BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


4. PERKARA YANG DIHARAMKAN BAGI WANITA YANG SEDANG DALAM KEADAAN HAID DAN NIFAS

Segala hal yang diharamkan bagi orang yang berjunub juga diharamkan kepada orang yang sedang haid dan nifas. Perkara yang diharamkan itu ada tujuh: seluruh jenis shalat, sujud tilawah, menyentuh Alquran, membaca Alquran, masuk masjid, i’tikaf dan thawaf.

Tetapi, menurut ulama Maliki –berdasarkan pendapat yang mu'tamad- wanita yang haid atau nifas boleh membaca Al-Qur'an dengan hati. Kecuali, setelah darah haidnya berhenti dan dia belum mandi, baik ketika haid atau nifasnya dia junub ataupun tidak.
Ulama Hanafi mengatakan, ada delapan perkara yang diharamkan bagi wanita yang haid dan nifas.
Adapun ulama Maliki, mengatakan ada dua belas perkara, yaitu tujuh perkara yang telah disebutkan di atas dan lima lagi ialah puasa, talak, bersetubuh pada kemaluan sebelum kering darah, bersetubuh pada tempat selain kemaluan sebelum kering darah, dan bersetubuh setelah kering darah, tetapi sebelum mandi.
Menurut ulama Syafi'i, ada delapan perkara yang diharamkan, sementara menurut ulama Hambali ada lima belas.
Perincian tentang larangan-larangan dalam masa haid dan nifas serta dalilnya adalah sebagai berikut (Al-Bada’i jilid 1 halaman 44; Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 158-162, 268-274; Fathul Qadir jilid 1 halaman 114-119; Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 56 dan seterusnya; Muraqil Falah halaman 24; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 215; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 40; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 54-57, 61; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 38-45; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 109-120; Tuhfatuth Thullab halaman 23 dan seterusnya; Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 312-323; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 117-119; Al-Mughni jilid 1 halaman 306 dan seterusnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 226-233).

A. Bersuci: Mandi atau Wudhu

Menurut ulama Syafi'i dan Hambali, apabila perempuan sedang haid, maka dia haram melakukan thaharah untuk haid dan nifasnya. Karena, haid dan nifas adalah mewajibkan thaharah. Sesuatu yang mewajibkan thaharah menghalangi sahnya thaharah. Contohnya, seperti keluar kencing. Artinya dengan berhentinya air kecing, maka thaharah menjadi sah baginya. Tetapi dia boleh mandi karena junub, ihram, memasuki Mekah, dan semacamnya, bahkan disunnahkan. Ulama Hambali menyebut wudhu sebagai perkara kedua. Mereka juga menyebutkan perbuatan shalat dan kewajibannya adalah dua perkara.

B. Shalat

Wanita yang sedang haid dan nifas diharamkan melakukan shalat. Hal ini berdasarkan hadits Fatimah binti Abi Hubaisy yang telah lalu, yaitu, "Apabila engkau didatangi haid, hendaklah engkau tinggalkan shalat."
Dan menurut ijma ulama, fardhu shalat itu gugur dan tidak perlu dilakukan qadha'. Hal ini berdasarkan riwayat Aisyah, "Semasa kami sedang haid, kami disuruh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam supaya mengqadha' puasa dan kami tidak disuruh supaya mengqadha' shalat.” Riwayat al-jama’ah dari Mu’azah (Nailul Authar jilid 1 halaman 280).
Ditambah lagi, mengqadha' shalat adalah perkara yang menyusahkan, karena haid senantiasa berulang dan masanya pun panjang, tidak seperti puasa. Wanita yang haid haram mengqadha' shalat. Pendapat yang mu'tamad menurut Madzhab Syafi'i ialah makruh mengqada' shalat. Jika ia melakukannya, maka shalat itu menjadi shalat sunnah mutlak yang tidak diberi pahala.

C. Puasa

Wanita yang haid atau nifas haram berpuasa, dan dengan adanya haid tersebut maka menghalangi sahnya puasa. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah yang telah lalu. Hadits ini menunjukkan bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wanita-wanita yang haid dan nifas tidak berpuasa. Tetapi, mereka tetap wajib mengqadha'nya.
Oleh karena itu, wanita yang sedang  haid dan nifas hendaklah mengqadha' puasa mereka, tetapi tidak perlu mengqadha' shalat berdasarkan hadits yang sama. Lagipula, puasa dilakukan setahun sekali dan ini tidak menyusahkan untuk diqadha'. Oleh sebab itu, ia tidak gugur karena haid dan nifas.
Terdapat hadits lain dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepada wanita-wanita, "Bukankah saksi perempuan sama dengan separuh saksi lelaki?" Mereka menjawab, "Ya." Rasulullah berkata, "ltu karena kekurangan akalnya. Bukankah apabila dia haid dia tidak shalat dan tidak berpuasa." Mereka menjawab, "Ya." Rasulullah berkata, "Itu adalah karena kurangnya agama.” Riwayat Al-Bukhari (Nailul Authar jilid 1 halaman 279 dan seterusnya). Muslim meriwayatkannya dari hadis Ibnu Umar dengan lafal, “Dia tidak shalat dan tidak juga berbuka di bulan Ramadhan. Hal ini menunjukkan kekurangan agamanya.”

D. Thawaf

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, "Apabila kamu didatangi haid, lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang mengerjakan haji. Tetapi, kamu tidak boleh thawaf di Ka'bah kecuali setelah kamu bersuci.” Muttafaqun ‘alaihi dari Aisyah.
Apalagi, thawaf memang memerlukan thaharah dan ia tidak sah apabila dilakukan oleh wanita yang sedang dalam keadaan haid.

E. Membaca, Memegang, dan Membawa Mushaf Al-Qur'an
           
Kedudukan wanita haid dan nifas sama seperti orang yang berjunub, seperti yang telah disebutkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, "Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan." (Al-Waaqi'ah: 79)
Juga, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Seseorang yang haid dan orang yang berjunub janganlah membaca apa pun dari Al-Qur'an." Diriwayatkan dari hadis Ibnu Umar dan At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dari hadis Jabir dalam Ad-Daruquthni. Ini adalah hadis dhaif (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 195).
Ulama Syafi'i membuat pengecualian apabila ada kekhawatiran Al-Qur'an akan tenggelam, terbakar, terkena najis, atau jatuh ke tangan orang kafir. Dalam kasus seperti ini, maka wanita yang sedang haid dan nifas (juga yang berjunub) wajib membawa Al-Qur'an itu.
Demikian juga, para ulama berpendapat bahwa mereka boleh juga membawa Al-Qur'an yang mengandungi tafsir yang diyakini lebih banyak tafsirnya. Menurut ulama Syafi'i, berdasarkan
pendapat yang mu'tamad, tidak boleh membawa Al-Qur'an jika dia bertujuan membawanya bersama barang-barang.
Ulama Hanafi mengecualikan kasus menyentuh sarung Al-Qur'an yang terpisah dengannya. Makruh juga menyentuh dengan lengan baju, karena ia termasuk pakaian. Diberikan rukhshah (keringanan) bagi para pengkaji kitab syariah baik hadits, fiqih, atau tafsir untuk membuka helaian kertas dengan tangan karena darurat. Begitu juga makruh menyentuh ayat-ayat itu, karena ia tetap mengandungi ayat-ayat Al-Qur'an. Disunnahkan untuk tidak membuka helaian
Al-Qur'an kecuali dengan wudhu. Mereka membolehkan membuka helaian Al-Qur'an dengan menggunakan pensil atau pena untuk dibaca. Demikian juga, mereka membolehkan anak-anak membawa Al-Qur'an dan mengangkatnya dengan tujuan untuk belajar.
Orang yang berjunub, haid, atau nifas tidak makruh melihat Al-Qur'an, Menulis Al-Qur'an dan nama Allah Ta’ala di atas uang (uang perak), di mihrab masjid, di dinding, dan di atas hamparan adalah makruh.
Makruh juga membaca Al-Qur'an di tempat mandi, bilik air, dan di tempat buang sampah. Namun, tidak dimakruhkan menulis satu ayat (Al-Kursi misalnya) di atas lembaran kertas. Dengan
syarat, lembaran itu terpisah dengan penulis, kecuali jika dia menyentuhnya dengan tangannya.
Menurut pendapat yang mu'tamad di kalangan ulama Maliki, orang yang haid dan nifas serta junub atau tidak, tidak diharamkan membaca Al-Qur'an dalam hati, kecuali setelah darah berhenti namun dia belum mandi. Pada masa itu, dia tidak boleh membacanya sama sekali sehingga dia mandi. Sebab ketika itu, dia tidak ada udzur lagi.

F. Masuk, Duduk, dan I'tikaf di dalam Masjid Meskipun dengan Wudhu

Larangan ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Aku tidak menghalalkan bagi orang haid atau junub memasuki masjid.” Riwayat Abu Dawud.
Ulama Syafi'i dan Hambali membolehkan wanita yang sedang haid atau nifas berlalu di dalam masjid, jika ia yakin tidak akan mengotori masjid. Karena, hukum mengotori masjid dengan najis atau kotoran lainnya adalah haram. Juga, karena terdapat riwayat Aisyah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, "Ambilkan aku sajadah (tikar) dari masjid. Maka aku menjawab, “Aku sekarang sedang haid. “Lantas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya haidmu tidak terletak di tanganmu." Riwayat Muslim.
Juga, berdasarkan riwayat dari Maimunah radhiyallahu ‘anha yang berkata, "Salah seorang dari kami membawa sajadah (tikar) ke masjid lalu menghamparkannya, padahal dia sedang haid.” Riwayat An-Nasa’i.
Di samping itu, ulama Hambali juga membolehkan wanita yang sedang haid untuk duduk di dalam masjid dengan berwudhu terlebih dahulu sesudah darah kering.

G. Bersetubuh Meskipun dengan Penghalang

Larangan bersetubuh meskipun dengan penghalang sewaktu haid adalah pendapat yang disepakati oleh seluruh ulama. Adapun istimta' pada bagian tubuh yang berada di antara pusar dan lutut juga dilarang, menurut jumhur ulama selain ulama Hambali. Larangan ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, "... Karena itu jauhilah istri pada waktu haid, dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci.... " (Al-Baqarah: 222)
Juga, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdullah bin Sa'ad ketika dia bertanya kepada beliau, "Apakah perkara yang dihalalkan untukku ketika istriku sedang haid?" Rasulullah menjawab, "Yang dibolehkan untukmu adalah (apa yang berada) di atas pakaian (izaar).” Riwayat Abu Dawud dari Hizam bin Hakim dari pamannya Abdullah bin Sa'ad (Nailul Authar jilid 1 halaman 277). Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Ikrimah dalam Abu Dawud, dari Aisyah dalam Al-Bukhari dan Muslim. Nashnya ialah, "Salah seorang dari kami didatangi haid kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin menyentuh kulitnya. Baginda menyuruh supaya dia menutup pusarnya dengan pakaiannya kemudian menyentuhnya (yakni menyentuh kulit bukan bersetubuh)." (Nailul Authar jilid 1 halaman 777 dan halaman seterusnya)
Selain itu, karena ber-istimta' di bawah pusar dapat mendorong seseorang untuk bersetubuh, maka ia dihukumi haram. Juga, karena terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Nu'man bin Basyir, "Siapa yang berkeliling di sekitar tempat larangan, maka dikhawatirkan dia akan terjatuh ke dalamnya."
Yang dimaksud dengan izaar adalah pakaian yang menutupi bagian tengah dan bagian bawah tubuh, yaitu bagian tubuh yang terdapat di antara pusar dan lutut. Adapun "bermain-main" di selain tempat itu adalah dibolehkan. Oleh karena itu, boleh mencium, mendekap, menyentuh, dan lain-lain.
Ulama Hanafi membolehkan ber-istimta' dengan istri yang sedang haid, atau yang semacamnya pada bagian tubuh yang berada di antara pusar dan lutut selain bersetubuh (berhubungan kelamin). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Lakukanlah semua perkara kecuali nikah (persetubuhan).” Diriwayatkan oleh al-Jama'ah kecuali Al-Bukhari. Al-Bukhari meriwayatkan dalam tarikhnya dari Masruq bin Aida' dengan mengatakan, “Aku bertanya kepada Aisyah, “Apakah yang boleh dilakukan oleh lelaki terhadap istrinya yang sedang haid?” Dia menjawab, “Semua perkara kecuali kemaluan!" (Nailul Authar jilid 1 halaman 276 dan seterusnya).
Mereka juga menghalalkan seorang suami yang nafsunya kuat (syabaq) untuk bersetubuh dengan istrinya yang sedang haid, dengan syarat dia tidak dapat menahan syahwatnya dengan cara lain, selain berhubungan kelamin dengan istrinya saja. Dan dia khawatir kalau buah zakarnya akan pecah jika dia tidak bersetubuh, sedangkan dia tidak mempunyai istri lain selain istrinya yang sedang haid itu, dan dia tidak mampu menyediakan mahar untuk kawin lagi dengan wanita yang merdeka, dan tidak juga mempunyai uang yang cukup untuk mendapatkan hamba sahaya.
Menurut pendapat ulama Maliki dan Syafi'i, bersetubuh dan istimta' pada bagian tubuh yang terdapat di antara pusar dan lutut adalah haram. Keharaman itu berterusan sehingga wanita itu mandi untuk bersuci (setelah haidnya berhenti) dengan menggunakan air bukan dengan tayamum. Kecuali jika memang tidak ada air atau dia tidak sanggup menggunakan air, maka wanita itu boleh disetubuhi setelah bertayamum. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, "...jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu...." (Al-Baqarah: 222)
Dalam ayat ini, Allah menetapkan dua syarat bagi halalnya persetubuhan, yaitu berhentinya darah haid dan mandi. Syarat yang pertama, yaitu berhentinya darah haid diambil dari firman Allah Ta’ala, "Sehingga suci (hattaa yathhurna)." (Al-Baqarah: 222) Adapun syarat yang kedua, yaitu mandi, diambil dari firman Allah Ta’ala, "Apabila telah bersuci (fa idzaa tathahharna). " (Al-Baqarah: 222)
Dengan demikian, dibolehkannya bersetubuh itu bergantung kepada faktor mandi (bersuci). Ini juga merupakan pendapat madzhab Hambali berkenaan haramnya bersetubuh (jimak).
Ulama Hanafi juga mengatakan bahwa apabila darah haid berhenti kurang dari sepuluh hari, maka tidak halal bersetubuh atau ber-istimta' dengannya hingga dia mandi atau bertayamum menurut syarat-syaratnya. Meskipun tayamum itu tidak boleh digunakan untuk shalat, menurut pendapat yang ashah, karena darah kadang-kadang keluar dan kadang-kadang berhenti. Oleh karena itu, dia haruslah mandi untuk membuktikan bahwa darah haid tersebut memang telah berhenti.
Jika wanita itu tidak mandi padahal ada waktu shalat yang sempurna namun waktu itu telah lewat, artinya dalam waktu itu sebenarnya dia masih mempunyai waktu untuk shalat, memakai pakaian, dan bertakbiratul ihram, tetapi dia tidak mau melakukan shalat dan waktunya sudah terlewat, maka dia halal disetubuhi. Karena, shalat yang terluput itu menjadi utang dalam tanggungannya. Oleh karena itu, dia dihukumi berada dalam keadaan suci.
Jika darah haid berhenti sebelum masa biasanya, namun telah melewati tiga hari, maka suami tidak boleh mendekatinya hingga masa haid yang biasa sudah terlewat, meskipun wanita itu sudah mandi. Hal ini disebabkan masa berhentinya haid menurut mereka dianggap sebagai masa haid. Lagipula, mengembalikan hukum kepada kebiasaan adalah perkara yang biasa terjadi. Dan langkah berhati-hati yang patut diambil dalam keadaan seperti ini adalah menghindari persetubuhan.
Jika darah haid terputus selama sepuluh hari, yaitu masa maksimal haid menurut mereka, maka ia halal disetubuhi sebelum mandi. Hal ini karena masa haid tidak lebih dari sepuluh hari. Meskipun demikian, bersetubuh tidaklah dianjurkan sebelum mandi. Karena, terdapat larangan dalam Al-Qur'an berdasarkan firman Allah Ta’ala, "Maka janganlah mendekati mereka hingga dia mandi (yaththahharna)." (Al-Baqarah: 222)
Jika dibaca dengan syaddah (taththahharna), bacaan dengan syaddah ini menunjukkan mubalaghah (berlebihan) dalam bersuci. Mubalaghah dalam bersuci hanya dapat diperoleh dengan mandi, bukan melalui keringnya darah.
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa ulama Hanafi membolehkan melakukan hubungan badan dalam keadaan haid dan nifas sebelum mandi, dalam dua keadaan (yang akan diterangkan nanti). Pendapat ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, "...jangan kamu dekati mereka (untuk bersetubuh) sebelum mereka suci...." (Al-Baqarah: 222)
Dengan bacaan takhfif (yath-hurna) (bukan dengan syaddah (yaththah-harna), ayat ini menjadikan keadaan suci sebagai batas akhir bagi hukum haram. Namun, disunnahkan supaya tidak menyetubuhinya hingga dia mandi. Ini berdasarkan bacaan tasydid untuk mengambil sikap menghindar dari perbedaan pendapat.
Kedua keadaan yang dimaksud di atas adalah ketika waktu shalat yang sempurna telah berlalu, sedangkan wanita tersebut sudah berhenti haidnya dan masa haidnya kurang dari sepuluh hari. Ketika waktu shalat itu sudah berlalu, dia tidak menunaikan shalat. Keadaan kedua adalah ketika darah haidnya berhenti setelah sepuluh hari, yang merupakanmasa maksimal haid.
Kebiasaan yang berlaku bagi kaum wanita adalah berhentinya darah haid setelah enam atau tujuh hari. Dalam keadaan ini, wanita tersebut tidak boleh disetubuhi hingga dia mandi, dan selagi dia tidak menanggung shalat sebagaimana dalam kondisi yang pertama di atas.
Siapa yang darahnya berhenti lebih dari masa maksimal haid, maka halal baginya bersetubuh. Jika darah itu terhenti kurang dari masa haid, maka dia tidak boleh disetubuhi hingga berlalunya satu waktu shalat yang penuh.

Kafarat karena Menyetubuhi Wanita Haid dan Semacamnya

Ulama Maliki, Hanafi, dan Syafi'i –dalam madzhab jadid- mengatakan bahwa orang yang menyetubuhi istri yang haid atau yang semacamnya tidak dikenakan kafarat, tetapi dia wajib beristigfar dan bertobat. Hal ini berdasarkan kaidah Al-Ashlu Bara'ah Adz-Dzimmah. Adapun hadits yang menerangkan tentang kafarat adalah hadits mudhtarib.
Alasan bersetubuh diharamkan pada masa haid adalah karena jijik. Oleh karena itu, ia tidak hubungannya dengan kafarat, sebagaimana melakukan hubungan pada dubur.
Ulama Hambali -dalam salah satu riwayat yang paling rajih dari dua riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad- mengatakan bahwa orang yang menyetubuhi perempuan dalam keadaan haid atau nifas wajib dikenakan kafarat. Begitu juga wanitanya, diwajibkan membayar kafarat jika dia menaati (menuruti) lelaki untuk menyetubuhinya dalam keadaan haid.
Hukum kafarat itu sama seperti kafarat bersetubuh dalam masa ihram. Jika perempuan itu dipaksa, maka dia tidak wajib membayar kafarat. Sebab dalam keadaan itu, dia tidak ada taklif. Kafarat tetap wajib, walaupun persetubuhan itu dilakukan oleh orang yang lupa, orang yang dipaksa, dan orang yang tidak mengetahui bahwa istrinya sedang haid atau tidak mengetahui tentang hukum haramnya, ataupun tidak mengetahui kedua-duanya. Tetapi, kafarat tidak diwajibkan dalam keadaan menyetubuhi wanita setelah berhentinya darah haid.
Banyaknya kafarat adalah satu atau separuh dinar, boleh memilih salah satu. Jika ia mengeluarkan salah satunya, maka kafaratnya sudah sah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tentang orang yang menyetubuhi istrinya dalam keadaan haid. Yaitu, dia hendaklah bersedekah sebanyak satu atau setengah dinar. Riwayat Imam hadis yang lima. Kata Hafidz Ibnu Hajar, kritikan dan persoalan tentang isnad serta matan hadis ini sangat banyak dibincangkan (Nailul Authar jilid 1 halaman 278).
Kafarat menyetubuhi perempuan dalam keadaan haid menjadi gugur apabila dia tidak mampu membayarnya, sama seperti hukum kafarat bersetubuh dalam bulan Ramadhan.
Menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i, orang yang menyetubuhi wanita semasa permulaan datangnya darah haid disunnahkan bersedekah sebanyak satu dinar. Dan bagi siapa yang bersetubuh ketika haid hampir berhenti, disunnahkan bersedekah sebanyak setengah dinar. Hal ini berdasarkan hadits riwayat dari Ibnu Abbas yang telah lalu, yang terdapat dalam At-Tirmidzi. Yaitu jika darah itu berwarna merah, maka dikenakan satu dinar dan jika berwarna kuning, dikenakan setengah dinar.
Menyetubuhi perempuan yang sedang haid bukan merupakan maksiat yang besar. Hal ini disebabkan perbuatan ini tidak masuk dalam definisi maksiat besar.

H. Talak

Haram menceraikan istri dalam keadaan haid. Cerai atau talak yang dilakukan dalam keadaan haid dianggap bid'ah, karena menyebabkan 'iddah perempuan menjadi panjang.
Ia haram karena bertentangan dengan firman Allah Ta’ala, "Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya (yang wajar)...." (Ath-Thalaaq: 1)
Bila wanita haid ditalak, maka masa haid yang tersisa tidak dihitung sebagai 'iddah. Hal itu memberi mudharat terhadap wanita karena panjangnya masa menunggu. Di samping itu, terdapat riwayat dari Ibnu Umar bahwa beliau telah menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Umar memberitahukan hal itu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Suruhlah dia supaya merujuknya dulu, kemudian menceraikannya dalam keadaan suci atau hamil.” Riwayat al-jama’ah, kecuali Al-Bukhari dari Ibnu Umar (Nailul Authar jilid 4 halaman 221).    
Halal menceraikan wanita setelah berhenti haid, sebelum dia mandi. Ada keterangan yang menyebutkan bahwa apabila wanita sudah berhenti darah haidnya, maka dia tidak dihalalkan melakukan kegiatan sebelum ia mandi kecuali puasa, talak, bersuci, dan shalat fardhu jika perempuan itu memang tidak mempunyai salah satu dari dua alat suci, air dan tanah.
Pengharaman puasa bagi wanita tersebut adalah disebabkan haid, bukan karena hadats. Buktinya ialah orang yang berjunub sah melakukan puasa, apalagi haid yang sudah berhenti. Talak pun demikian, karena penyebab keharamannya telah hilang, yaitu menambah panjang masa 'iddah. Adapun bersuci, karena ia memang diwajibkan. Begitu juga dengan shalat fardhu.
'lddah belum bermula jika seseorang menceraikan istrinya dalam masa haid. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, "Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’ .... " (Al-Baqarah: 228)
Adapun quru' yang hanya setengah tidak dianggap sebagai satu quru'.



PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)