BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
 
2. RUKUN-RUKUN WUDHU

Al-Qur'an telah menyebut empat rukun (fardhu) wudhu, yaitu membasuh muka, membasuh kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idaah ayat 6 yang artinya, "Wahai orang-orong yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepadamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki...."
Jumhur fuqaha selain ulama madzhab Hanafi telah menambahkan fardhu wudhu tersebut dengan berdasarkan dalil-dalil dari As-Sunnah. Yang mereka sepakati adalah fardhu niat wudhu. Ulama madzhab Maliki dan Hambali mewajibkan muwalah (berturut-turut) di antara rukun-rukun wudhu. Hal ini juga sama dengan yang diungkapkan oleh ulama madzhab Syafi'i dan Hambali. Selain itu, ulama madzhab Maliki mewajibkan menggosok anggota wudhu ketika meratakan air.
Oleh sebab itu, rukun wudhu dibedakan menjadi empat, menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, yaitu yang disebut dalam ayat tersebut di atas. Dan ia terbagi menjadi tujuh menurut pendapat ulama madzhab Maliki, yaitu dengan menambahkan niat, menggosok anggota badan, dan muwalah (berturut-turut). Dan menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i, ia menjadi enam dengan menambahkan niat dan tartib.
Menurut pendapat ulama madzhab Hambali dan Syiah Imamiyah, rukun wudhu ada tujuh yaitu dengan menambahkan niat, tartib, dan muwalah (berturut-turut).
Dengan demikian, jelaslah bahwa rukun wudhu terbagi menjadi dua bagian. Yaitu, rukun-rukun yang disepakati oleh semua ulama dan rukun-rukun yang tidak mendapat kesepakatan dari mereka.

1. Rukun yang disepakati oleh semua ulama

Ia terdiri atas empat rukun yang semuanya disebutkan dalam Al-Qur'an, yaitu sebagai berikut.

a. Membasuh muka

Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idaah ayat 6 yang artinya, "...maka basuhlah wajahmu...." yaitu membasuh semua bagian luar muka dengan sekali basuhan saja. Riwayat Al-Jama'ah kecuali lmam Muslim dari lbnu Abbas radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dengan membasuh sekali-sekali." (Nailul Authar, jilid 1 halaman 172)
Rukun ini juga berdasarkan kepada ijma para ulama (Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman 88; Fathul Qadir, jilid 1 halaman 8 dan seterusnya; Al-Bada'i jilid 1 halaman 3 dan seterusnya; Tabyinul Haqa'iq, jilid 1 halaman 2; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 104 dan seterusnya; Asy-Syarhul Kabir, jilid 1 halaman 85; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 50 dan seterusnya; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 16; Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 92, 106; Al-Mughni jilid 1 halaman 174 - 120; Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 10; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 10).
Maksud membasuh adalah meratakan air pada satu anggota tubuh hingga air tersebut menetes. Menurut pendapat yang ashah, sekurang-kurangnya tetesan air tersebut adalah dua tetes dan dianggap tidak mencukupi apabila hanya sekadar meratakan air tanpa menetes. Selain itu, yang dimaksud dengan membasuh di sini adalah menyempurnakan perbuatan tersebut, baik dilakukan oleh orang yang berwudhu sendiri ataupun dengan pertolongan orang lain. Yang dihitung sebagai fardhu wudhu adalah satu kali basuh saja. Adapun mengulangi membasuh sebanyak tiga kali merupakan hal yang disunnahkan, bukan hal yang fardhu.
Muka adalah anggota bagian depan pada wajah seseorang. Ukuran panjangnya adalah antara tempat tumbuhnya rambut kepala -dalam keadaan normal- hingga ke bagian akhir dagu, atau dengan kata lain antara permulaan ruang dahi hingga ke bagian bawah dagu. Adapun yang dimaksud dagu adalah tempat tumbuhnya jenggot yang terletak di atas dua tulang rahang bagian bawah. Sedangkan dua tulang rahang adalah dua tulang yang menjadi tempat tumbuhnya gigi bagian bawah. Di antara bagian yang termasuk muka adalah bagian dahi seseorang yang ditumbuhi
rambut yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-ghamam. Adapun dua bagian kosong yang berada di samping dahi bagian atas (an-naz'atain), tidaklah termasuk bagian muka. An-naz'atain dianggap sebagai bagian dari kepala karena kedua-duanya masuk ke dalam kepala. Orang Arab memuji dahi yang luas dan mencela dahi yang sempit atau dahi yang berbulu, karena kononnya orang yang seperti itu adalah orang bodoh, penakut dan bakhil.
Batas lebar muka adalah bagian di antara dua anak telinga. Menurut pendapat yang rajih dari ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i, bagian kosong yang terdapat di antara ujung pipi dan telinga termasuk ke dalam anggota muka. Akan tetapi, ulama madzhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa ia termasuk ke dalam anggota kepala. Termasuk bagian wajah menurut pendapat ulama madzhab Hambali, seperti yang terdapat dalam kitab Al-Mughni, adalah bagian yang disebut dengan at-tahdzif yaitu bagian tepi dahi yang ditumbuhi rambut-rambut yang tipis yang terletak di antara ujung pipi dan dahi (anak rambut yang tumbuh di dahi dibuang oleh wanita Arab supaya wajahnya kelihatan luas, sebab itulah ia dinamakan tempat tahdzif, artinya tempat rambut dibuang). lni disebabkan tempat tersebut berada di bagian muka. Akan tetapi, An-Nawawi mengatakan bahwa menurut yang telah diakui jumhur ulama madzhab Syafi'i, maudhi' at-tahdzif (tempat tumbuh bulu) adalah bagian dari kepala karena rambutnya berhubungan dengan rambut kepala. Penulis kitab Kasysyaful Qina' dari madzhab Hambali mengatakan bahwa maudhi' at-tahdzif (tempat tumbuh bulu) tidak termasuk ke dalam anggota muka, melainkan ia termasuk ke dalam anggota kepala.
Ruang kosong yang terdapat di atas dua telinga yang bersambung dengan dua ujung pipi adalah termasuk anggota kepala, karena kedua-duanya masuk dalam bulatan kepala. Meskipun demikian, hendaklah sebagian kecil dari kepala dimasukkan ke dalam anggota muka untuk menyempurnakan hukum wajib membasuh muka. Karena, hukum wajib membasuh muka tidak akan sempurna kecuali dengan membasuh sebagian kepala tersebut. Ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa sunnah hukumnya membasuh maudhi' al-mafshal, yaitu bagian yang terletak di antara janggut dengan telinga. Karena, ia termasuk ke dalam anggota yang sering dilupakan orang. Ulama madzhab Syafi'i juga mengatakan bahwa sunnah hukumnya membasuh maudhi' ash-shal'i, yaitu bagian kepala yang botak, maudhi' at-tahdzifi yaitu dua sisi dahi yang ditumbuhi rambut tipis dan dua ruang kosong yang terletak di atas dua telinga ketika membasuh muka. Hal ini dilakukan untuk menghindari perbedaan pendapat tentang hukum wajib membasuh bagian-bagian tersebut.
Wajib membasuh sebagian kecil bagian kepala, leher, bagian bawah tulang rahang, dan dua telinga. Begitu juga wajib melebihkan sedikit ketika membasuh kedua tangan dan kedua kaki. Hal ini berdasarkan hukum wajib yang ditetapkan untuk membasuh kedua anggota tersebut. Karena suatu kewajiban yang tidak dapat sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain tersebut menjadi wajib.
Termasuk juga bagian anggota muka adalah dua bibir (yaitu bibir yang keliatan ketika keduanya ditutup secara biasa), bagian hidung yang lunak, bagian depan hidung, dan yang semcamnya. Tidak wajib membasuh bagian dalam dua bibir dan dua mata.
Wajib membasuh bulu kening, bulu mata, ujung pipi (yaitu bulu yang tumbuh di atas tulang yang lurus dengan telinga dan terletak di antara pelipis dan pipi), bulu pipi, bulu rewes (yaitu bulu yang tumbuh di bawah bibir mulut bagian bawah), bagian luar dan dalam jenggot (yaitu bulu yang hanya tumbuh di dagu, tempat pertemuan dua tulang rahang) baik ia tumbuh dengan tipis ataupun tebal (janggut yang lebat ialah yang menutupi kulit muka apabila dilihat oleh orang yang berhadapan dengannya). Ini karena terdapat sebuah hadits riwayat Muslim yang menceritakan bahwa Rasul bersabda kepada seorang laki-laki yang tidak membasuh kuku kakinya. Beliau bersabda, "Kembalilah dan sempurnakan wudhu kamu.”
Jika jenggot seseorang tebal hingga kulitnya tidak tampak maka yang wajib dibasuh hanya bagian luar saja, dan sunnah hukumnya menyela-nyelai bagian dalam jenggot tersebut. Ketetapan sunnah ini karena sukar untuk menyampaikan air ke kulit pada bagian tersebut. Dalilnya adalah berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang menggambarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berwudhu, kemudian beliau mengambil seciduk air untuk membasuh muka (riwayat Al-Bukhari, dari Ibnu Abbas, Nailul Authar jilid 1 halaman 147). Padahal, janggut beliau tebal. Hal ini menunjukkan bahwa seciduk air biasanya tidaklah mencukupi untuk membasuh hingga sampai ke bagian dalam (jenggot).
Adapun jenggot yang panjang hingga melebihi paras muka, maka ia wajib dibasuh menurut pendapat yang mu'tamad di kalangan ulama madzhab Syafi'i dan Hambali. Hal ini karena ia adalah bulu yang tumbuh di bagian anggota fardhu. Oleh sebab itu, secara lahir ia termasuk ke dalam nama anggota tersebut. Dan ia tidak dapat disamakan dengan rambut kepala. Adapun rambut yang keluar dari batas kepala, tidak termasuk ke dalam kepala. Selain itu, karena terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Amru bin Absah, "Kemudian apabila dia membasuh muka seperti yang diperintahkan Allah, maka keluarlah dosa muka dari ujung jenggotnya bersama
dengan tetesan air."
Ulama madzhab Hanafi dan Maliki tidak mewajibkan membasuh jenggot yang panjang, karena ia dihitung sebagai bulu yang keluar dari bagian anggota fardhu dan ia juga bukan dari bagian muka.
Ulama madzhab Hambali menambahkan, mulut dan hidung adalah bagian dari anggota muka. Pendapat ini juga menegaskan bahwa berkumur dan membersihkan hidung dalam wudhu merupakan hal yang wajib berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan perawi yang lain. Maksud hadits tersebut adalah, “Apabila kamu berwudhu, maka hendaklah kamu berkumur."
Hadits lain yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Salamah bin Qais juga menyatakan, “Apabila kamu berwudhu, maka hendaklah kamu membersihkan hidung."
Juga, terdapat hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang dapat diterima oleh semua ulama, "Apabila salah satu di antara kamu sedang berwudhu, maka hendaklah ia memasukkan air ke dalam hidung kemudian menghempaskannya keluar."
Ulama madzhab Hambali mewajibkan juga membaca Bismillah ketika berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Tidaklah sah shalatnya orang yang tidak berwudhu, dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah (membaca bismillah).” Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Imam Ahmad dan Ibnu Majah juga meriwayatkan hadis dari Sa’id bin Zaid dan Abu Sa’id.

b. Membasuh kedua tangan hingga ke siku dengan sekali basuh

Rukun ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idaah ayat 6 yang artinya, "...maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku...."
Dan juga berdasarkan kepada ijma ulama (Rujukan yang sama, Al-Bada'i halaman 4; Fathul Qadir, halaman 10; Tabyinul Haqa'iq, halaman 3; Ad-Durrul Mukhtar halaman 90 dan seterusnya; Asy-Syarhush Shaghir, halaman 107 dan seterusnya; Asy-Syarhul Kabir halaman 87 dan seterusnya; Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 10; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 10; Mughnil Muhtaj, halaman 52; Al-Muhadzdzab, halaman 16 dan seterusnya; Al-Mughni, halaman 122 dan seterusnya; Kasysyaful Qina', halaman 108 dan seterusnya). Perkataan al-maraafiq pada ayat di atas artinya adalah, "Tempat bertemunya dua tulang lengan, yaitu lengan atas dan bawah."
Menurut pendapat jumhur ulama termasuk juga imam madzhab empat, wajib memasukkan
dua siku pada waktu membasuh kedua tangan karena huruf jarr (ilaa) yang digunakan dalam ayat tersebut menunjukkan arti "hingga sempurnanya sesuatu tersebut" (intiha' al-ghayah), sehingga di sini kata ilaa tersebut berarti "bersama (ma'a)." Hal ini sama seperti firman Allah Ta’ala dalam Surah Hudd ayat 52 yang artinya, "...Dia akan menambahkan kekuatan di atas kekuatanmu...." Dan juga pada ayat 2 Surah An-Nisaa yang artinya, "...dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu...."
Hal ini disebabkan karena yang dimaksud dengan kata tangan pada asalnya adalah mencakup seluruh tangan dan lengan. Tetapi jika ia dibatasi dengan siku (marafiq), maka hal ini menyebabkan anggota yang lain menjadi gugur. Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan arti dari ayat mujmal tersebut. Imam Muslim meriwayat dari Abu Hurairah tentang cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah berwudhu, kemudian beliau membasuh muka. Maka, sempurnalah wudhunya. Setelah itu, beliau membasuh tangan kanan hingga ke bagian atas tangan (siku), kemudian Rasul
membasuh tangan kiri hingga ke bagian atas tangan (siku)." (Nailul Authar jilid 1 halaman 152)
Ad-Daruquthni telah meriwayatkan dari Utsman radhiyallahu ‘anhu yang berkata, "Mari saya tunjukkan kepada kamu bagaimana Rasulullah berwudhu." Kemudian dia membasuh muka dan kedua tangannya hingga pangkal tangan (siku).
Ad-Daruquthni juga meriwayatkan dari Jabir yang berkata, "Jika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu, maka beliau mengalirkan air ke atas dua sikunya." (Nailul Authar jilid 1 halaman 152)
Wajib membasuh celah jari dan bagian yang tertutup di bawah kuku yang panjang yang menutupi ujung jari. Begitu juga menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, wajib menghilangkan semua kotoran kuku yang menghalang air sampai kepada bagian tersebut, jika memang kotoran yang ada itu banyak. Namun jika kotoran itu sedikit, maka ia dimaafkan. Menurut pendapat ulama madzhab  Hanafi, kotoran tersebut dimaafkan, baik ia sedikit ataupun banyak. Sikap ini dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari kesukaran. Namun, madzhab ini bersepakat atas wajibnya menghilangkan kotoran yang menghalangi air kepada bagian kuku dan bagian lainnya, kotoran tersebut adalah seperti minyak dan lilin.
Menurut pendapat ulama madzhab Maliki, menyisipi celah-celah jari tangan dan juga kaki
adalah wajib.
Wajib membasuh jari yang lebih yang tumbuh pada anggota fardhu bersama-sama dengan jari biasa. Hal ini karena ia tumbuh pada tempat jari. Begitu juga menurut pendapat ulama madzhab Hambali dan Maliki, wajib membasuh kulit yang tumbuh yang bergantung, bukan pada anggota yang fardhu tetapi menjulur pada anggota fardhu. Ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa jika kulit tangan bagian atas tergantung maka tidak wajib membasuh sedikit pun dari kulit tersebut, baik kedudukannya sejajar dengan tangan ataupun tidak. Hal ini karena yang dimaksud dengan tangan tidak mencakup anggota tersebut. Selain itu, kedudukan kulit tersebut tidak berada di bagian anggota fardhu.
Jika terdapat sebagian anggota tangan yang wajib dibasuh terpotong, maka menurut kesepakatan ulama wajib membasuh bagian yang tersisa (masih ada). Karena, perkara yang mudah dilaksanakan tidak gugur hukum wajibnya disebabkan adanya perkara yang susah. Selain itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, "Apabila aku menyuruh kamu melakukan
sesuatu, maka laksanakanlah seberapa daya yang kamu mampu."
Adapun orang yang tangannya terpotong pada bagian siku, maka dia wajib membasuh ujung tulang lengan bagian atas, karena bagian ini termasuk ke dalam anggota siku.
Jika bagian tangan yang terpotong di atas siku, maka sunnah membasuh tangan yang tersisa yang masih ada, sehingga dengan membasuh anggota tersebut tidak ada anggota yang tertinggal dalam melaksanakan wudhu.
Menurut pendapat jumhur ulama, menggerakkan cincin yang ketat adalah wajib. Tetapi menurut ulama madzhab Maliki, menggerakkan cincin yang mubah dipakai baik bagi laki-laki ataupun perempuan adalah tidak wajib, meskipun cincin tersebut ketat dan air tidak dapat masuk ke bawahnya. Ia tidak dianggap sebagai penghalang sampainya air pada anggota berkenaan.

c. Mengusap kepala

Mengusap kepala adalah rukun ketiga ibadah wudhu. Ia berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idaah ayat 6 yang artinya, "Dan usaplah kepala kamu."
Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits, "Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengusap ubun-ubun dan serbannya."
Mengusap adalah satu tindakan menggerakkan tangan yang basah di atas suatu anggota badan.
Kepala adalah anggota badan yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Ia bermula dari bagian atas dahi hingga lubang tengkuk di bagian belakang. Termasuk ke dalam pengertian kepala adalah dua pelipis yang tumbuh di atas tulang yang timbul di bagian muka. Para fuqaha berselisih pendapat tentang kadar mengusap kepala yang dapat mencukupi untuk wudhu. (Tabyinul Haqa'iq, jilid 1 halaman 3; Al-Bada'i, jilid 1 halaman 4; Fathul Qadir jilid 1 halaman 10 dan seterusnya; Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman 92; Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 11; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 21; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 108 dan seterusnya; Asy-Syarhul Kabir, jilid 1 halaman 88; Al-Muhadzdzab, jilid l halaman 17; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 53; Al-Mughni, jilid 1 halaman 125 dan seterusnya; Kasysyaful Qina' jilid 1 halaman 109 dan seterusnya)
Menurut pendapat yang masyhur dan mu'tamad di kalangan ulama madzhab Hanafi, wajib mengusap seperempat kepala dengan satu kali usap. Yaitu, sekadar luas ubun-ubun yang ada di bagian atas dua telinga -bukannya pada ujung dandanan rambut- meskipun usapan itu dari air hujan atau basah sisa mandi, asalkan bukan diambil dari anggota tubuh lain.
Dalil mereka adalah, mengusap kepala wajib dilaksanakan mengikuti kebiasaan 'urf. Oleh sebab itu, mengusap anggota wudhu adalah sekadar apa yang sudah dinamakan sebagai mengusap secara 'urf. Hal ini disebabkan huruf ba' (pada kalimat biru'uusikum) mengandungi pengertian ilshaq (terkena). Maka, arti ayat tersebut adalah seperti berikut, "Hendaklah kamu mengusapkan tangan dengan merapatkannya kepada kepala kamu."
Menurut kaidah yang terdapat di kalangan ulama madzhab Hanafi, jika huruf ba' dikaitkan
dengan bagian anggota yang diusap, maka ia mempunyai arti semua alat yang digunakan untuk mengusap harus mengenainya. Jika huruf ba' dikaitkan dengan alat yang digunakan untuk mengusap, maka perbuatan mengusap itu harus mencakup semua bagian anggota yang diusap. Atas dasar ini, maka kadar kepala yang perlu diusap hanya seluas tangan saja. Karena luas tangan yang menyentuh kepala tidak lebih dari seperempat bagian kepala, maka itulah yang dimaksud oleh ayat tersebut.
Hal ini telah dijelaskan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim
dari Al-Mughirah bin Syu'bah, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berwudhu mengusap ubun-ubun, serban, dan kedua khuf-nya. Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Anas juga menjelaskan, "Saya telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu, yaitu pada waktu beliau memakai serban Qhatariyyah (serban yang dibuat di Qatar). Beliau memasukkan tangan ke bawah serbannya dan mengusap bagian depan kepala tanpa menanggalkan serban tersebut." (Nailul Authar jilid 1 halaman 157, 167; Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 1-2). Tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut dianggap sebagai penjelasan terhadap ayat yang mujmal karena ubun-ubun atau bagian depan kepala merupakan seperempat kepala saja. Ia merupakan satu bagian dari empat bagian kepala yang ada. Kemungkinan pendapat ini adalah pendapat yang rajih.
Ulama Maliki dan salah satu riwayat yang rajih di kalangan ulama Hambali berpendapat bahwa wajib mengusap semua bagian kepala. Seseorang tidak wajib mengurai dandanan rambutnya dan juga tidak wajib mengusap rambut yang keluar dari batas kepala, dan mengusap rambut tersebut sebagai pengganti dari mengusap kepala adalah tidak mencukupi. Namun, mengusap rambut yang tidak keluar dari tempat fardhu adalah mencukupi. Jika seseorang tidak memiliki rambut, maka dia hendaklah mengusap kulit kepala, karena hanya itu yang ada pada kepalanya.
Menurut pendapat yang zhahir dari kalangan ulama madzhab Hambali, kewajiban mengusap seluruh bagian kepala hanyalah khusus bagi laki-laki. Sedangkan bagi wanita, cukup dengan mengusap bagian depan kepala saja, karena Aisyah hanya mengusap bagian depan kepalanya. Dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap kepalanya, kedua telinga sebelah luar dan luga dalamnya." Hadis riwayat At-Tirmidzi dan dia menghukuminya sebagai hadits shahih. (Nailul Authar, jilid 1 halaman 162)
Menurut pendapat ulama madzhab Hambali, wajib mengusap kedua cuping telinga bagian luar dan dalam. Karena, kedua anggota tersebut termasuk bagian kepala. Hal ini berdasarkan kepada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh lbnu Majah, "Dua telinga adalah sebagian dari kepala." Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap kepalanya, kedua telinga sebelah luar dan juga dalamnya.” Hadis riwayat At-Tirmidzi dan dia menghukuminya sebagai hadis shahih. (Nailul Authar jilid 1 halaman 162)
Menurut pendapat mereka, sekali usap saja mencukupi. Tidak disunnahkan mengulangi mengusap kepala dan telinga. At-Tirmidzi dan Abu Dawud mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang dijadikan pegangan oleh mayoritas ahli ilmu. Karena, mayoritas orang yang menjelaskan sifat wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa Rasul hanya mengusap kepala satu kali saja. Dalam riwayat itu, mereka juga menyebutkan bahwa pada wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (ketika membasuh bagian) yang lain, beliau membasuh sebanyak tiga kali. Namun ketika mereka berkata, "Beliau mengusap kepalanya," mereka tdak menyebutkan berapa kali beliau mengusap sebagaimana yang disebutkan pada perbuatan yang lain.
Dalil mereka ialah huruf ba' mengandung makna ilshaq (mengenai), yaitu mengenakan perbuatan pada tempat yang dikenai. Oleh sebab itu, seolah-olah Allah menyatakan, "Kenakan usapan itu ke kepala kamu, yaitu usaplah dengan air."
Dalil lain adalah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap pada semua bagian kepala ketika beliau berwudhu. Abdullah bin Zaid meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengusap kepalanya dengan kedua tangannya. Yaitu, mengusap ke depan dan ke belakang dengan memulakan pada bagian depan kepala, kemudian beliau menurunkannya hingga ke bagian tengkuk. Setelah itu Rasul kembali memulai dari tempat beliau memulai mengusap. Riwayat Al-Jama'ah, diriwayatkan juga oleh Imam Abu Dawud dan lmam Ahmad dari Ar-Rubayi' binti Mu'awwidz. Hadits ini hasan. Ar-Rubayi' berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu di sampingnya. Beliau mengusap kepalanya, dan beliau mengusap seluruh bagian kepalanya di mulai dari atas kepala, yaitu ke setiap bagian tumbuhnya rambut. Tetapi, beliau tidak menggerakkan rambut dari bentuk asalaya. (Nailul Authar, jilid 1 halaman 154, 156). Ini menunjukkan perlunya mengusap ke semua bagian kepala. Dan menurut kesepakatan ulama, melakukan hal itu adalah sunnah, seperti yang diterangkan oleh An-Nawawi.
Ulama madzhab Syafi'i menyatakan bahwa wajib mengusap sebagian kepala saja, meskipun hanya menyentuh sehelai rambut yang ada pada batas kepala, yaitu yang tidak keluar dari kepala jika ditarik ke bawah.
Pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Syafi'i menyatakan bahwa membasuh kepala hukumnya mubah. Karena, perbuatan itu sudah memenuhi perbuatan mengusap. Meletakkan tangan di atas kepala meskipun tanpa menariknya juga mubah. Karena dengan tindakan tersebut, maksud yang diinginkan telah berhasil, yaitu membasahi kepala.
Pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Hambali menyatakan bahwa membasuh kepala tanpa menggerakkan tangan di atasnya tidaklah mencukupi. Tetapi jika kepala dibasuh, setelah itu tangan digerakkan di atasnya, maka ia telah mencukupi meskipun hukumnya makruh.
Ulama Syafi'i mendasarkan pendapatnya kepada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Mughirah yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhan. Hadits tersebut menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap ubun-ubunnya dan juga mengusap serban bagian atas. Oleh sebab itu, mengusap sebagian kepala saja adalah mencukupi, karena apa yang diperintahkan
adalah perbuatan mengusap saja, dan hal ini telah terlaksana dengan mengusap sebagiannya. Huruf ba' jika dikaitkan kepada sesuatu yang banyak (muta'addid), seperti yang terdapat dalam ayat tersebut, maka ia berarti sebagian. Oleh sebab itu, mengusap sebagian kecil kepala sudah dianggap cukup sama seperti mengusap bagian yang banyak dari kepala.
Sebenarnya, maksud ayat tersebut adalah mutlak dan artinya tidak lebih dari menunjukkan
perbuatan mengusap kepala, baik dengan cara mengusap semua bagian kepala ataupun sebagiannya saja, baik kadar mengusapnya sedikit ataupun banyak. Selama perbuatan itu bisa dianggap sebagai perbuatan mengusap, maka ia dianggap mengusap. Akan tetapi jika ia hanya mengusap sehelai atau tiga helai rambut saja, maka perbuatan tersebut tidak dapat disebut sebagai perbuatan mengusap. (Syekh Mahmud Syaltut dan Syekh Muhammad Ali Sayis (Muqaranah al-Madzahib fil-Fiqh, halaman 11)

d. Membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idaah ayat 6 yang artinya, "...dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki...." Menurut qira’at yang tujuh, , perkataan "Arjulakum" dibaca dengan nashab (fathah). Adapun qira'at yang lain membacanya dengan jar (kasmh) ikut kepada kata wujuh (muka).
Ia juga berdasarkan kepada ijma ulama dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Amru bin Absah dan diceritakan oleh Imam Ahmad, "Kemudian Rasul mengusap kepalanya seperti yang diperintahkan Allah. Setelah itu beliau membasuh kedua kakinya hingga kedua mata kaki seperti yang diperintahkan Allah."
Ia juga berdasarkan kepada hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ad-Daruquthni, dari Utsman yang berkata setelah dia membasuh kedua kakinya, "Beginilah yang saya lihat ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu."
Terdapat beberapa hadits lain yang menjadi dalil bagi masalah ini, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zaid dan hadits Abu Hurairah.
Dua mata kaki adalah dua tulang yang timbul di kedua belah kaki, yaitu pada sendi kaki.
Menurut jumhur fuqaha, wajib membasuh dua mata kaki atau kadar keduanya yang masih ada, jika memang keduanya terpotong bersama dua kaki. Yaitu, diwajibkan membasuh dengan satu kali basuh saja, sama seperti wajibnya membasuh dua siku ketika membasuh dua tangan. Ini karena ujung suatu anggota wudhu adalah termasuk ke dalam hukum anggota yang berkenaan. Bagian anggota wudhu yang disebut setelah huruf ila merupakan bagian yang masuk dalam hukum anggota yang sebelumnya (Al-Bada'i jilid 1 halaman 5; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 109; Mughnil Muhtaj, jilid l halaman 53; Al-Mughni, jilid 1 halaman 132 dan seterusnya).
Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, "Kemudian beliau membasuh kaki kanannya hingga ke batas betis, setelah itu membasuh kaki kirinya hingga ke batas betis." Kemudian dia berkata, "Begitulah saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benvudhu.” Riwayat Muslim (Nailul Authar, jilid 1 halaman 152).
Menurut pendapat jumhur, wajib membasuh kedua kaki dengan kedua mata kaki kakinya. Tidaklah cukup hanya dengan mengusap kedua-duanya saja. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Celakalah bagi tumit-tumit kaki yang akan dimakan api neraka.” Riwayat Imam Ahmad dan Asy-syaikhan dari Abdullah bin Umar, dia berkata, "Kami tertinggal di belakang dalam suatu perlalanan bersama Rasulullah. Kemudian kami dapat mengejarnya dan waktu ashar pun masuk. Lalu kami mengambil wudhu dan mengusap kaki kami. Rasul kemudian berseru dengan kuat, "Celakalah bagi tumit-tumit kaki yang akan dimakan api neraka.” Rasul mengucapkan kalimat ini sebanyak dua atau tiga kali. (Nailul Authar, jilid l halaman 167).
Rasul melarang mengusap kedua kaki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga selalu membasuh dua kakinya. Selain itu, tidak terdapat riwayat yang shahih yang menunjukkan bahwa Rasul mengusap kedua kakinya. Rasul menyuruh membasuh kedua kaki seperti yang telah ditetapkan dalam hadits yang diriwayatkan Jabir, yang dicatat oleh Ad-Daruquthni dengan lafal, "Kami disuruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila kami berwudhu untuk mengerjakan shalat supaya membasuh kedua kaki kami."
Hal yang sama juga terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Amru bin Absah, Abu Hurairah, Abdullah bin Zaid, dan Utsman yang telah lalu, yang menceritakan tentang wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadits tersebut adalah, "Kemudian Rasul membasuh kedua kakinya."
Juga, terdapat hadits yang menceritakan bahwa setelah berwudhu -yang di dalamnya beliau membasuh kedua kaki- Rasulullah menyatakan, "Barangsiapa melebihi atau mengurangi batas ini, maka ia telah melakukan kesalahan dan kezaliman.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Maiah, dan Ibnu Khuzaimah dari jalur yang shahih dan juga dianggap shahih oleh Ibnu Khuzaimah (Nailul Authar, jilid 1 halaman 146, l52,168, 173).
Tidak diragukan lagi bahwa terdapat kekurangan dalam mengusap jika dibandingkan dengan membasuh. Rasul juga bersabda kepada seorang Arab badui, "Berwudhulah kamu sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah." Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ad-Daruquthni dari Anas bin Malik dan diriwayatkan juga oleh Ahmad dan Muslim dari Umar ibnul Khaththab (Nailul Authar, jilid 1 halaman 170, 175).
Kemudian Rasul menerangkan kepadanya tentang cara berwudhu. Dalam penjelasan itu, beliau menyebut membasuh dua kaki. Selain itu, terdapat ijma para sahabat tentang wajibnya membasuh dua kaki ketika berwudhu. Keterangan yang menyebutkan bahwa kata arjulakum dibaca dengan arjulikum (membaca kasrah lam) merupakan bacaan yang ganjil, yang bertentangan dengan maksud zhahir ayat dan tidak dapat dijadikan alasan kepada apa yang diperselisihkan di kalangan ulama. Diikutkannya kata arjulakum kepada kata ru'usikum disebabkan karena kedudukannya yang berdekatan. Adapun membaca lafal tersebut dengan bacaan lam yang di-fathah merupakan 'athaf kepada kata aidiyakum.
Kemudian perintah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyela-nyelai celah-celah jari tangan dan kaki menunjukkan hukum wajibnya membasuh kedua kaki tersebut. Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila kamu berwudhu, hendaklah menyela-nyela celah-celah jari kaki dan tangan." (Nailul Authar, jilid 1 halaman 153)
Golongan Syiah Imamiyyah (Al-Mukhtasar An-Nafi' fi Fiqhil lmamiyyah, halaman 30) mewajibkan mengusap kedua kaki, karena berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dari Aus bin Abi Aus Ats-Tsaqafi yang mengatakan bahwa dia melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sampai di terusan air yang terdapat pada suatu kaum di Thaif. Lalu beliau berwudhu dengan mengusap dua sandal dan dua kakinya. Hadits ini adalah hadits ma'lul, karena sebagian rawinya tidak diketahui kedudukannya. Kalau seandainya hadits ini shahih, maka
ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa ia telah di-mansukh. Kata Husyaim, "Hukum ini berlaku pada permulaan lslam." (Nailul Authq filid I, halaman 159)
Mereka membaca huruf lam pada kata arjulakum dengan kasrah (menjadi arjulikum). Mereka juga mendasarkan kepada riwayat yang bersumber dari Ali, Ibnu Abbas, dan Anas. Akan tetapi, telah ditetapkan dalam beberapa riwayat bahwa mereka telah menarik kembali pendapat tersebut. Asy-Syaukani mengatakan bahwa orang yang mewajibkan mengusap kaki adalah pengikut madzhab Syiah Al-lmamiyyah. Akan tetapi, mereka tidak menunjukkan dalil-dalil yang terang. Padahal, mereka telah menentang maksud yang terdapat dalam Al-Kitab dan sunnah yang mutawatir baik sunnah yang bersifat perkataan maupun sunnah yang dalam bentuk perbuatan. Mereka berpendapat bahwa membaca lam dengan fathah pada kata arjulakum disebabkan kata tersebut di-'athaf-kan kepada kata aidiyakum.
Alasan membasuh dan mengusap kedua kaki adalah berdasarkan kepada dua bacaan tersebut, yaitu bacaan lam yang dibaca fathah dan lam yang dibaca kasrah pada perkataan arjulakum/arjulikum (Nailul Authar jilid 1 halaman 169). Alasannya adalah sebagaimana yang diterangkan oleh Az-Zamakhsyari, untuk menghindarkan dari pemborosan penggunaan air. Ini disebabkan penggunaan air pada waktu membasuh kemungkinan besar akan terjadi pemborosan.
Kesimpulannya, rukun-rukun wudhu yang telah disepakati semua ulama adalah ada empat
yaitu membasuh muka, kedua tangan, kedua kaki dengan satu kali basuhan saja, dan juga mengusap kepala dengan satu kali usapan. Adapun melakukannya, baik membasuh ataupun mengusap sebanyak tiga kali, adalah sunnah seperti yang akan dijelaskan nanti.

2. Rukun Wudhu yang Diperselisihkan

Para fuqaha berselisih pendapat mengenai hukum wajibnya niat, tartib, muwalah (berturut-turut) dan menggosok anggota wudhu. Ulama selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa niat adalah fardhu (rukun). Ulama madzhab Maliki, Hambali, dan Syiah Imamiyah mengatakan bahwa muwalah adalah wajib. Ulama madzhab Syafi'i, Hambali, dan Syiah Imamiyah mengatakan tartib adalah wajib dan termasuk rukun wudhu. Hanya ulama madzhab Maliki saja yang mengatakan bahwa menggosok anggota wudhu adalah wajib. Kita akan membicarakan perselisihan perkara-perkara tersebut secara lebih detail.

a. Niat

Niat menurut arti bahasa adalah keinginan dalam hati yang tidak berkaitan dengan lidah. Menurut istilah syara', ia adalah niat yang dilakukan oleh orang yang bersuci untuk menunaikan suatu kefardhuan atau niat untuk menghilangkan hadats, atau niat untuk membolehkan melakukan apa saja yang diwajibkan bersuci ketika melakukannya. Contohnya adalah, "Saya berniat untuk melakukan fardhu wudhu,” atau apabila ada orang yang berhadats seperti perempuan yang  mengalami istihadhah, orang yang selalu keluar air kencing (berpenyakit beser) ataupun selalu kentut, kemudian dia berniat, "Saya berniat untuk melakukan perbuatan yang membolehkan shalat, thawaf ataupun menyentuh mushaf." Ataupun orang yang bersuci dengan niat, "Saya berniat untuk menghilangkan hadats," yaitu niat menghilangkan penghalang amal perbuatan yang memerlukan thaharah. Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan niat dari segi istilah dengan keinginan hati untuk
melakukan suatu perbuatan.

Para fuqaha berselisih pendapat dalam mensyaratkan niat sewaktu bersuci

Ulama madzhab Hanafi (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 98-100; Al-Lubab jilid 1 halaman 16; Muraqil Falah halaman 12; Al-Bada’i jilid 1 halaman 17; Muqaranah Al-Madzhab fil Fiqh halaman 14) mengatakan bahwa orang yang ingin berwudhu disunnahkan memulainya dengan niat. Tujuannya adalah supaya mendapatkan pahala. Waktu niat adalah sebelum ber-istinja' agar semua perbuatannya menjadi ibadah. Cara niat adalah dengan berniat menghilangkan hadats, berniat untuk mengerjakan shalat, berniat untuk berwudhu, atau mematuhi perintah syara'. Tempat niat adalah di dalam hati. Jika dia mengucapkan niatnya dengan tujuan untuk menggabungkan perbuatan hati dengan lisan, maka cara seperti ini sangat dianjurkan. Ini menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanafi.
Konsekuensi dari pendapat yang mengatakan bahwa niat bukanlah satu rukun, maka seseorang yang berwudhu untuk mendinginkan badan di dalam air adalah sah. Dan sah juga wudhu seseorang yang menyelam di dalam air untuk tujuan berenang, membersihkan badan, atau untuk menyelamatkan orang yang lemas dan sejenisnya. Mereka telah berhujjah dengan dalil-dalil berikut.
Pertama, tidak ada nash Al-Qur'an yang menjelaskan tentang niat ini, karena ayat yang berkaitan dengan wudhu hanya menyuruh membasuh tiga anggota badan dan mengusap kepala saja. Pendapat yang mengatakan niat disyaratkan untuk sahnya wudhu dengan berdasarkan kepada hadits ahad adalah pendapat yang melebihi kehendak nash Al-Qur'an. Sedangkan menurut mereka, menambah ajaran yang melebihi nash Al-Qur'an adalah termasuk kategori nasakh,sedangkan ayat Al-Qur'an tidak boleh dinasakh dengan hadits ahad.
Kedua, tidak ada nash dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai masalah ini. Beliau tidak pernah mengajarkan niat kepada seorang badui, meskipun orang tersebut tidak mengetahuinya. Niat diwajibkan dalam tayamum, karena ia menggunakan debu dan pada hakikatnya debu tidak dapat menghilangkan hadats. Menggunakan debu hanya sebagai pengganti air saja.
Ketiga, diqiyaskan kepada semua jenis thaharah dan juga lainnya; bahwa wudhu adalah satu perbuatan untuk bersuci yang menggunakan air. Oleh sebab itu, niat tidak disyaratkan. Hal ini sama dengan menghilangkan najis. Begitu juga tidak diwajibkan niat dalam syarat-syarat shalat yang lain, seperti syarat menutup aurat. Niat juga tidak diwajibkan dalam mandinya wanita Ahli Kitab ketika dia berhenti dari haid supaya dirinya halal digauli oleh suaminya yang Muslim.
Keempat, wudhu hanya satu wasilah (jalan) untuk melaksanakan shalat. Ia bukan sesuatu yang diperintah secara sendiri. Dan niat adalah syarat yang dituntut pada benda asal, bukan pada jalan.
Jumhur fuqaha (An-Nawawi, Al-Majmu', jilid 1 halaman 361 dan seterusnya; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 14 dan seterusnya; Bidayatul Mujtahid, jilid l halaman 7 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 21; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 114 dan seterusnya; Asy-Syarhul Kabir, jilid l halaman 93 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 47 dan seterusnya; Al-Mughni, jilid 1 halaman 110 dan seterusnya; Kasysyaful Qina', jilid l halaman 94-101), selain ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa niat adalah fardhu (rukun) dalam wudhu, supaya keberhasilan (sahnya) dalam ibadah terpenuhi, atau supaya maksud mendekatkan diri kepada Allah terpenuhi. Karena itu, shalat tidak dianggap sah jika wudhunya diniatkan untuk mengerjakan perbuatan lain selain ibadah, seperti berwudhu dengan niat ingin makan, minum, tidur, dan sejenisnya. Mereka berhujjah dengan dalil berikut.
Pertama, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, "Sesungguhnya setiap perbuatan itu berdasarkan kepada niatnya, dan setiap orang berhak mendapatkan apa yang telah diniatkannya." Muttafaq ‘alaih diriwayatkan oleh al-jama’ah dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu (Nailul Authar jilid 1 halaman 131) Hadits tersebut menunjukkan bahwa semua pekerjaan yang diakui oleh syara' adalah perbuatan yang didasarkan pada niat. Wudhu merupakan suatu perbuatan, maka ia tidak dianggap sah oleh syara' kecuali ia dilakukan dengan niat.
Kedua, untuk memastikan keikhlasan dalam beribadah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya, "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama ....." Wudhu merupakan ibadah yang diperintahkan oleh syara'. Ia tidak akan terlaksana kecuali dengan niat yang ikhlas kepada Allah, sedangkan ikhlas adalah amalan hati, yaitu niat.
Ketiga, qiyas, niat disyaratkan dalam berwudhu sebagaimana ia disyaratkan dalam shalat dan juga dalam tayammum, yang dilakukan supaya boleh melakukan shalat.
Keempat, wudhu merupakan jalan (wasilah) kepada sesuatu yang dituju. Oleh sebab itu, ia
memiliki hukum yang sama dengan apa yang dituju itu. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maidaah ayat 6 yang artinya, “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu...." Ayat ini menunjukkan bahwa wudhu adalah perbuatan yang diperintahkan
ketika seseorang hendak melaksanakan shalat, atau ketika hendak melakukan ibadah yang dituntut syara'. Ia dilakukan dengan cara membasuh beberapa anggota untuk tujuan melakukan shalat. Inilah yang dinamakan niat.
Pendapat yang benar ialah pendapat yang mengatakan bahwa niat adalah fardhu (rukun). Karena, banyak hadits ahad yang telah menetapkan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Alasan lain adalah, karena perbuatan menyiramkan air ke anggota badan tanpa niat atau dengan niat untuk mendinginkan badan tidak dapat dianggap sebagai membasuh untuk berwudhu, sehingga seseorang boleh melakukan tanggung jawab syara' atau dapat melaksanakan perkara yang diperintakan oleh syara' (Muqarahan Al-Fiqh Fil Madzahib halaman 17).

Perkara-perkara yang berkaitan dengan niat

Dari penjelasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa terdapat beberapa perkara yang berkaitan dengan niat (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 47; Muqaranah Al-Fiqh fil Madzahib halaman 17; Al-Mughni jilid 1 halaman 142), yaitu:

(a) Hakikat

Hakikat niat dari segi bahasa adalah qashdu (keinginan). Adapun dari segi syara' adalah keinginan melakukan sesuatu yang disertai dengan perbuatan.

(b) Hukum

Hukum niat menurut jumhur ulama adalah wajib, akan tetapi menurut ulama madzhab Hanafi ia adalah sunnah.

(c) Tujuan

Tujuan niat adalah untuk membedakan antara ibadah dengan adat, atau membedakan peringkat ibadah. Yaitu membedakan tingkatan ibadah, membedakan antara sebagian ibadah dengan sebagian yang lain seperti ibadah shalat yang sebagian fardhu dan ada juga yang sunnah.

(d) Syarat

Syarat niat adalah orang yang berniat hendaklah beragama Islam, mumayyiz (berakal), serta mengerti apa yang diniatkan, tidak melakukan perkara yang bertentangan dengan niat seperti dengan melakukan aktivitas yang lain. Oleh sebab itu, tidak boleh mengalihkan perhatian kepada perkara lain dan janganlah niat tersebut dikaitkan dengan sesuatu. Jika dikaitkan dengan mengucapkan insya Allah, yang artinya, "Jika dikehendaki Allah," dengan maksud sebagai ta'liq atau dia mengglobalkan artinya, maka niat tersebut tidak sah. Tetapi jika dia menyebut kata insya Allah tersebut untuk mendapatkan berkah, maka niatnya sah.
Ulama selain dari madzhab Hanafi mensyaratkan masuk waktu shalat bagi orang yang selalu berhadats, seperti orang yang mengidap penyakit beser (sering kencing) dan perempuan yang istihadhah. Ini karena thaharah (bersuci) bagi orang-orang tersebut adalah termasuk uzur dan
darurat. Oleh sebab itu, dia terikat dengan waktu seperti halnya tayamum.

(e) Tempat

Tempat niat adalah di dalam hati. Hal ini karena niat merupakan qashdu (keinginan), sedang tempat qashdu adalah hati. Oleh sebab itu, barangsiapa yakin (akan munculnya qashdu itu) dalam hatinya, maka hal itu dianggap telah mencukupi sebagai niat, meskipun dia tidak melafalkannya. Namun jika (qashdu itu) tidak terlintas di dalam hati, maka perbuatan yang telah dikerjakan itu tidak mencukupi. Menurut ulama madzhab Maliki, niat lebih baik tidak dilafalkan. Adapun ulama madzhab Syafi'i dan juga Hambali mengatakan bahwa sunnah melafalkan niat, kecuali menurut pendapat yang rajih dari kalangan ulama madzhab Hambali, bahwa melafalkan niat dengan perlahan-lahan adalah sunnah. Sedangkan melafalkan niat dengan suara yang keras dan berulang-ulang, adalah makruh.

(f) Sifat niat

Hendaklah seseorang berniat thaharah itu untuk tujuan supaya boleh melakukan suatu ibadah yang tidak dibolehkan kecuali dengan thaharah seperti shalat, thawaf dan menyentuh mushaf. Dan hendaklah dia berniat untuk menghilangkan hadats kecil, yaitu suatu halangan yang berada pada anggota-anggota tertentu. Jadi, sifat niat adalah dengan berniat untuk menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats. Jika berniat dengan salah satunya, maka ia mencukupi, karena dia telah berniat dengan apa yang menjadi tujuan wudhunya, yaitu menghilangkan hadats.
Jika dia niat bersuci untuk mengerjakan sesuatu yang tidak memerlukan thaharah seperti untuk mendinginkan badan, untuk makan, berjual beli, menikah, dan sebagainya dan dia tidak berniat untuk bersuci seperti yang dikehendaki oleh syara', maka hadatsnya tidak hilang. Hal ini karena dia tidak berniat untuk bersuci dan juga tidak berniat untuk apa melakukan sesuatu yang termasuk niat bersuci. Oleh sebab itu, dia tidak mendapatkan apa-apa seperti halnya orang yang tidak berniat.
Jika dia niat berwudhu untuk mengerjakan shalat dan untuk melakukan perbuatan yang lain seperti untuk mendinginkan badan, membersihkan badan, untuk mengajar, atau menghilangkan najis, maka niatnya tersebut sah dan mencukupi. Akan tetapi jika dia berniat secara mutlak untuk tujuan bersuci yang merangkumi hadats dan membersihkan kotoran/najis, maka niat yang demikian itu tidak sah dan juga tidak mencukupi, karena tidak ada perbedaan di antara ibadah dan adat. Perbedaan itu tidak akan terlaksana kecuali dengan niat. Apalagi, kadang-kadang bersuci itu dilakukan untuk menghilangkan hadats dan kadang-kadang untuk membersihkan najis. Jadi, ia tidak akan menjadi sah dengan niat yang mutlak dan umum.
Jika seseorang berwudhu dengan niat untuk melakukan sesuatu yang disunnahkan berwudhu seperti dia berniat wudhu untuk membaca Al-Qur'an, berdzikir, mengumandangkan adzan, tidur, duduk di dalam masjid, mempelajari suatu ilmu, menziarahi orang alim dan lainnya, maka hadats orang tersebut dapat hilang. Dan menurut pendapat ulama madzhab Hambali, dia boleh melaksanakan seberapa banyak shalat, karena dia telah berniat untuk melakukan sesuatu yang memerlukan keshahihan thaharah.
Menurut ulama madzhab Maliki, niat seperti itu tidak mencukupi untuk melaksanakan shalat, jika memang dalam wudhu tersebut tidak ada niat untuk menghilangkan hadats. Hal ini karena apa yang diniatkan (untuk membaca Al-Qur'an dan lain-lain) adalah sah dilakukan, meskipun masih dalam keadaan berhadats.
Begitu juga menurut pendapat yang ashah dari kalangan ulama madzhab Syafi'i, ia tidak mencukupi karena perkara-perkara itu boleh dikerjakan meskipun orang tersebut dalam keadaan berhadats, sedangkan niatnya tidak menyebutkan maksud untuk menghilangkan hadats.
Tidak ada perselisihan pendapat di antara ulama bahwa apabila seseorang berwudhu untuk shalat sunnah atau untuk melakukan apa saja yang memerlukan thaharah seperti menyentuh mushaf atau thawaf, maka wudhu tersebut boleh digunakan untuk shalat fardhu. Karena, ia telah menghilangkan hadatsnya (Al-Mughni jilid 1 halaman 142).
Jika dia ragu-ragu dengan niatnya ketika sedang bersuci, maka ia wajib mengulangi kembali. Karena, wudhu yang dilakukan itu menjadi ibadah yang syaratnya diragui. Oleh sebab itu, thaharahnya tidak sah, begitu juga dengan shalatnya.
Tetapi apabila keraguan dalam berniat muncul setelah selesai bersuci, maka keraguan ini tidaklah berpengaruh. Hal ini sama dengan ibadah-ibadah yang lain.
Apabila seseorang diwudhukan oleh orang lain, maka niat yang dianggap adalah niat orang yang berwudhu, bukan niat orang yang mewudhukan. Karena, orang yang berwudhu adalah yang dikehendaki, maka wudhu yang diakui adalah apa yang dia niatkan. Berlainan dengan orang yang
mewudhukan, karena dia perantara yang tidak ada tuntutan untuk berwudhu, dan sejatinya wudhu itu memang bukan untuknya.
Orang berhadats secara berterusan seperti perempuan yang sedang mengalami istihadhah, orang yang mengidap penyakit beser (sering kencing) dan sejenisnya, hendaklah berniat supaya boleh melakukan shalat, bukan niat untuk menghilangkan hadats. Ini karena hadatsnya tidak mungkin dapat dihilangkan.

(g) Waktu niat

Ulama madzhab Hanafi mengatakan bahwa waktu niat adalah sebelum seseorang itu ber-istinja', agar dengan itu semua perbuatannya menjadi ibadah. Ulama madzhab Hambali juga mengatakan bahwa waktu niat adalah ketika melakukan perkara wajib yang pertama, yaitu ketika membaca bismillah pada waktu berwudhu. Ulama madzhab Maliki berkata bahwa tempat niat adalah ketika membasuh muka. Menurut pendapat yang lemah, dikatakan bahwa tempat niat adalah di permulaan thaharah.
Ulama madzhab Syafi'i berpendapat bahwa waktu niat adalah ketika mulai membasuh muka. Menurut mereka, niat wajib disertakan dengan basuhan pertama pada anggota muka. Ini dilakukan agar niat dapat berlangsung bersama fardhu yang pertama. Begitu juga halnya niat dalam shalat. Disunnahkan berniat sebelum membasuh dua tangan, supaya niat dapat meliputi semua kesunnahan dalam thaharah dan juga fardhunya. Sehingga, orang yang melakukan akan diberi pahala atas kedua-duanya. Boleh mendahulukan niat wudhu dari permulaan thaharah dalam kadar masa yang sedikit. Akan tetapi jika jarak waktunya panjang, maka hal tersebut tidaklah mencukupi.
Disunnahkan terus mengingat niat hingga amalan terakhir dalam thaharah. Hal ini supaya semua perbuatan yang dikerjakan disertai dengan niat. Jika seseorang terus mengekalkan niat, maka ia dapat mencukupi. Maksudnya adalah, jangan sampai ada kehendak untuk memutuskan niat.
Tidaklah memengaruhi apa-apa jika di tengah-tengah mengerjakan wudhu niatnya terlepas dari ingatan. Karena, apa saja yang disyaratkan tidak akan batal dengan munculnya ingatan yang hilang. Masalah ini sama seperti niat dalam shalat dan puasa. Keadaan ini berbeda dengan munculnya penolakan terhadap wudhu dalam hati. Maksudnya adalah ada usaha untuk membatalkan wudhu ketika sedang melaksanakannya, seperti seseorang berkata dalam hati, "Saya membatalkan wudhu saya," maka dengan segera wudhunya batal.
Menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i dan Hambali, sah bagi orang yang berwudhu memisahkan niat pada setiap anggota wudhunya. Yaitu, dengan berniat menghilangkan hadats pada setiap anggota wudhu. Hal ini karena melakukan amalan wudhu secara terpisah-pisah adalah boleh. Maka, memisahkan niatnya pada semua perbuatan wudhu juga boleh.
Pendapat yang mu'tamad dari kalangan ulama madzhab Maliki yang bertentangan dengan pendapat yang azhar menurut Ibnu Rusyd adalah tidak sah seseorang itu memisahkan niatnya pada setiap anggota wudhu, jika dia tidak ada hasrat untuk menyempurnakannya. Dengan demikian, jika dia memisahkan niat pada setiap anggota wudhu dengan keinginan untuk menyempurnakan wudhunya dengan segera, maka perbuatan tersebut dapat mencukupi. Dengan pendapat ini, maka terdapat persamaan antara pendapat ulama madzhab Maliki, Syafi'i, dan juga Hambali.
Sebagai kesimpulan, seluruh ulama bersepakat mengenai wajibnya niat dalam tayamum. Dan mereka berselisih pendapat tentang wajibnya niat pada waktu bersuci dari hadats besar dan hadats kecil. Perselisihan tersebut terbagi menjadi dua pendapat, sebagaimana yang telah diterangkan di atas.

b) Tartib

Yang dimaksud dengan tartib adalah membasuh anggota-anggota wudhu satu demi satu secara urut, seperti yang terdapat dalam nash Al-Qur'an. Dengan kata lain, pertama kali hendaklah membasuh muka, kemudian kedua tangan, kemudian mengusap kepala, setelah itu membasuh kedua kaki. Para fuqaha berselisih pendapat wajibnya melakukan tartib ini (Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman 113; Muraqil Falah, halaman 12; Fathul Qadir, jilid 1 halaman 23; Al-Bada'i', jilid 1 halaman 17 dan seterusnya; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 130; Asy-Syarhul Kabir, jilid 1 halaman 102; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 54; Al-Muhadzdzab, jilid l halaman 19; Al-Mughni, jilid 1 halaman 136-138; Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 116; Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 16; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 22; Al-Majmu', jilid l halaman 480 - 486).
Ulama madzhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa ia adalah sunnah mu'akkad, bukan termasuk fardhu. Oleh sebab itu, dianjurkan untuk memulainya dengan seperti apa yang telah disebut oleh Allah dalam Surah Al-Maa'idah ayat 6. Nash Al-Qur'an yang menyebut tentang rukun-rukun wudhu semuanya di-'athaf-kan dengan huruf penghubung wawu (dan) yang hanya menunjukkan arti menggabungkan. Ia tidak menunjukkan makna tartib. Jika memang tindakan tartib diinginkan syara', tentulah ia di-'athaf-kan dengan huruf fa' atau tsumma (kemudian). Adapun huruf fa’ yang ada dalam firman Allah (faghsiluu) hanya menunjukkan arti penyusulan keseluruhan anggota secara umum.
Imam Ali, Ibnu Abbas, dan lbnu Mas'ud meriwayatkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tartib tidaklah wajib. Imam Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, "Saya tidak peduli dengan anggota mana yang telah saya mulakan." Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, "Tidak mengapa memulai wudhu dengan membasuh kedua kaki sebelum membasuh kedua tangan." Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan bahwa tidak mengapa jika kamu memulai dengan membasuh kedua kaki sebelum kamu membasuh kedua tangan ketika berwudhu. Dua atsar yang pertama diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni. Atsar yang ketiga tidak diketahui dari mana asalnya.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali mengatakan bahwa tartib adalah fardhu dalam wudhu dan tidak wajib dalam mandi. Hal ini berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan tentang cara berwudhu yang diperintahkan (hadis riwayat Muslim dan juga lainnya dari Abu Hurairah dalam Kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 152). Dan juga, berdasarkan atas sabda baginda shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menjalankan haji, “Mulakan seperti yang telah dimulakan oleh Allah.” Hadis riwayat An-Nasa’i melewati sanad yang shahih (Muqaranah Al-Madzahib halaman 21-23)
Apa yang dimaksudkan adalah arti yang terkandung dalam keumuman lafal ayat itu. Hal ini karena adanya satu qarinah (tanda) dalam ayat wudhu, yang menunjukkan bahwa tartib adalah perkara yang diinginkan. Allah tidak akan menyebutkan secara terpisah terhadap anggota-anggota yang sama dan tidak akan mendahulukan anggota-anggota yang sama, kecuali karena ada faedah tertentu. Faedah tersebut adalah tartib, karena ayat tersebut bertujuan menjelaskan cara wudhu yang diwajibkan. Sebagai bukti, ia tidak menyebutkan secara langsung terhadap perkara-perkara yang sunnah. Ia juga diqiyaskan kepada tartib yang wajib dalam rukun-rukun shalat.
Jika seandainya ada orang yang berwudhu dengan membalik urutan tartib yang dituntut syara', yaitu memulai dengan membasuh kedua kaki dan mengakhiri dengan membasuh muka, maka amalan wudhunya tidak ada yang sah kecuali membasuh muka saja. Dia hendaklah menyempurnakan rukun yang setelahnya menurut urutan yang diinginkan oleh syara'. Ada kemungkinan wudhu yang tidak mengikuti tartib itu dibetulkan dengan membasuh semua anggota sebanyak empat kali putaran. Karena dengan cara demikian, ia akan berhasil pada setiap membasuh satu anggota yang dihitung satu basuhan. Oleh sebab itu, dalam putaran pertama yang berhasil adalah membasuh muka, putaran kedua adalah (rukun) membasuh kedua tangan, putaran ketiga adalah (rukun) mengusap kepala, dan putaran keempat adalah (rukun) membasuh kedua kaki.
Jika dia membasuh semua anggota sekaligus, maka wudhunya tidak sah. Begitu juga hukumnya jika dia dibantu empat orang yang membasuh secara bersamaan karena tartib adalah wajib, sehingga membaliknya dianggap tidak tartib.
Jika seorang yang sedang berhadats kecil mandi dengan niat menghilangkan hadats atau sejenisnya, maka menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Syaf i (jika memang dapat diandaikan terjadi tartib seperti dengan cara menyelam) adalah sah wudhunya, meskipun dia tidak berendam di air. Hal ini karena tindakan yang demikian dianggap mencukupi untuk menghilangkan hadats yang lebih besar, maka sudah tentu dia mampu menghilangkan hadats yang lebih kecil. Selain itu, tartib juga dapat dilakukan dalam beberapa detik saja.
Menurut pendapat ulama madzhab Hambali, tindakan ini tidak mencukupi, kecuali jika dia berada dalam air dalam masa yang cukup untuk melakukan tartib. Oleh sebab itu, dia hendaklah mengeluarkan mukanya, kemudian kedua tangan, kemudian mengusap kepala, setelah itu keluar dari air. Perbuatan tersebut dapat dilakukan dalam air yang tidak mengalir ataupun yang mengalir.
Tartib termasuk perbuatan fardhu yang diperintahkan syara'. Tartib tidak diwajibkan bagi dua anggota kanan dan kiri, yaitu pada kedua tangan dan kedua kaki, namun perbuatan tersebut disunnahkan. Hal ini disebabkan penyebutan kedua tangan dan kaki dalam Al-Qur'an adalah sama, sehingga para fuqaha menganggap kedua tangan adalah sebagai satu anggota, begitu juga kedua kaki. Tartib juga tidak wajib pada anggota yang tunggal. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat Imam Ahmad, yang menyatakan bahwa Imam Ali dan Ibnu Mas'ud membasuh anggota kiri sebelum anggota kanan, karena kedua anggota tersebut disebutkan satu dalam Al-Qur'an.
Menurut Syeikh Wahbah Zuhaili, pendapat orang yang berpegang dengan tartib adalah pendapat yang lebih utama, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkan secara berurutan baik dalam ucapan ataupun perbuatan. Para sahabat juga meneruskan perbuatan tersebut, hingga mereka tidak mengetahui selain tartib dalam amalan wudhu. Mereka tidak pernah berwudhu melainkan dengan cara yang teratur. Umat Islam juga meneruskan amalan tartib sepanjang masa. Tentang kedudukan huruf wawu, yang dianggap bahwa dia tidak menunjukkan arti tartib, ini merupakan pendapat yang betul dan dapat diterima. Tetapi, pengertian tersebut adalah ketika tidak terdapat qarinah (tanda) yang menunjukkan bahwa tartib itu dikehendaki. Padahal, qarinah yang menunjukkan bahwa tartib itu diinginkan sangatlah banyak. Amalan tersebut adalah amalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya yang dilakukan secara berterusan dari generasi ke generasi (Muqaranah Al-Madzahib halaman 21-23).

c) Berturut-turut (Muwalah)

Maksudnya adalah amalan-amalan wudhu hendaknya dilakukan secara terus-menerus, tidak ada ruang dan masa yang bisa dianggap sebagai pemisah dia antara satu perbuatan dengan perbuatan yang lain menurut 'urf ataupun diartikan sebagai perbuatan membasuh anggota wudhu yang dilakukan secara berturut-turut sebelum basuhan anggota sebelumnya kering. Keadaan ini juga bergantung kepada normalnya suasana, masa, tempat, dan cuaca. Para fuqaha berselisih pendapat tentang hukum wajibnya muwalah ini. (Bidayatul Mujtahid, jilid l halaman 17; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 21; Al-Majmu’, jilid 1 halaman 489-493; Ad-Durrul Mukhtar, jilid l halaman 113; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 111; Asy-Syarhul Kabir, jilid 1 halaman 90; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 61; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 117; Al-Mughni, jilid 1 halaman 138; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 19)
Ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i berpendapat bahwa berturut-turut (muwalah) adalah amalan sunnah, bukan wajib. Oleh sebab itu, jika seseorang menjarakkan masa dalam membasuh anggota-anggota wudhu dengan kadar masa yang tidak lama, maka ia tidaklah memengaruhi apa-apa, karena hal yang demikian itu adalah sulit untuk dielakkan. Jika seseorang menjarakkan dengan kadar masa yang lama hingga air wudhu menjadi kering dalam kondisi yang normal, juga
dianggap mencukupi. Karena, wudhu adalah suatu ibadah yang tidak akan batal dengan jarak waktu, baik jaraknya pendek ataupun lama, kondisinya sama seperti zakat dan haji. Mereka mempertahankan pendapat mereka dengan hujjah-hujjah berikut.
Pertama, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwudhu di dalam sebuah pasar. Beliau membasuh muka dan kedua tangannya, serta mengusap kepala. Setelah itu, beliau diminta untuk melaksanakan shalat jenazah, kemudian beliau datang ke
masjid sambil mengusap dua khufnya dan melaksanakan shalat jenazah tersebut. Imam Syafi'i berkata, "Di antara kedua (tindakan Nabi tersebut) terdapat jarak waktu yang lama." Ini adalah hadis yang shahih dan diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar telah berwudhu di dalam pasar (Al-Majmu’, jilid 1 halaman 493).
Kedua, menurut riwayat yang shahih dari Ibnu Umar, bahwa beliau pernah mengamalkan
pemisahan jarak waktu tertentu tanpa diingkari oleh siapa pun.
Adapun ulama madzhab Maliki dan Hambali, mengatakan bahwa berturut-turut (muwalah) merupakan fardhu (rukun) dalam wudhu, namun ia bukan rukun dalam mandi. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut.
Pertama, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki yang sedang mengerjakan shalat. Di kedua kakinya terdapat satu tempat yang lebarnya satu dirham yang tidak terkena air. Maka, Rasul menyuruh dia untuk mengulangi wudhu
dan shalatnya. Hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baihaqi dari Khalid bin Ma’dan dari sebagian para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi, An-Nawawi mengatakan bahwa sanadnya dhaif. Namun Imam Ahmad mengatakan bahwa sanadnya baik. Jika tindakan berturut-turut (muwalah) tidak wajib, niscaya ia cukup dengan membasuh bagian tersebut
saja.
Kedua, diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang laki-laki telah berwudhu dan dia tidak membasuh kuku kaki. Hal ini terlihat oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berkata, "Kembali dan sempurnakanlah wudhumu!” Kemudian laki-laki itu pun berwudhu lagi dan kemudian melaksanakan shalat. Hadis riwayat Imam Ahmad dan Muslim (lihat kedua riwayat ini dalam Nailul Authar jilid 1 halaman 174 dan selanjutnya), tetapi An-Nawawi berkata, ia tidak menunjukkan kepada muwalah.
Ketiga, baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu memelihara perbuatan berturut-turut (muwalah) dalam semua amalan wudhunya. Beliau tidak pernah berwudhu kecuali dilakukan dengan berturut-turut, dan beliau menyuruh orang yang meninggalkan muwalah agar mengulangi wudhunya.
Keempat, wudhu diqiyaskan kepada shalat, yaitu ibadah yang bisa rusak karena hadats. Oleh sebab itu, tindakan berturut-turut (muwalah) disyaratkan di dalamnya seperti juga dalam shalat.
Menurut penilaian Syeikh Wahbah Zuhaili, pendapat yang mengatakan bahwa berturut-turut (muwalah) harus dilakukan kecuali dalam keadaan udzur merupakan pendapat yang sesuai dengan sikap bersungguh-sungguh yang diperintahkan syara' dalam menunaikan ibadah, tanpa menunjukkan sikap bermain-main. Juga, sesuai dengan prinsip menjaga kesatuan ibadah, juga telah ditunjukkan oleh sunnah fi'liyyah. Dengan cara ini, maka ia akan membantu konsentrasi kepada niat dan konsentrasi dalam melaksanakan perintah syara' yang menghendaki amalan secara berturut-turut, tanpa dipisah dengan perbuatan yang dapat menghilangkan konsentrasi terhadap ibadahnya.

d) Menggosok Secara Perlahan dengan Tangan

Menggosok ialah menggerakkan tangan di atas anggota badan, setelah air dicurahkan di atas anggota tersebut sebelum air itu kering. Yang dimaksud dengan tangan adalah telapak tangan. Oleh sebab itu, tidaklah cukup jika menggosok kaki dengan kaki yang satunya. Para fuqaha berselisih pendapat tentang hukum wajib menggosok ini (Fathul Qadir jilid 1 halaman 9; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 114; Muraqil Falah halaman 12; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 110 dan seterusnya; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 90; Nailul Authar jilid 1 halaman 220-245).       
Jumhur ulama selain ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa perbuatan menggosok adalah sunnah. Ia tidaklah wajib, karena ayat AI-Qur'an yang berkaitan dengan wudhu tidak menyuruh melakukannya. Hadits juga tidak menetapkan hal itu. Ia iuga tidak disebut dalam sifat wudhu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Apa yang ditetapkan mengenai cara mandi Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam adalah semata-mata mengucurkan air bersama-sama dengan mengurai pangkal rambut. Maimunah menyebut cara mandi dengan menggunakan kata al-ghuslu, sementara itu Aisyah menggunakan perkataan ifadhah. Namun, kedua kata ini mempunyai arti yang sama. Oleh sebab itu, al-ghuslu (membasuh) tidak memasukkan kegiatan menggosok (Nailul Authar jilid 1 halaman 244 dan seterusnya)
Ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa perbuatan menggosok anggota pada waktu berwudhu adalah dilakukan dengan menggunakan telapak tangan, tidak dengan menggunakan bagian belakang tangan. Adapun perbuatan menggosok anggota ketika mandi, apabila dilakukan dengan kaki, maka ia sudah mencukupi. Menggosok anggota ketika wudhu adalah dengan cara mengusapkan satu anggota kepada anggota yang lain dengan cara yang sederhana. Hal ini sunnah dilakukan dengan cara perlahan-lahan dengan sekali gosokan saja. Makruh melakukan dengan kuat dan berulang-ulang, karena sikap demikian mengandung unsur berlebihan dalam agama yang dapat membawa timbulnya rasa waswas. Namun menurut pendapat yang masyhur, menggosok adalah wajib meskipun air telah sampai ke kulit. Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut.
Pertama, membasuh yang diperintahkan dalam ayat wudhu tidak akan terlaksana maksudnya kecuali dengan menggosok. Oleh sebab itu, sekadar sentuhan air ke anggota badan tidak dapat dianggap sebagai perbuatan membasuh, kecuali jika disertakan dengan mengusap sesuatu ke atas anggota. Maksudnya adalah menggosok.
Kedua, hadits yang bermaksud, "Basahkanlah rambut dan bersihkan kulit." (Nailul Authar jilid 1 halaman 220). Hadits ini dianggap sebagai sebuah hadits yang shahih yang menunjukkan wajibnya melakukan perbuatan menggosok, karena membersihkan sesuatu tidak akan berhasil dengan hanya sekadar mengucurkan air ke atasnya.
Ketiga, qiyas, mereka mengqiyaskan perbuatan bersuci dari hadats kecil dengan perbuatan
membersihkan najis yang tidak mungkin berlaku, kecuali dengan menggosok dan mengoreknya. Begitu juga mereka mengqiyaskan dengan mandi junub yang disebut dalam firman Allah dalam Surah Al-Ma’idaah ayat 6 yang artinya, "...jika kamu junub maka mandilah...."
Kata faththahharuu merupakan ungkapan yang mengandung arti mubalaghah, yang menunjukkan arti lebih dalam bersuci dan ia akan terlaksana dengan cara menggosok. Sifat lebih tersebut akan terjadi dengan perbuatan menggosok.
Menurut pendapat Syeikh Wahbah Zuhaili, perbuatan menggosok merupakan suatu cara untuk membersihkan dan menyempurnakan kebersihan anggota luar. Oleh sebab itu, untuk melaksanakan tujuan ini cukuplah dengan mengatakan bahwa melakukan perbuatan menggosok adalah sunnah. Ia tidak wajib karena hadits yang menceritakan basuhan yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menunjukkan bahwa Rasul melakukan gosokan ini. Begitu juga tidak terdapat dalam buku-buku bahasa yang menunjukkan bahwa perbuatan menggosok merupakan dalam pengertian membasuh. Oleh sebab itu, apa yang wajib adalah apa saja perbuatan yang sesuai dengan maksud membasuh menurut bahasa, sebagaimana yang diperintahkan.

Hukum Orang yang Lupa Salah Satu Rukun Wudhu

Ibnu Juzi Al-Maliki (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 23) mengatakan bahwa barangsiapa lupa terhadap satu rukun wudhu, maka jika dia teringat sesudah kering air wudhunya, hendaklah dia melakukan rukun yang terlupa secara khusus. Jika dia teringat sebelum kering air wudhunya, maka hendaklah dia memulai wudhunya lagi dari awal. Ath-Thulaithali mengatakan bahwa hendaklah ia mengulangi apa yang ia lupa dan amalan yang setelahnya, dia tidak diharuskan memulai wudhu'nya dari awal. Ini adalah pendapat yang ashah.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)