjadi imam shalat. Mayoritas ulama memilih membaca basmalah, surah Al-Faatihah dan surah lain dengan memendekkan bacaan pada rakaat kedua daripada rakaat pertama.
Kemudian rukuk dan sujud seperti pada rakaat pertama. Membaca doa Qunut pada shalat Subuh. Afdhalnya sebelum rukuk menurut Malikiyyah, namun boleh juga dibaca setelahnya. Ularna Syafi'iyyah berpendapat bahwa doa Qunut itu dibaca setelah bangkit dari rukuk. Demikian juga pada shalat Witir menurut Hanabilah sebagaimana yang nanti akan kami jelaskan.
Setelah selesai sujud kedua pada rakaat kedua, disunnahkan untuk duduk tasyahud pertama dengan posisi duduk tfiirasy menurut mayoritas ulama selain Malikiyyah, dan posisi duduk tawarruk menurut Malikiyyah, menghadapkan jari-jari ke arah kiblat, meletakkan kedua tangan pada kedua paha, dengan kedua jari-jari tangan terkembang. Namun menurut Malikiyyah, iari-jari tangan kiri terkembang dan jari-jari tangan kanan tergenggam, kecuali jari telunjuk dan ibu jari, menurut Syafi'iyyah kecuali jari telunjuk saja. Menurut Hanabilah melingkarkan ibu jari dengan iari tengah. Berisyarat dengan mengangkat jari telunjuk menurut
Hanafiyyah ketika membaca Laa llaaha dan menurunkannya ketika ucapan illallaah. Menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, isyarat dengan jari telunjuk itu dilakukan ketika ucapan, illallaah tanpa menggerak-gerakkannya. Menurut Malikiyyah, jari telunjuk itu digerak-gerakkan pada tasyahud pertama.
Kemudian membaca tasyahud dengan salah satu dari tiga redaksi tasyahud yang telah disebutkan sampai pada bacaan 'abduhu wa rasululuh tanpa menambahkan shalawat Nabi menurut mayoritas ulama selain Syafi'iyyah dalam tasyahud pertama. Sedangkan menurut Syafi'iyyah, ditambahkan bacaan shalawat atas Nabi. Adapun pada tasyahud terakhir ditambahkan shalawat lbrahimiyyah. Redaksi tasyahud menurut Hanafiyyah dan Hanabilah berbunyi, “At-Tahiyyaatu lillaah, was shalawaatu wat thayyibaat, as-salaamu 'alaika ayyuhan Nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh. As-salaamu'alainaa wa'alaa 'ibaadillahish shaalihiin. Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuuluh." Sedangkan redaksi tasyahud menurut Malikiyyah berbunyi, “At-Tahiyyatu lillaah waz-zakiyyatu lillaah, ath-thayyibaat ash-shalawaatu lillaah...," sampai akhir. Sedangkan. redaksi tasyahud menurut Syafi'iyyah berbunyi, “At-Tahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaatu lillaah. As-salaamu'alaika ayyuhan Nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh. Assalaamu'alainaa wa'alaa 'ibaadillaahish shaalihiin. Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah."
Duduk tawarruk dalam tasyahud terakhir menurut ulama selain Hanafiyyah, kemudian
membaca doa yang ma'tsur dari Al-Qur'an dan hadits menurut Hanafiyyah, atau dengan doa apa saja, tidak mesti ma'tsur menurut mayoritas ulama.
Kemudian mengucapkan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Kalimat salam yang diucapkan adalah (السلام عليكم ورحمة الله), namun menurut Malikiyyah ditambah wa barakaatuh, tanpa memanjangkan aksen bacaan dan tidak terlalu cepat. Karena, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Membuang taslim itu termasuk sunnah.” Ibnul Mubarak berkata, “Maksud hadits ini tidak memanjangkan aksen salam.”
Jika shalat yang dilakukan itu tiga rakaat, maka pada rakaat terakhir itu membaca tasyahud dan salam. Dalam shalat fardhu, pada rakaat ketiga dan keempat tidak perlu membaca surah lain setelah membaca surah Al-Faatihah. Namun, menurut Hanafiyyah tetap perlu membaca surah dalam shalat nafilah dan semua rakaat shalat Witir.


PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)