BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


7. PERKARA YANG MEMBATALKAN TAYAMUM

Menurut ulama empat madzhab terdapat perkara yang membatalkan tayammum (Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman 234-236; Muraqil Falah, halaman 21; Al-Lubab jilid l halaman 37 dan seterusnya; Fathul Qadir jilid 1 halaman 91 dan seterusnya; Al-Bada'i jilid 1 halaman 56; Asy-Syarhush Shaghir jilid l halaman 199; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 158; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 38; Bujirami Al-Khathib jilid 1 halaman 258-261; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 101; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 36; Al-Mughni jilid 1 halaman 268- 272; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halama 190; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 63 dan seterusnya).


A. Setiap perkara yang membatalkan wudhu dan mandi adalah membatalkan tayamum

Karena tayamum adalah pengganti kedua-duanya. Perkara yang membatalkan hukum asal juga membatalkan penggantinya. Jika seseorang bertayamum untuk junub kemudian dia berhadats, maka dia menjadi orang yang berhadats bukan orang yang berjunub. Dia hendaklah berwudhu dan membuka khuf-nya jika memang dia memakai khuf. Setelah itu, hendaklah dia mengusap kedua khuf itu selama dia tidak mendapatkan air.

B. Hilangnya udzur yang membolehkan tayamum

Contohnya seperti perginya musuh, sakit yang sudah sembuh, hilang hawa dingin, ada alat untuk mendapat air, dan dibebaskan dari kurungan yang tidak ada air. Karena, sesuatu yang boleh dilakukan karena udzur akan batal ketika udzur itu hilang.

C. Melihat air atau sanggup menggunakan air yang mencukupi

Meskipun hanya sekali usapan (menurut madzhab Maliki dan Hanafi) dan meskipun tidak mencukupi (menurut madzhab Syafi'i dan Hambali). Keadaan tersebut hendaklah terjadi sebelum melakukan shalat, bukan sewaktu shalat. Hal ini disepakati oleh semua ulama. Air tersebut juga hendaklah lebih dari keperluannya, seperti untuk menghilangkan haus, membuat adonan tepung, dan membasuh najis. Sebab menurut ulama Hanafi dan Maliki, memenuhi keperluan dan juga air yang tidak mencukupi menyebabkan kondisi seseorang disamakan dengan kondisi tidak ada air.
Ulama Hanafi berpendapat, jika seseorang melewati tempat air dalam keadaan mengantuk, maka dia dihukumi sama seperti orang yang terjaga, yaitu tayamumnya menjadi batal.

Melihat Air Sewaktu Shalat

Jika  seseorang melihat air ketika sedang shalat, maka tayamumnya batal menurut ulama Hanafi dan Hambali. Thaharah itu batal karena telah hilang sebabnya. Ditambah lagi shalat asalnya adalah harus dengan wudhu. Dan apabila dia melihat air, maka artinya dia sanggup melakukan shalat dengan yang asal (wudhu). Terdapat juga dalil dari nash seperti dalil mengenai "pengulangan shalat."
Menurut ulama madzhab Maliki tayamumnya tidak batal dan menurut ulama madzhab Syafi'i, jika dia seorang musafir, maka tayamumnya tidak batal karena dia dibenarkan shalat dengan tayamum. Allah Ta’ala berfirman, "... dan janganlah kamu merusakkan segala amalmu." (Muhammad: 33) Amalannya sebelum melihat air adalah telah sempurna dan menurut kaidah, ia akan tetap. Juga, diqiyaskan dengan melihat air setelah selesai shalat, sebab melihat air bukanlah satu hadats. Oleh karena itu, ia tidak membatalkan shalat. Langkah ini diambil untuk menjaga kehormatan shalat.
Menurut ulama Syafi'i, shalat orang mukim akan batal jika dia melihat air ketika sedang shalat. Karena seperti yang telah dijelaskan dahulu, bahwa dia wajib mengulangi shalatnya karena adanya air.
Ulama Maliki mengecualikan keadaan orang yang lupa akan adanya air. Siapa yang terlupa bahwa dia mempunyai ain lalu dia bertayamum dan sudah melakukan takbiratul ihram, kemudian dia teringat, maka shalatnya batal jika waktunya masih lapang.

Mendapatkan Air Setelah shalat

Jika  seseorang melihat air setelah waktu shalat habis, maka para fuqaha bersepakat bahwa dia tidak perlu lagi mengulanginya, demi mengelakkan kesusahan. Jika  dia melihat air ketika sedang shalat, maka menurut jumhur selain ulama Syafi'i, dia tidak perlu mengulanginya. Adapun menurut ulama Syafi'i, jika orang tersebut dalam keadaan mukim, maka dia wajib mengulanginya. Tetapi jika dia dalam keadaan safar, di mana perjalanannya tidak untuk tujuan maksiat, maka dia tidak perlu mengulanginya. Hal ini telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu.

D. Habisnya Waktu

Menurut ulama Hambali, tayamum menjadi batal jika waktunya sudah terlewat. Ulama Hambali menambahkan, jika waktu shalat telah terlewat padahal orang tersebut sedang melakukan
shalat, maka tayamumnya batal. Begitu juga shalatnya, sebab thaharah ini berakhir dengan berakhirnya waktu, jadi shalatnya dianggap batal.

E. Murtad

Ulama madzhab Syafi'i berpendapat, tayamum menjadi batal apabila orang yang melakukannya itu murtad. Hal ini berbeda dengan wudhu karena wudhu itu kuat, sedang penggantinya (tayamum) adalah lemah. Tetapi dalam kasus ini, niat wudhu tersebut juga batal. Oleh karena itu, niat itu harus diperbaharui. Apalagi tayamum dilakukan supaya boleh melakukan shalat, sedangkan shalat tidak sah jika ada riddah (murtad). Jadi, murtad dapat membatalkan tayamum, meskipun secara gambaran saja seperti riddah yang terjadi pada anak-anak.
Menurut ulama madzhab Hanafi dan lain-lainnya, tayamum tidaklah batal disebabkan murtad. Oleh karena itu, jika dia kembali memeluk Islam, maka dia boleh menggunakannya untuk shalat. Karena, yang dihasilkan oleh tayamum adalah sifat suci sedangkan kekufuran tidak menghapuskan suci. Hal ini sama seperti dalam wudhu. Apalagi, murtad membatalkan pahala amalan, bukannya menghilangkan hadats.

F. Jarak waktu yang lama antara tayamum dan shalat

Menurut ulama Maliki, jarak waktu itu dapat membatalkan tayamum, karena mereka mensyaratkan muwaalaat antara tayamum dengan shalat seperti yang telah disebutkan.



PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)