BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

7. PERKARA YANG MEMBATALKAN WUDHU

Mayoritas perkara yang membatalkan wudhu disepakati oleh banyak ulama. Hanya sebagian kecil saja yang diperselisihkan oleh mereka. Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, jumlah perkara yang membatalkan wudhu ada dua belas. Ulama madzhab Maliki juga membaginya menjadi tiga jenis. Sementara, ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa terdapat lima perkara dalam masalah ini. Adapun ulama madzhab Hambali membaginya menjadi delapan jenis. Perkara tersebut adalah seperti berikut (Fathul Qadir, jilid l halaman 24-37: Tabyinul Haqa'iq, jilid 1 halaman 7-12; Al-Bada'i, jilid 1 halaman 24-33; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 124-138; Al-Lubab, jilid 1 halaman 17-20; Muraqil Falah, halaman14 dan seterusnya; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 135-148; Asy-Syarhul Kabir, jilid 1 halaman 111-116; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 24 dan seterusnya; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 22-25; Hasyiah Al-Bajuri jilid l halaman 69-74; Al-Majmu', jilid 1 halaman 3-64; Kasysyaful Qina' jilid 1 halaman 138-148; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 33-39; Al-Mughni, jilid 1 halaman 168-196).

A. Segala sesuatu yang keluar dari salah satu kemaluan

Baik berupa perkara biasa seperti air kencing, tinja, angin, air madzi dan air wadi, serta air mani. Atau, perkara yang keluar itu merupakan perkara yang tidak biasa seperti ulat, batu kerikil, darah, baik yang keluar itu banyak ataupun sedikit. Hal ini karena terdapat firman Allah dalam Surah An-Nisaa’ ayat 43 yang artinya, "...atau sehabis buang air...." Wadi adalah air berwarna putih dan keruh, yang keluar mengiringi kencing. Adapun madzi adalah air yang putih jernih, keluar ketika ada hawa nafsu.
Kata ghaa-ith adalah kinayah kepada terjadinya hadats, baik yang keluar itu berupa air kencing atau tahi. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda, "Allah tidak akan menerima shalat salah soorang dari kamu jika dia berhadats sehingga dia berwudhu." Lalu Abu Hurairah ditanya oleh seorang laki-laki dari Hadhramaut, “Apakah hadats itu, wahai Abu Hurairah?" Dia menjawab, "Keluarnya angin ataupun tahi.” Muttafaq ‘alaih dari hadis Abu Hurairah (Nailul Authar jilid 1 halaman 185)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda juga, "Tidak akan diwajibkan berwudhu
kecuali karena keluar bunyi ataupun bau.” Riwayat At-Tirmidzi dan lbnu Malah dari Abu Hurairah. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Tetapi, Imam As-Suyuthi memberikan tanda dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh lmam Muslim dengan lafal lain, "Apabila seorang kamu merasa ada sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, apakah ada sesuatu yang keluar darinya (atau tidak), maka janganlah ia keluar dari masjid hingga ia mendengar bunyi atau ada baunya.” (Nailul Authar, jilid 1 halaman 188).
Selain itu, perkara luar biasa yang keluar itu juga keluar dari kemaluan sehingga kedudukannya sama seperti air madzi. Apalagi, ia sering keluar bersama sesuatu yang basah yang melekat padanya, maka dengan itu wudhu akan batal. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh perempuan yang sedang mengalami istihadhah untuk berwudhu setiap kali hendak melakukan shalat. Hal ini karena darahnya selalu keluar. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ad-Daruquthni dengan sanad yang tsiqah, dari Urwah, dari Fathimah binti Abi Hubaisy, dia berkata bahwa ia sedang mengalami istihadhah kemudian dia menanyakan hukummya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  "Darah haid berwarna hitam. Jika ia keluar hendaklah kamu jangan shalat. Tetapi kalau darah yang keluar lain, maka hendaklah kamu berwudhu dan shalat, karena ia adalah darah penyakit.” Kemudian Rasul menyuruhnya berwudhu. Darahnya itu keluar secara tidak menentu. Oleh sebab itu, semua yang sama dengannya diqiyaskan dengan darah itu, baik yang keluar itu bersih tanpa dibarengi dengan darah, ataupun najis seperti air kencing atau yang semacamnya.
Para ulama madzhab Hanafi dalam pendapat mereka yang ashah mengecualikan angin yang keluar dari qubul. La tidak dianggap sebagai perkara yang membatalkan wudhu, karena ia hanya berupa embusan, bukan angin. Jika benar yang keluar itu angin, maka ia tidak najis. Para ulama lain selain ulama Hanafi tidak mengecualikan angin yang keluar dari qubul ini dari perkara yang membatalkan wudhu. Hal ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan di atas. Hadits tersebut meliputi angin yang keluar dari qubul juga. Pendapat yang benar adalah pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni. Pendapat tersebut menyatakan, "Kami tidak mengetahui adanya angin ini dan kami tidak mengetahui ia wujud pada diri seseorang."
Ulama madzhab Maliki mengecualikan perkara yang tidak biasa yang keluar melalui saluran biasa pada waktu sehat seperti darah, nanah, batu kerikil, ulat, angin, tahi yang keluar melalui qubul, air kencing melalui dubur, dan air mani yang keluar tanpa kelezatan yang normal, contohnya seperti orang yang menggaruk karena kurap atau digoncang oleh binatang tunggangannya, kemudian keluar air mani. Dengan demikian, perkara-perkara tersebut tidak menjadikan batal walaupun batu kerikil atau ulat yang keluar itu terdapat bersama kencing atau tahi. Berbeda jika yang keluar itu berupa perkara selain batu dan ulat. Oleh sebab itu, jika yang keluar itu darah dan nanah bersama kencing atau tahi, maka wudhu akan menjadi batal. Menurut pendapat yang masyhur dari Ibnu Rusyd ia tidaklah membatalkan wudhu.
Begitu juga wudhu tidak menjadi batal apabila keluar sesuatu melalui sebuah lubang buatan, kecuali jika lubang tersebut berada di bawah usus dan kedua saluran yang biasa tertutup. Oleh sebab itu, kencing, tahi ataupun angin yang keluar dari sebuah lubang yang berada di atas usus tidak membatalkan wudhu, baik kedua saluran yang biasa atau salah satunya tertutup atau tidak tertutup. Adapun yang keluar melalui lubang di bawah usus, ia membatalkan wudhu dengan syarat kedua saluran yang biasa tertutup. Hal ini karena ia dianggap seperti perkara yang keluar melalui kedua saluran tersebut.
Menurut pendapat mereka, wudhu tidak akan batal dengan keluarnya sesuatu bagi orang yang beser (orang yang memiliki penyakit sering kencing atau buang air besar) yang berlaku pada seseorang dalam kadar waktu shalat atau kebanyakan waktu shalat. Jika ia keluar pada waktu sebelum shalat, maka ia akan membatalkan. Beser (as-salas) adalah sesuatu yang mengalir keluar dengan sendirinya karena kondisi yang tidak sehat, baik ia berupa air kencing, angin, tahi, ataupun madzi. Darah istihadhah merupakan salah satu jenis as-salas. Hukum ini tidak berlaku bagi perempuan yang sedang mengalami istihadhah. Ia berlaku bagi orang yang tidak tetap kondisi salas-nya dan ia tidak dapat mengobatinya. Oleh sebab itu, jika kondisinya tetap seperti kebiasaan yang berlaku pada akhir waktu atau pada awal waktu, maka wajib baginya melaksanakan shalat pada waktu tersebut. Namun jika dia mampu mengobati, maka ia berkewajiban mengobatinya.
Ulama madzhab Syafi'i mengecualikan air mani seseorang. Menurut mereka ia tidak membatalkan wudhu, karena ia mewajibkan salah satu dari dua perkara yang lebih besar; yaitu mandi. Akan tetapi, mereka berpendapat bahwa wudhu akan batal dengan disebabkan keluarnya sesuatu dari lubang yang terbuka di bawah usus. Hal ini terjadi jika saluran biasa tersumbat dan lubang tersebut telah menjadi seperti saluran biasa, yaitu sama seperti yang dikatakan oleh ulama madzhab Maliki. Tetapi jika saluran biasa tidak tersumbat, maka menurut pendapat yang ashah wudhu tidak akan batal, baik lubang yang terbuka itu berada di bawah usus ataupun di atasnya.
Ulama madzhab Hambali juga mengecualikan orang yang senantiasa berhadats, baik yang keluar itu sedikit atau banyak, yang keluar itu luar biasa atau biasa, karena terdapat kesulitan untuk mengatasinya, Bagi orang yang tidak menghadapi penyakit hadats yang berterusan, maka wudhunya akan batal dengan sesuatu apa pun yang keluar darinya, baik ia berupa kencing atau tahi, baik ia sedikit atau banyak, melalui saluran yang terbuka baik saluran tersebut di bawah usus ataupun di atasnya, dan baik kedua kemaluan asalnya terbuka ataupun tertutup. Hal ini karena keumuman dari maksud ayat dan hadits yang telah disebutkan.
Ulama madzhab Hambali menambahkan, jika seseorang yang berwudhu memasukkan kapas ataupun pemoles celak mata ke dalam qubul atau dubur, kemudian kapas atau pemoles celak mata itu keluar meskipun tidak basah, maka wudhu orang tersebut batal. Begitu juga jika dia meneteskan minyak ataupun cairan lain ke dalam lubang air kencing kemudian ia keluar, maka wudhunya meniadi batal.

B. Bersalin tanpa keluar darah

Pendapat yang rajih di kalangan madzhab Hanafi adalah pendapat ash-shahibain (yaitu Abu Yusuf dan Muhammad Hassan Asy-Syaibani) yang mengatakan bahwa tidak ditetapkan hukum bernifas bagi perempuan tersebut. Hal ini karena nifas berkaitan dengan darah, sedangkan darah tidak wujud pada perempuan tersebut. Dia hanya diwajibkan berwudhu karena lembab yang berlaku pada farjinya. Abu Hanifah berkata, "Dia wajib mandi sebagai langkah berhati-hati (ihtiyath), karena pada kebiasaannya dia tidak terhindar dari keluarnya darah yang sedikit."

C. Sesuatu yang keluar tidak melalui dua kemaluan yang biasa

Seperti darah, nanah, dan nanah yang bercampur dengan darah, bisa membatalkan wudhu dengan syarat (menurut pendapat ulama madzhab Hanafi) ia mengalir ke tempat yang wajib disucikan, yaitu sisi luar badan. Artinya, anggota yang wajib disucikan semuanya meskipun sunnah, hal itu seperti darah yang mengalir keluar melalui hidung. Maksud mengalir di sini adalah apabila darah melimpah dari tempat keluarnya kemudian mengalir ke bawah. Oleh sebab itu, tidak diwajibkan berwudhu jika darah yang keluar itu hanya sekadar setetes atau dua tetes saja. Tidak diwajibkan berwudhu, sebab terdapat bekas darah yang diakibatkan oleh menggigit sesuatu atau dihasilkan dari bersiwak. Begitu juga wudhu tidak diwajibkan, dengan sebab darah yang keluar dari suatu tempat yang tidak harus disucikan, seperti darah yang keluar dari tempat luka di dalam mata atau telinga, buah dada atau pusar, kemudian ia mengalir ke bagian yang lain.
Ulama madzhab Hambali mensyaratkan, hendaklah sesuatu yang keluar itu dalam kadar yang banyak. Maksud kadar yang banyak adalah apabila kondisinya menjadi buruk menurut diri seseorang. Maksudnya, kondisi badan seseorang diperhitungkan, baik ia kurus ataupun gemuk. Oleh sebab itu, jika darah keluar dari badan seorang yang kurus misalnya, dan ia dianggap banyak berdasarkan atas badannya, maka wudhunya menjadi batal. Jika tidak dianggap banyak maka wudhunya tidak batal. Hal ini karena Ibnu Abbas pernah berkata, "Perkara yang buruk itu adalah apa yang dirasakan buruk mengikut pertimbangan hatimu."
Hujjah bagi ulama madzhab Hanafi adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam "Wudhu hendaklah dilakukan bagi setiap darah yang mengalir.” Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari Tarmim Ad-Dari, tetapi perawinya ada yang tidak dikenal, dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil dari Zaid bin Tsabit, tetapi ada perawinya yang tidak dapat dipercayai (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 37)
Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, "Barangsiapa muntah atau keluar darah
dari hidungnya sewaktu shalatnya, maka hendaklah ia berhenti, lalu berwudhu dan menyempurnakan shalatnya itu jika ia masih belum berbicara.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadis Aisyah. Hadis ini adalah shahih juga diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari Abu Sa’id Al-Khudri, tetapi hadis ini dhaif (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 38; Nailul Authar jilid 1 halaman 187).
Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. yang lain, "Tidak diwajibkan berwudhu karena
setetes atau dua tetes darah, kecuali jika keadaan darah itu mengalir.” Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari Abu Hurairah secara marfu’. Ibnu Hajar mengatakan bahwa isnadnya sangat dhaif (Nailul Authar jilid 1 halaman 189; Nashbur Rayah jilid 1 halaman 44)
Dalil ulama madzhab Hambali adalah hadits yang diriwayatkan oleh Fatimah binti Abi Hubaisy yang telah disebutkan menurut catatan At-Tirmidzi, "la merupakan pendarahan. Oleh sebab itu, hendaklah kamu berwudhu untuk setiap shalat."
Selain itu, karena darah adalah najis yang keluhr dari badan, maka dari itu ia diberi hukum seperti sesuatu yang keluar dari dua kemaluan. Kadar yang sedikit dari darah tidak membatalkan wudhu, karena berdasarkan mafhum kata-kata Ibnu Abbas tentang darah, "Jika ia buruk (kadarnya banyak), hendaklah dia mengulangi (wudhunya)." Ibnu Umar pernah memijit jerawat di mukanya, lalu keluar darah dan dia terus menunaikan shalat tanpa mengulangi wudhunya. Ibnu Abi Aufa pula telah memijit bisulnya, dan begitulah yang dilakukan oleh orang lain selain mereka berdua (Nailul Authar jilid 1 halaman 189).
Ulama madzhab Maliki dan Syafi'i memutuskan bahwa wudhu tidak akan batal dengan keluarnya darah dan sejenisnya. Mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan Anas, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melakukan bekam, lalu Rasul menunaikan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu. Yang Rasul lakukan hanya sekadar membasuh tempat bekam saja." Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Hadis ini adalah dhaif (Nailul Authar jilid 1 halaman 189).
Hadits riwayat Abbad bin Bisyr juga mengatakan bahwa dia telah terkena panah ketika sedang shalat, lalu dia meneruskan shalatnya. Sudah tentu dia tidak menyampaikan kondisi tersebut kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak diceritakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengatakan shalatnya itu batal. Disebutkan oleh Al-Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah.

D. Muntah

Perbedaan pendapat mengenai hal ini adalah seperti yang berlaku pada masalah darah dan sejenisnya, yang keluar melewati jalan lain selain dua kemaluan. Perbedaan tersebut terbagi menjadi dua pendapat: pertama, pendapat ulama madzhab Hanafi dan Hambali. Ia dapat membatalkan wudhu jika yang keluar itu seukuran kadar satu mulut penuh. Pendapat ini menurut pendapat yang ashah. Yaitu, kadar apabila mulut tidak dapat ditutup melainkan dengan cara memaksanya. Ulama madzhab Hambali mengatakan apabila muntah yang keluar terlalu banyak menurut perasaan seseorang, maka ia dianggap buruk (fahusy). Muntah, baik berupa makanan, air,
'alaqah (darah beku yang keluar dari usus) atau mirrah (cairan empedu yang berwarna kuning) dapat membatalkan wudhu. Wudhu tidak batal dengan keluarnya dahak, baik ia keluar dari usus, dada, atau kepala, sama seperti ingus dan ludah (yang tidak membatalkan wudhu) karena ia merupakan sesuatu yang bersih yang keluar dari tubuh. Wudhu juga tidak batal dengan disebabkan menguap, yaitu angin yang keluar dari mulut seseorang.
Dalil mereka adalah hadits riwayat Aisyah, "Siapa yang muntah, keluar darah hidung, qals (air gumoh), ataupun air madzi, hendaklah dia berhenti shalat, kemudian berwudhu, setelah itu meneruskan shalatnya. Dalam kondisi seperti ini, hendaklah jangan berbicara." Riwayat Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni (Nailul Authar jilid 1 halaman 187).
Qals adalah sesuatu yang keluar dari kerongkongan seseorang, baik ia memenuhi mulut ataupun tidak. Ia bukanlah muntah. Jika ia berulang lagi, maka ia menjadi muntah. Mereka juga berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda' bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam muntah, tetapi beliau terus berwudhu. Kemudian saya bertemu dengan Tsauban di dalam masjid Damsyik. Saya menceritakan perkara itu kepadanya, dia mengatakan, "Benar, saya yang mengucurkan air wudhu kepadanya." Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan At-Tirmidzi. Imam At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini adalah yang paling ashah.” (Nailul Authar jilid 1 halaman 186).
Sebagai kesimpulan, sesungguhnya menurut pendapat mereka muntah dapat membatalkan wudhu dengan tiga syarat, yaitu ia keluar dari usus, kadarnya memenuhi mulut atau lebih banyak dan ia keluar serentak atau sekaligus.
Kedua, bagi ulama madzhab Maliki dan Syafi'i, wudhu tidak batal disebabkan oleh muntah. Hal ini karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah muntah dan Rasul tidak mengambil air wudhu setelahnya. Riwayat Ad-Daruquthni.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tsauban dinyatakan, “Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adakah wajib berwudhu karena muntah?” Rasul menjawab, “Jika ia wajib, tentulah kamu akan menemukannya di dalam kitab Allah.” Selain itu, karena ia tidak keluar melalui kemaluan yang biasa, maka oleh sebab itu, ia tidak membatalkan thaharah seseorang. Kedudukannya sama seperti hukum air ludah saja. Mereka menjawab tentang maksud Hadits Abu Darda', dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata wudhu dalam hadits tersebut adalah membasuh kedua tangan.
Yang jelas disini adalah segala sesuatu yang keluar tidak melalui dua saluran kemaluan dapat membatalkan wudhu, jika jumlahnya banyak seperti yang dikatakan oleh ulama madzhab Hambali. Hukum ini diqiyaskan kepada najis yang keluar melalui dua saluran kemaluan. Hal ini karena hadits-hadits yang telah disebutkan mengandungi perselisihan dalam hal keshahihannya. Oleh sebab itu, ia tidak terhindar dari dianggap sebagai hadits-hadits dhaif.

E. Hilang akal

Baik hilang akal dengan sebab heroin atau bahan-bahan pemabuk yang lain, atau disebabkan pingsan, gila, atau penyakit ayan, atau dengan sebab tidur. Sebab-sebab tersebut dan juga sebab-sebab lain setelahnya seperti menyentuh perempuan yang menimbulkan syahwat, menyentuh qubul dan dubur (dapat membatalkan wudhu). Pada kebiasaannya, sebab-sebab itu akan diikuti dengan keluarnya sesuatu dari salah satu saluran kemaluannya. Oleh sebab itu, perkara-perkara tersebut dapat membatalkan wudhu. Selain itu, orang yang hilang akal tidak mengetahui keadaan dirinya. Tidur juga mematikan rasa seseorang. Gila, pingsan, dan keadaan yang seumpamanya memiliki pengaruh yang lebih besar dari tidur.
Hujjah yang mengatakan tidur yang nyenyak membatalkan wudhu adalah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ali, "Mata adalah pengawal dubur. Oleh karena itu, barangsiapa tidur, maka dia wajib berwudhu.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah (Nailul Authar jilid 1 halaman 192).
Hadits riwayat Mu'awiyah, "Mata adalah pengawal dubur. Jika dua mata telah tidur, maka terlepaslah kawalannya.” Riwayat Ahmad dan Ad-Daruquthni (Nailul Authar jilid 1 halaman 192).
Kedua hadits ini menunjukkan bahwa tidur dapat menimbulkan sangkaan sebagai membatalkan wudhu. Akan tetapi, ia sendiri bukanlah sesuatu yang membatalkan wudhu.
Para ulama berselisih pendapat tentang posisi tidur yang dapat membatalkan wudhu. An-Nawawi menyebutkan dalam kitab Syarh Muslim jilid 1: 73). Saya memilih dua contoh yang hampir sama dan tidak terdapat pertentangan, kecuali dalam menentukan kadar tidur yang dianggap sebagai pertanda keluarnya angin. Kedua posisi tersebut adalah seperti berikut.

(i) Pendapat ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i

Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang tidak merapatkan pantat ke tempat duduk atau lantai, tidur dalam posisi miring, bersandar atau tengkurap, karena posisi miring dan sejenisnya itu dapat menyebabkan semua sendi lunglai. Oleh sebab itu, jika seseorang tidur dalam posisi pantat yang merapat ke tempat duduk seperti tanah dan punggung binatang, maka ia tidak membatalkan wudhu. Sekiranya ia bersandar pada sesuatu, dan jika sandaran itu dibuang, maka dia akan terjatuh dan pantatnya tidak rapat ke tempat duduknya. Maka dalam keadaan, ini wudhunya menjadi batal menurut pendapat ulama madzhab Hanafi. Karena, dengan posisi tidur menyandar semua anggota menjadi lunglai. Akan tetapi menurut ulama madzhab Syafi'i, wudhu tidak akan batal jika pantat merapat ke tempat duduknya. Karena pada posisi seperti ini, ia akan terselamat dari keluarnya sesuatu. Oleh sebab itu, hukum dalam kedua madzhab ini adalah satu.
Menurut ulama madzhab Hanafi, wudhu tidak akan batal dengan sebab tidur dalam posisi berdiri, ruku', sujud dalam shalat, dan lainnya. Hal ini karena kemampuan ia untuk menahan masih ada. Jika tidak ada, maka ia akan jatuh. Dengan sebab itu, lunglainya anggota tidak sepenuhnya berlaku.
Mereka berhujjah dengan berdasarkan kepada beberapa hadits, di antaranya adalah hadits riwayat Ibnu Abbas, "Tidak diwajibkan wudhu lagi orang yang tidur dalam posisi sujud, sehingga ia berubah kepada keadaan miring. Karena apabila ia miring, maka lunglailah segala sendinya.” Riwayat Imam Ahmad. Hadis ini dhaif (Nailul Authar jilid 1 halaman 193).
Dalam riwayat yang lain disebutkan, "Tidak diwajibkan wudhu bagi orang yang tidur dalam keadaan duduk Tetapi, wudhu diwajibkan bagi orang yang tidur dalam keadaan miring. Karena, orang yang tidur dalam keadaan miring semua sendinya menjadi lunglai.” Riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ad-Daruquthni. Hadis ini dhaif (Nailul Authar jilid 1 halaman 193).
Dalam riwayat Al-Baihaqi, Rasul bersabda, "Wudhu tidak diwajibkan bagi orang yang tidur dalam keadaan duduk berdiri, atau sujud, sehingga ia berubah posisi menjadi miring."
Di antaranya iuga terdapat hadits riwayat Anas, "Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menunggu waktu untuk shalat Isya, lalu mereka tertidur sambil duduk. Kemudian mereka bangun terus menunaikan shalat tanpa berwudhu.” Riwayat Imam Asy-Syafi’i, Abu Dawud, Muslim dan At-Tirmidzi. Hadis ini shahih (Nailul Authar jilid 1 halaman 193).
Hadits ini menunjukkan bahwa tidur seketika (sekejap) tidak membatalkan wudhu. Di antaranya juga adalah hadits yang diriwayatkan Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa tidur sambil duduk,
maka ia tidak diwajibkan berwudhu. Dan barangsiapa tidur dengan miring, maka ia diwajibkan berwudhu.” Diriwayatkan oleh Ibnu Adi (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 45). Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi. Hadis yang serupa juga diriwayatkan dari Hudzaifah Al-Yamani.
Imam Malik telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa dia pernah tertidur sambil berdiri, kemudian mengerjakan shalat tanpa mengambil wudhu terlebih dahulu.
Abu Dawud dan At-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia pernah melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tertidur sambil sujud hingga Rasul mendengkur. Kemudian Rasul bangun dan menunaikan shalat. Lalu dia bertanya, "Ya Rasulullah,
sesungguhnya engkau telah tidur." Rasul bersabda, "Sesungguhnya wudhu tidak diwajibkan kecuali bagi orang yang tidur dalam keadaan miring saja. Karena apabila tidur dengan miring, maka semua sendi menjadi lunglai.” (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 44)
Al-Kamal ibnul Humam telah mengatakan bahwa jika Anda perhatikan pada hadits-hadits tersebut di atas, maka tidak ada hadits yang melebihi tingkatan hasan (Fathul Qadir jilid 1 halaman 33).

(ii) Bagi ulama madzhab Maliki dan Hambali

Tidur yang sebentar ataupun ringan tidak membatalkan wudhu. Adapun tidur nyenyak dapat membatalkan wudhu.
Ungkapan ulama madzhab Maliki dapat diartikan bahwa tidur yang nyenyak meskipun pendek waktunya, ia membatalkan wudhu. Akan tetapi, tidur yang tidak nyenyak meskipun waktunya lama tidak membatalkan wudhu. Maksud tidur yang nyenyak adalah apabila orang yang
tidur tersebut tidak mendengar suara apa pun, tidak merasa apabila ada benda yang terjatuh dari tangannya, atau apabila mengalir air liurnya dan lain-lain lagi yang sejenisnya. Jika dia masih merasa perkara-perkara tersebut, maka tidurnya tidak nyenyak. Hujjah mereka adalah hadits riwayat Anas, "Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menunggu waktu untuk shalat Isya. Lalu mereka tertidur sehingga terkulai kepala mereka. Kemudian (apabila mereka bangun) mereka terus melqkukan shalat tanpa berwudhu lagi."
Hadits riwayat Ibnu Abbas, dia berkata, “Aku telah bermalam di rumah ibu saudaraku Maimunah, lalu Rasul bangun dari tidurnya dan aku juga turut bangun di sebelah rusuk kiri Rasul. Setelah itu, Rasul memegang tanganku dan menempatkan aku di sebelah rusuk kanan Rasul. Apabila aku terlelap, Rasul memegang cuping telingaku." Menurut Ibnu Abbas, Rasul telah melakukan shalat sebanyak sebelas rakaat. Riwayat Imam Muslim (Nailul Authar jilid 1 halaman 192).
Dalam kedua hadits ini, terdapat bukti yang jelas bahwa tidur yang tidak nyenyak tidak membatalkan wudhu.
Menurut ulama madzhab Hambali, semua posisi tidur dapat membatalkan wudhu, kecuali tidur yang sedikit mengikuti hitungan 'urf, baik ia dilakukan sambil duduk atau sambil berdiri. Hal ini karena berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas dan Ibnu Abbas yang telah disebutkan. Sebenarnya, tidak ada batas bagi tidur yang sedikit. Penentuan batas tersebut dikembalikan pada adat. Oleh sebab itu, jika orang yang tidur dalam keadaan rapat pantatnya ataupun dengan cara lain kemudian terjatuh, maka hal itu dapat membatalkan wudhunya.
Sekiranya dia tidur dan merasa ragu dengan tidurnya, apakah tidurnya banyak atau sedikit, maka hendaklah dia menganggap dirinya masih suci. Karena, terdapat keyakinan tentang kesucian dirinya dan keraguan hanya terdapat pada batalnya saja. Seandainya dia bermimpi dalam tidurnya, maka tentulah tidurnya itu nyenyak.
Tidur yang sedikit dari seorang yang sedang ruku', sujud, bersandar, bertongkat, dan mengangkat kedua lututnya adalah seperti seorang yang tidur dengan posisi miring. Semua itu dapat membatalkan wudhu.
Tidur yang tidak menyebabkan hilangnya ingatan tidak membatalkan wudhu. Hal ini karena tidur itu adalah bentuk kekalahan pada ingatan akal dan yang menjadi pembatal adalah hilangnya akal. Sekiranya akal itu masih ada dan keupayaannya tidak hilang, seperti ia masih mendengar apa yang diucapkan di sisinya serta dapat memahami, maka wudhunya tidak batal.

Kesimpulan

Tidur dalam keadaan miring yang tidak merapatkan pantatnya, baik di dalam shalat atau lainnya dapat membatalkan wudhu tanpa adanya perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Hilang akal dengan sebab apa pun seperti gila ataupun mabuk dapat membatalkan wudhu. Ia diqiyaskan dengan tidur. Inilah pendapat yang benar.

F. Menyentuh perempuan

Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, wudhu dianggap batal akibat bersentuhan dengan perempuan sewaktu berjimak. Sementara, ulama madzhab Maliki dan Hambali mengatakan bahwa wudhu akan batal dengan sebab bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan di saat ada rasa nikmat atau timbul gairah nafsu. Menurut ulama madzhab Syafi'i, wudhu kedua belah pihak laki-laki dan perempuan akan batal dengan hanya terjadinya sentuhan kulit, meskipun tidak timbul nafsu. Penjelasan terperinci mengenai pendapat madzhab tersebut di atas adalah seperti berikut.

(i) Ulama madzhab Hanafi

Berpendapat bahwa wudhu menjadi batal dengan persetubuhan, yaitu bertemunya dua kemaluan (laki-laki dan perempuan) tanpa alas pakaian yang menghalang kehangatan. Atau dengan kata lain ketika seorang laki-laki menyentuh perempuan dengan penuh syahwat, hingga kemaluannya tegang tanpa ada penghalang di antara mereka, dan dia tidak melihat sesuatu yang basah (yang keluar dari kemaluannya).

(ii) Ulama madzhab Maliki

Berpendapat bahwa wudhu bisa batal dengan sentuhan yang terjadi antara orang yang berwudhu dengan orang lain yang pada adatnya menimbulkan nikmat pada diri orang yang menyentuh, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Walaupun orang yang disentuh itu belum baligh, baik sentuhan itu berlaku dengan istrinya, dengan perempuan lain, atau dengan mahramnya. Sentuhan pada kuku dan rambut, ataupun sentuhan yang beralaskan seperti kain, baik kain yang dijadikan alas itu tipis yang dapat menyebabkan orang yang menyentuh merasakan kelembutan badan atau kain itu tebal, juga dianggap sebagai sentuhan juga. Hukum sentuhan ini berlaku juga antara laki-laki dengan laki-laki ataupun perempuan dengan perempuan.
Sentuhan dengan nafsu dapat membatalkan wudhu. Begitu juga kecupan mulut, ia dapat membatalkan wudhu meskipun tanpa nafsu. Karena, ia merupakan tempat membangkitkan nafsu. Kecupan yang dilakukan pada bagian badan selain mulut juga dapat membatalkan wudhu orang yang mengecup dan orang yang dikecup. Keadaan ini berlaku jika kedua orang tersebut sudah baligh, atau salah satu di antara mereka baligh. Begitu juga dengan mengecup orang yang memiliki
daya tarik dan merasa nikmat dengan kecupan itu, walaupun hal ini terjadi dengan cara paksaan ataupun dalam keadaan lalai.
Sentuhan yang dapat membatalkan wudhu itu di dasarkan tiga syarat. Pertama, hendaklah orang yang menyentuh itu orang yang sudah baligh. Kedua, orang yang disentuh pada kebiasaan normal adalah orang yang menimbulkan syahwat. Dan ketiga, hendaklah yang menyentuh itu berniat untuk memuaskan nafsu ataupun dia mendapati ada nafsu
(meskipun tanpa berniat).
Wudhu tidak menjadi batal karena memuaskan nafsu dengan cara pandangan mata atau hanya dengan khayalan meskipun penis orang itu tegang, asalkan ia tidak mengeluarkan air madzi. Begitu juga, wudhu tidak batal dengan menyentuh seorang anak perempuan yang belum menimbulkan syahwat, atau menyentuh binatang atau laki-laki yang berjenggot. Karena, pada adatnya tidak akan timbul perasaan bernafsu apabila jenggotnya sempurna (seorang yang tua).

(iii) Ulama madzhab Hambali

Mereka berkata bahwa menurut pendapat yang masyhur di kalangan mereka, wudhu akan menjadi batal dengan menyentuh kulit perempuan dengan nafsu dan tanpa alas/penghalang, dengan syarat jika memang kebiasaan orang yang disentuh itu dapat menimbulkan syahwat -asalkan dia bukan anak-anak- dan meskipun orang yang disentuh itu sudah mati, tua, mahramnya,
atau anak-anak perempuan yang menimbulkan syahwat, yaitu anak perempuan yang berumur tujuh tahun ke atas. Hukum ini berlaku tanpa ada perbedaan di antara perempuan yang disentuh, baik dia itu ajnabi (orang lain), mahram, perempuan tua, atau anak-anak.
Wudhu tidak batal dengan menyentuh rambut, kuku, dan gigi. Begitu juga dengan menyentuh anggota yang terpotong, karena ia tidak ada nilainya lagi. Begitu juga dengan menyentuh waria walaupun dengan bernafsu, Menyentuh khuntsa musykil, sentuhan antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, walaupun dengan bersyahwat (juga tidak membatalkan wudhu). Sungguhpun wudhu ini tidak batal, namun ia sunnah untuk diperbarui.
Kesimpulannya, ketiga madzhab ini (yaitu jumhur) berpendapat bahwa wudhu tidak batal yang disebabkan adanya sentuhan di antara laki-laki dengan perempuan. Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut.
Pertama, firman Allah dalam Surah An-Nisaa’ ayat 43 yang artinya, "...atau kamu telah menyentuh perempuan.... " Hakikat sentuhan yang asal adalah sentuhan antara dua kulit. Ulama madzhab Hanafi berpegang dengan pendapat Ibnu Abbas. Seorang ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud dengan sentuhan adalah jimak. Mereka juga berpegang dengan pendapat Ibnus Sikkit yang mengatakan bahwa perkataan sentuhan apabila digandengkan dengan perempuan, maka ia artinya jimak. Orang Arab menyebutkan, "Saya menyentuh perempuan," maksudnya adalah, "Saya telah melakukan jimak dengannya." Oleh sebab itu, pengertian ayat tersebut seharusnya diartikan dengan makna majazi, yaitu maksudnya (sentuhan) adalah jimak, karena terdapat bukti yang menunjukkan hal itu, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah yang akan dinyatakan nanti. Ulama madzhab Maliki dan Hambali yang mensyaratkan sentuhan yang dapat membatalkan wudhu adalah sentuhan yang bernafsu telah menggabungkan antara maksud ayat di atas dengan hadits-hadits yang akan dinyatakan nanti yang diriwayatkan oleh Aisyah dan para perawi yang lain.
Kedua, hadits riwayat Aisyah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengecup salah seorang istrinya, kemudian Rasul terus menunaikan shalat tanpa berwudhu. Riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i, Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadis ini mursal, dianggap dhaif oleh Al-Bukhari. Ibnu Hazm mengatakan bahwa hadis ini tidak betul sama sekali (Nailul Authar jilid 1 halaman 195).
Ketiga, hadits riwayat Aisyah juga, menyebutkan, "Ketika Rasulullah hendak menunaikan
shalat, saya pernah duduk di hadapannya seperti jenazah, hingga apabila hendak witir Rasul menyentuh saya dengan kakinya.” Riwayat An-Nasa’i. Ibnu Hajar mengatakan bahwa isnadnya shahih (Nailul Authar jilid 1 halaman 196). Dalam riwayat ini, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu dan juga Rasul menyentuh Aisyah tersebut tanpa alas apa pun.
Keempat, hadits riwayat Aisyah juga yang menyatakan, "Pada suatu malam, saya mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada di atas kasur. Lalu saya mencarinya
dan saya memegang telapak kakinya dengan tangan saya pada waktu beliau berada dalam masjid. Kedua kakinya itu diberdirikan (dalam keadaan sujud) dan beliau membaca, 'Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu. Aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung dengan-Mu dari ketidakmampuanku dalam memuji-Mu sebagaimana Engkau memuji Diri-Mu.” Riwayat Muslim, At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi. At-Tirmidzi menganggap hadis ini shahih (Nailul Authar jilid 1 halaman 195; Nashbur Rayah jilid 1 halaman 70-75). Hadits ini menunjukkan bahwa sentuhan itu tidak menyebabkan batalnya wudhu.

(iv) Ulama madzhab Syafi'i

Mereka mengatakan bahwa wudhu tetap batal disebabkan adanya sentuhan antara seorang laki-laki dengan perempuan ajnabi yang bukan mahram, walaupun dia telah mati.
Bersentuhan tanpa alas/penghalang dapat membatalkan wudhu orang yang menyentuh dan juga wudhu orang yang disentuh, walaupun salah seorang dari mereka adalah orang tua yang pikun atau orang tua yang lemah dan meskipun tanpa niat. Namun, wudhu tidak batal dengan menyentuh
rambut, gigi, dan kuku. Wudhu juga tidak akan batal jika menyentuhnya dengan menggunakan alas.
Maksud antara laki-laki dan perempuan adalah laki-laki dan perempuan yang telah sampai peringkat yang menimbulkan syahwat menurut 'urf di kalangan orang yang mempunyai tabiat normal. Yang dimaksud dengan mahram adalah orang yang haram dinikahi dengan sebab keturunan, penyusuan, atau pernikahan. Oleh sebab itu, wudhu tidak batal dengan menyentuh seorang anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil dan yang biasanya tidak menimbulkan syahwat pada salah seorang dari mereka, bagi orang yang mempunyai tabiat normal. Oleh sebab itu, umur anak-anak yang dapat menimbulkan syahwat tidaklah terikat dengan tujuh tahun ataupun lebih, karena keadaan anak-anak laki-laki dan perempuan itu berbeda-beda. Wudhu tersebut tidak batal karena tidak adanya hal yang menimbulkan nafsu.
Wudhu juga tidak batal disebabkan bersentuhan dengan mahram, baik itu mahram karena keturunan, penyusuan, dan pernikahan (mushaharah) seperti ibu mertua.
Alasan sentuhan bisa membatalkan wudhu adalah karena ia dapat menimbulkan perasaan nikmat yang dapat menggerakkan nafsu. Hal seperti ini tidak patut terjadi pada diri orang yang dalam keadaan suci.
Dalil mereka adalah arti yang sebenarnya dari segi bahasa bagi kata mulamasah seperti yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala dalam Surah An-Nisaa’ ayat 43 yang artinya, "...atau kamu telah menyentuh perempuan...." Hal ini jelas menunjukkan pengertian mulamasah adalah sentuhan semata-mata, bukan jimak.
Adapun hadits riwayat Aisyah yang berkaitan dengan kecupan mulut adalah sebuah hadits yang dhaif dan mursal. Hadits lain yang diriwayatkan oleh Aisyah menceritakan perbuatannya yang menyentuh kaki Rasul (juga dhaif).
Oleh sebab itu, sentuhan itu diandaikan terjadi dengan alas/penghalang, atau hukum itu hanya khusus bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Namun begitu, pengandaian hal ini dianggap sebagai pengandaian yang dipaksakan dan bertentangan dengan zhahir nash.              
Kesimpulannya, sentuhan yang terjadi dengan cara tiba-tiba atau yang tidak disertai nafsu, maka ia tidak membatalkan wudhu. Akan tetapi, sentuhan yang dilakukan dalam keadaan bernafsu akan membatalkan wudhu. Pada pertimbangan, inilah pendapat yang paling rajih.

G. Menyentuh kemaluan

Yaitu qubul atau dubur. Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, wudhu tidak akan batal karena menyentuh kemaluan. Akan tetapi menurut jumhur ulama, wudhu menjadi batal karena menyentuh kemaluan. Penjelasan pendapat tersebut adalah sebagai berikut.

(i) Ulama madzhab Hanafi

Mereka mengatakan wudhu tidak batal dengan menyentuh farji atau penis. Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat Thalq bin Ali, "Seorang laki-laki telah menyentuh penisnya, apakah ia wajib berwudhu?" Rasul bersabda, "la adalah sepotong daging pada (tubuh) kamu.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Daruquthni secara marfu'. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah yang paling baik dalam bab ini (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 60 dan seterusnya; Nailul Authar jilid 1 halaman 198).
Diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Imran bin Husain, Hudzaifah ibnul Yaman, Abu Darda', dan Abu Hurairah, mereka menetapkan bahwa menyentuh penis itu tidak menyebabkan hadats hingga Ali pernah berkata, “Aku tidak peduli jika aku menyentuhnya atau dia menyentuh tepi hidungku."

(ii) Ulama madzhab Maliki

Mereka mengatakan bahwa wudhu menjadi batal dengan sebab menyentuh penis (dzakar).
Namun, menyentuh dubur tidaklah menyebabkan batalnya wudhu. Menurut pandangan mereka, menyentuh penis yang masih bersambung dengan pemiliknya saja yang membatalkan wudhu, adapun penis yang sudah terputus tidak membatalkan. Sentuhan itu terjadi baik menimbulkan kenikmatan atau tidak, sengaja menyentuh atau karena terlupa, jika memang tanpa ada alas/penghalang apa pun. Sentuhan itu dianggap jika dilakukan dengan batin telapak tangan atau dengan bagian tepinya, batin jari atau bagian tepinya. Namun apabila menyentuhnya itu dengan menggunakan bagian punggung telapak tangan, maka hal itu tidak menyebabkan batal wudhu. Juga menyebabkan batalnya wudhu, jika seseorang memegang kelaminnya dengan jari yang melebihi jumlah yang lima, jika memang jari itu mempunyai rasa dan mampu bergerak seperti jari-jari yang lain.
Hukum batalnya wudhu akibat menyentuh penis ini terjadi jika orang yang melakukannya sudah baligh. Dengan kata lain jika yang menyentuh penis adalah anak-anak, maka perbuatannya
itu tidak membatalkan wudhunya. Maksud sentuhan yang dilakukan oleh seorang yang baligh adalah sentuhan dengan batin telapak tangan atau jari-jarinya.
Wudhu tidak menjadi batal sebab menyentuh lubang (halaqah) dubur atau dua buah pelir (yang berada di bawah batang penis), seorang wanita yang menyentuh vaginanya (farjinya) juga tidak batal wudhunya, walaupun dia memasukkan satu jari ataupun lebih ke dalam vaginanya.
Wudhu juga tidak menjadi batal akibat menyentuh penis anak-anak ataupun orang dewasa yang lain. Dalil mereka adalah sebuah hadits, "Barangsiapa menyentuh penisnya, maka janganlah dia shalat kecuali sesudah dia berwudhu.” Diriwayatkan oleh lmam Hadits yang lima dan dianggap shahih oleh At-Tirmidzi. Diriwayatkan juga oleh Imam Maliki, Syafi'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Ibnul Jarud. Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini adalah paling shahih dalam bab ini (Nailul Authar, jilid 1 halaman 197; Nashbur Rayah jilid l halaman 54 dan seterusnya).
Hadits yang lain, "Barangsiapa memegang penisnya dengan tangannya tanpa beralas, maka wajib bagi dia untuk berwudhu.” Diriwayatkan oleh lmam Ahmad dan lbnu Hibban di dalam Shahih-nya (Nailul Authar, jilid 1 halaman 199). Diriwayatkan juga oleh Asy-Syafi'i dalam lafal, “Apabila seseorang menyentuh zakarnya, maka waiiblah ia mengambil wudhu.” (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 54 dan seterusnya)

(c) Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali

Mereka berpendapat, wudhu menjadi batal dengan menyentuh kemaluan anak Adam (baik itu penis, dubur, ataupun qubul/farji perempuan), baik kemaluan itu kepunyaan sendiri atau milik orang lain, milik orang kecil atau besar, milik orang yang masih hidup ataupun yang sudah mati.
Mengqiyaskan dubur dengan penis adalah menurut qaul al-jadid Imam Syafi'i. Hukum ini berlaku dengan syarat sentuhan itu dilakukan dengan batin telapak tangan (yaitu batin telapak tangan dan juga batin jari-jarinya). Oleh sebab itu, wudhu tidak batal apabila sentuhan itu dilakukan dengan bagian punggung tangan, tepi ujung jari, dan bagian-bagian tepi jari. Artinya, yang membatalkan adalah bagian yang terlindung ketika batin sebuah telapak tangan dirapatkan kepada batin telapak tangan yang satunya. Dalam masalah ini, ulama madzhab Syafi'i sependapat dengan ulama madzhab Maliki, karena bagian belakang/punggung telapak tangan bukanlah alat untuk menyentuh sesuatu, sehingga sentuhan dengan punggung telapak tangan disamakan dengan sentuhan yang dilakukan menggunakan paha.
Ulama madzhab Hambali tidak membedakan antara batin telapak tangan dengan bagian punggungnya. Hal ini berdasarkan hadits yang berkaitan dengan hukum menyentuh yang telah disebutkan, "Apabila salah satu di antara kamu menyentuh kemaluannya (farjihi) dengan tangan dan tidak terdapat alas di antara kedua-duonya, maka hendaklah ia berwudhu."
Bagian punggung tangannya adalah termasuk anggota tangan dan dapat membatalkan wudhu, yaitu jika menyentuh tanpa penghalang. Dalil yang digunakan ulama madzhab Syafi'i dan
Hambali adalah dua hadits yang telah disebutkan terdahulu, yaitu hadits riwayat Busrah binti Shafwan dan Ummu Habibah, "Barangsiapa menyentuh penisnya (dzakarahu), maka hendaklah dia berwudhu."
Dalam lafal yang lain Rasul bersabda, "Barangsiapa menyentuh vaginanya (farjahu), hendaklah dia berwudhu."
Juga, hadits riwayat Abu Hurairah, "Apabila salah satu di antara kamu menyentuh penisnya (dzakarahu) tanpa alas, maka wajiblah ia berwudhu."
Dalam lafal yang lain, "Apabila salah satu di antara kamu menyentuh vaginanya (farjihi)...." Arti kata farjun mencakup dua kemaluan, yaitu kemaluan depan (qubul) dan kemaluan belakang (dubur). Dikarenakan dubur merupakan salah satu di antara dua kemaluan tersebut, maka ia sama seperti penis.
Wudhu perempuan juga menjadi batal jika dia menyentuh qubulnya. Hal ini berdasarkan keumuman maksud hadits riwayat Basrah dan Ummu Habibah, "Siapa yang menyentuh kemaluannya (farjahu), maka wajiblah dia berwudhu."
Juga, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Amru bin Syu'aib, dari bapaknya, dari kakeknya, "Lelaki menyentuh kemaluannya (farjahu), maka wajiblah ia berwudhu dan perempuan yang menyentuh kemaluannya (farjaha), maka wajiblah ia berwudhu.” Riwayat Ahmad dan Al-Baihaqi (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 58)
Menurut Syeikh Wahbah Zuhaili, pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur selain ulama madzhab Hanafi, karena hadits yang diriwayatkan Thalq bin Ali adalah hadits dhaif atau telah di-mansukh. Ia dianggap lemah oleh Asy-Syafi'i, Abu Hatim, Abu Zur'ah, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, dan Ibnul fauzi. Ia dianggap sebagai hadits yang di-mansukh oleh Ibnu Hibban, Ath-Thabrani, Ibnul Arabi, Al-Hazimi, dan yang lainnya.

H. Tertawa tinggi (terbahak-bahak [qahqahah]) ketika shalat

Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, tertawa dalam shalat dapat membatalkan wudhu jika orang yang shalat itu seorang yang sudah baligh, baik tertawanya itu dilakukan dengan sengaja ataupun terlupa. Hal ini adalah sebagai peringatan dan balasan bagi orang yang shalat, karena perbuatannya itu bertentangan dengan keadaan dirinya yang sedang bermunajat kepada Allah Ta’ala. Oleh sebab itu, tidak menjadi batal shalat anak-anak yang tertawa terbahak-bahak karena dia belum mencapai umur yang patut diberi peringatan (belum mukallaf).
Tertawa dengan suara yang tinggi (qahqahah) adalah tertawa yang dapat didengar oleh orang-orang yang ada di sampingnya. Adapun tertawa biasa (adh-dhahku) adalah tertawa yang hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri dan tidak dapat didengar oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Tertawa yang pertama dapat membatalkan shalat dan wudhu, sementara tertawa yang kedua hanya membatalkan shalat saja. Adapun senyuman (at-tabassum) adalah tertawa yang tidak bersuara dan tidak memperlihatkan giginya, maka ia tidak menyebabkan batalnya wudhu ataupun shalat.
Pendapat mereka ini berdasarkan atas sebuah hadits, "Sesungguhnya barang siapa di antara kamu tertawa terbahak-bahak, hendaklah ia mengulangi shalat dan wudhunya.” Dalam masalah ini ada hadits musnad dan hadits mursal. Hadits musnad ialah yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy'ari yang ada pada Ath-Thabrani; dan riwayat Abu Hurairah yang ada pada Ad-Daruquthni; Ibnu Umar pada lbnu Adi; Anas, Jabir' Imran ibnul Hushain dan Abul Malik pada Ad-Daruquthni, tetapi semua hadits itu dhaif. Adapun hadits mursal ada empat, yaitu mursal Abu Aliyah, mursal Ma’bad Al-Jahni, mursal lbrahim An-Nakha'i, dan mursal Al-Hasan (Nashbur Rayah, jilid l halaman 47-54).
Menurut pendapat jumhur ulama selain ulama madzhab Hanafi, wudhu tidak batal disebabkan tertawa yang keras. Karena, perbuatan ini tidak mewajibkan seseorang berwudhu apabila terjadi di luar shalat. Maka, sudah barang tentu ia juga tidak mewajibkan untuk berwudhu ketika terjadi dalam shalat. Menurut mereka, kedudukan tertawa seperti ini sama dengan bersin dan batuk. Mereka menolak hadits-hadits yang telah disebutkan, karena semua hadits tersebut adalah hadits mursal. Dan juga, karena ia bertentangan dengan kaidah yang menyatakan bahwa sesuatu yang membatalkan thaharah di dalam shalat, ia tidak membatalkan thaharah di luar shalat (Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 39).
Syeikh Wahbah Zuhaili memilih pendapat jumhur, karena hadits yang menjadi hujjah bagi
ulama madzhab Hanafi tidak dapat dipegangi kekuatannya.

I. Makan daging unta

Wudhu akan menjadi batal dengan memakan daging unta. Ini adalah menurut pendapat ulama madzhab Hambali saja. Memakan daging unta dalam keadaan apa pun dapat membatalkan wudhu, baik daging tersebut mentah atau telah dimasak, baik orang itu mengetahui atau tidak mengetahui. Hal ini berdasarkan pada hadits riwayat Al-Barra' bin Azib. Dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah ditanya tentang hukum makan daging unta. Rasul menjawab, "Kamu hendaklah berwudhu karena memakannya.” Rasul ditanya lagi tentang hukum makan daging kambing, Rasul menjawab, "Tidak perlu berwudhu karena memakannya.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud, Imam Muslim dan Ahmad juga meriwayatkan dari Jabir bin Samirah hadis yang serupa. Kedua hadis ini adalah shahih.
Usaid bin Hudair telah meriwayat sebuah hadits, "Berwudhulah karena makan daging unta dan kamu tidak diminta untuk berwudhu karena makan daging kambing.” Riwayat Imam Ahmad dan ia menghukuminya sebagai hadis shahih. Hadis ini sama dengan riwayat Ibnu Majah dari Abdullah bin Amir dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Nailul Authar jilid 1 halaman 200)
Ulama madzhab Hambali mengulas pengertian hadits di atas dengan kata-kata mereka, "Sesungguhnya hukum wajib berwudhu karena makan daging unta (jazur) merupakan ibadah yang tidak dapat dipikirkan sebabnya. Oleh sebab itu, hukum tersebut tidak dapat ditetapkan pada perkara lain. Dengan demikian, wudhu tidak akan diwajibkan disebabkan minum susu unta, mengunyah dagingnya (kemudian mengeluarkannya), makan hati, limpa, paru, kulit, perut, dan sejenisnya."
Jumhur ulama selain ulama madzhab Hambali mengatakan bahwa wudhu tidak batal dengan sebab makan daging unta (jazur) berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Jabir. Dia berkata, "Di antara dua perkara (keputusan) yang terakhir dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidak wajib berwudhu karena makan sesuatu yang dibakar api." Riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Apa lagi karena daging unta adalah bahan makanan seperti bahan-bahan makanan yang lain. Pendapat yang terkuat yang diambil adalah pendapat jumhur. Karena, seluruh fuqaha bersepakat bahwa setelah masa awal-awal Islam, hukum wajib berwudhu disebabkan makan sesuatu yang dibakar api adalah digugurkan. Juga, berdasarkan adanya informasi yang kuat yang menyatakan bahwa ketetapan tersebut diamalkan oleh para Khulafaur Rasyidin. Bahkan, ulama  madzhab Hambali sendiri berpegang kepada hadits yang menjadi hujjah jumhur, sehingga mereka mengatakan bahwa tidak batal wudhu seseorang disebabkan makan sesuatu yang dibakar api.

J. Memandikan mayat

Mayoritas ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa wudhu menjadi batal disebabkan seseorang memandikan mayat secara keseluruhan atau memandikan sebagiannya saja, baik mayat yang dimandikan itu kecil ataupun besal laki-laki ataupun perempuan, Muslim ataupun kafir. Wudhu tidak batal karena membawa mayat menurut pandangan mereka. Hal ini berbeda dengan apa yang ditulis dalam sebagian kitab.
Hal ini karena terdapat riwayat dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. Telah diriwayatkan juga oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, bahwa mereka berdua menyuruh orang yang memandikan mayat supaya berwudhu. Abu Hurairah berkata, "Sekurang-kurangnya dia hendaklah berwudhu, karena biasanya tangan mereka tidak terselamat dari menyentuh kemaluan mayat."
Mayoritas fuqaha berkata tidak ada tuntutan untuk berwudhu, karena memandikan mayat tidak terdapat nash syara' yang menjelaskan hal tersebut. Begitu juga tidak ada sesuatu nash yang
pengertiannya sama dengan masalah ini. Apalagi ia hanya sekadar memandikan seorang manusia, maka ia seperti memandikan orang yang masih hidup.
Sungguh sangat menarik catatan Ibnu Rusyd tentang tiga sebab terakhir yang membatalkan wudhu. Dia berkata, "Abu Hanifah telah bersikap ganjil apabila dia mewajibkan wudhu disebabkan tertawa (terbahak) dalam shalat dengan berdasarkan hadits mursal yang diriwayatkan Abul Aliah. Segolongan ulama juga telah bersikap ganjil apabila mereka mewajibkan wudhu disebabkan memandikan mayat berdasarkan sebuah hadits dhaif "Barangsiapa memandikan mayat, maka hendaklah dia berwudu." Begitu juga dengan segolongan orang yang terdiri atas ahli hadits seperti Imam Ahmad, Ishaq, dan golongan yang lain yang berpendapat bahwa wudhu diwajibkan hanya karena makan daging unta (jazur), dengan berdasarkan kepada sebuah hadits yang berkaitan dengannya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 39)

K. Ragu dengan adanya wudhu

Menurut satu pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki menyatakan bahwa, barangsiapa merasa yakin bahwa dirinya suci (yaitu dia yakin bahwa dia telah berwudhu) kemudian dia ragu tentang terjadinya hadats, maka dia wajib berwudhu. Begitu juga jika dia merasa yakin tentang berlakunya hadats dan ragu bahwa dirinya masih suci, maka dia wajib berwudhu. Hal ini karena beban seseorang itu sangat besar dan dia tidak akan terlepas dari beban tersebut, kecuali dengan perasaan yakin.
Jumhur ulama selain ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa wudhu tidak akan menjadi batal dengan adanya perasaan ragu. Oleh sebab itu, barangsiapa merasa yakin dirinya telah suci dan kemudian muncul keraguan akan terjadinya hadats, atau seseorang yakin berlakunya hadats dan dia ragu kesuciannya, maka hukum yang ditetapkan pada orang tersebut hendaklah berdasarkan apa yang diyakininya. Yaitu, dia masih dalam keadaan suci dalam contoh yang pertama, dan dalam keadaan berhadats dalam contoh kedua. Hal ini karena terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zaid. Dia berkata, "Seorang laki-laki telah mengadu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia merasa ada atau menemukan sesuatu (pada dirinya) ketika shalat. Lalu Rasul bersabda, 'Janganlah kamu berhenti shalat kecuali jika kamu mendengar bunyi atau menghirup bau." Muttafaq ‘alaihi, bahkan diriwayatkan oleh al-jama’ah kecuali At-Tirmidzi. Imam Muslim meriwayatkan hadis marfu’ dari Abu Hurairah, tetapi tidak menyebut perkataan, “Dia sedang shalat.”
Terlebih Iagi jika muncul keraguan pada diri seseorang, maka wujudlah dua keadaan yang bertentangan. Hal ini menyebabkan kedua keadaan tersebut gugur (tidak terpakai). Kedudukannya adalah seperti dua keterangan yang bertentangan, maka kedua-duanya digugurkan, kemudian dirujuk kepada apa yang diyakini. Berdasarkan pada ketetapan ini, maka para fuqaha memutuskan satu kaidah, yaitu, "Yakin tidak dapat dihapuskan dengan keraguan."

L. Perkara yang mewajibkan mandi

Menurut ulama madzhab Hambali, wudhu akan menjadi batal dengan setiap perkara yang
mewajibkan mandi kecuali mati. Karena, mati hanya mewajibkan mandi saja, ia tidak mewajibkan wudhu. Di antara perkara-perkara yang mewajibkan mandi adalah apabila bertemu dua kemaluan
(berjimak), keluar air mani, dan apabila orang kafir masuk Islam, baik dia berasal dari kafir asli atau murtad. Apabila orang yang murtad kembali menganut Islam, maka dia diwajibkan mandi. Apabila dia diwajibkan mandi, maka diwajibkan juga untuk berwudhu. Wudhu menjadi batal dengan sebab murtad, karena ia dapat menghapuskan amalan seseorang, di antaranya adalah wudhu dan mandi. Pendapat ini sesuai dengan pendapat ulama madzhab Maliki. Akan tetapi, ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i berpendapat bahwa wudhu tidak menjadi batal dengan sebab murtad.

Konsekuensi dari Perkara yang Membatalkan Wudhu

Perkara-perkara yang membatalkan wudhu, juga membatalkan orang yang mengusap dua khufnya atau yang semacamnya. Namun, ada perkara-perkara khusus yang hanya membatalkan amalan tertentu saja, seperti batalnya thaharah yang dilakukan dengan mengusap dua khuf dan dua jaurab (sejenis kaus kaki), disebabkan karena habis masa mengusapnya dan disebabkan ia telah ditanggalkan. Begitu juga seperti batalnya thaharah perempuan yang istihadhah atau yang serupa dengannya, seperti orang yang beser (orang yang kena penyakit sering kencing) disebabkan habis
waktu shalat, dan juga batalnya thaharah orang yang tayamum disebabkan terdapat air dan sejenisnya yang akan dibicarakan secara khusus nanti.
Wudhu tidak menjadi batal disebabkan mengucapkan perkataan yang haram seperti berbohong, mengumpat, menuduh zina, mencaci, dan sejenisnya. Namun, ia disunnahkan berwudhu karena melakukan itu. Wudhu juga tidak batal disebabkan memotong rambut, kuku, dan sebagainya.

Kesimpulan Pendapat para Madzhab Berkaitan dengan Perkara yang Membatalkan Wudhu

A. Madzhab Hanafi

Terdapat dua belas perkara yang membatalkan wudhu: (1) Segala sesuatu yang keluar melalui dua kemaluan kecuali angin yang keluar dari qubul, menurut pendapat yang ashah; (2) Melahirkan anak yang tanpa disertai darah; (3) Najis yang mengalir keluar namun ia tidak melewati dua kemaluan seperti darah, nanah, muntah makanan, air, 'alaq (yaitu darah beku yang bersumber dari perut) apabila ukurannya sampai memenuhi mulut; (4) Air empedu (mirrah) apabila ia keluar dan memenuhi mulut. Maksud memenuhi mulut adalah ketika mulut tidak dapat ditutup, kecuali dengan cara memaksanya. Ini adalah menurut pendapat yang ashah. Muntah yang keluarnya tidak bareng namun disebabkan oleh satu sebab, maka jumlah ukurannya dapat digabung (jika jumlah ukurannya memenuhi mulut, maka membatalkan wudhu); (5) Wudhu juga batal apabila darah keluar melebihi atau sama banyak dengan air ludah; (6) Tidur dalam posisi miring, bertongkat, atau bersandar pada sesuatu yang jika sesuatu tersebut dibuang maka dia akan terjatuh (yaitu tidur yang tidak merapatkan pantatnya pada tempat duduk); (7) Terangkatnya bagian anggota yang digunakan untuk duduk seseorang yang sedang tidur dari tempat dia tidur sebelum dia terjaga, meskipun dia tidak sampai jatuh; (8) Pingsan; (9) Gila; (10) Mabuk; (11) Tertawa dengan suara yang tinggi (terbahak) bagi orang yang sudah baligh dan dilakukan dalam keadaan sadar ketika melaksanakan shalat yang mempunyai rukuk dan sujud, meskipun dia melakukan itu dengan sengaja untuk keluar dari shalatnya; dan (12) Tersentuhnya vagina (farji) dengan penis (dzakar) yang menegang tanpa alas (jimak).
Adapun sepuluh perkara yang tidak membatalkan wudhu adalah: (1) Darah yang tidak mengalir dari tempatnya; (2) Terpotongnya daging tanpa ada darah yang mengalir; (3) Keluarnya ulat dari tempat luka, telinga, dan juga hidung; (4) Menyentuh penis; (5) Menyentuh perempuan; (6) Muntah yang tidak memenuhi mulut; (7) Muntah dahak meskipun banyak; (8) Seseorang yang tidur dalam keadaan miring yang memungkinkan dia berpindah dari tempat duduknya; (9) Tidur dalam keadaan rapat pantatnya, walaupun dia bersandar pada sesuatu dan jika sesuatu itu dibuang, maka dia akan terjatuh; dan (10) Tidurnya orang yang sedang shalat meskipun ketika rukuk atau sujud.

B. Madzhab Maliki

Perkara yang membatalkan wudhu ada tiga: pertama, berbagai jenis hadats Hadats yang keluar melalui dua kemaluan ada delapan yaitu air kencing, tahi, angin baik ia keluar dengan bunyi atau tanpa bunyi, air wadi (yaitu air yang pekat berwarna putih yang keluar setelah air kencing keluar), air madzi (yaitu air yang berwarna putih jernih yang keluar ketika seseorang bersyahwat), air hadi (yaitu air yang keluar melalui vagina perempuan ketika ia melahirkan anak), darah istihadhah dan sejenisnya seperti beser air kencing jika keluarnya tidak menentu (yaitu apabila keluarnya tidak sampai setengah dari waktu shalat ataupun lebih, oleh sebab itu jika keluarnya sampai setengah dari waktu shalat ataupun lebih, maka wudhunya tidak batal), dan air mani laki-laki yang keluar dari vagina perempuan setelah dia mandi.
Wudhu tidak batal disebabkan keluarnya sesuatu yang luar biasa seperti darah, nanah, batu kerikil, dan ulat. Begitu juga, wudhu tidak batal dengan sebab keluarnya sesuatu yang tidak melalui saluran biasa seperti keluarnya angin atau tahi melalui qubul, atau keluarnya air kencing menerusi dubur. Wudhu juga tidak batal dengan sebab keluarnya air mani tanpa perasaan nikmat, yaitu tiada kenikmatan sama sekali atau yang tidak menimbulkan rasa kenikmatan yang luar biasa akibat menggaruk kurap atau sebab badannya diguncangkan oleh binatang tunggangan lalu keluar air maninya. Akan tetapi jika ia keluar dengan penuh rasa kenikmatan, seperti akibat jimak, sentuhan,
atau khayalan, maka ia diwajibkan mandi.
Wudhu tidak batal karena air kencing, tahi, atau angin yang keluar melalui satu lubang yang terdapat di atas usus, baik kedua saluran kemaluan yang asli itu tersumbat atau salah satunya tersumbat ataupun tidak. Sesuatu yang keluar melalui lubang yang terdapat di bawah usus dapat membatalkan wudhu jika kedua saluran kemaluan yang asli tersebut tersumbat. Wudhu juga batal jika sesuatu yang keluar melalui saluran kemaluan yang biasa, terhenti, dan kemudian orang tersebut kencing atau berak melalui mulutnya.
Kedua, sebab-sebab lain; terdapat tiga sebab yang membatalkan wudhu: (a) Hilang akal; (b) Sentuhan yang disertai perasaan nikmat antara seorang laki-laki yang sudah baligh dengan perempuan yang dapat menimbulkan syahwat, dan (c) Sentuhan orang yang telah baligh pada penis yang masih berada di badannya dengan telapak tangan, dengan bagian tepi telapak tangan atau dengan jari tangan tanpa ada alas, walaupun alas itu tipis kecuali jika alas itu terlalu tipis, maka ia dianggap seperti tidak ada. Hilang akal sama dengan sebab gila, pingsan, mabuk, atau tidur yang nyenyak biarpun dalam masa yang singkat. Kecupan bibir juga dapat membatalkan wudhu walaupun dilakukan tanpa ada perasaan syahwat.
Ketiga, murtad dan ragu-ragu dalam masalah apakah dia suci, setelah dia yakin terjadinya hadats dan juga ragu-ragu dalam masalah apakah ada hadats setelah dia yakin terjadinya suci, juga dapat membatalkan wudhu. Wudhu tersebut menjadi batal bukan karena hadats dan juga bukan karena sebab-sebab di atas.

C. Madzhab Syafi'i

Terdapat empat perkara yang membatalkan wudhu: pertama, segala sesuatu yang keluar melalui salah satu dari dua kemaluan, kecuali air mani (yaitu maninya orang yang berwudhu itu sendiri) karena keluarnya mani mewajibkan mandi.
Kedua, hilang akal dengan sebab gila, pingsan, atau tidur, kecuali tidur dalam keadaan bagian badannya yang digunakan untuk duduk (pantat) rapat pada tempat duduknya, seperti rapat pada tanah (lantai) atau rapat dengan punggung binatang yang dikendarai, walaupun dia juga bersandar kepada sesuatu yang jika sandaran itu dibuang maka dia akan jatuh.
Ketiga, bersentuhnya kulit laki-laki dan perempuan walaupun perempuan yang disentuh itu sudah mati, baik disengaja ataupun tidak. Wudhu orang yang menyentuh dan orang yang disentuh tetap batal. Akan tetapi, wudhu tidak akan batal dengan menyentuh seorang anak-anak laki-laki atau anak-anak perempuan yang kedua-duanya masih kecil dan tidak menimbulkan syahwat. Wudhu juga tidak batal dengan sebab menyentuh rambut, gigi, dan kuku. Begitu juga tidak batal menyentuh mahram, baik mahram itu dengan sebab keturunan, penyusuan, atau pernikahan (yaitu perempuan-perempuan yang menjadi mahram selama-lamanya akibat pernikahan), bukan perempuan yang menjadi mahram sementara seperti kakak atau adik ipar, karena mereka dapat menyebabkan batalnya wudhu.
Keempat, menyentuh kemaluan bagian depan anak Adam dan lubang (halaqah) dubur dengan batin telapak tangan. Akan tetapi, wudhu orang yang disentuh tidak ikut menjadi batal. Wudhu menjadi batal dengan sebab menyentuh kemaluan mayat dan anak-anak laki-laki yang kecil, menyentuh tempat asal kemaluan yang semuanya terpotong, dan menyentuh penis yang terpotong. Wudhu tidak akan menjadi batal dengan menyentuh vagina binatang, begitu juga jika disentuh dengan ujung jari.

D. Madzhab Hambali

Terdapat delapan perkara yang membatalkan wudhu: pertama, segala sesuatu yang keluar melalui dua kemaluan kecuali bagi orang yang hadatsnya berterusan. Bagi orang yang disebut terakhir, wudhunya tidak menjadi batal. Wudhu juga akan batal disebabkan angin yang keluar melalui vagina atau penis atau disebabkan kapas, celak, minyak, suntikan yang dimasukkan ke dalamnya. Ia juga batal dengan sebab keluarnya ujung tali perut atau kepala ulat atau disebabkan keluarnya air mani laki-laki atau perempuan yang dimasukkan ke dalam vagina.
Kedua, keluarnya berbagai najis dari bagian badan yang lain. Jika najis yang keluar tersebut
adalah tahi atau air kencing, maka ia tetap membatalkan wudhu walaupun kadarnya sedikit. Baik najis tersebut keluar melalui bagian bawah usus atau bagian atasnya, baik kedua kemaluan yang asli tersumbat ataupun keduanya dalam keadaan terbuka. Jika najis yang keluar itu bukan tahi dan air kencing seperti muntah, darah, nanah, dan ulat di tempat luka, maka ia tidak membatalkan wudhu kecuali jika jumlahnya banyak. Yaitu, kadar yang dirasakan jijik oleh seseorang, masing-masing disesuaikan dengan keadaan dan kondisi.
Ketiga, hilang akal dengan sebab gila dan sejenisnya, atau tahap kewarasannya terhenti disebabkan pingsan dan mabuk, baik mabuk sedikit atau banyak, juga sebab tidur kecuali tidur yang sedikit menurut 'urf, baik seorang yang tidur itu dalam keadaan duduk ataupun berdiri. Wudhu menjadi batal apabila seseorang tidur -walaupun sebentar- bagi orang yang sedang ruku', sujud, bersandar, tengkurap, dan menungging, keadaannya sama seperti orang yang tidur dalam posisi miring.
Keempat, menyentuh penis, qubul, atau dubur anak Adam, baik pada dirinya sendiri atau pada orang lain, walaupun sentuhan itu tanpa syahwat. Asalkan sentuhan itu dilakukan dengan menggunakan batin telapak tangan, bagian belakangnya, atau bagian tepinya, kecuali jika menyentuh dengan kuku. Dan asalkan ia dilakukan tanpa alas/penghalang, meskipun ia dilakukan
dengan jari yang lebih (yang tumbuh pada tangan seseorang). Akan tetapi, wudhu orang yang terkena sentuhan tidaklah batal. Wudhu tidak batal karena menyentuh penis yang terpotong. Begitu juga wudhu tidak batal dengan menyentuh zakar yang dipotong, dan tidak batal juga karena menyentuh kulit yang dipotong karena ia tidak dianggap sebagai kemaluan. Sentuhan perempuan pada dua bibir kemaluannya (syafraiha) tidak membatalkan wudhunya, karena yang disebut vagina adalah saluran tempat keluarnya hadats. Karenanya, kedua bibir vagina tidaklah termasuk kedalam vagina.
Kelima, bersentuhannya kulit laki-laki dengan kulit perempuan dalam keadaan bersyahwat
tanpa penghalang apa pun. Wudhu tidak batal jika bersentuhan dengan anak-anak perempuan atau laki-laki yang belum sampai umur tujuh tahun. Hal ini berlaku jika sentuhan tersebut dalam keadaan tanpa syahwat. Wudhu akan menjadi batal dengan sebab sentuhan yang dilakukan dalam keadaan bersyahwat meskipun orang yang disentuh adalah mayat orang tua, mahram, dan anak-anak perempuan yang berumur tujuh tahun ke atas. Akan tetapi, wudhu orang yang disentuh tidak menjadi batal walaupun dirinya dalam keadaan bersyahwat. Wudhu juga tidak batal dengan sebab penis yang tegang, yang disebabkan oleh khayalan dan melihat sesuatu secara berulang. Ia juga tidak batal dengan sebab menyentuh rambut, kuku, dan gigi. Hal ini karena anggota-anggota tersebut menetapi hukum sebagai anggota yang sudah terpisah. Ia juga tidak batal dengan sebab menyentuh anggota yang telah terputus dari badan seseorang. Hal ini karena anggota tersebut sudah hilang kehormatannya. Ia juga tidak batal karena menyentuh laki-laki yang cantik seperti perempuan, sekalipun dengan perasaan syahwat. Hal ini karena ayat yang berkaitan tidak menyebutkannya dan ia bukannya merupakan tempat melepaskan nafsu syahwat menurut pandangan syara'. Tidak batal juga disebabkan menyentuh khuntsa musykil baik disentuh oleh laki-laki atau perempuan, walaupun dengan syahwat. Sentuhan laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan, walaupun sentuhan itu dengan nafsu syahwat tidaklah membatalkan wudhu mereka.
Keenam, memandikan seluruh badan mayat atau sebagiannya walaupun mayat itu berbaju. Mentayamumi mayat tidak membatalkan wudhu jika ia tidak dapat dimandikan. Orang yang memandikan mayat adalah orang yang membolak-balikkan mayat serta memandikannya, walaupun dilakukan dengan sekali perbuatan. Orang yang mengucurkan air ke atas mayat tidak termasuk orang yang memandikan mayat.
Ketujuh, makan daging unta (jazur), baik daging itu mentah ataupun tidak.
Kedelapan, perkara-perkara yang mewajibkan mandi seperti bertemunya dua kemaluan, (yaitu berjimak), berpindahnya air mani, orang kafir yang masuk agama Islam, baik ia seorang kafir asli atau murtad.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)