BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


2. PERKARA-PERKARA YANG MENYEBABKAN WAJIB MANDI

Perkara yang menyebabkan wajib mandi dinamakan hadats besar, sedangkan perkara yang menyebabkan wajib seseorang mengambil air wudhu dinamakan hadats kecil. Bagi ulama Hanafi, perkara yang menyebabkan wajib seorang mukallaf mandi, baik dia lelaki ataupun wanita ada tujuh perkara. Ulama Maliki mengatakan ada empat perkara. Menurut ulama Syafi'i perkara tersebut ada lima, sedangkan menurut ulama Hambali ada enam perkara. Keterangannya adalah sebagai berikut (Fathul Qadir, jilid 1 halaman 41-44; Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman 148-156: Muraqil Falah, halaman 16; Al-Lubab, jilid 1 halaman 22; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 160-166; Asy-Syarhul Kabir, jilid 1 halaman 126-130; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 25-30; Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 44 dan berikutnya; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 29 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 68-70; Al-Mughni, jilid l halaman 199-211; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 158-167).


A. Keluar Mani

Yaitu, apabila air mani keluar dari kemaluan lelaki ataupun wanita, disertai rasa nikmat -menurut kebiasaan- dan keluarnya memuncrat, meskipun keluarnya sewaktu tidur ataupun sewaktu terjaga. Air mani itu keluar biasanya disebabkan memandang atau berpikir (hal yang menimbulkan syahwat), sebab bersetubuh, atau melakukan hubungan dengan seorang yang hidup, yang telah mati, ataupun binatang. Ulama Hanafi tidak menyebutkan wajib mandi bagi orang yang menyetubuhi orang mati, binatang, ataupun anak-anak perempuan yang tidak menimbulkan birahi.
Mani adalah air kental yang keluar memuncrat ketika syahwat menegang. Adapun mani wanita bentuknya cair dan berwarna kekuningan. Keluar air madzi atau air wadi tidak menyebabkan wajib mandi. Air mazi ialah air yang putih dan agak jernih dan keluar ketika seorang itu bermesra dengan istrinya. Sementara air wadi ialah air kencing yang kental yang keluar pada permulaan kencing.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama Syafi'i, air mani dapat dikenali melalui cara keluarnya yang memuncrat beberapa kali ataupun dengan adanya rasa nikmat atau lezat ketika ia keluar, diikuti dengan kondisi zakar menjadi lembek dan hilang keinginan syahwat. Mani juga kadang keluar tidak dengan cara memuncrat karena ia sedikit. Ia juga mungkin keluar dengan warna darah. Ia juga dapat dikenali melalui baunya; sewaktu basah ia berbau seperti bau tepung gandum yang dalam adonan dan ketika kering ia berbau seperti putih telur. Jika seseorang keluar mani tanpa memuncrat dan terasa nikmat seperti ia keluar sisa mani setelah mandi, maka mandinya wajib diulang.
Kesimpulannya adalah keluar mani –meskipun akibat membawa benda berat ataupun terjatuh dari tempat tinggi, ataupun semata-mata mendapatinya di pakaian, semua ini menyebabkan wajib mandi, menurut ulama Syafi'i, baik ia keluar dengan keinginan ataupun tidah dan baik keluar melalui saluran biasa ataupun saluran lain seperti pecah bagian sulbinya lalu keluar mani. Namun jika mani yang keluar melalui saluran yang tidak biasa itu disebabkan sakit, maka ia tidak menyebabkan wajib mandi.
Ulama Hambali berpendapat apabila mani keluar namun tidak disertai rasa nikmat atau tidak disertai syahwat-seperti disebabkan sakit, terlalu dingin, cedera punggung dan keluarnya dari seseorang yang tidak dalam keadaan tidur, keluar dari orang gila, orang pingsan, ataupun orang mabuk, maka ia tidak menyebabkan wajib mandi. Atas dasar ini, maka mani tersebut dianggap sebagai najis yang wajib dibasuh semua tempat yang terkena olehnya.
Begitu juga orang yang mengidap penyakit keluar mani berterusan juga tidak wajib mandi. Dia hanya wajib mengambil wudhu saja. Seseorang yang mendapati ada mani di kainnya, maka dia wajib mandi. Seseorang yang bermimpi, tetapi air mani tidak keluar, maka ulama sepakat mengatakan bahwa dia tidak perlu mandi.
Ulama Hanafi mengatakan sebagai langkah berhati-hati, maka perkara-perkara berikut dianggap menyebabkan wajib mandi, yaitu sekiranya seseorang telah sadar dari mabuk atau pingsan, dan dia mendapati kainnya basah oleh air yang diduga mani. Begitu juga apabila seseorang mendapati maninya keluar setelah dia mandi. Untuk menyebabkan wajib mandi, ulama Hanafi mensyaratkan mani tersebut hendaklah keluar secara memuncrat dan disertai keinginan, baik bagi lelaki ataupun wanita, ketika tidur ataupun ketika terjaga. Atas dasar ini, maka sekiranya mani tersebut keluar disebabkan memikul beban berat ataupun karena terjatuh dari tempat tinggi, maka mandi tidak wajib. Hal ini disebabkan maksud junub dalam Surah Al-Maa'idah ialah mereka yang keluar mani disertai dengan syahwat.
Ulama Hanafi sepakat mengatakan bahwa hukum wajib mandi hanya bagi mani yang keluar melalui kepala zakar dengan disertai syahwat. Dari sini timbul perselisihan pendapat di kalangan mereka tentang apakah keinginan tersebut disyaratkan berbarengan dengan keluarnya mani atau tidak. Menurut pendapat Abu Hanifah dan Muhammad, hal itu tidak disyaratkan. Abu Yusuf berpendapat ia disyaratkan.
Hasil perbedaan pendapat mereka ini juga berimbas dalam masalah apabila seseorang bermimpi dan merasakan kenikmatan, tetapi maninya baru keluar setelah dia mengambil wudhu dan shalat. Dalam kasus ini, menurut pendapat Abu Hanifah dan Muhammad orang tersebut harus mandi, tetapi tidak perlu mengulangi shalatnya. Menurut pendapat Abu Yusuf pula, dia tidak perlu mandi. Jika seseorang mandi setelah bersetubuh, dan sebelum dia tidur; kencing atau berjalan, maninya keluar tanpa syahwat, maka menurut pendapat mereka berdua, orang tersebut harus mandi. Tetapi menurut pendapat Abu Yusuf, ia tidak perlu mandi. Pendapat mereka berdua dianggap lebih tepat, karena maksud berjunub adalah memenuhi keinginan syahwat. Oleh karena itu, apabila terjadi keluar mani, meskipun terpisah telah dianggap memenuhi pengertian junub.
Ulama Maliki sependapat dengan ulama Hanafi dan Hambali, bahwa mani yang menyebabkan wajib mandi ialah yang keluar disertai dengan rasa nikmat-menurut adat. Jika ia keluar tidak disertai kenikmatan, seperti keluar sendiri disebabkan sakit, dipukul, penyakit keluar mani berterusan ataupun disengat kalajengking, maka ia tidak menyebabkan wajib mandi. Dia hanya perlu berwudhu saja. Begitu juga jika mani keluar disertai kenikmatan, tetapi tidak seperti biasa (adat), seperti orang yang menggosok gatal atau kurap di zakarnya, digoyang oleh binatang yang ditungganginya ataupun masuk ke dalam air panas, maka dia tidak wajib mandi, tetapi hanya wajib berwudhu saja. Dalam masalah yang berkaitan dengan air panas dan menggosok gatal yang bukan terdapat pada zakar, dia tidak wajib mandi, meskipun terdapat rasa nikmat yang berterusan dan menyebabkan keluar mani, Karena, air panas tidak berkaitan langsung dengan keinginan jimak. Adapun masalah digoyang oleh binatang dan juga menggaruk gatal pada zakar, sekiranya dia merasa nikmat secara berterusan hingga keluar mani, maka dia diwajibkan mandi. Karena, kedudukannya hampir sama dengan keinginan jimak.
Seseorang yang tersadar dari tidurnya dan mendapati pakaiannya ataupun tubuhnya basah oleh air dan dia meragukan apakah air itu mani atau madzi, maka dia wajib mandi. Karena, adanya keraguan tersebut menyebabkan ia meniadi wajib.
Para ulama sepakat bahwa perempuan yang terkena mani di kemaluannya selagi ia tidak menyebabkannya mengandung, maka ia tidak wajib mandi. Mereka juga berpendapat basah yang ada pada kelamin wanita dianggap bersih dan membasuhnya adalah disunnahkan.
Dalil yang menunjukkan bahwa keluar mani itu menyebabkan wajib mandi adalah berdasarkan hadits Ali bin Abi Talib, “ Aku adalah lelaki yang sering keluar madzi. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu. Beliau berkata, “Keluar madzi wajib berwudhu dan keluar mani wajib mandi.” Hadis riwayat Imam Ahmad, Ibnu Majah, At-Tirmidzi dan dia mengakui sebagai shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’i, Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan secara ringkas dari Imam Ali (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 218).
Dalam hadits Ahmad juga disebutkan, "Jika air (mani) keluar memuncrat, maka hendaklah engkau mandi junub dan jika tidak, maka engkau tidak perlu mandi."
Hadits dari Ummu Salamah juga menyatakan, Ummu Salamah telah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak malu dari sesuatu yang benar. Apakah perempuan itu wajib mandi apabila ia mimpi bersetubuh?" Beliau menjawab, "Ya, sekiranya ia mendapati keluar air (mani).” Ummu Salamah pun kembali bertanya, "Apakah perempuan juga keluar mani?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Beruntunglah kamu, bagaimana seorang anaknya dapat menyerupai ibunya (kalau bukan akibat pengaruh mani ibunya).” Hadis muttafiqun ‘alaihi. Ungkapan “Apabila kamu mendapati air” artinay mendapat ada mani setelah bangun tidur (Nasbur Rayah jilid 1 halaman 219).
Keluar madzi dan keluar wadi tidaklah menyebabkan wajib mandi. Ia hanya menyebabkan
wajib wudhu, serta membasuh kemaluan berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Setiap lelaki yang keluar madzi wajib berwudhu.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad dari Abdullah bin Sa’ad Al-Anshari. Imam Ishaq dan Ath-Thabari juga mentakhrij hadis yang sama dari Imam Ali (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 93).

B. Bertemu Alat Kelamin, Meskipun tidak Keluar Mani

Maksudnya adalah berjunub, yaitu dengan memasukkan kepala zakar atau kemaluan lelaki atau kadarnya -bagi yang zakarnya terpotong- ke dalam kemaluan wanita yang dapat disetubuhi baik qubul atau dubur, lelaki ataupun perempuan, secara suka rela ataupun dipaksa, dalam keadaan tidur ataupun terjaga. Alat kelamin disini maksudnya adalah tempat khitan atau tempat yang dipotong pada zakar dan farji. Bertemunya dua khitan maksudnya adalah bersetubuh.
Menurut pendapat ulama Syafi'i dan Hambali, mandi tetap wajib meskipun perkara tersebut terjadi pada anak-anak yang belum dewasa. Kewajiban ini tidak disyaratkan harus taklif. Oleh sebab itu, anak-anak dan orang gila juga dianggap berjunub dengan memasukkan zakarnya ke dalam kelamin wanita, dan keduanya wajib mandi apabila mereka sampai ke tahap sempurna (al-kamal). Anak-anak mumayyiz yang mandi, maka mandinya dianggap sah. Anak-anak tersebut hendaklah disuruh melakukan mandi wajib tersebut, sebagaimana dia disuruh mengerjakan wudhu.
Ulama Hambali juga mewajibkan mandi kepada anak lelaki yang berumur 10 tahun atau anak perempuan yang berumur sembilan tahun, apabila mereka melakukan persetubuhan. Yaitu, apabila mereka akan melakukan perkara yang memerlukan mandi seperti membaca Al-Qur'an dan yang memerlukan wudhu seperti shalat dan thawaf.
Ulama Maliki dan Hanafi mensyaratkan hendaklah perbuatan bersetubuh itu dilakukan oleh orang mukallaf (akil dan balig). Jika ia dilakukan oleh orang yang belum mukallaf, maka mandi tidak wajib. Namun, ulama Maliki -dalam pendapat yang mu'tamad di kalangan mereka- mengatakan bahwa anak lelaki yang telah sampai peringkat remaja ataupun anak perempuan yang disetubuhi oleh orang yang baligh disunnahkan untuk mandi.
Ulama Hanafi berpendapat, remaja lelaki hendaklah dilarang mengerjakan shalat sebelum dia mandi wajib. Anak-anak yang telah mencapai umur 10 tahun hendaklah dilatih dengan menyuruhnya melakukan amalan mandi ini.
Ulama sepakat bahwa mandi junub adalah wajib karena persetubuhan dan mereka tidak mensyaratkan keluar mani, karena hadits Aisyah yang menyatakan, "Sesungguhnya air (mandi) adalah disebabkan air (keluar mani),” telah dimansukh menurut ijma ulama. Hanya ulama Hanafi saja yang membuat pengecualian, yaitu ketika seseorang menyetubuhi orang mati, binatang, dan anak-anak kecil yang belum menimbulkan syahwat -jika memang tidak merusak selaput daranya, maka dia diwajibkan mandi jika memang keluar mani. Oleh karena itu, sekiranya tidak keluar mani
dan anak-anak kecil yang disetubuhi itu pula tidak rusak selaput daranya, maka dia tidak wajib mandi dan mengambil wudhu. Dia hanya disuruh membasuh zakarnya saja, karena perbuatan ini tidak dikehendaki menurut kondisi yang normal (Hasyiyah Ibn Abidin jilid 1 halaman 154).
Jumhur ulama berpendapat bahwa mandi tetap wajib karena melakukan persetubuhan dengan mayat dan binatang. Karena, ia tetap dianggap memasukkan zakar ke dalam kelamin wanita, sama seperti yang dilakukan terhadap manusia ketika dia masih hidup. Menyetubuhi perempuan yang telah mati termasuk dalam keumuman hadits-hadits yang menyebabkan wajib mandi seperti yang akan disebutkan.
Persetubuhan yang dilakukan dengan pembatas ataupun tidak, menurut pendapat ulama Maliki dan Syafi'i, semuanya menyebabkan wajib mandi. Ulama Maliki berpendapat bahwa kewajiban mandi tersebut apabila memang balutan yang meliliti zakar itu tipis. Jika ia tebal, maka mandinya tidak wajib. Ulama Syafi'i tidak membedakan antara balutan itu tipis atau tebal, orang tersebut tetap wajib mandi.    
Ulama Hanafi dan Hambali berpendapat, orang yang berjimak dengan pembatas/pembalut
adalah tidak wajib mandi, sekiranya tidak keluar mani seperti dengan membalut zakarnya dengan kain ataupun menyarunginya dengan kondom.
Ulama Syafi'i dan Hambali mensyaratkan persetubuhan itu dilakukan terhadap kelamin wanita yang asli. Adapun memasukkan zakar ke kelamin wanita yang tidak asli tanpa keluar mani, tidaklah menyebabkan wajib mandi. Hal ini sama dengan lelaki yang memasukkan zakarnya ke qubul seorang khunsa, karena khunsa tidak diyakini mempunyai kelamin wanita yang sebenarnya. Begitu juga sebaliknya, seorang khunsa yang memasukkan zakarnya ke qubul atau dubur seorang lain tanpa keluar mani, karena tidak terdapat perbuatan memasukkan hasyafah yang sebenarnya dengan yakin.
Ulama Maliki dan yang lain mensyaratkan, hendaklah perbuatan memasukkan zakar itu terjadi pada kelamin wanita yang memang mampu disetubuhi. Oleh sebab itu, sekiranya persetubuhan itu dilakukan terhadap kelamin wanita yang tidak mampu, ataupun yang bukan kelamin wanita seperti menjepitkannya di celah paha, perut, ataupun di celah bibir kelamin wanita, ataupun hanya dengan bertemu dua khitan tanpa memasukkan zakar ke dalam kelamin wanita, dan begitu juga bersetubuh di antara dua wanita tanpa mengeluarkan mani, maka tidak wajib mandi.
Dalil yang menunjukkan wajib mandi dengan sebab bersetubuh ini ialah firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maidah ayat 6 yang telah disebutkan sebelumnya.
Begitu juga berdasarkan hadits-hadits yang banyak, di antaranya ialah hadits, "Apabila bertemu dua khitan, maka wajiblah mandi, meskipun tidak keluar mani.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ibnu Majah dari Aisyah dan Abdullah bin Amr. Ini adalah hadis shahih.
Hadits lain, "Apabila (zakar) seseorang berada di antara empat segi (kelamin wanita) kemudian melakukan kerja (jimak), maka dia wajib mandi.” Hadis muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 219). Maksud empat cabang ialah ada yang mengatakan dua tangan dan dua kaki. Ada yang mengatakan dua kaki dan dua pahanya.
Imam Ahmad dan Muslim menambahkan dengan kalimat, "Walaupun tidak keluar mani."
Hal ini juga terdapat pada hadits, "Apabila ia duduk di antara empat segi (kelamin wanita) kemudian kedua kelamin itu bersentuhan, maka wajiblah ia mandi junub.” Riwayat Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi –dia mengakui shahih- dari Aisyah (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 219).
Imam At-Tirmizi memakai ungkapan, "Apabila tempat khitan melewati tempat khitan, maka wajiblah mandi."
Hadits Ubai bin Ka'ab juga menyebutkan bahwa fatwa terdahulu yang berdasarkan, "Air (mandi) adalah dengan sebab air (keluar nya air mani),” merupakan rukhshah yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada permulaan Islam. Kemudian setelah itu beliau telah memerintahkan kami agar mandi. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 219). Adapun hadis Rafi’ Khadij yang menyebut “air itu dari air” yang diriwayatkan oleh Ahmad, maka terdapat seorang perawi yang tidak dikenali. Pada zahirnya, hadis tersebut ialah lemah (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 222).
Imam At-Tirmidzi juga meriwayatkan bahwa aturan mandi hanya apabila keluar mani merupakan rukhshah di awal Islam, setelah itu aturan ini dilarang. Atas dasar ini, maka hadits Rafi' bin Khadij yang disebutkan oleh Imam Ahmad dan yang menerangkan bahwa "air (mandi) adalah dengan sebab air (keluar mani)" telah dimansukh. Hal ini berbeda dengan pendapat kaum Anshar yang mengatakan bahwa mandi tidak diwajibkan dengan persetubuhan yang tidak mengeluarkan mani. Karena, hadits-hadits yang telah dikemukakan menunjukkan secara jelas, bahwa wajib mandi dengan bertemunya dua khitan, baik keluar mani ataupun tidak. Ijma' dalam masalah ini juga terjadi di kalangan sahabat. Bertemunya khitan ini bukanlah hanya bermaksud keduanya bertemu atau bersentuhan saja, tetapi juga berarti saling melewati (at-tajaawuz). Ungkapan ini adalah ungkapan majaz yang artinya membenamkan atau memasukkan hasyafah ke dalam kelamin wanita. Hal ini dikarenakan makna khitan ialah tempat terjadinya khitan pada lelaki dan perempuan. Tempat khitan bagi wanita adalah di atas tempat keluar kencing, sedangkan kedudukan tempat kencing adalah di atas tempat masuknya zakar.
Ulama Hambali dan juga yang lain menjelaskan bahwa wanita yang mati kemudian disetubuhi hendaklah dimandikan lagi.

C dan D. Haid dan Nifas

Ulama sepakat bahwa kedua hal ini juga menjadi sebab wajibnya mandi. Hukum mandi
sebab berhenti haid adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 222 yang artinya, "... Karena itu jauhilah istri pada waktu haid.... "
Juga, berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Fatimah binti Abu Hubaysh, "Apabila mulai datang haid, hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila ia telah berhenti, maka hendaklah kamu mandi dan mengerjakan shalat."
Sementara itu, nifas adalah darah haid yang terkumpul. Berhentinya darah haid dan nifas merupakan syarat wajib serta syarat sahnya mandi. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur'an dalam Surah Al-Baqarah ayat 222 yang artinya, "... Apabila mereka telah suci, campurilah mereka.... " Artinya, adalah apabila wanita-wanita itu telah mandi. Suami dilarang menyetubuhi istrinya sebelum istrinya mandi. Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa mandi adalah wajib bagi wanita yang telah selesai haid.
Adapun kelahiran bayi dalam keadaan kering (tidak ada darah yang keluar), menurut pendapat yang mu'tamad di kalangan ulama Maliki, pendapat yang terpilih dalam Madzhab Hanafi dan pendapat yang ashah di kalangan ulama Syafi'i, hal itu tetap menyebabkan wajib mandi, karena adanya kelahiran bayi. Meskipun -menurut ulama Syafi'i- yang keluar itu adalah hanya segumpal darah atau daging, karena pada hakikatnya ia adalah mani yang telah terbentuk. Selain itu, biasanya
proses kelahiran selalu disertai keluarnya cairan. Oleh sebab itu, hukumnya disamakan. Kedudukannya sama seperti jika seorang wanita tidur kemudian keluar sesuatu (cairan dari kelaminnya). Perempuan juga dianggap batal puasanya dengan sebab ini. Berbeda jika yang keluar dari kelamin wanita itu hanya satu tangan atau kaki, atau anggota lainnya, maka ia tidak menyebabkan wajib mandi dan juga tidak membatalkan puasa. Dia hanya diberi pilihan untuk mau mandi ataupun mengambil wudhu.
Menurut pendapat yang lebih rajih dari kalangan ulama Hambali adalah kelahiran yang terjadi tanpa diiringi dengan keluarnya darah tidaklah menyebabkan kewajiban mandi. Karena, tidak ada nash atau kesimpulan yang dapat dipahami dari nash tentang masalah ini. Oleh karena itu, puasa wanita tersebut tidak batal dan dia juga tidak diharamkan untuk disetubuhi sebelum mandi.
Mandi juga tidak diwajibkan disebabkan keguguran dalam bentuk gumpalan darah atau daging, karena keadaan itu tidak dianggap sebagai melahirkan. Anak yang lahir adalah suci dan dengan adanya darah pada tubuhnya dia wajib dibersihkan sama, seperti sesuatu yang terkena najis.
Keluar darah istihadhah juga tidak menyebabkan wajib mandi. Ia hanya disunnahkan mandi apabila darah itu berhenti.

E. Muslim yang Mati Selain Mati Syahid

Ulama sepakat bahwa orang Islam diwajibkan secara kifayah dan secara ta'abbudi, untuk memandikan jenazah seorang Muslim yang meninggal dunia selain Muslim yang mati syahid dan yang mati dalam keadaan tidak menanggung janabah. Hukum ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tentang seorang sahabat yang meninggal dunia karena terjatuh dari tunggangannya, "Hendaklah kamu mandikan dia dengan air bidara dan kafankan dia dalam dua helai kain kafan.” Hadis muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu Abbas (Subulus Salam jilid 1 halaman 92).
Hadits ini menjadi dalil tentang wajibnya memandikan jenazah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah dimandikan. Begitu juga Abu Bakar, dan kemudian menjadi amalan yang terus diamalkan oleh umat Islam.

F. Orang Kafir yang Masuk lslam

Ulama Maliki dan Hambali mewajibkan mandi kepada orang kafir yang memeluk Islam. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Qais bin Ashim yang mengatakan bahwa dia telah memeluk Islam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya supaya mandi dengan air dan bidara. Diriwayatkan oleh Imam yang lima, penyusun kitab Sunan kecuali Ibnu Majah. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah dan diakui shahih oleh Ibnus Sakan (Nailul Authar jilid 1 halaman 224).
Ulama Hanafi dan ulama Syafi'i berpendapat bahwa mereka hanya disunnahkan mandi apabila mereka tidak berjunub. Jika mereka hanya mengambil wudhu, maka sudah cukup. Alasan mereka ialah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh setiap orang yang memeluk Islam supaya mandi. Jika perbuatan tersebut wajib, tentulah Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya menyuruh setengah orang dan yang lainnya tidak. Hal ini menunjukkan bahwa perintah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang disebutkan dalam hadits di atas hanya sebagai perintah sunnah saja.
Orang kafir hanya diwajibkan mandi ketika memeluk Islam, jika mereka dalam keadaan berjunub. Hal ini karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa orang yang dalam keadaan junub wajib mandi, seperti firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maidah ayat 6, "...jika kamu junub maka mandilah...." Perintah dalam ayat ini tidak membedakan antara orang yang kafir dengan orang Muslim.

Kesimpulan

Terdapat enam perkara yang menyebabkan wajib mandi. Hal ini menurut pendapat ulama Hambali. Menurut ulama Hanafi ada tujuh sebab, yaitu keluar mani ke bagian luar tubuh dengan disertai syahwat, masuknya hasyafah atau bagiannya -bagi zakar yang terpotong- ke dalam salah satu dari kemaluan manusia yang hidup, keluar mani yang disebabkan melakukan hubungan badan dengan orang mati ataupun binatang, mendapati air jernih setelah tidur jika memang zakarnya tidak tegang sebelum tidur, dan apabila mendapati cairan yang disangka mani setelah sadar dari mabuk, pingsan, haid, atau nifas. Mereka menambahkan satu lagi wajib secara kifayah, yaitu memandikan mayat.
Adapun menurut ulama Maliki ada empat sebab, yaitu keluar mani, memasukkan hasyafah, haid, dan nifas.
Ulama Syafi'i menetapkan lima sebab yaitu mati, haid, nifas, bersalin tanpa keluar darah -menurut pendapat yang ashah- berjunub dengan memasukkan hasyafah atau kadarnya, dan keluar mani secara biasa atau dengan cara yang tidak biasa.
Ulama Hanafi, kemudian menyebut sepuluh perkara yang tidak menyebabkan wajib mandi, di antaranya ialah keluar madzi, keluar wadi, bermimpi tanpa keluar mani, melahirkan tanpa diiringi darah -menurut pendapat Abu Hanifah, tetapi pendapat yang paling ashah menurut keterangan lbnu Abidin, ia tetap wajib mandi sebagai langkah hati-hati, memasukkan zakar yang berbalut yang dapat menghalangi dari timbulnya kenikmatan- menurut pendapat yang paling ashah, menyuntik atau memasukkan jari dan sebagainya ke kelamin wanita, melakukan hubungan kelamin dengan binatang atau dengan mayat tanpa keluar mani, menyetubuhi gadis yang tidak sampai menyebabkan hilangnya selaput dara juga tidak sampai keluar mani.
Perlu diperhatikan juga, bahwa apabila ada dua perkara yang menyebabkan wajib mandi berkumpul, umpamanya antara haid dan junub, bersetubuh dan keluar mani, maka mandi sekali saja sudah cukup.
Jumhur ulama juga berpendapat bahwa niat mandi dapat menggantikan niat wudhu, karena wudhu dianggap masuk di dalam mandi, tetapi tidak sebaliknya. Menurut pendapat ulama Hambali, untuk mendapatkan wudhu, seseorang harus niat wudhu secara khusus.


PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)