BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
6. PERKARA YANG DIMAKRUHKAN SEWAKTU BERWUDHU
Menurut ulama madzhab Hanafi, hukum makruh
terbagi menjadi dua jenis, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih. Makruh tahrim
adalah hukum makruh yang lebih dekat kepada hukum haram. Meninggalkan makruh jenis
ini adalah wajib. Menurut mereka, jika disebut makruh, maka yang dimaksudkan adalah
makruh tahrim. Adapun makruh tanzih adalah suatu perbuatan yang lebih utama ditinggalkan.
Ini artinya makruh yang berlawanan dengan keutamaan.
Oleh sebab itu, jika mereka menyebutkan suatu
hukum dengan makruh, maka wajiblah dilihat kepada dalilnya. Jika hukum makruh itu
mengandung perintah secara zhanni, maka ia adalah makruh tahrim kecuali
jika terdapat suatu dalil yang mengubah kepada hukum sunnah. Jika dalil itu
tidak menunjukkan hukum yang diperintah, malah ia menunjukkan supaya
ditinggalkan tetapi dalam bentuk yang tidak kuat, maka ia adalah makruh tanzih.
Jumhur ulama selain ulama madzhab Hanafi tidak
membedakan antara kedua jenis makruh tersebut. Hukum makruh pada pendapat
mereka ialah makruh tanzih. Dalam kitab-kitab disebutkan (Ad-Durrul Mukhtar jilid
1 halaman 121-123; Muraqil Falah halaman 13; Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 126-129; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 126; Al-Hadramiyyah
halaman 114; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 118-120), orang yang
berwudhu dimakruhkan melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan adab
yang disunnahkan (ulama Syafi’i mengatakan yang dimakruhkan hanyalah meninggalkan
sunnah mu’akkadah saja), yang terpenting ialah sebagai berikut.
A. Menggunakan air dengan kadar yang melebihi keperluan
syara' atau melebihi kadar yang mencukupi
Hukum ini ditetapkan jika air tersebut
merupakan air yang boleh digunakan oleh orang yang berwudhu itu atau dimiliki
olehnya. Jika air tersebut adalah air
yang diwakafkan untuk wudhu seperti air yang disediakan di masjid-masjid, maka
menggunakannya secara boros adalah haram.
Dalil yang menunjukkan hukum makruh adalah
hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan yang lain dari Abdullah bin Amru ibnul
Ash bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Sa'ad yang
sedang berwudhu lalu Rasul menegur, "Mengapa kamu berbuat boros begini?”
Sa'ad bertanya, “Adakah terdapat pemborosan dalam berwudhu?" Rasul
menjawab, "Ya, meskipun kamu berada di tepi sungai yang airnya mengalir."
Di antara perbuatan yang dianggap sebagai boros adalah mengulangi basuhan lebih
dari tiga kali, dan mengusap khuf melebihi satu kali. Menurut jumhur ulama
selain ulama madzhab Syafi'i, hal itu disebabkan karena terdapat hadits yang
diriwayatkan oleh Amru bin Syu'aib yang telah lalu, "Barangsiapa
melebihi kadar ini atau menguranginya, maka dia tidak melakukan dengan baik,
melebihi batas, dan berlaku zalim.” Hadis ini diriwayatkan oleh An-Nasa’i.
Maksud kesalahan di sini adalah kesalahan meninggalkan As-Sunnah.
Yang dimaksudkan makruh di sini adalah makruh
tanzih meskipun di kalangan ulama madzhab Hanafi. Kecuali jika diyakini bahwa
apa yang melebihi kadar tiga kali basuhan tersebut termasuk dalam amalan wudhu,
maka hukum makruh dengan kondisi seperti ini dianggap sebagai
hukum makruh tahrim oleh mereka. Ibnu Abidin telah
menyebut, “Apabila disebut hukum makruh, maka yang dimaksudkan adalah makruh
tanzih." Jika digunakan air secara berlebihan untuk tujuan menambah
bersih atau untuk meyakinkan hati dan tujuan yang dibenarkan lainnya, maka ia
tidak dianggap makruh. Begitu juga dihukumi makruh tanzih jika terlalu sedikit
(bakhil) menggunakan air, sehingga tindakan membasuh menjadi seperti
mengusap, yaitu apabila air yang menetes dari anggota yang dibasuh tidak jelas.
Hal ini karena terdapat hadits yang menuntut kita supaya menyempurnakan wudhu.
Perbuatan bakhil menggunakan air merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hadits.
B. Menyiramkan air dengan kuat ke muka dan anggota lain
Hukum makruh di sini adalah makruh tanzih
karena ia menyebabkan air yang telah digunakan memercik ke atas pakaian. Oleh
sebab itu, tidak melakukan hal yang demikian merupakan tindakan yang lebih
utama. Ia juga menyalahi adab dalam berwudhu. Oleh sebab itu, larangan di sini
merupakan larangan mengenai adab.
C. Berbicara dengan bahasa manusia biasa
Hukum makruh di sini adalah makruh tanzih
karena pembicaraan itu dapat menghalangi dari berdoa. Menurut ulama madzhab
Syafi'i, perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
keutamaan.
D. Meminta pertolongan kepada orang lain tanpa udzur
Perbuatan ini adalah makruh karena terdapat
hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas, "Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam tidak pernah bergantung kepada siapa pun dalam bersuci."
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni. Hadis ini adalah dhaif (Nailul
Authar jilid 1 halaman 176). Contoh yang lain ialah hadis yang menceritakan
bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Umar
yang hendak menuangkan air ke tangan beliau, “Aku tidak meminta pertolongan
kepada siapa pun dalam berwudhu.” Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Muhadzdzab
bahwa hadis ini tidak benar dan tidak ada asal usulnya.
Walaupun kita telah mengetahui bahwa terdapat
hadits yang menjelaskan bahwa boleh meminta bantuan orang lain dalam berwudhu, akan
tetapi kebolehan tersebut hanya dikhususkan bagi orang yang udzur. Selain itu,
kaidah darurat dapat membolehkan berbagai larangan.
E. Berwudhu di tempat yang najis adalah makruh
Hal ini supaya ia tidak terkena najis. Ulama
Hanafi menambahkan, makruh juga berwudhu menggunakan air lebihan yang pernah
digunakan oleh wanita. Ataupun, berwudhu dalam masjid kecuali jika dilakukan
dalam wadah atau dalam tempat yang memang disediakan untuknya. Ini semua
disebabkan karena ia dikhawatirkan akan membasahi masjid.
Ulama madzhab Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid
1 halaman 20; Al-Mughni jilid 1 halaman 143) mengatakan bahwa makruh
mengucurkan air wudhu dan air mandi ke dalam masjid atau ke tempat yang diinjak
oleh banyak orang, seperti ke jalan raya. Ini adalah untuk menjaga kesucian air
wudhu, karena ia memiliki kehormatan. Selain itu, ia adalah kesan dari suatu
ibadah. Boleh berwudhu dan mandi dalam masjid jika ia tidak menyusahkan siapa
pun dan tidak mengotori masjid. Hal ini karena air yang berpisah dari anggota
wudhu itu memiliki hukum suci.
F. Mengusap leher dengan air menurut pendapat jumhur
ulama selain ulama madzhab Hanafi
Hal ini karena menurut pendapat mereka,
perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas dalam
beribadah dan juga menyusahkan. Ulama madzhab Syafi'i juga berkata, tidak
disunnahkan mengusap leher karena tidak terdapat nash yang tetap mengenai hal
itu. An-Nawawi berkata perbuatan tersebut adalah bid'ah. Begitu juga, ulama
Maliki berpendapat bahwa ia adalah bid'ah yang dimakruhkan (Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 60; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 128).
G. Tindakan yang berlebihan (mubalaghah)
Dalam melakukan madhmadhah (berkumur) dan
istinsyaq oleh orang yang berpuasa. Perbuatan ini dimakruhkan karena dikhawatirkan
akan membatalkan puasa.
H. Tidak meninggalkan salah satu sunnah dari beberapa
sunnah wudhu yang telah dijelaskan sebelum ini, berdasarkan pendapat berbagai
madzhab
Ulama madzhab Hambali umpamanya mengatakan
bahwa makruh bagi setiap orang melakukan istintsar, membersihkan hidung
dan kotorannya, membuka sepatu, dan mengambil sesuatu dari tangan orang lain
dan sejenisnya dengan tangan kanan, sedangkan dia mampu menggunakan tangan kiri
(Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 118).
I. Madzhab Hambali mengatakan bahwa boleh berwudhu dengan
air yang tersisa yang pernah digunakan oleh perempuan secara bersamaan dengan
seorang laki-laki
Dalam Kitab Al-Mughni jilid 1 halaman
214 dan seterusnya, dan Kitab Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 31 dikatakan
demikian, tetapi jika ia digunakan secara terpisah, maka air tersebut makruh
digunakan. Ini disebabkan karena terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang orang laki-laki berwudhu dengan
air sisa yang pernah digunakan perempuan. Diriwayatkan oleh Imam Hadits yang
Lima dari Al-Hakam bin Amr Al-Ghifari, tetapi Ibnu Malah dan An-Nasa'i berkata,
"Wudhu perempuan." Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits
ini adalah hasan. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa para huffazh telah sepakat
bahwa hadits ini adalah dhaif. Ibnu Haiar mengomentari bahwa An-Nawawi saja
yang berkata demikian, padahal hadis tersebut mempunyai syahid dalam
riwayat Abu Dawud dan An-Nasa’i (Nailul Authar jilid 1 halaman 25).
Selain itu, terdapat sekelompok sahabat yang
tidak suka dengan perbuatan yang demikian itu. Oleh sebab itu, mereka berkata, “Apabila
perempuan meninggalkan air yang tersisa, maka janganlah kamu berwudhu dengan air
tersebut."
Mayoritas ulama mengatakan boleh berwudhu
dengan air tersebut, baik digunakan oleh laki-laki atau oleh perempuan. Hal ini
karena terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab
Shahih-nya dan juga terdapat riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas (walaupun hadis ini
berada dalam kitab ash-shahihain, namun ada golongan yang menganggapnya
cacat (Nailul Authar jilid 1 halaman 26)), "Sesungguhnya Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mandi dengan air yang
tersisa dari wudhu Maimunah. Maimunah berkata, “Saya telah mandi dengan air
dari satu wadah (jafnah/wadah seperti mangkuk besar), lalu saya
tinggalkan
sisanya kemudian datang Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dan menggunakan air tersebut untuk mandi. Saya memberi
tahu kepada beliau bahwa saya telah mandi dengan air tersebut. Kemudian Rasul
menjawab, “Sesungguhnya air tidak menanggung janabah apa pun.” Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i, dan At-Tirmidzi, dia berkata bahwa
hadits ini adalah shahih dengan lafaz, "Wahai Rasulullah, saya berjunub."
Lalu beliau bersabda, "Air tidak berjunub (berhadas besar)." (Nailul
Authar, jilid 1 halaman 26). Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lbnu Majah
dari Maimunah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu
dengan sisa air mandi janabahnya (Maimunah).
Apalagi, ia adalah air yang suci dan boleh digunakan
oleh laki-laki. Kedudukannya adalah sama dengan sisa air yang digunakan oleh
orang laki-laki, ini adalah pendapat yang ashah. Oleh sebab itu, larangan
menggunakan air tersebut ditafsirkan sebagai hukum makruh tanzih dengan
berdasarkan kepada hadits-hadits yang membolehkan.
J. Air yang panas dan air yang terjemur matahari (musyammas)
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########