Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
2. SEBAB-SEBAB TAYAMUM
Sebab-sebab tayamum atau uzur yang membolehkan
bertayamum adalah seperti berikut (Al-Bada’i jilid 1 halaman 46-49;
Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 36; Al-Lubab jilid 1 halaman 36;
Fathul Qadir jilid 1 halaman 83; Muraqil Falah halaman 19;
Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 214-226; Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 179-183, 199; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 63 dan
seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 37; Asy-Syarhul Kabir jilid
1 halaman 149 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 87-95;
Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 34 dan seterusnya; Al-Mughni jilid 1
halaman 234, 239, 257, 258, 261, 265; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman
184-194).
A. Tidak Adanya Air yang Mencukupi untuk Wudhu ataupun Mandi
Ketiadaan itu adakalanya memang nyata seperti
tidak adanya air sama sekali ataupun ada air; tetapi tidak mencukupi. Dan
adakalanya juga ketiadaan tersebut hanya hukman seperti takut
mendapatkan air, karena jalan ke tempat air tidak aman, atau air berada di
tempat jauh yang jaraknya kira-kira 1.848 meter atau 4.000 hasta/langkah, atau lebih
dari itu (ini menurut ulama para Hanafi), ataupun air itu berada sejauh dua mil
(ini menurut ulama Maliki), ataupun seseorang
perlu kepada harga air itu ataupun ada air, tetapi ia
dijual dengan harga yang lebih dari harga pasaran biasa. Kebolehan bertayamum ketika
tidak ada air ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, "...sedangkan
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci)....
" (An-Nisaa' : 43)
Ulama Syafi'i membuat ulasan terperinci berkenaan
dibolehkannya bertayamum ketika tidak ada air dan sejauh manakah air tersebut
perlu dicari. Mereka mengatakan: pertama, jika dia yakin air tidak ada
di sekelilingnya, maka dia boleh bertayamum tanpa perlu mencarinya. Kedua, jika
dia mempunyai sangkaan kuat (zhan) ataupun syak (ragu) tentang
adanya air, hendaklah ia mencari baik di rumahnya ataupun di tempat
kawan-kawannya, sekadar jarak di mana pekikan suara minta tolong dapat
didengar, kadarnya adalah 400 hasta atau 184,8 meter. Jika dia tidak juga
mendapati air, hendaklah dia bertayamum. Ulama Hanafi juga berpegang pada
pendapat ini. Oleh karena itu, mereka mewajibkan mencari air sejauh 400 langkah
jika memang menyangka (zhan) ada air dan keselamatan jiwanya terjamin. Ketiga,
jika dia yakin akan adanya air, maka hendaklah ia mencarinya di kawasan yang
dekat dengannya, yaitu sejauh 6.000 langkah.
Menurut ulama Maliki, jika dia yakin atau mempunyai
sangkaan kuat (zhan) akan keberadaan air, maka hendaklah dia mencari di kawasan
yang kurang dari dua mil. Menurut ulama Hambali, hendaklah dia mencari di kawasan
yang dekat dengannya.
Menurut ulama Syafi'i, seseorang tidak perlu
mencari air baik di kawasan yang dekat dengannya atau di kawasan di mana
pekikan suara minta tolong dapat terdengar, kecuali jika ada jaminan bahwa diri
dan hartanya selamat. Begitu juga jika dia memang tidak terpisah dari
rombongan. Menurut pendapat yang azhar di kalangan ulama Syafi'i dan Hambali
(tetapi pendapat ini berbeda dengan pendapat para ulama lain), jika orang
tersebut mendapati sedikit air dan tidak mencukupi untuk berwudhu, maka dia
wajib menggunakannya, kemudian ia baru bertayamum. Hal ini berdasarkan hadits
riwayat Abu Hurairah "Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, hendaklah
kamu lakukannya sekuat kemampuanmu."
Hukum Membeli Air
Seseorang yang tidak mempunyai air, wajib
membelinya dengan harga pasaran biasa, jika memang dia tidak memerlukan uang
tersebut untuk membayar utang yang bernilai lebih daripada hartanya itu,
ataupun jika dia tidak memerlukannya untuk urusan perjalanannya (musafir) atau
untuk perbelanjaan makanan (nafkah) seseorang yang wajib ia bayar, atau untuk
keperluan binatang yang muhtaram (tidak boleh dibunuh).
Hibah
Kalau dia dihadiahi air atau diberi pinjaman timba,
maka menurut ulama dan juga pendapat paling ashah menurut ulama Syafi'i, adalah
dia wajib menerimanya. Tetapi jika dia dihadiahi uang untuk membeli air, maka
dia tidak wajib menerimanya, meskipun pemberian itu dari ayah kepada anaknya,
karena kemungkinan akan ada pengungkitan.
Terlupa Air
Jika dalam perjalanan seseorang terlupa bahwa
dia membawa air lalu dia bertayamum dan kemudian melakukan shalat, lalu selepas
itu dia teringat bahwa dia mempunyai air sedang waktu masih ada, maka menurut
pendapat yang azhar di kalangan ulama Syafi'i, Abu Yusuf, dan Maliki, hendaklah
dia mengqadha' shalatnya tersebut. Sebab dalam kasus ini, dia mempunyai air,
namun dia tidak mempunyai perhatian kepadanya. Oleh karena itu, dia mestilah
mengqadha' shalatnya, sama seperti kasus jika dia terlupa menutup aurat, umpamanya
dalam perjalanannya itu dia membawa kain tetapi terlupa (Mughni Muhtaj jilid
1 halaman 91).
Tetapi menurut pendapat Abu Hanifah dan
Muhammad Hasan Asy-Syaibani, orang tersebut tidak perlu mengqadha' shalatnya.
Sebab pada kenyataannya, waktu itu orang tersebut memang tidak ada kemampuan
karena dia tidak mengetahui. Jadi, dalam kasus seperti ini dia dianggap tidak
mempunyai air. Karena maksud dari keberadaan air adalah adanya kemampuan untuk
menggunakannya, sedangkan kemampuan tersebut tidak akan wujud kecuali dengan
adanya pengetahuan (Fathul Qadir dan Hasyiyah Al-‘Inayah jilid 1
halaman 97; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 330).
Jika dia teringat ada air di tengah-tengah mengerjakan
shalat, maka dia hendaklah menghentikan shalatnya itu dan mengulanginya lagi.
Ini adalah ijma ulama. Begitu juga ulama sependapat, bahwa jika dia mempunyai sangkaan
kuat (zhan) bahwa airnya habis lalu dia bertayamum dan shalat, maka dia hendaklah
mengulanginya. Orang yang tidak mempunyai air tidak dimakruhkan melakukan hubungan
badan dengan istrinya, meskipun dia tidak takut menghadapi kesusahan. Sebab
hukum asal sesuatu adalah boleh, kecuali memang ada dalil yang melarang.
B. Tidak Ada Kemampuan untuk Menggunakan Air
Menurut ulama Madzhab Maliki, Hambali, dan
lain-lain, orang yang tidak bisa menggunakan air seperti orang yang dipaksa (tidak
boleh menggunakan air), orang yang dipenjara, orang yang diikat dekat dengan
air dan orang yang takut binatang buas ataupun takut kecurian, baik dia sedang
berada dalam perjalanan ataupun sedang bermukim, dan meskipun perjalanannya itu
adalah perjalanan maksiat, maka dia boleh bertayamum. Sebab, tayamum adalah
disyariatkan secara mutlak, baik dalam keadaan musafir ataupun tidak, dan baik
musafir itu merupakan musafir yang dibenarkan oleh agama ataupun yang dilarang oleh
agama. Lagipula, dalam keadaan seperti ini orang tersebut memang tidak
mempunyai air. Iuga, karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah umum, "Sesungguhnya debu yang suci adalah menjadi alat bersuci
bagi seorang Muslim, biarpun ia tidak mendapati air selama sepuluh tahun. Jika
dia mendapati air, maka hendaklah dia membasuhkan air tersebut ke atas tubuhnya
karena itu adalah lebih baik.” Riwayat At-Tirmidzi, dari Abu Dzar, dia
mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih.
Tetapi menurut ulama Syafi'i, orang mukim yang
bertayammum karena ketiadaan air kemudian melakukan shalat, hendaklah dia mengqadha'
shalatnya tersebut. Sebaliknya, seorang musafir tidak perlu melakukan qadha', kecuali
orang yang safarnya adalah untuk tujuan maksiat, maka dia perlu mengqadha' shalatnya
tersebut. Hal ini adalah menurut pendapat paling ashah. Karena, sebenarnya dia
tidak berhak mendapatkan rukhshah (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 106).
Menurut pandangan madzhab yang lain dan
pendapat yang lebih rajih dalam Madzhab Hambali, orang tersebut tidak perlu
mengulangi shalatnya, sebab dia telah melakukan apa yang diperintahkan agama,
maka dia sudah terlepas dari tanggung jawab. Lagipula, dia sudah melakukan
shalat dengan tayamum menurut cara yang disyariatkan. Sehingga, kasus orang
yang sakit adalah sama dengan kasus orang yang sedang dalam perjalanan (musafir)
(Al-Mughni jilid 1 halaman 235; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman
195; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 190; Asy-Syarhul Kabir jilid
1 halaman 148; Muraqil Falah halaman 19).
Namun dalam masalah mengulang shalat, ulama
Hanafi mengecualikan orang yang dipaksa supaya jangan berwudhu. Maka, dia boleh
bertayamum namun kemudian dia hendaklah mengulangi shalatnya.
C. Sakit atau Lambat Sembuh
Jika seseorang mengkhawatirkan jiwanya atau
khawatir rusaknya anggota badan jika dia menggunakan air, karena memang dia sedang
sakit atau demam ataupun lainnya, sehingga dia bimbang jikalau dia menggunakan
air, maka sakitnya akan bertambah parah atau semakin lambat sembuh, dan dia
mengetahui hal itu berdasarkan pengalaman, maka dia dibolehkan bertayamum.
Demikian juga jika keadaan itu diketahui melalui nasihat dokter yang pakar,
meskipun dokter itu bukan Muslim. Ini adalah pendapat ulama Maliki dan Syafi'i.
Akan tetapi menurut ulama Hanafi dan Hambali,
seseorang tersebut boleh bertayamum jika memang yang menginformasikannya adalah
dokter yang Muslim. Ulama Syafi'i, dalam pendapat yang azhar, dan ulama
Hambali, membuat penambahan syarat yaitu adanya kekhawatiran terjadi kecacatan
pada anggota yang lahir. Karena, kecacatan seperti itu mencacatkan dan
kemudharatannya berkelanjutan. Maksud anggota yang lahir adalah anggota yang
biasanya terbuka ketika seseorang melakukan pekerjaan, seperti dua belah tangan
dan muka.
Ulama Hambali berpendapat, siapa yang sakit
dan tidak mampu bergerak serta tidak ada orang yang membantunya menuangkan air
wudhu, maka kasusnya ini disamakan dengan kasus orang yang tidak mempunyai air.
Dia boleh bertayamum jika dia kahwatir waktu shalat akan habis.
D. Ada Air, Tapi la Diperlukan untuk Sekarang ataupun
untuk Masa yang akan Datang
Seseorang boleh bertayamum jika dia yakin atau
mempunyai sangkaan kuat (zhan), bahwa pada masa yang akan datang dia
sangat memerlukan air tersebut. Dan sekiranya dia tidak mendapatkan air, maka
hal itu akan menyebabkan kebinasaan atau kesengsaraan manusia ataupun hewan
yang muhtaram, disebabkan kehausan, meskipun hewan tersebut adalah anjing
buruan atau anjing pengawal. Tetapi, kafir harbi tidak termasuk. Begitu juga
dengan orang murtad, anjing yang
tidak mendapat izin syara' (dalam madzhab Hambali adalah
anjing hitam). Keputusan ini adalah untuk menjaga nyawa dari kematian.
Di antara jenis keperluan air yang dianggap juga,
adalah keperluan kepada air untuk adonan tepung atau untuk memasak yang sangat
diperlukan, atau untuk menghilangkan najis yang tidak dimaafkan syara' dengan
syarat -menurut ulama Syafi'i- najis itu berada pada tubuh. Jika najis itu
berada pada pakaian, hendaklah dia berwudhu dengan air yang dia miliki dan
hendaklah dia melakukan shalat secara telanjang, jika dia tidak mempunyai pakaian
lain. Dalam kasus ini, dia tidak perlu mengulang shalatnya.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali (Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 106; Al-Mughni jilid 1 halaman 273 dan
seterusnya) berpendapat jika terdapat najis di atas badan seseorang dan dia
tidak mampu membasuhnya karena tidak ada air ataupun karena takut ada bahaya
jika dia menggunakannya, maka dia hendaklah bertayamum kemudian menjalankan
shalat. Dalam kasus seperti ini menurut ulama Syafi'i, dia wajib mengqadha shalatnya
tersebut. Sementara itu, menurut
ulama Hambali dia tidak perlu mengqadha shalatnya itu.
Bagi seorang musafir yang takut kehausan,
lantas dia bertayamum dan melaksanakan shalat dengan tayamum itu, maka dia
tidak perlu mengulangi shalatnya. Ini merupakan ijma ulama.
E. Khawatir Hartanya Rusak Jika Dia Mencari Air
Menurut ulama Maliki, seseorang yang mampu
menggunakan air baik semasa musafir ataupun bermukim, namun jika dia mencari air
tersebut -baik air itu dipastikan ada ataupun diduga kuat ada- dia kawatir
hartanya yang berharga akan rusak -baik harta itu milik sendiri ataupun milik
orang lain- maka dia boleh bertayamum. Tetapi jika dia ragu akan kewujudan air,
hendaklah dia bertayamum, meskipun harta yang bernilai itu sedikit saja.
Maksud harta di sini adalah harta yang nilainya
lebih daripada keperluan untuk membeli air. Harta yang bernilai adalah harta
yang kadar harganya melebihi harga yang sewajarnya untuk membeli air.
Menurut ulama selain Madzhab Maliki, takut
terhadap ancaman musuh baik musuh itu manusia ataupun lainnya, atau takut akan
api (kebakaran) ataupun takut akan pencuri, semuanya itu membolehkan seseorang
bertayamum dan dia tidak perlu mencari air, baik kekhawatirannya itu untuk
dirinya sendiri, hartanya, ataupun untuk barang titipan. Apabila ada perempuan yang
takut kepada lelaki jahat di tempat air, atau ada orang berutang yang muflis
(tidak punya harta sama sekali) dan dia takut ditahan, ataupun ada orang yang
takut kehilangan barang yang dicarinya seperti orang yang sedang mencari orang
yang melarikan diri, maka semua orang tersebut hukumnya adalah sama seperti
orang yang tidak memiliki air, karena keadaan yang demikian dianggap sebagai
keadaan darurat.
F. lklim yang Sangat Dingin atau Air Menjadi Sangat
Dingin
Iklim yang sangat dingin menyebabkan seseorang
dibolehkan bertayamum, jika memang penggunaan air dapat membahayakan dan pada
waktu yang sama tidak ada alat pemanas air.
Tetapi, para ulama madzhab Hanafi membatasi dibolehkannya
tayamum karena hawa dingin ini, hanya kepada orang yang khawatir mati jika
menggunakan air, menyebabkan rusaknya fungsi sebagian anggota badan, atau menimbulkan
penyakit. Mereka juga membatasi dibolehkannya tayamum hanya sebagai ganti mandi
junub saja. Dengan syarat, apabila memang orang tersebut dalam keadaan tidak
musafir (hadar) dan orang tersebut tidak mempunyai uang untuk membayar
sewa kamar mandi panas dan tidak mempunyai alat pemanas air. Adapun bagi orang
yang berhadats kecil, dia tidak boleh bertayamum dengan alasan dingin. Ini
adalah pendapat
yang shahih dalam Madzhab Hanafi.
Ulama madzhab Maliki juga membatasi pembolehan
tayamum karena hawa dingin, hanya dalam keadaan iklim dingin yang memang dapat
menyebabkan kematian.
Adapun ulama madzhab Syafi'i dan Hambali membolehkan
tayamum karena dingin, apabila orang tersebut memang tidak mempunyai alat untuk
memanaskan air, atau apabila memanaskan anggota badan pada masa itu tidak dapat
mengatasi masalah dingin, dan dia juga khawatir terjadinya kerusakan fungsi anggota
badan apabila menggunakan air, ataupun dia akan mengalami kecacatan pada
anggota lahir, ataupun -menurut ulama Hambali- akan mengalami kecacatan pada
seluruh anggota badannya karena menggunakan air.
Menurut ulama madzhab Syafi'i, orang yang
shalat dengan menggunaan tayamum karena sakit, hendaklah mengqadha' shalatnya. Demikian
juga apabila dia melakukan tayamum karena hawa dingin. Ini adalah menurut pendapat
yang azhar. Tetapi, menurut ulama madzhab Maliki dan Hanafi, orang tersebut
tidak perlu mengqadha' shalatnya.
Adapun menurut madzhab Hambali, ada dua riwayat.
Riwayat pertama mengatakan tidak wajib mengqadha' shalat, dan pendapat kedua menyatakan
bahwa orang tersebut wajib mengqadha' shalat.
G. Tidak Ada Alat untuk Mengambil Air, Seperti tidak Ada
Timba ataupun Tali
Orang yang sebenarnya mampu menggunakan air
boleh melakukan tayamum, jika tidak ada orang yang dapat membantunya untuk
mendapatkan ain ataupun dia tidak mempunyai alat untuk memperoleh air, seperti tidak
adanya tali ataupun tidak ada timba, sedangkan dia khawatir waktu shalat akan terlewat.
Dalam keadaan seperti ini, orang tersebut dianggap seperti orang yang tidak mempunyai
air.
Ulama madzhab Hambali menambahkan, orang
tersebut wajib mencari alat untuk memperoleh air terlebih dahulu, meskipun dengan
cara meminjam. Alasan mereka adalah “Apabila ada kewajiban, namun ia tidak sempurna
melainkan dengan adanya sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya juga wajib.”
Orang tersebut harus menerima uluran bantuan
pinjaman itu, karena pengungkitan (minnah) dalam kasus ini adalah kecil.
Jika orang tersebut mampu mengambil air telaga dengan cara membasahi pakaian
kemudian memerasnya, maka dia harus melakukannya. Sebab, dengan itu dia mampu
mendapatkan air, dengan syarat harga pakaian (kain yang digunakan untuk
mengambil air) itu tidak menjadi susut hingga lebih murah daripada harga air
yang diambil dari tempatnya. Jika harga kain itu menyusut hingga jauh lebih
rendah daripada harga air, maka dia tidak wajib melakukan hal yang demikian.
Kedudukannya sama seperti hukum dia membeli air itu. Jika dia diberi utang air
atau diberi utang harga air; maka dia wajib menerimanya dengan syarat dia mampu
membayarnya. Sebab, kemungkinan terjadinya pengungkitan dalam kasus ini adalah
kecil. Tetapi, dia tidak wajib meminjam harga air karena ada kemungkin an-minnah
(pengungkitan).
Jika ada orang memberi (hibah) harga air kepadanya,
maka dia tidak wajib menerimanya karena ada kemungkinan timbul minnah
(pengungkitan). Jika ada orang yang menghibahkan air kepadanya, maka dia wajib
menerimanya karena kemungkinan terjadinya pengungkitan (minnah) adalah
kecil serta biasanya pemberian itu dianggap tidak bernilai. Dia juga tidak
wajib membeli air dengan cara utang, walaupun dia mampu membayarnya apabila
pulang ke negerinya. Sebab, utang yang berada dalam tanggungannya menyebabkan dia
mengalami mudharat. Lagipula hartanya mungkin rusak sebelum dia dapat membayar
utangnya.
H. Khawatir Terlewat Waktu shalat
Ulama madzhab Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 88; Al-Hadramiyyah halaman 24) tidak membolehkan tayamum
dengan alasan khawatir terlewat waktu shalat. Karena, tayamum dalam keadaan
seperti itu berarti tayamum dalam kondisi ada air. Namun mereka mengecualikan
kasus orang yang musafir, sebab orang musafir tidak wajib
mencari air. Musafir tersebut boleh bertayamum jika dia takut terlewat waktu
shalat, takut akan keselamatan dirinya atau keselamatan hartanya, ataupun takut
ketinggalan rombongan.
Demikian juga ulama madzhab Hambali (Kasysyaful
Qina’ jilid 1 halaman 206), mereka tidak membolehkan tayamum dengan alasan
khawatir terlewat waktu shalat, baik tayamum itu untuk shalat jenazah, untuk shalat
Hari Raya, atau untuk shalat fardhu. Namun, ada pengecualian bagi musafir yang mengetahui
keberadaan air di suatu tempat yang tidak jauh, tetapi dia khawatir jika dia mengambilnya
maka waktu shalat akan terlewat. Oleh karena itu, hendaklah orang tersebut bertayamum,
kemudian shalat dan dia tidak perlu mengulang shalatnya. Sebab, dia memang
tidak mampu menggunakan air pada waktunya. Jadi, kasusnya sama seperti orang yang
tidak mempunyai air.
Ulama madzhab Hanafi tidak membolehkan bertayamum
dengan alasan takut terlewat waktu shalat, kecuali dalam keadaan berikut ini (Ad-Durrul
Mukhtar jilid 1 halaman 223-227; Muraqil Falah halaman 19 dan
seterusnya; Al-Bada’i jilid 1 halaman 15; Fathul Qadir jilid 1
halaman 96).
Pertama, boleh bertayamum jika dia khawatir terlewat shalat jenazah, meskipun dia sedang
junub. Ataupun orang tersebut khawatir terlewat shalat Hari Raya, sehingga dia
tidak dapat berjamaah dengan imam, atau khawatir matahari sudah tergelincir
jika dia berwudhu, baik dia adalah seorang imam ataupun bukan. Ini adalah
menurut pendapat yang ashah. Sebab, dibolehkannya tayamum dalam kondisi
tersebut adalah karena apabila kedua waktu itu terlewat, maka tidak ada
gantinya. Juga, karena terdapat riwayat dari Ibnu Abbas. Dia berkata, "Jika
kamu mendapati shalat jenazah sedangkan kamu khawatir shalat itu terlewat, maka
hendaklah kamu shalat dengan bertayamum." Diceritakan bahwa pernah ada
satu jenazah didatangkan kepada Ibnu Umar, sedangkan dia belum berwudhu. Maka, dia
pun bertayamum dan kemudian menshalati jenazah itu. Jika orang yang tidak mendapati
air boleh bertayamum untuk shalat jenazah atau untuk mengerjakan sujud tilawah,
maka dia juga boleh menunaikan shalat yang lain dengan bertayamum. Menurut
ulama Hanafi, boleh bertayamum kalau tidak ada air, walaupun tidak boleh shalat
dengan tayamum itu. Yaitu, apabila digunakan untuk melakukan amalan yang tidak
disyaratkan bersuci, seperti hendak membaca Al-Qur'an selain orang yang Junub
baik dengan cara hafalan atau melihat mushal mengajar Al-Qur'an, masuk masjid,
keluar masjid, mengubur mayat, ziarah kubuf, azan dan iqamah, menjenguk orang
sakit, mengucapkan salam, dan membalasnya. Pendapat yang dipilih adalah
bolehnya bertayamum bagi orang musafir -bukan mukim- untuk melakukan sujud
tilawah meskipun ada air.
Kedua, boleh juga
bertayamum dengan alasan tidak ada air; jika memang orang tersebut khawatir
terlewat shalat khusuf (gerhana matahari) dan shalat-shalat sunnah yang mengiringi
shalat fardhu, meskipun shalat sunnah shubuh. Dengan syarat, apabila dia wudhu,
maka dia akan terlewat waktu shalat. Namun, tidak sah bertayamum untuk
melakukan shalat Jumat dan shalat wajib yang lain termasuk shalat Witir, dengan
alasan khawatir terlewat waktu shalat. Hal ini disebabkan shalat Jumat ada
gantinya, yaitu shalat Zhuhur sedangkan shalat yang lain boleh diqadha'.
Menurut pendapat yang mu'tamad di kalangan
Madzhab Maliki (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 182-184; Asy-Syarhul
Kabir jilid 1 halaman 150 dan seterusnya), orang yang tidak mendapatkan air
boleh bertayamum jika dia khawatir waktu shalat terlepas. Kebolehan ini demi
menjaga supaya shalat dilaksanakan pada waktunya. Jika dia mempunyai sangkaan
kuat (zhan) bahwa jika dia berwudhu atau mandi, dia akan mendapat satu
rakaat dalam waktu shalat, maka dia tidak boleh bertayamum.
Pendapat yang azhhar yang bertentangan dengan
pendapat yang masyhur mengatakan, bahwa tayamum untuk shalat Jumat dan shalat
jenazah bagi orang yang tidak mendapatkan air dan dia dalam keadaan bermukim
lagi sehat (tidak uzur), adalah dibolehkan. Dia boleh melaksanakan
shalat tersebut dengan tayamum, dan dia tidak perlu
mengulang shalatnya lagi.
Tayamum untuk tujuan menunaikan amalan sunnah,
shalat sunnah, menyentuh Al-Qur'an, dan mengerjakan thawaf yang tidak wajib
juga dibolehkan bagi orang yang tidak mendapatkan air.
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa
sebab yang membolehkan tayamum ada dua hal. Pertama, tidak adanya Air. Hal
ini mencakup keadaan di mana seseorang sangat memerlukan air (selain untuk
wudhu), meskipun keperluannya itu adalah untuk masa yang akan datang. Juga,
mencakup keadaan seseorang yang takut terjadi kerusakan pada harta bendanya,
atau takut waktu shalat akan terlewat jika dia menggunakan air.
Kedua, tidak sanggup
menggunakan air. Hal ini juga mencakup kondisi-kondisi lain yang lebih luas.
Alasan yang kedua ini diqiyaskan dengan alasan yang pertama, yaitu alasan
ketiadaan air yang hukumnya telah ditentukan dalam ayat tentang tayamum.
Para ahli fiqih berpendapat bahwa tayamum dibolehkan
untuk dua orang, yaitu untuk orang sakit dan juga untuk orang musafir, jika memang
tidak ada air.
Apakah shalat yang Telah Ditunaikan dengan Tayamum Wajib
Diulangi?
Para ahli fiqih berpendapat bahwa orang yang bertayamum
karena tidak ada air, kemudian
dia shalat dan setelah itu dia menemukan air, sedangkan
waktu shalat sudah habis, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Tetapi
jika dia mendapati air ketika waktu shalat masih berjalan, ataupun dia
bertayamum oleh sebab-sebab yang lain (selain ketiadaan air), maka dalam hal
ini terdapat perbedaan pendapat (Al-Mughni jilid 1 halaman 243, 265, 268;
Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 93-195, 206; Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 190; Muraqil Falah halaman 19; Al-Wajiz lil Ghazali jilid
1 halaman 23; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 101, 106 dan seterusnya;
Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 36; Al-Majmu’ jilid 2 halaman
342-352).
Menurut ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan
Hambali, orang yang shalat dengan tayamum
kemudian mendapati air ketika masih dalam waktu shalat,
tidak perlu mengulangi shalatnya. Demikian juga dia tidak perlu mengqadha'
shalat yang telah dikerjakannya dengan menggunakan tayamum, atas sebab lainnya.
Namun, para ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa siapa yang diperintah bertayamum,
hendaklah dia mengulangi shalat dalam waktunya, jika dia mengabaikan dalam mencari
air.
Ulama Hanafi membuat mengecualikan orang yang
terkurung kemudian melakukan shalat dengan tayammum, hendaklah dia mengulang
shalatnya jika dia memang orang yang bermukim (bukan musafir). Tetapi jika dia
dalam keadaan musaficr, maka dia tidak perlu mengulanginya. Inilah pendapat
yang paling mudah diikuti. Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud dari sahabat Abu Sa'id bahwa dua lelaki pergi bermusafir, lalu
tibalah waktu shalat. Keduanya tidak mempunyai air, lalu mereka bertayamum dan
menjalankan shalat. Setelah itu, mereka menemukan air; sedangkan waktu shalat
masih ada. Salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi shalatnya, tetapi
seorang lagi tidak. Kemudian mereka berdua datang menghadap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
menceritakan hal tersebut. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengatakan kepada yang tidak mengulangi shalatnya, "Perbuatanmu
menepati sunnah dan shalatmu diberi pahala.” Baginda berkata kepada yang mengulangi shalatnya,
"Kamu mendapatkan pahala dua kali."
Ibnu Umar bertayamum dan kemudian shalat
Ashar, meskipun dia sudah melihat perumahan di kota Madinah. Kemudian dia masuk
ke kota Madinah sedangkan matahari masih tinggi. Meskipun demikian, dia tidak mengulangi
shalatnya.
Lagipula, orang yang bertayamum telah melakukan
apa yang diperintahkan. Dia menunaikan kewajibannya sebagaimana yang diperintahkan.
Maka, dia tidak wajib mengulanginya. Selain itu, tidak adanya air adalah udzur
yang biasa. Jika seseorang bertayamum dalam keadaan udzur (lalu dia shalat
dengan tayamumnya), maka apa yang dilakukannya itu telah menggugurkan fardhu
shalat, sama seperti orang sakit. Sesuatu yang telah gugur sudah tidak menjadi
tanggungannya lagi.
Menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab
Hambali, orang yang bertayamum kemudian mendapatkan air ketika sedang shalat,
maka tayamum dan sucinya batal. Dia harus mengulangi shalatnya, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Debu adalah
wudhu bagi seorang Muslim, meskipun dia tidak mendapat air selama sepuluh
tahun. Namun jika engkau mendapatkan air, hendaklah engkau basahi kulitmu
dengan air itu.” Riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i dari Abu Dzar. Hadis ini
dihukumi shahih oleh At-Tirmidzi. Dia berkata bahwa hadis ini hasan shahih.
Dari hadits ini kita dapat paham bahwa keadaan
suci (bagi orang yang tayamum) menjadi tidak ada jika ada air. Sesuai dengan makna
lafal hadits tersebut, kulit wajib dibasahi dengan air jika memang ada air.
Lagipula, dia memang mampu menggunakan air. Oleh sebab itu, batallah tayamum
orang tersebut, sama seperti orang yang membatalkan shalatnya. Alasan lainnya
adalah, tayamum itu adalah cara bersuci darurat, sehingga ia akan menjadi batal
apabila keadaan darurat itu hilang, sama seperti keadaan perempuan mustahadhah
yang terhenti darahnya.
Tetapi jika orang tersebut tidak mempunyai air
lalu dia bertayamum dan kemudian shalat, maka dia tidak perlu mengulangi
shalatnya. Sebab, shalatnya itu dilakukan dengan tayamum yang sah.
Jika seseorang takut kehausan lalu dia
menyimpan air dan kemudian dia bertayamum untuk shalat, maka dia tidak perlu
mengulangi shalatnya.
Menurut ulama madzhab Syafi'i, jika seseorang bertayamum
karena ketiadaan air kemudian dia melihat air, maka: pertama, jika air
itu dilihat sebelum dia memulai shalat, maka batallah tayamumnya, sebab dia
belum memulainya. Hal ini juga berdasarkan hadits Abu Dzar yang telah lalu.
Kedua, jika dia
melihat air ketika sedang shalat, maka jika dia adalah seorang yang bukan musafir
(bermukim), maka tayamum dan shalatnya menjadi batal. Sebab, ia harus mengulangi
shalatnya karena adanya air. Menurut pendapat yang ashah, apabila dia
menghentikan shalatnya untuk berwudhu adalah lebih afdal. Tetapi jika orang
tersebut dalam keadaan musafir, maka menurut pendapat al-madzhab, tayamumnya tidak
batal. Sebab, dia baru mendapati perkara yang asal setelah dia mulai melakukan
amalan. Oleh karena itu, dia tidak perlu kembali kepada perkara yang asal itu.
Jika seorang musafir melihat air ketika dia
sedang shalat, kemudian dia berniat mukim, maka tayamum dan shalatnya menjadi
batal. Hal ini disebabkan dia menggabungkan hukum musafir dengan hukum tidak
musafir (hadhar) dalam satu shalat. Dalam kasus seperti ini, dia harus
mengutamakan hukum tidak musafir, sehingga dia dianggap
orang mukim yang bertayamum, kemudian shalat dan lalu di tengah shalatnya dia
melihat air.
Ketiga, jika orang tersebut melihat air sesudah shalat, dan dia bukan musafir (hadhar),
maka dia hendaklah mengulangi shalatnya. Sebab, ketiadaan air bagi non-musafir adalah
udzur yang jarang berlaku. Oleh karena itu, udzur tersebut tidak menggugurkan
kewajiban mengulangi shalat. Kasus ini sama seperti kasus jika seseorang melakukan
shalat dengan menggunakan pakaian yang terkena najis dan dia lupa. Tetapi jika
dia dalam keadaan musafir, maka dia tidak diharuskan mengulanginya, baik
safarnya itu lama ataupun sebentar saja. Pendapat ini adalah salah satu dari
dua pendapat masyhur yang bersumber dari Imam Asy-Syafi'i.
Jika safar orang tersebut adalah safar maksiat,
maka menurut pendapat yang ashah dia wajib mengulangi shalatnya, sama seperti orang
yang mukim. Hal ini disebabkan, gugurnya kewajiban (fardhu) dengan tayamum adalah
suatu rukhshah (keringanan) yang berkaitan dengan safar. Sedangkan dalam
kasus ini, safar orang tersebut adalah untuk maksiat. Maka, sudah barang tentu
rukhshah tidak ada hubungannya dengan kasus tersebut.
Jika seseorang bertayamum karena sakit kemudian
dia melakukan shalat dan sesudah selesai shalat dia melihat airl maka dia tidak
wajib mengulangi shalatnya dalam waktu yang sama. Sebab, sakit adalah termasuk
udzur yang umum, dan kasusnya sama seperti kasus ketiadaan air dalam perjalanan
(musafir).
Jika seseorang bertayamum karena musim dingin lalu
dia shalat dan sesudah itu hawa dingin hilang, maka jika dia bermukim (hadar),
dia wajib mengulangi shalatnya. Sebab, kasus hawa dingin ini hanya dianggap sebagai
udzur yang jarang terjadi. Tetapi jika dia sedang safar, maka ada dua pendapat.
Pendapat yang paling rajih adalah wajib mengulang. Sebab, hawa dingin yang
dikhawatirkan dapat membinasakan orang tersebut, dan tidak adanya cara lain
yang dapat menolaknya adalah dianggap sebagai udzur tersendiri. Maka, kedudukannya
sama seperti orang yang tidak mendapati air sewaktu bermukim.
Adapun masalah qadha' shalat yang telah ditunaikan
dengan tayamum, maka ada beberapa pendapat. Menurut ulama madzhab Syafi'i,
orang yang mukim kemudian bertayamum karena tidak ada air hendaklah dia mengqadha'
shalatnya. Tetapi jika dia seorang musafir, maka dia tidak perlu mengqadha'nya,
kecuali musafir yang bermaksiat seperti seorang hamba sahaya yang lari dari
tuannya, atau istri yang lari meninggalkan suaminya (nasyizah). Orang yang
melakukan safar maksiat, menurut pendapat yang ashah, hendaklah mengqadha'
shalatnya, karena dia bukanlah orang yang berhak mendapat rukhshah.
Menurut pendapat yang azhar, seorang musafir
yang bertayamum karena alasan hawa dingin atau karena sakit dan seluruh anggota
wudhunya tidak boleh terkena air, atau salah satu anggota wudhunya tidak boleh
terkena air, sedangkan dia tidak mempunyai penutup (pembalut), atau ada penutup
seperti balutan tapi berada di tempat tayamum (muka dan dua tangan), ataupun penutup
itu dipasang ketika dalam keadaan dia berhadats meskipun bukan pada anggota
tayamum, maka orang yang mengalami semua kasus ini hendaklah mengqadha'
shalatnya.
Sebagai
kesimpulan, shalat yang dikerjakan karena udzur yang tetap seperti shalat perempuan
yang mustahadhah, shalat orang sakit sambil duduk dan shalat orang musafir adalah
tidak perlu diqadha’. Tetapi, shalat yang dikerjakan karena udzur yang tidak berterusan
dan tidak ada gantinya, seperti orang yang tidak mempunyai air dan debu, atau
orang yang diikat sehingga shalat dengan cara isyarat, hendaklah mereka
mengqadha' shalatnya. Jika seseorang itu shalat dalam keadaan udzur yang tidak
berterusan, sedangkan dia mempunyai pengganti (wudhu) seperti orang mukim atau
musafir bertayamum karena hawa dingin, maka masalah apakah dia wajib mengqadha'
shalat atau tidak, ada dua pendapat. Pendapat yang paling rajih ialah dia wajib
mengqadha'. Hal ini disebabkan pendapat ulama madzhab Syafi'i ini ketat. Maka,
tidaklah mengapa mengambil pendapat madzhab Hanafi dan ulama yang sependapat dengan
mereka.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments