BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


2. SEBAB-SEBAB TAYAMUM

Sebab-sebab tayamum atau uzur yang membolehkan bertayamum adalah seperti berikut (Al-Bada’i jilid 1 halaman 46-49; Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 36; Al-Lubab jilid 1 halaman 36; Fathul Qadir jilid 1 halaman 83; Muraqil Falah halaman 19; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 214-226; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 179-183, 199; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 63 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 37; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 149 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 87-95; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 34 dan seterusnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 234, 239, 257, 258, 261, 265; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 184-194).


A. Tidak Adanya Air yang Mencukupi untuk Wudhu ataupun Mandi

Ketiadaan itu adakalanya memang nyata seperti tidak adanya air sama sekali ataupun ada air; tetapi tidak mencukupi. Dan adakalanya juga ketiadaan tersebut hanya hukman seperti takut mendapatkan air, karena jalan ke tempat air tidak aman, atau air berada di tempat jauh yang jaraknya kira-kira 1.848 meter atau 4.000 hasta/langkah, atau lebih dari itu (ini menurut ulama para Hanafi), ataupun air itu berada sejauh dua mil (ini menurut ulama Maliki), ataupun seseorang
perlu kepada harga air itu ataupun ada air, tetapi ia dijual dengan harga yang lebih dari harga pasaran biasa. Kebolehan bertayamum ketika tidak ada air ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, "...sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci).... " (An-Nisaa' : 43)
Ulama Syafi'i membuat ulasan terperinci berkenaan dibolehkannya bertayamum ketika tidak ada air dan sejauh manakah air tersebut perlu dicari. Mereka mengatakan: pertama, jika dia yakin air tidak ada di sekelilingnya, maka dia boleh bertayamum tanpa perlu mencarinya. Kedua, jika dia mempunyai sangkaan kuat (zhan) ataupun syak (ragu) tentang adanya air, hendaklah ia mencari baik di rumahnya ataupun di tempat kawan-kawannya, sekadar jarak di mana pekikan suara minta tolong dapat didengar, kadarnya adalah 400 hasta atau 184,8 meter. Jika dia tidak juga mendapati air, hendaklah dia bertayamum. Ulama Hanafi juga berpegang pada pendapat ini. Oleh karena itu, mereka mewajibkan mencari air sejauh 400 langkah jika memang menyangka (zhan) ada air dan keselamatan jiwanya terjamin. Ketiga, jika dia yakin akan adanya air, maka hendaklah ia mencarinya di kawasan yang dekat dengannya, yaitu sejauh 6.000 langkah.
Menurut ulama Maliki, jika dia yakin atau mempunyai sangkaan kuat (zhan) akan keberadaan air, maka hendaklah dia mencari di kawasan yang kurang dari dua mil. Menurut ulama Hambali, hendaklah dia mencari di kawasan yang dekat dengannya.
Menurut ulama Syafi'i, seseorang tidak perlu mencari air baik di kawasan yang dekat dengannya atau di kawasan di mana pekikan suara minta tolong dapat terdengar, kecuali jika ada jaminan bahwa diri dan hartanya selamat. Begitu juga jika dia memang tidak terpisah dari rombongan. Menurut pendapat yang azhar di kalangan ulama Syafi'i dan Hambali (tetapi pendapat ini berbeda dengan pendapat para ulama lain), jika orang tersebut mendapati sedikit air dan tidak mencukupi untuk berwudhu, maka dia wajib menggunakannya, kemudian ia baru bertayamum. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah "Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, hendaklah kamu lakukannya sekuat kemampuanmu."

Hukum Membeli Air

Seseorang yang tidak mempunyai air, wajib membelinya dengan harga pasaran biasa, jika memang dia tidak memerlukan uang tersebut untuk membayar utang yang bernilai lebih daripada hartanya itu, ataupun jika dia tidak memerlukannya untuk urusan perjalanannya (musafir) atau untuk perbelanjaan makanan (nafkah) seseorang yang wajib ia bayar, atau untuk keperluan binatang yang muhtaram (tidak boleh dibunuh).

Hibah

Kalau dia dihadiahi air atau diberi pinjaman timba, maka menurut ulama dan juga pendapat paling ashah menurut ulama Syafi'i, adalah dia wajib menerimanya. Tetapi jika dia dihadiahi uang untuk membeli air, maka dia tidak wajib menerimanya, meskipun pemberian itu dari ayah kepada anaknya, karena kemungkinan akan ada pengungkitan.

Terlupa Air

Jika dalam perjalanan seseorang terlupa bahwa dia membawa air lalu dia bertayamum dan kemudian melakukan shalat, lalu selepas itu dia teringat bahwa dia mempunyai air sedang waktu masih ada, maka menurut pendapat yang azhar di kalangan ulama Syafi'i, Abu Yusuf, dan Maliki, hendaklah dia mengqadha' shalatnya tersebut. Sebab dalam kasus ini, dia mempunyai air, namun dia tidak mempunyai perhatian kepadanya. Oleh karena itu, dia mestilah mengqadha' shalatnya, sama seperti kasus jika dia terlupa menutup aurat, umpamanya dalam perjalanannya itu dia membawa kain tetapi terlupa (Mughni Muhtaj jilid 1 halaman 91).
Tetapi menurut pendapat Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy-Syaibani, orang tersebut tidak perlu mengqadha' shalatnya. Sebab pada kenyataannya, waktu itu orang tersebut memang tidak ada kemampuan karena dia tidak mengetahui. Jadi, dalam kasus seperti ini dia dianggap tidak mempunyai air. Karena maksud dari keberadaan air adalah adanya kemampuan untuk menggunakannya, sedangkan kemampuan tersebut tidak akan wujud kecuali dengan adanya pengetahuan (Fathul Qadir dan Hasyiyah Al-‘Inayah jilid 1 halaman 97; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 330).
Jika dia teringat ada air di tengah-tengah mengerjakan shalat, maka dia hendaklah menghentikan shalatnya itu dan mengulanginya lagi. Ini adalah ijma ulama. Begitu juga ulama sependapat, bahwa jika dia mempunyai sangkaan kuat (zhan) bahwa airnya habis lalu dia bertayamum dan shalat, maka dia hendaklah mengulanginya. Orang yang tidak mempunyai air tidak dimakruhkan melakukan hubungan badan dengan istrinya, meskipun dia tidak takut menghadapi kesusahan. Sebab hukum asal sesuatu adalah boleh, kecuali memang ada dalil yang melarang.

B. Tidak Ada Kemampuan untuk Menggunakan Air
           
Menurut ulama Madzhab Maliki, Hambali, dan lain-lain, orang yang tidak bisa menggunakan air seperti orang yang dipaksa (tidak boleh menggunakan air), orang yang dipenjara, orang yang diikat dekat dengan air dan orang yang takut binatang buas ataupun takut kecurian, baik dia sedang berada dalam perjalanan ataupun sedang bermukim, dan meskipun perjalanannya itu adalah perjalanan maksiat, maka dia boleh bertayamum. Sebab, tayamum adalah disyariatkan secara mutlak, baik dalam keadaan musafir ataupun tidak, dan baik musafir itu merupakan musafir yang dibenarkan oleh agama ataupun yang dilarang oleh agama. Lagipula, dalam keadaan seperti ini orang tersebut memang tidak mempunyai air. Iuga, karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah umum, "Sesungguhnya debu yang suci adalah menjadi alat bersuci bagi seorang Muslim, biarpun ia tidak mendapati air selama sepuluh tahun. Jika dia mendapati air, maka hendaklah dia membasuhkan air tersebut ke atas tubuhnya karena itu adalah lebih baik.” Riwayat At-Tirmidzi, dari Abu Dzar, dia mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih.
Tetapi menurut ulama Syafi'i, orang mukim yang bertayammum karena ketiadaan air kemudian melakukan shalat, hendaklah dia mengqadha' shalatnya tersebut. Sebaliknya, seorang musafir tidak perlu melakukan qadha', kecuali orang yang safarnya adalah untuk tujuan maksiat, maka dia perlu mengqadha' shalatnya tersebut. Hal ini adalah menurut pendapat paling ashah. Karena, sebenarnya dia tidak berhak mendapatkan rukhshah (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 106).
Menurut pandangan madzhab yang lain dan pendapat yang lebih rajih dalam Madzhab Hambali, orang tersebut tidak perlu mengulangi shalatnya, sebab dia telah melakukan apa yang diperintahkan agama, maka dia sudah terlepas dari tanggung jawab. Lagipula, dia sudah melakukan shalat dengan tayamum menurut cara yang disyariatkan. Sehingga, kasus orang yang sakit adalah sama dengan kasus orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) (Al-Mughni jilid 1 halaman 235; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 195; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 190; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 148; Muraqil Falah halaman 19).
Namun dalam masalah mengulang shalat, ulama Hanafi mengecualikan orang yang dipaksa supaya jangan berwudhu. Maka, dia boleh bertayamum namun kemudian dia hendaklah mengulangi shalatnya.

C. Sakit atau Lambat Sembuh

Jika seseorang mengkhawatirkan jiwanya atau khawatir rusaknya anggota badan jika dia menggunakan air, karena memang dia sedang sakit atau demam ataupun lainnya, sehingga dia bimbang jikalau dia menggunakan air, maka sakitnya akan bertambah parah atau semakin lambat sembuh, dan dia mengetahui hal itu berdasarkan pengalaman, maka dia dibolehkan bertayamum. Demikian juga jika keadaan itu diketahui melalui nasihat dokter yang pakar, meskipun dokter itu bukan Muslim. Ini adalah pendapat ulama Maliki dan Syafi'i.
Akan tetapi menurut ulama Hanafi dan Hambali, seseorang tersebut boleh bertayamum jika memang yang menginformasikannya adalah dokter yang Muslim. Ulama Syafi'i, dalam pendapat yang azhar, dan ulama Hambali, membuat penambahan syarat yaitu adanya kekhawatiran terjadi kecacatan pada anggota yang lahir. Karena, kecacatan seperti itu mencacatkan dan kemudharatannya berkelanjutan. Maksud anggota yang lahir adalah anggota yang biasanya terbuka ketika seseorang melakukan pekerjaan, seperti dua belah tangan dan muka.
Ulama Hambali berpendapat, siapa yang sakit dan tidak mampu bergerak serta tidak ada orang yang membantunya menuangkan air wudhu, maka kasusnya ini disamakan dengan kasus orang yang tidak mempunyai air. Dia boleh bertayamum jika dia kahwatir waktu shalat akan habis.

D. Ada Air, Tapi la Diperlukan untuk Sekarang ataupun untuk Masa yang akan Datang

Seseorang boleh bertayamum jika dia yakin atau mempunyai sangkaan kuat (zhan), bahwa pada masa yang akan datang dia sangat memerlukan air tersebut. Dan sekiranya dia tidak mendapatkan air, maka hal itu akan menyebabkan kebinasaan atau kesengsaraan manusia ataupun hewan yang muhtaram, disebabkan kehausan, meskipun hewan tersebut adalah anjing buruan atau anjing pengawal. Tetapi, kafir harbi tidak termasuk. Begitu juga dengan orang murtad, anjing yang
tidak mendapat izin syara' (dalam madzhab Hambali adalah anjing hitam). Keputusan ini adalah untuk menjaga nyawa dari kematian.
Di antara jenis keperluan air yang dianggap juga, adalah keperluan kepada air untuk adonan tepung atau untuk memasak yang sangat diperlukan, atau untuk menghilangkan najis yang tidak dimaafkan syara' dengan syarat -menurut ulama Syafi'i- najis itu berada pada tubuh. Jika najis itu berada pada pakaian, hendaklah dia berwudhu dengan air yang dia miliki dan hendaklah dia melakukan shalat secara telanjang, jika dia tidak mempunyai pakaian lain. Dalam kasus ini, dia tidak perlu mengulang shalatnya.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 106; Al-Mughni jilid 1 halaman 273 dan seterusnya) berpendapat jika terdapat najis di atas badan seseorang dan dia tidak mampu membasuhnya karena tidak ada air ataupun karena takut ada bahaya jika dia menggunakannya, maka dia hendaklah bertayamum kemudian menjalankan shalat. Dalam kasus seperti ini menurut ulama Syafi'i, dia wajib mengqadha shalatnya tersebut. Sementara itu, menurut
ulama Hambali dia tidak perlu mengqadha shalatnya itu.
Bagi seorang musafir yang takut kehausan, lantas dia bertayamum dan melaksanakan shalat dengan tayamum itu, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Ini merupakan ijma ulama.

E. Khawatir Hartanya Rusak Jika Dia Mencari Air

Menurut ulama Maliki, seseorang yang mampu menggunakan air baik semasa musafir ataupun bermukim, namun jika dia mencari air tersebut -baik air itu dipastikan ada ataupun diduga kuat ada- dia kawatir hartanya yang berharga akan rusak -baik harta itu milik sendiri ataupun milik orang lain- maka dia boleh bertayamum. Tetapi jika dia ragu akan kewujudan air, hendaklah dia bertayamum, meskipun harta yang bernilai itu sedikit saja.
Maksud harta di sini adalah harta yang nilainya lebih daripada keperluan untuk membeli air. Harta yang bernilai adalah harta yang kadar harganya melebihi harga yang sewajarnya untuk membeli air.
Menurut ulama selain Madzhab Maliki, takut terhadap ancaman musuh baik musuh itu manusia ataupun lainnya, atau takut akan api (kebakaran) ataupun takut akan pencuri, semuanya itu membolehkan seseorang bertayamum dan dia tidak perlu mencari air, baik kekhawatirannya itu untuk dirinya sendiri, hartanya, ataupun untuk barang titipan. Apabila ada perempuan yang takut kepada lelaki jahat di tempat air, atau ada orang berutang yang muflis (tidak punya harta sama sekali) dan dia takut ditahan, ataupun ada orang yang takut kehilangan barang yang dicarinya seperti orang yang sedang mencari orang yang melarikan diri, maka semua orang tersebut hukumnya adalah sama seperti orang yang tidak memiliki air, karena keadaan yang demikian dianggap sebagai keadaan darurat.

F. lklim yang Sangat Dingin atau Air Menjadi Sangat Dingin

Iklim yang sangat dingin menyebabkan seseorang dibolehkan bertayamum, jika memang penggunaan air dapat membahayakan dan pada waktu yang sama tidak ada alat pemanas air.
Tetapi, para ulama madzhab Hanafi membatasi dibolehkannya tayamum karena hawa dingin ini, hanya kepada orang yang khawatir mati jika menggunakan air, menyebabkan rusaknya fungsi sebagian anggota badan, atau menimbulkan penyakit. Mereka juga membatasi dibolehkannya tayamum hanya sebagai ganti mandi junub saja. Dengan syarat, apabila memang orang tersebut dalam keadaan tidak musafir (hadar) dan orang tersebut tidak mempunyai uang untuk membayar sewa kamar mandi panas dan tidak mempunyai alat pemanas air. Adapun bagi orang yang berhadats kecil, dia tidak boleh bertayamum dengan alasan dingin. Ini adalah pendapat
yang shahih dalam Madzhab Hanafi.
Ulama madzhab Maliki juga membatasi pembolehan tayamum karena hawa dingin, hanya dalam keadaan iklim dingin yang memang dapat menyebabkan kematian.
Adapun ulama madzhab Syafi'i dan Hambali membolehkan tayamum karena dingin, apabila orang tersebut memang tidak mempunyai alat untuk memanaskan air, atau apabila memanaskan anggota badan pada masa itu tidak dapat mengatasi masalah dingin, dan dia juga khawatir terjadinya kerusakan fungsi anggota badan apabila menggunakan air, ataupun dia akan mengalami kecacatan pada anggota lahir, ataupun -menurut ulama Hambali- akan mengalami kecacatan pada seluruh anggota badannya karena menggunakan air.
Menurut ulama madzhab Syafi'i, orang yang shalat dengan menggunaan tayamum karena sakit, hendaklah mengqadha' shalatnya. Demikian juga apabila dia melakukan tayamum karena hawa dingin. Ini adalah menurut pendapat yang azhar. Tetapi, menurut ulama madzhab Maliki dan Hanafi, orang tersebut tidak perlu mengqadha' shalatnya.
Adapun menurut madzhab Hambali, ada dua riwayat. Riwayat pertama mengatakan tidak wajib mengqadha' shalat, dan pendapat kedua menyatakan bahwa orang tersebut wajib mengqadha' shalat.

G. Tidak Ada Alat untuk Mengambil Air, Seperti tidak Ada Timba ataupun Tali

Orang yang sebenarnya mampu menggunakan air boleh melakukan tayamum, jika tidak ada orang yang dapat membantunya untuk mendapatkan ain ataupun dia tidak mempunyai alat untuk memperoleh air, seperti tidak adanya tali ataupun tidak ada timba, sedangkan dia khawatir waktu shalat akan terlewat. Dalam keadaan seperti ini, orang tersebut dianggap seperti orang yang tidak mempunyai air.
Ulama madzhab Hambali menambahkan, orang tersebut wajib mencari alat untuk memperoleh air terlebih dahulu, meskipun dengan cara meminjam. Alasan mereka adalah “Apabila ada kewajiban, namun ia tidak sempurna melainkan dengan adanya sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya juga wajib.”
Orang tersebut harus menerima uluran bantuan pinjaman itu, karena pengungkitan (minnah) dalam kasus ini adalah kecil. Jika orang tersebut mampu mengambil air telaga dengan cara membasahi pakaian kemudian memerasnya, maka dia harus melakukannya. Sebab, dengan itu dia mampu mendapatkan air, dengan syarat harga pakaian (kain yang digunakan untuk mengambil air) itu tidak menjadi susut hingga lebih murah daripada harga air yang diambil dari tempatnya. Jika harga kain itu menyusut hingga jauh lebih rendah daripada harga air, maka dia tidak wajib melakukan hal yang demikian. Kedudukannya sama seperti hukum dia membeli air itu. Jika dia diberi utang air atau diberi utang harga air; maka dia wajib menerimanya dengan syarat dia mampu membayarnya. Sebab, kemungkinan terjadinya pengungkitan dalam kasus ini adalah kecil. Tetapi, dia tidak wajib meminjam harga air karena ada kemungkin an-minnah (pengungkitan).
Jika ada orang memberi (hibah) harga air kepadanya, maka dia tidak wajib menerimanya karena ada kemungkinan timbul minnah (pengungkitan). Jika ada orang yang menghibahkan air kepadanya, maka dia wajib menerimanya karena kemungkinan terjadinya pengungkitan (minnah) adalah kecil serta biasanya pemberian itu dianggap tidak bernilai. Dia juga tidak wajib membeli air dengan cara utang, walaupun dia mampu membayarnya apabila pulang ke negerinya. Sebab, utang yang berada dalam tanggungannya menyebabkan dia mengalami mudharat. Lagipula hartanya mungkin rusak sebelum dia dapat membayar utangnya.

H. Khawatir Terlewat Waktu shalat

Ulama madzhab Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 88; Al-Hadramiyyah halaman 24) tidak membolehkan tayamum dengan alasan khawatir terlewat waktu shalat. Karena, tayamum dalam keadaan seperti itu berarti tayamum dalam kondisi ada air. Namun mereka mengecualikan
kasus orang yang musafir, sebab orang musafir tidak wajib mencari air. Musafir tersebut boleh bertayamum jika dia takut terlewat waktu shalat, takut akan keselamatan dirinya atau keselamatan hartanya, ataupun takut ketinggalan rombongan.
Demikian juga ulama madzhab Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 206), mereka tidak membolehkan tayamum dengan alasan khawatir terlewat waktu shalat, baik tayamum itu untuk shalat jenazah, untuk shalat Hari Raya, atau untuk shalat fardhu. Namun, ada pengecualian bagi musafir yang mengetahui keberadaan air di suatu tempat yang tidak jauh, tetapi dia khawatir jika dia mengambilnya maka waktu shalat akan terlewat. Oleh karena itu, hendaklah orang tersebut bertayamum, kemudian shalat dan dia tidak perlu mengulang shalatnya. Sebab, dia memang tidak mampu menggunakan air pada waktunya. Jadi, kasusnya sama seperti orang yang tidak mempunyai air.
Ulama madzhab Hanafi tidak membolehkan bertayamum dengan alasan takut terlewat waktu shalat, kecuali dalam keadaan berikut ini (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 223-227; Muraqil Falah halaman 19 dan seterusnya; Al-Bada’i jilid 1 halaman 15; Fathul Qadir jilid 1 halaman 96).
Pertama, boleh bertayamum jika dia khawatir terlewat shalat jenazah, meskipun dia sedang junub. Ataupun orang tersebut khawatir terlewat shalat Hari Raya, sehingga dia tidak dapat berjamaah dengan imam, atau khawatir matahari sudah tergelincir jika dia berwudhu, baik dia adalah seorang imam ataupun bukan. Ini adalah menurut pendapat yang ashah. Sebab, dibolehkannya tayamum dalam kondisi tersebut adalah karena apabila kedua waktu itu terlewat, maka tidak ada gantinya. Juga, karena terdapat riwayat dari Ibnu Abbas. Dia berkata, "Jika kamu mendapati shalat jenazah sedangkan kamu khawatir shalat itu terlewat, maka hendaklah kamu shalat dengan bertayamum." Diceritakan bahwa pernah ada satu jenazah didatangkan kepada Ibnu Umar, sedangkan dia belum berwudhu. Maka, dia pun bertayamum dan kemudian menshalati jenazah itu. Jika orang yang tidak mendapati air boleh bertayamum untuk shalat jenazah atau untuk mengerjakan sujud tilawah, maka dia juga boleh menunaikan shalat yang lain dengan bertayamum. Menurut ulama Hanafi, boleh bertayamum kalau tidak ada air, walaupun tidak boleh shalat dengan tayamum itu. Yaitu, apabila digunakan untuk melakukan amalan yang tidak disyaratkan bersuci, seperti hendak membaca Al-Qur'an selain orang yang Junub baik dengan cara hafalan atau melihat mushal mengajar Al-Qur'an, masuk masjid, keluar masjid, mengubur mayat, ziarah kubuf, azan dan iqamah, menjenguk orang sakit, mengucapkan salam, dan membalasnya. Pendapat yang dipilih adalah bolehnya bertayamum bagi orang musafir -bukan mukim- untuk melakukan sujud tilawah meskipun ada air.
Kedua, boleh juga bertayamum dengan alasan tidak ada air; jika memang orang tersebut khawatir terlewat shalat khusuf (gerhana matahari) dan shalat-shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu, meskipun shalat sunnah shubuh. Dengan syarat, apabila dia wudhu, maka dia akan terlewat waktu shalat. Namun, tidak sah bertayamum untuk melakukan shalat Jumat dan shalat wajib yang lain termasuk shalat Witir, dengan alasan khawatir terlewat waktu shalat. Hal ini disebabkan shalat Jumat ada gantinya, yaitu shalat Zhuhur sedangkan shalat yang lain boleh diqadha'.
Menurut pendapat yang mu'tamad di kalangan Madzhab Maliki (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 182-184; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 150 dan seterusnya), orang yang tidak mendapatkan air boleh bertayamum jika dia khawatir waktu shalat terlepas. Kebolehan ini demi menjaga supaya shalat dilaksanakan pada waktunya. Jika dia mempunyai sangkaan kuat (zhan) bahwa jika dia berwudhu atau mandi, dia akan mendapat satu rakaat dalam waktu shalat, maka dia tidak boleh bertayamum.
Pendapat yang azhhar yang bertentangan dengan pendapat yang masyhur mengatakan, bahwa tayamum untuk shalat Jumat dan shalat jenazah bagi orang yang tidak mendapatkan air dan dia dalam keadaan bermukim lagi sehat (tidak uzur), adalah dibolehkan. Dia boleh melaksanakan
shalat tersebut dengan tayamum, dan dia tidak perlu mengulang shalatnya lagi.
Tayamum untuk tujuan menunaikan amalan sunnah, shalat sunnah, menyentuh Al-Qur'an, dan mengerjakan thawaf yang tidak wajib juga dibolehkan bagi orang yang tidak mendapatkan air.
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa sebab yang membolehkan tayamum ada dua hal. Pertama, tidak adanya Air. Hal ini mencakup keadaan di mana seseorang sangat memerlukan air (selain untuk wudhu), meskipun keperluannya itu adalah untuk masa yang akan datang. Juga, mencakup keadaan seseorang yang takut terjadi kerusakan pada harta bendanya, atau takut waktu shalat akan terlewat jika dia menggunakan air.
Kedua, tidak sanggup menggunakan air. Hal ini juga mencakup kondisi-kondisi lain yang lebih luas. Alasan yang kedua ini diqiyaskan dengan alasan yang pertama, yaitu alasan ketiadaan air yang hukumnya telah ditentukan dalam ayat tentang tayamum.
Para ahli fiqih berpendapat bahwa tayamum dibolehkan untuk dua orang, yaitu untuk orang sakit dan juga untuk orang musafir, jika memang tidak ada air.

Apakah shalat yang Telah Ditunaikan dengan Tayamum Wajib Diulangi?

Para ahli fiqih berpendapat bahwa orang yang bertayamum karena tidak ada air, kemudian
dia shalat dan setelah itu dia menemukan air, sedangkan waktu shalat sudah habis, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Tetapi jika dia mendapati air ketika waktu shalat masih berjalan, ataupun dia bertayamum oleh sebab-sebab yang lain (selain ketiadaan air), maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat (Al-Mughni jilid 1 halaman 243, 265, 268; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 93-195, 206; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 190; Muraqil Falah halaman 19; Al-Wajiz lil Ghazali jilid 1 halaman 23; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 101, 106 dan seterusnya; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 36; Al-Majmu’ jilid 2 halaman 342-352).
Menurut ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, orang yang shalat dengan tayamum
kemudian mendapati air ketika masih dalam waktu shalat, tidak perlu mengulangi shalatnya. Demikian juga dia tidak perlu mengqadha' shalat yang telah dikerjakannya dengan menggunakan tayamum, atas sebab lainnya. Namun, para ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa siapa yang diperintah bertayamum, hendaklah dia mengulangi shalat dalam waktunya, jika dia mengabaikan dalam mencari air.
Ulama Hanafi membuat mengecualikan orang yang terkurung kemudian melakukan shalat dengan tayammum, hendaklah dia mengulang shalatnya jika dia memang orang yang bermukim (bukan musafir). Tetapi jika dia dalam keadaan musaficr, maka dia tidak perlu mengulanginya. Inilah pendapat yang paling mudah diikuti. Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari sahabat Abu Sa'id bahwa dua lelaki pergi bermusafir, lalu tibalah waktu shalat. Keduanya tidak mempunyai air, lalu mereka bertayamum dan menjalankan shalat. Setelah itu, mereka menemukan air; sedangkan waktu shalat masih ada. Salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi shalatnya, tetapi seorang lagi tidak. Kemudian mereka berdua datang menghadap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal tersebut. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepada yang tidak mengulangi shalatnya, "Perbuatanmu
menepati sunnah dan shalatmu diberi pahala.” Baginda berkata kepada yang mengulangi shalatnya, "Kamu mendapatkan pahala dua kali."
Ibnu Umar bertayamum dan kemudian shalat Ashar, meskipun dia sudah melihat perumahan di kota Madinah. Kemudian dia masuk ke kota Madinah sedangkan matahari masih tinggi. Meskipun demikian, dia tidak mengulangi shalatnya.
Lagipula, orang yang bertayamum telah melakukan apa yang diperintahkan. Dia menunaikan kewajibannya sebagaimana yang diperintahkan. Maka, dia tidak wajib mengulanginya. Selain itu, tidak adanya air adalah udzur yang biasa. Jika seseorang bertayamum dalam keadaan udzur (lalu dia shalat dengan tayamumnya), maka apa yang dilakukannya itu telah menggugurkan fardhu shalat, sama seperti orang sakit. Sesuatu yang telah gugur sudah tidak menjadi tanggungannya lagi.
Menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali, orang yang bertayamum kemudian mendapatkan air ketika sedang shalat, maka tayamum dan sucinya batal. Dia harus mengulangi shalatnya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Debu adalah wudhu bagi seorang Muslim, meskipun dia tidak mendapat air selama sepuluh tahun. Namun jika engkau mendapatkan air, hendaklah engkau basahi kulitmu dengan air itu.” Riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i dari Abu Dzar. Hadis ini dihukumi shahih oleh At-Tirmidzi. Dia berkata bahwa hadis ini hasan shahih.
Dari hadits ini kita dapat paham bahwa keadaan suci (bagi orang yang tayamum) menjadi tidak ada jika ada air. Sesuai dengan makna lafal hadits tersebut, kulit wajib dibasahi dengan air jika memang ada air. Lagipula, dia memang mampu menggunakan air. Oleh sebab itu, batallah tayamum orang tersebut, sama seperti orang yang membatalkan shalatnya. Alasan lainnya adalah, tayamum itu adalah cara bersuci darurat, sehingga ia akan menjadi batal apabila keadaan darurat itu hilang, sama seperti keadaan perempuan mustahadhah yang terhenti darahnya.
Tetapi jika orang tersebut tidak mempunyai air lalu dia bertayamum dan kemudian shalat, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Sebab, shalatnya itu dilakukan dengan tayamum yang sah.
Jika seseorang takut kehausan lalu dia menyimpan air dan kemudian dia bertayamum untuk shalat, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya.
Menurut ulama madzhab Syafi'i, jika seseorang bertayamum karena ketiadaan air kemudian dia melihat air, maka: pertama, jika air itu dilihat sebelum dia memulai shalat, maka batallah tayamumnya, sebab dia belum memulainya. Hal ini juga berdasarkan hadits Abu Dzar yang telah lalu.
Kedua, jika dia melihat air ketika sedang shalat, maka jika dia adalah seorang yang bukan musafir (bermukim), maka tayamum dan shalatnya menjadi batal. Sebab, ia harus mengulangi shalatnya karena adanya air. Menurut pendapat yang ashah, apabila dia menghentikan shalatnya untuk berwudhu adalah lebih afdal. Tetapi jika orang tersebut dalam keadaan musafir, maka menurut pendapat al-madzhab, tayamumnya tidak batal. Sebab, dia baru mendapati perkara yang asal setelah dia mulai melakukan amalan. Oleh karena itu, dia tidak perlu kembali kepada perkara yang asal itu.
Jika seorang musafir melihat air ketika dia sedang shalat, kemudian dia berniat mukim, maka tayamum dan shalatnya menjadi batal. Hal ini disebabkan dia menggabungkan hukum musafir dengan hukum tidak musafir (hadhar) dalam satu shalat. Dalam kasus seperti ini, dia harus
mengutamakan hukum tidak musafir, sehingga dia dianggap orang mukim yang bertayamum, kemudian shalat dan lalu di tengah shalatnya dia melihat air.
Ketiga, jika orang tersebut melihat air sesudah shalat, dan dia bukan musafir (hadhar), maka dia hendaklah mengulangi shalatnya. Sebab, ketiadaan air bagi non-musafir adalah udzur yang jarang berlaku. Oleh karena itu, udzur tersebut tidak menggugurkan kewajiban mengulangi shalat. Kasus ini sama seperti kasus jika seseorang melakukan shalat dengan menggunakan pakaian yang terkena najis dan dia lupa. Tetapi jika dia dalam keadaan musafir, maka dia tidak diharuskan mengulanginya, baik safarnya itu lama ataupun sebentar saja. Pendapat ini adalah salah satu dari dua pendapat masyhur yang bersumber dari Imam Asy-Syafi'i.
Jika safar orang tersebut adalah safar maksiat, maka menurut pendapat yang ashah dia wajib mengulangi shalatnya, sama seperti orang yang mukim. Hal ini disebabkan, gugurnya kewajiban (fardhu) dengan tayamum adalah suatu rukhshah (keringanan) yang berkaitan dengan safar. Sedangkan dalam kasus ini, safar orang tersebut adalah untuk maksiat. Maka, sudah barang tentu rukhshah tidak ada hubungannya dengan kasus tersebut.
Jika seseorang bertayamum karena sakit kemudian dia melakukan shalat dan sesudah selesai shalat dia melihat airl maka dia tidak wajib mengulangi shalatnya dalam waktu yang sama. Sebab, sakit adalah termasuk udzur yang umum, dan kasusnya sama seperti kasus ketiadaan air dalam perjalanan (musafir).
Jika  seseorang bertayamum karena musim dingin lalu dia shalat dan sesudah itu hawa dingin hilang, maka jika dia bermukim (hadar), dia wajib mengulangi shalatnya. Sebab, kasus hawa dingin ini hanya dianggap sebagai udzur yang jarang terjadi. Tetapi jika dia sedang safar, maka ada dua pendapat. Pendapat yang paling rajih adalah wajib mengulang. Sebab, hawa dingin yang dikhawatirkan dapat membinasakan orang tersebut, dan tidak adanya cara lain yang dapat menolaknya adalah dianggap sebagai udzur tersendiri. Maka, kedudukannya sama seperti orang yang tidak mendapati air sewaktu bermukim.
Adapun masalah qadha' shalat yang telah ditunaikan dengan tayamum, maka ada beberapa pendapat. Menurut ulama madzhab Syafi'i, orang yang mukim kemudian bertayamum karena tidak ada air hendaklah dia mengqadha' shalatnya. Tetapi jika dia seorang musafir, maka dia tidak perlu mengqadha'nya, kecuali musafir yang bermaksiat seperti seorang hamba sahaya yang lari dari tuannya, atau istri yang lari meninggalkan suaminya (nasyizah). Orang yang melakukan safar maksiat, menurut pendapat yang ashah, hendaklah mengqadha' shalatnya, karena dia bukanlah orang yang berhak mendapat rukhshah.
Menurut pendapat yang azhar, seorang musafir yang bertayamum karena alasan hawa dingin atau karena sakit dan seluruh anggota wudhunya tidak boleh terkena air, atau salah satu anggota wudhunya tidak boleh terkena air, sedangkan dia tidak mempunyai penutup (pembalut), atau ada penutup seperti balutan tapi berada di tempat tayamum (muka dan dua tangan), ataupun penutup itu dipasang ketika dalam keadaan dia berhadats meskipun bukan pada anggota tayamum, maka orang yang mengalami semua kasus ini hendaklah mengqadha' shalatnya.
Sebagai kesimpulan, shalat yang dikerjakan karena udzur yang tetap seperti shalat perempuan yang mustahadhah, shalat orang sakit sambil duduk dan shalat orang musafir adalah tidak perlu diqadha’. Tetapi, shalat yang dikerjakan karena udzur yang tidak berterusan dan tidak ada gantinya, seperti orang yang tidak mempunyai air dan debu, atau orang yang diikat sehingga shalat dengan cara isyarat, hendaklah mereka mengqadha' shalatnya. Jika seseorang itu shalat dalam keadaan udzur yang tidak berterusan, sedangkan dia mempunyai pengganti (wudhu) seperti orang mukim atau musafir bertayamum karena hawa dingin, maka masalah apakah dia wajib mengqadha' shalat atau tidak, ada dua pendapat. Pendapat yang paling rajih ialah dia wajib mengqadha'. Hal ini disebabkan pendapat ulama madzhab Syafi'i ini ketat. Maka, tidaklah mengapa mengambil pendapat madzhab Hanafi dan ulama yang sependapat dengan mereka.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)