Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
3. RUKUN-RUKUN TAYAMUM
Tayamum mempunyai beberapa rukun atau disebut
juga fardhu. Maksud rukun di sini adalah sesuatu yang menjadi asas bagi kewujudan
suatu perkara, atau dia merupakan bagian terpenting dari perkara tersebut. Ini
adalah istilah jumhur selain ulama Hanafi.
Adapun ulama Hanafi, mereka membatasi arti rukun
sebagai sesuatu yang keberadaannya bergantung kepada kewujudannya sendiri dan ia menjadi
bagian darinya (hakikatnya).
Berdasarkan hal ini, maka mereka mengatakan bahwa
tayamum mempunyai dua rukun saja, yaitu dua tepukan (pukulan), satu tepukan untuk
mengusap muka dan satu tepukan lagi untuk mengusap dua tangan hingga ke siku.
Sedangkan Jumhur ulama mengatakan, bahwa tayamum mempunyai empat atau lima
rukun menurut perbedaan pendapat berikut ini (Al-Bada'i jilid 1 halaman 45,
52; Fathul Qadir jilid 1 halaman 86 ,89; Ad-Durrul Mukhtar jilid
1 halaman 212; Al-Lubab jilid 1 halaman 37; Tabyinul Haqa'iq jilid
1 halaman 38 dan seterusnya; Muraqil Falah, halaman 19-20; Asy-Syarhul
Kabir jilid 1 halaman 154 dan seterusnya; Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 192-198; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 37 dan seterusnya; Bidayatul
Mujtahid jilid 1 halaman 64-66 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj jilid 1
halaman 97-99; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 32 dan seterusnya; Al-Mughni
jilid l halaman 251-254; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 199-202).
A. Niat Ketika Mengusap Muka
Niat adalah fardhu menurut kesepakatan seluruh
madzhab fiqih yang empat, termasuk Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah
pengikut madzhab Hanafi. Sebagian ulama madzhab Hanafi dan Hambali
menjadikannya sebagai syarat. Pendapat ini juga merupakan pendapat utama dalam
madzhab Hambali dan Hanafi.
Menurut ulama madzhab Maliki, maksud niat di
sini adalah dengan cara berniat supaya boleh melakukan shalat atau boleh
melakukan hal-hal yang dilarang karena ada hadats, atau dengan cara (niat)
fardhu tayamum, ketika mengusap muka. Jika seseorang berniat mengangkat hadats
saja, maka tayamumnya batal. Hal ini disebabkan tayamum tidak dapat mengangkat
hadats menurut pendapat yang masyhur dari kalangan madzhab Malik.
Jika dia niat fardhu tayamum, maka niatnya itu
sah. Dia juga tidak perlu menentukan hadats besar (jika ada) ataupun kecil. Jika
seseorang berniat supaya boleh melakukan shalat atau supaya boleh melakukan hal-hal
yang dilarang karena ada hadats, maka dia harus menentukan hadats besar jika
dia memang berhadats besar. Dia juga disunnahkan untuk menyebutkan hadats kecil
seperti yang telah disebutkan di atas.
Menentukan shalat fardhu atau sunnah atau
kedua-duanya adalah sunnah dilakukan oleh orang yang bertayamum. Jika dalam tayamumnya
tidak ditentukan jenis shalat, maka dia tidak boleh melakukan shalat fardhu dengan
niat tayamum untuk sunnah. Jika dalam tayamumnya dia berniat untuk shalat saja
(mutlak), maka dia tidak boleh menggunakannya untuk shalat fardhu, karena
shalat fardhu memerlukan niat yang khusus.
Menurut ulama Syafi'i, orang yang bertayamum harus
berniat supaya boleh melakukan shalat atau seumpamanya. Menurut pendapat yang
ashah, tidaklah cukup niat fardhu tayamum, fardhu thaharah, suci dari hadats, suci
dari junub, atau niat mengangkat hadats. Sebab, tayamum tidak dapat
menghilangkan hadats, menurut pendapat ulama Syafi'i. Lagipula, tayamum dapat
dilakukan ketika dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, ia tidak boleh
dijadikan tujuan utama.
Menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama
Syafi'i, membuat ketentuan (ta'yin) ketika niat tayamum tidak diperlukan.
Jika niat itu berbentuk mutlak, maka dia boleh menggunakan tayamum itu untuk
melakukan shalat fardhu apa pun yang dia kehendaki. Jika dia menentukan fardhu,
maka dia boleh melakukan shalat baik shalat fardhu ataupun sunnah, baik masih
dalam waktunya atau tidak. Tetapi jika dia berniat tayamum untuk shalat sunnah saja,
maka dia tidak boleh menggunakannya untuk mengerjakan shalat fardhu. Sama seperti
jika dia berniat supaya boleh melakukan shalat saja, maka dia tidak boleh
menggunakannya untuk shalat fardhu. Artinya, sama seperti pendapat ulama
madzhab Maliki.
Menurut madzhab Syafi'i, niat wajib dibarengi dengan
memindahkan debu ke muka. Sebab, hal itu adalah rukun yang pertama. Menurut
pendapat yang shahih, niat haruslah berterusan hingga mengusap sebagian muka.
Menurut ulama madzhab Hambali, orang yang
bertayamum hendaklah berniat supaya boleh melakukan hal-hal yang tidak boleh
dilakukan kecuali dengan tayamum seperti shalat, thawaf, dan menyentuh
Al-Qur'an. Sehingga, pendapat madzhab ini sama seperti pendapat ulama madzhab
Syafi'i. Mereka mengatakan tayamum tidak sah apabila dengan niat mengangkat
hadats. Sebab, tayamum tidak dapat menghilangkan hadats menurut pendapat
mereka, sama seperti pendapat ulama Maliki dan Syafi'i. Hal ini berdasarkan
hadits riwayat Abu Dzar yaitu, "Jika kamu dapati air, maka basahilah
kulitmu (dengan air tersebut), karena itu adalah lebih baik bagimu.”
Mereka berpendapat bahwa dalam niat tayamum
untuk mengerjakan shalat, thawaf dan menyentuh Al-Qur'an, seseorang wajib menentukan
hal-hal tersebut sebagai hal yang tidak boleh dikerjakan apabila ada hadats
kecil, hadats besar, atau najis di badan. Karena sebenarnya tayamum tidak dapat
mengangkat hadats. Tayamum hanya dapat membolehkan shalat. Oleh karena itu,
ta'yin niat harus dilakukan untuk menguatkan sisi kekurangan yang ada dalam
tayamum.
Cara Menentukan (Ta'yin) Niat
Cara menentukan (ta'yin) niat adalah dengan
berniat supaya boleh melaksanakan shalat Zhuhur -umpamanya- dengan adanya halangan
junub jika dia memang berjunub, dengan adanya hadats jika dia memang berhadats,
dengan adanya junub dan hadats jika dia memang berjunub dan berhadats, atau lain-lain
yang seumpamanya.
Jika seseorang berniat tayamum karena junub, maka
niatnya tidak mencakup hadats kecil. Karena, keduanya merupakan dua jenis thaharah
yang berlainan. Oleh karena itu, niat untuk salah satunya tidak bisa dianggap
niat untuk thaharah yang satunya lagi. Menurut ulama Hanafi, supaya niat
tayamum sah sehingga shalat yang dilakukan juga sah, maka orang yang bertayamum
disyaratkan berniat dengan salah satu dari tiga perkara yaitu niat menyucikan
diri dari hadats, niat supaya boleh melakukan shalat, atau niat melakukan suatu
ibadah yang tidak sah jika tanpa thaharah seperti shalat, sujud tilawah, atau
shalat jenazah.
Jika seseorang berniat tayamum saja tanpa menyebut
niat supaya boleh melakukan shalat atau mengangkat hadats yang ada pada
dirinya, maka tayamumnya tersebut tidak boleh digunakan untuk shalat. Demikian juga
jika niat tayamumnya adalah untuk selain ibadah yang pokok seperti niat untuk
masuk masjid dan memegang mushaf, maka tayamumnya juga tidak boleh digunakan
untuk shalat (sebab ibadah ialah dengan beri’tikaf dan tilawah di dalam masjid),
atau niatnya adalah untuk melakukan ibadah seperti adzan atau iqamah, maka
tayamumnya juga tidak dapat digunakan untuk shalat (karena, maksud kedua-duanya
ialah untuk mengumumkan masuknya waktu). Ataupun niatnya adalah untuk melakukan
ibadah, tetapi ibadah tersebut sudah sah meskipun tanpa bersuci (thaharah), seperti
tayamum dari hadats kecil untuk tujuan membaca Al-Qur'an atau untuk memberi
salam atau menjawabnya.
Namun jika orang itu junub kemudian bertayamum
untuk membaca Al-Qur'an, maka tayamumnya itu sah digunakan untuk mengerjakan
semua jenis shalat.
Mereka juga tidak mensyaratkan kewajiban
menentukan hadats atau junub. Oleh sebab itu tayamum dengan niat yang mutlak adalah
sah. Juga, tayamum dianggap sah jika niatnya adalah untuk mengangkat hadats. Sebab,
tayamum berfungsi untuk mengangkat hadats sama seperti wudhu (ini adalah
menurut madzhab Hanafi).
Menurut mereka, syarat sah niat adalah Islam, mumayyiz,
dan mengetahui apa yang diniatkan. Tujuannya adalah supaya orang yang niat
mengetahui apa yang diniatkan. Madzhab Hanafi tampaknya lebih utama sebab ia
lebih mudah dan lebih leluasa.
Syarat niat adalah berdasarkan hadits yang
telah lalu, yaitu hadits, "Sesungguhnya sahnya amalan-amalan adalah
dengan niat dan sesungguhnya amalan setiap orang adalah mengikut apa yang diniatkan."
Para ulama madzhab Hanafi berargumen bahwa
debu sebenarnya mengotori (badan). Oleh karena itu, ia tidak dapat menyucikan kecuali
dengan adanya niat. Artinya debu sebenarnya bukanlah suci, tetapi ia dijadikan alat
penyuci ketika ada keperluan (hajat) dan keperluan tersebut hanya dapat
diketahui dengan niat. Hal ini berbeda dengan wudhu, karena ia adalah cara
bersuci yang pokok. Oleh sebab itu, (dalam wudhu) tidak perlu ditetapkan syarat
untuk bersuci. Artinya, tidak perlu disyaratkan niat.
B. Mengusap Muka dan Kedua Tangan serta Meratakannya
Golongan ulama Maliki menjadikan hal ini
sebagai dua fardhu. Pertama, tepukan pertama, artinya meletakkan dua telapak
tangan ke atas tanah (debu) dan kedua, menyapu muka dan dua tangan hingga ke
siku. Menurut ulama Syafi'i dan Hambali, menyapu seluruh muka adalah fardhu dan
menyapu dua tangan adalah satu fardhu yang lain.
Masalah ini adalah berdasarkan firman Allah
Ta’ala, "...usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu...."
(Al-Maa'idah: 6)
Yang perlu dilakukan ketika mengusap dua
tangan -menurut pendapat Hanafi dan Syafi'i- adalah mengusap secara menyeluruh kedua
tangan hingga ke siku sama seperti dalam wudhu. Dalilnya adalah berdasarkan ayat
di atas. Hal ini karena tayamum adalah sebagai ganti wudhu. Dan perlu
diperhatikan kata tangan disebut secara mutlak di dalam ayat tayamum, sedang
dalam wudhu dibatasi (muqayyad) dengan firman Allah Ta’ala, "...hingga
ke siku..." (Al-Maa'idah: 6)
Oleh karena itu, hukum tayamum disamakan dengan
hukum wudhu dan diqiyaskan dengannya. Hal ini juga berdasarkan hadits riwayat
Ammar, di mana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
tentang tayamum, "Satu tepukan untuk muka dan kedua tangan.” Riwayat
Imam Ahmad dan Abu Dawud. Adapun hadits lbnu Umar tentang yang aslinya, "Tayammum
itu ada dua pukulan... satu pukulan untuk muka dan satu pukulan untuk dua
tangan hingga ke siku," merupakan hadits yang lemah.
Ulama madzhab Maliki dan Hambali mengatakan, mengusap
kedua tangan cukup hingga ke pergelangan tangan saja. Adapun mengusap dari dua
pergelangan tangan hingga ke siku, hukumnya adalah sunnah. Mereka berdalil
kepada firman Allah Ta’ala, "Dan kedua-dua tangan mereka." (Al-Maa'idah:6)
Menurut mereka, apabila sesuatu hukum disebutkan
secara mutlak -pada ayat ini dua tangan disebut secara mutlak- maka ia tidak termasuk
hasta, sama seperti hukuman potong tangan pencuri (yaitu dipotong sebatas pergelangan
tangan saja). Juga, karena terdapat hadits riwayat Ammar bin Yasir bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya bertayamum dengan
mengusap muka dan kedua telapak tangan, "Aku berjunub, tetapi aku tidak
mencurahkan air (mandi), melainkan aku berguling-guling di atas tanah dan
(kemudian) aku shalat. Perbuatanku itu kemudian aku ceritakan kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lalu beliau berkata, “Sebenarnya
kau cukup melakukan yang berikut ini.' Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menepukkan
kedua tangannya ke atas tanah kemudian mengembusnya. Sesudah itu, beliau
mengusap muka dan kedua telapak tangannya." Riwayat At-Tirmizi dan dia
menghukuminya sebagai sahih (Nailul Authar jilid 1 halaman 263). Muttafaq
'alaih dan dalam satu lafal lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, "Sesungguhnya cukup bagi kamu menepuk dua telapak tangan kamu
ke atas tanah kemudian meniup keduanya dan mengusapkan keduanya ke muka kamu
dan tangan hingga ke pergelangan tangan." Diriwayatkan oleh
Ad-Daruquthni (Nailul Authar jilid 1 halaman 264).
Perkara yang difardhukan dalam tayamum menurut
ulama Hanafi dan Syafi'i adalah dua tepukan, yaitu satu tepukan untuk muka dan
satu tepukan untuk kedua tangan. Menurut ulama Maliki dan Hambali, yang
difardhukan sewaktu tayamum adalah tepukan yang pertama. Artinya, ketika
meletakkan kedua telapak tangan ke atas tanah. Tepukan yang kedua hanya sunnah,
seperti yang akan diterangkan nanti.
Sebab terjadinya perbedaan pendapat ini adalah
karena ayat mengenai tayamum ini adalah bersifat mujmal. Hadits-hadits
yang menerangkan tayamum juga saling bertentangan antara satu dengan yang lain,
dan pengqiyasan tayamum kepada wudhu tidak disepakati oleh ulama. Dalam hadits
riwayat Ammar disebutkan bahwa satu tepukan sekaligus adalah untuk muka dan
kedua telapak tangan. Sedangkan ada juga hadits-hadits lain yang mengatakan dua
pukulan. Lalu, jumhur ulama mencoba mentarjih hadits-hadits ini dengan cara
mengqiyaskan tayamum kepada wudhu. Salah satu dari hadits-hadits itu adalah
hadits lbnu Umar, "Tayamum itu ada dua tepukan, satu tepukan untuk muka
dan satu tepukan untuk kedua tangan.” Diriwayatkan oleh Al-Hakim,
Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Tetapi sanadnya dhaif dan ia mauquf kepada
Ibnu Umar.
Abu Dawud meriwayatkan bahwa, "Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bertayamum dengan dua kali menepuk
tanah, satunya diusapkan ke muka dan satu lagi diusapkan ke kedua tangannya.”
Dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang menurut ahli hadis tidak kuat. Oleh
sebab itu, sanadnya lemah (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 150-154).
Para ahli fiqih sepakat bahwa cincin di jari
wajib dicabut ketika bertayamum. Hal ini berbeda dengan wudhu, sebab debu
bersifat melekat dan tidak dapat menyerap ke bawah cincin seperti air.
Perkara yang diwajibkan dalam tayamum menurut
ulama Syafi'i adalah tepukan tanah yang kedua. Adapun tepukan yang pertama hanyalah
sunnah. Hukum wajib mencabut cincin adalah ketika mengusap (tangan) bukan ketika
mengambil debu tersebut.
Ulama madzhab Maliki dan Hanafi juga mewajibkan
menepuk jari dengan telapak tangan atau dengan anak jari, supaya usapan itu menjadi
lebih sempurna.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali mengatakan, menepuk
anak jari sesudah mengusap tangan adalah sunnah, sebagai sikap berhati-hati
saja.
Tidak wajib mengusapkan debu ke tempat tumbuhnya
rambut yang tipis. Oleh karena itu, tidak perlu mengusapkan debu ke bawah jenggot
meskipun jenggot itu tipis, karena perbuatan seperti ini menyusahkan. Hal ini berbeda
dengan wudhu. Dalam tayamum juga tidak ada madhmadhah atau istinsyaq,
supaya debu tidak masuk ke dalam mulut dan hidung. Malah perbuatan seperti itu
adalah makruh, sebab akan mengotori.
C. Tertib adalah Fardhu Menurut Ulama Syafi'i dan Hambali
Selain dalam Hadats Besar
Artinya, tertib dalam mengusap dua anggota tayamum,
sebab ide dasar tayamum adalah pengganti bersuci (thaharah) dengan air. Dalam
wudhu, tertib adalah kefardhuan. Oleh sebab itu, tertib juga menjadi fardhu dalam
tayamum sebab ia menggantikan fungsi wudhu. Namun, tayamum untuk hadats besar atau
najis di badan, tidak diharuskan tertib.
Menurut ulama Hanafi dan Maliki, yang dianjurkan
untuk tertib dalam bertayamum adalah ketika mengusap kedua anggota tayamum (yaitu
muka dan kedua belah tangan). Namun hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena,
fardhu yang utama adalah mengusap. Adapun menyampaikan debu hanyalah merupakan wasilah
untuk mengusap saja.
D. Al-Muwaalaaf (Kontinu/Tidak Terputus)
Menurut ulama Hambali dan Maliki, muwaalaat
merupakan fardhu dalam tayamum. Adapun ulama Hambali mengharuskan muwaalaat hanya
kepada tayamum selain untuk hadats besar sama seperti tertib.
Muwaalaat adalah berturut-turut ketika mengusap
bagian-bagian tayamum, yaitu dengan cara tidak memberi sela jarak waktu tertentu
ketika mengusap di antara anggota tayamum tersebut. Aturan ini sama dengan
wudhu. Jarak waktu itu adalah sekiranya anggota itu dibasuh dengan air, maka ia
menjadi kering dalam masa tersebut.
Ulama Maliki mengharuskan ada kesinambungan (kontinuitas)
antara tayamum dengan shalat (atau lainnya) yang dikerjakan dengan tayamum
tersebut.
Menurut ulama Syafi'i dan Hanafi, muwaalaat
dalam tayamum adalah sama seperti dalam wudhu, yaitu sunnah. Mereka juga
mengatakan bahwa muwaalaat antara tayamum dengan shalat disunnahkan. Ini adalah sebagai langkah untuk mengelak dari
perbedaan pendapat dengan orang yang mewajibkannya, yaitu ulama Maliki, seperti
yang telah disebutkan di atas
E. Debu yang Suci
Debu yang suci merupakan salah satu kefardhuan
dalam tayamum. Hal ini menurut pendapat ulama Maliki. Adapun menurut pendapat
ulama yang lain, ia adalah syarat tayamum.
Tanah yang suci menurut ulama Maliki (Asy-Syarhush
Shaghir jilid 1 halaman 195 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman
38; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 55 dan seterusnya) adalah tanah
yang tampak (zahir) di atas muka bumi dari bagian bumi mana pun, seperti debu
yang merupakan bahan yang paling baik daripada bahan yang lain jika memang ada,
seperti pasir, batu, kerikil, dan batu kapur (batu bata atau sejenis tanah yang
dibakar dengan api dan dapat digunakan untuk pembangunan jembatan, masjid dan
rumah yang besar) yang belum dibakar. Namun apabila batu kapur itu sudah
terbakar atau dimasak, maka ia tidak boleh digunakan untuk tayamum, walaupun
dia dipindahkan dari tempatnya. Umpamanya antara batu kapur dengan tanah diberi
penghalang.
Tayamum juga boleh dengan menggunakan bahan
(tanah) galian selagi ia masih berada di tempatnya dan tidak dipindah dari tempatnya,
dengan syarat ia bukanlah emas, perak, atau mutiara. Adapun bertayamum dengan
bahan galian yang terdiri atas shubb, garam, besi, timah, tembaga, dan
celak, jika sudah berpindah dari tempatnya dan sudah menjadi harta yang
dimiliki oleh manusia adalah tidak boleh.
Emas dan perak juga tidak boleh digunakan
untuk tayamum, walaupun ia berada di tempat asalnya. Juga, tidak boleh bertayamum
dengan menggunakan batu-batu permata seperti yaqut, zabarjad, dan mutiara, walaupun
masih berada di tempat asalnya.
Menurut satu pendapat, tidak boleh bertayamum dengan
kayu atau rumput, walaupun tidak ada bahan selain keduanya. Sebab, keduanya bukanlah
benda-benda yang ada di permukaan bumi (sha'id) atau benda yang menyerupainya.
Tetapi menurut pendapat yang mu'tamad, bertayamum dengan menggunakan kedua
benda tersebut boleh apabila memang bahan-bahan lain selain keduanya tidak ada.
Bertayamum dengan salju beku yang terdapat di
atas bumi ataupun di laut (jalid) adalah boleh, sebab ia menyerupai
batu. Oleh karena itu, ia disamakan dengan bagian bumi.
Pendapat ulama madzhab Hanafi adalah seperti
pendapat ulama Maliki. Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, dibolehkan bertayamum dengan
menggunakan benda apa pun asal masih termasuk bagian dari bumi, termasuk tanah (disetujui
oleh semua ulama), debu, pasir, batu, kapur, batu kapur, celak, dan zariiikh
meskipun tidak ada debunya. Hal ini disebabkan sha'id adalah salah satu
nama bagi muka bumi. Oleh sebab itu, artinya tidak boleh dibatasi hanya kepada
tanah saja. Ia sebenarnya mencakup seluruh bagian bumi. (Fathul Qadir jilid
1 halaman 88; Al-Bada'i jilid 1 halaman 53 dan seterusnya; Al-Lubab
jilid 1 halaman 37). Abu Yusuf berkata, tidak boleh bertayamum kecuali dengan
tanah dan pasir yang khusus; sebab Ibnu Abbas menafsirkan Ash-Sha’id
Ath-Thayyib dengan tanah yang dapat ditanami. Abu Yusuf menambahkan dengan pasir,
dengan dalil hadits yang telah kami sebutkan bagi kedua pihak.
Juga, karena terdapat hadits riwayat Abu
Hurairah bahwa ada beberapa orang dari suku Badui yang datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, "Kami tinggal di
tempat padang pasir selama tiga atau empat bulan. Ada di antara kami yang
berjunub, kedatangan nifas dan haid, sedangkan kami tidak mempunyai air."
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Kalian
semua hendaklah menggunakan tanah.” Kemudian beliau menepuk bumi, satu
tepukan diusapkan ke muka dan satu tepukan lagi diusapkan ke kedua tangannya
hingga ke siku. Riwayat Ahmad, Al-Baihaqi, Ishaq bin Rahawaih, Abu Ya’la
Al-Mushili dan Ath-Thabrani. Tetapi hadis ini adalah hadis dhaif (Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 156).
Imam Al-Bukhari berkata, "Shalat atas
sabkhah dan tayamum dengannya adalah dibolehkan. Sabkhah adalah tanah yang
bergaram dan nazaz (tanah yang masam)."
Menurut ulama Maliki dan Hanafi, tayamum dengan
menggunakan batu atau batu besar yang tidak berdebu adalah boleh. Demikian
juga, bertayamum dengan tanah basah yang debunya tidak melekat di tangan juga
boleh. Boleh juga tayamum dengan menggunakan debu, seperti dengan cara
menepukkan tangan ke atas kain atau suatu hamparan, kemudian terangkatlah debu
yang ada di atasnya.
Menurut ulama Syafi'i dan Hambali (Al-Muhadzdzab
jilid 1 halaman 32; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 96 dan
seterusnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 247-249; Kasysyaful Qina’ jilid
1 halaman 197 dan seterusnya; Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 252; Ghayatul
Muntaha jilid 1 halaman 61), tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah suci
yang mempunyai debu yang dapat
melekat di tangan. Adapun debu yang terbakar tidak
dibolehkan. Seandainya tanah tersebut licin atau basah dan tidak berdebu, maka
tanah jenis itu tidak mencukupi untuk bertayamum.
Ulama Syafi'i menambahkan, bertayamum dengan
pasir yang berdebu juga dibolehkan. Tetapi, ulama Hambali tidak membolehkannya.
Mereka juga tidak membolehkan tayamum dengan batu yang dihancurkan dan yang
semacamnya. Namun, satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa bertayamum
dengan pasir adalah sah.
Kedua madzhab Syafi'i dan Hambali tidak membolehkan
bertayamum dengan bahan petroleum, sulfur, bahan bakar, kapur dan yang
semacamnya. Karena, semuanya itu tidak dinamakan debu. Juga, tidak boleh
bertayamum dengan debu yang bercampur dengan tepung dan semacamnya seperti za'faran
dan kapur, sebab ia menghalangi sampainya debu ke anggota badan. Demikian juga
tidak boleh bertayamum dengan menggunakan kapur yang dimasak, karena ia
bukanlah debu. Juga tidak boleh menggunakan sabkhah (tanah masam atau
bergaram) dan bahan-bahan semacamnya yang tidak berdebu. Tayamum juga tidak
boleh dengan tanah liat, sebab ia tidak berdebu. Demikian juga tidak boleh
dengan tanah yang najis, sama seperti wudhu. Hukum ini telah disepakati oleh
seluruh ulama karena berdasarkan firman Allah Ta’ala, "...maka
bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)...." (Al-Maa'idah: 6)
Menurut ulama Syafi'i, tayamum juga tidak boleh
dengan menggunakan debu yang telah digunakan untuk mengusap anggota tubuh atau
menggunakan debu hasil rampasan (ghasab) dan yang semacamnya, seperti menggunakan
tanah masjid (menurut ulama Hambali).
Jika telapak tangan seseorang menepuk pakaian,
hamparan, hamparan bulu lalu debu melekat pada tangannya, kemudian dia bertayamum
dengannya, maka sah tayamum yang dilakukan tersebut. Imam Ahmad cenderung kepada
pendapat yang membolehkan membawa debu untuk tayamum sebagai langkah berhati-hati
untuk melakukan ibadah. Dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala, "...usaplah
wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu...." (Al-Maa'idah: 6)
Ayat ini menyatakan bahwa anggota-anggota itu
hendaklah diusap dengan debu. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak mempunyai debu
seperti batu, maka tidak boleh digunakan untuk bertayamum. Dan lagi, tayamum adalah
suatu bentuk cara bersuci (thaharah). Oleh karena itu, yang dipakai untuk bersuci
harusnya adalah alat yang suci. Juga, karena terdapat hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Tanah dijadikan bagiku sebagai alat penyuci.” Diriwayatkan
oleh Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad dari Ali radhiyallahu ‘anhu. Ini
adalah hadis hasan. Ibnu Abbas berkata, ash-sha’id adalah tanah yang
bersih lagi suci.
Ulama Hambali mengatakan bahwa jika ada salju
yang tidak dapat dicairkan, hendaklah orang yang bertayamum menggunakannya untuk
mengusap anggota yang wajib dibasuhnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhamad shallallahu
‘alaihi wasallam, "Jika aku menyuruh kamu melakukan sesuatu hendaklah
kamu lakukan sesuai dengan kemampuanmu." Kemudian hendaklah dia
mengulangi shalat yang telah dilakukannya, sekiranya memang salju itu tidak
mencair membasahi anggota badan. Sebab, shalat yang dilakukan adalah dalam
keadaan ada air dan dia tidak berada dalam kondisi suci (thaharah) yang sempurna.
Kasus ini sama seperti shalat orang yang tidak bertayamum, sedangkan di sisinya
ada tanah kering yang dia tidak dapat mengubahnya menjadi debu, karena tidak ada
alat untuk menghancurkannya.
Jika salju itu meleleh dan membasahi anggota badan,
maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya, karena "basuhan" yang
diperintahkan sudah ada meskipun tidak mencukupi.
Di samping itu, ulama Syafi'i berpendapat bahwa
memindahkan debu ke anggota yang harus diusap ketika bertayamum adalah rukun pertama
dari lima rukun tayamum (rukun-rukun lain ialah niat supaya boleh melakukan
shalat, mengusap dua tangan hingga ke siku dan tertib antara muka dan dua
tangan).
Jika debu yang dipindahkan itu asalnya berada
pada satu anggota badan, lalu debu itu dipindahkan ke anggota tayamum, maka
menurut pendapat yang ashah adalah mencukupi. Sebab, maksud dari "pemindahan”
telah wujud pada proses tersebut. Jika debu tersebut awalnya berada di atas
anggota tayamum, lalu ia menggerakkannya dari satu sisi ke sisi lain, maka yang
demikian itu tidak mencukupi dan tidak sah.
Saya
berpendapat bahwa pendapat ulama Syafi'i dan Hambali ini adalah pendapat yang
lebih kuat, karena Allah Ta’ala berfirman, "...maka bertayamumlah
dengan debu yang baik (suci)...." (Al-Maa'idah: 6)
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments