BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


4. PERKARA-PERKARA SUNNAH DALAM MANDI

Sebelum ini telah dijelaskan bagaimana cara mandi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Keterangan itu merupakan dalil yang menggambarkan bentuk mandi yang sempurna, yang meliputi segala perkara wajib dan sunnah dalam mandi, yaitu mandi yang mengandung sepuluh perkara sebagaimana yang dipahami oleh ulama Hambali (Al-Mughni jilid 1 halaman 217, lihat cara mandi yang sempurna menurut ulama Maliki; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 137; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 26), yaitu:

Niat, membaca bismillah, membasuh tangan sebanyak tiga kali, membasuh sesuatu yang kotor, berwudhu, menuangkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali supaya pangkal rambut basah, menuangkan air secara rata ke seluruh tubuh, memulai dari tubuh bagian sebelah kanan, menggosok-gosok badan dengan tangan, berpindah sedikit dari tempat mandinya, lalu membasuh kedua telapak kaki dan sunnah juga menyela celah-celah pangkal rambut atau janggut dengan menggunakan air sebelum menuangkan air ke atasnya.
Perkara-perkara sunnah ketika mandi dan perkara-perkara yang dapat menyebabkan mandi menjadi sempurna menurut madzhab yang berbeda-beda adalah sebagai berikut (Fathul Qadir, jilid 1 halaman 39 dan seterusnya; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 140 dan berikutnya; Muraqil Falah, halaman 17; Al-Lubab, jilid 1 halaman 21; Asy-Syarhul Kabir, jilid 1 halaman 135-137; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 170; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halamaan 26; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 21; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 73 dan berikutnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 217; Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 172-176).
Pertama, memulakan dengan membasuh kedua tangan, kemaluan, dan membuang najis jika memang ada pada tubuh, di samping juga niat ketika membasuh dua kemaluan (qubul dan dubur) seperti yang dijelaskan oleh ulama Syafi'i. Niatnya adalah, "Aku niat mengangkat janabah dari kedua tempat ini dan yang di antara keduanya."
Kedua, berwudhu seperti wudhu untuk shalat. Menurut pendapat ulama Hanafi, apabila orang yang mandi itu berdiri di tempat genangan air seperti berdiri dalam ember atau semacamnya, maka sebaiknya dia mengakhirkan membasuh telapak kaki hingga dia selesai mandi, kemudian barulah dia keluar dari ember tersebut lalu membasuh kedua belah telapak kakinya. Sebaliknya, jika dia berdiri di atas tempat yang tidak ada air tergenang seperti di atas batu atau dia memakai sandal, maka dia hendaklah mendahulukan membasuh kedua telapak kaki. Dengan mengambil wudhu, maka kewajiban berkumur dan memasukkan air ke hidung yang dianggap wajib menurut pendapat ulama Hanafi dan Hambali dapat terlaksana. Menurut ulama Maliki, kedua lubang telinga juga harus dibasuh. Tetapi janganlah berlebihan, karena hal itu bisa membahayakan pendengaran. Bagian luar telinga dianggap sebagai bagian tubuh lahir yang wajib dibasuh menurut pendapat ulama Maliki.
Ketiga, menurut ulama Syafi'i, setelah itu dia hendaklah meneliti setiap lipatan pada tubuhnya, yaitu dengan cara mengambil air dengan tangan kemudian mengusapkannya ke bagian tubuh yang berlipat seperti ke kedua telinga, lipatan perut, dan dalam pusar. Karena melakukan hal yang demikian akan lebih meyakinkan bahwa air benar-benar sampai ke tempat-tempat tersebut. Bagian yang perlu mendapat perhatian adalah bagian dalam telinga, sehingga seseorang hendaknya mengambil air lalu menuangkannya ke dalam telinga dengan hati-hati, agar air tersebut dapat sampai ke setiap penjuru telinga dan setiap lipatannya. Dia juga hendaklah memerhatikan bagian bawah leher, bawah ketiak dan juga lipatan-lipatan pusar.
Keempat, kemudian hendaklah orang tersebut menuangkan air ke atas kepala dan menggosok-gosokkannya, serta hendaklah dia menunangkan air ke seluruh bagian tubuh sebanyak tiga kali dengan memulai pada bagian tubuh sebelah kanan dan diikuti dengan bagian sebelah kiri. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah disebutkan sebelum ini, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelah kanan dalam sucinya."
Sementara itu, menyela-nyelai rambut dan memerhatikan bagian pangkal rambut adalah berdasarkan hadits, "Di bawah setiap helai rambut atau bulu terdapat janabah."
Menggosok-gosok tubuh dengan kedua belah telapak tangan juga disunnahkan, karena dapat menyebabkan lebih bersih, di samping dapat meyakinkan air sampai ke seluruh bagian tubuh yang perlu dibasahi. Dengan melakukan hal ini, maka dia dapat terhindar dari perbedaan pendapat dengan ulama Maliki yang mengatakan menggosok adalah wajib.
Adalah cukup jika ada dugaan kuat di hati, bahwa air telah sampai ke seluruh bagian kulit yang wajib dibasuh. Karena kalau sampainya air itu harus berdasarkan keyakinan yang kuat maka hal itu akan menimbulkan kesukaran dan kesusahan.
Ulama Hanafi berpendapat, jika seorang itu menyelam di dalam air yang sedang mengalir ataupun yang semacamnya, kemudian dia berhenti untuk beberapa waktu, maka dia dianggap telah melaksanakan tuntutan sunnah.
Ulama Maliki berpendapat, mandi junub dengan niat untuk mengangkat hadats besar saja, sudah dapat mencakup bagi terlaksananya wudhu meskipun dia tidak niat wudhu, dengan syarat tidak terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu seperti menyentuh kemaluan atau sebagainya. Demikian juga pendapat ulama Syafi'i yang menjadi fatwa dalam madzhab, yang mengatakan bahwa mandi yang dilakukan sudah mencakup wudhu, baik niat wudhu dinyatakan ataupun tidak.
Menurut pendapat ulama Hambali, mandi wajib adalah sudah mencakup wudhu, namun dengan syarat setelah dia berkumur dan memasukkan air ke hidung, serta dia meniatkan untuk mandi dan wudhu secara bersamaan. Dan tindakan ini merupakan tindakan meninggalkan cara yang lebih afdhal dan lebih baik.
Ulama selain ulama Maliki berpendapat, muwaalaat dalam mandi adalah sunnah, yaitu muwaalaat di antara membasuh setiap anggota dan setiap bagian tubuh, karena yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seperti itu. Menurut ulama Maliki, muwaalaat ini adalah fardhu.
Membasuh dengan tertib, yaitu memulai dengan membasuh kepala kemudian membasuh
bahu sebelah kanan diikuti bahu sebelah kiri adalah sunnah. Semua ulama sepakat bahwa tartib tidaklah wajib, karena tubuh manusia ketika mandi dianggap sebagai satu bagian. Kondisinya berbeda dalam wudhu. Oleh sebab itu, apabila didapati ada bagian tubuh yang tidak terkena air atau ada tempat balutan yang tidak terkena air, maka yang perlu dibasuh adalah tempat yang tertinggal itu saja, dia tidak perlu membasuh lagi bagian yang lain.
Adapun masalah membongkar sanggul, ulama Maliki berpendapat ia tidak wajib selagi ikatan sanggul itu tidak terlalu kuat. Menurut pendapat ulama Maliki, ia tidak perlu dibongkar ketika mandi junub, namun ketika mandi haid dan nifas, ia wajib dibongkar. Menurut ulama Hanafi, wanita tidak wajib meresapkan air ke pangkal rambut. Tetapi bagi kaum lelaki, melakukan hal itu adalah wajib dalam segala keadaan. Ulama Syafi'i berpendapat, sekiranya sanggul tersebut menyebabkan air tidak sampai ke dalamnya, maka ia wajib dibuka sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini. Pada dasarnya, walaupun air dapat sampai ke dalam rambut, sanggul tetap sunnah untuk dibongkar. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah, "Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepadanya ketika dia sedang haid, uraikanlah rambutmu dan mandilah engkau.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan isnad yang shahih (Nailul Authar jilid 1 halaman 249).     
Ulama Hambali berpendapat untuk orang kafir yang baru memeluk Islam, disunnahkan mencampurkan daun bidara ke dalam air yang digunakan untuk mandi. Hal ini berdasarkan hadits Qays bin Ashim yang disebut sebelum ini. "Dia memeluk lslam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya supaya mandi dengan air dan bidara.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi serta diakui sebagai shahih.
Selain itu, disunnahkan juga mencukur rambut dan juga bulu-bulunya. Atas dasar ini, maka disunnahkan (bagi kaum lelaki) mencukur kepala, mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kelamin dan yang ada di ketiaknya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada lelaki yang baru memeluk Islam, "Hendaklah kamu membuang semua rambut dan bulu ketika kafir dan hendaklah kamu berkhitan.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Apabila ada seorang kafir memeluk Islam, maka dia wajib berkhitan, dengan syarat ia mukallaf dan tidak dikhawatirkan akan membahayakan dirinya.
Ulama Hambali juga berpendapat, penggunaan daun bidara juga disunnahkan untuk wanita yang mandi karena haid dan nifas. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah yang telah disebutkan dulu di mana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, "Apabila engkau haid, maka hendaklah engkau gunakan air dan daun bidara dan hendaklah engkau menyisir rambut.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari.
Asma' juga meriwayatkan hadits, Dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang mandi haid. Maka Rasul bersabda, "Hendaklah kamu menggunakan air dan bidara, dan hendaklah bersuci (mandi)." Diriwayatkan oleh Muslim.
Menurut ulama Syafi'i dan Hambali, perempuan yang tidak dalam keadaan berihram ataupun 'iddah disunnahkan menggunakan minyak kesturi atau harum-haruman yang lain setelah bersuci dari haid atau nifas. Yaitu, dengan cara meletakkan minyak wangi tersebut di atas kapas atau yang semacamnya, kemudian memasukkannya ke dalam kelaminnya setelah mandi, untuk menghilangkan bau darah haid atau nifas. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah, “Ada perempuan datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang mandi wajib karena haid. Beliau menjawab, “Hendaklah kamu ambil sepotong (kain atau kapas) yang berkesturi dan hendaklah kamu bersuci dengannya.” Perempuan itu bertanya lagi, “Bagaimana caranya saya bersuci dengannya?” Nabi pun menyebut subhanallah dan sembunyi di balik bajunya sembari bersabda, “Engkau sucikanlah dengannya.” Lalu Aisyah pun menarik perempuan tersebut dan menerangkan kepadanya, bahwa maksudnya ialah dengan meletakkannya di tempat keluar darah.” Bahkan, dianggap makruh jika tidak berbuat demikian. Adapun perempuan yang berihram, maka dia haram memakai segala jenis pengharum. Adapun perempuan yang ber-ihdad (berkabung karena kematian suami) diharamkan memakainya dalam masa iddah.
Tidak disunnahkan memperbaharui mandi, karena memang tidak terdapat atsar yang diriwayatkan berkenaan dengan masalah tersebut, di samping ia juga menyukarkan. Berbeda dengan wudhu yang disunnahkan memperbaharuinya, apabila ia telah digunakan untuk mengerjakan shalat.

Kadar Air yang Digunakan untuk Mandi dan Berwudhu

Menurut pendapat ulama Syafi'i dan Hambali, air yang digunakan untuk wudhu hendaklah jangan kurang dari satu mud, yaitu seukuran satu pertiga kati Baghdad, atau sama dengan 675 gram. Air mandi juga hendaklah jangan sampai kurang dari satu sha' atau empat mud, yaitu yang menyamai dengan 2175 gram. Hal ini berdasarkan hadits Muslim dari Sufainah, "Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dengan menggunakan satu sha' air dan berwudhu dengan satu mud air.” Ia juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi serta diakui sebagai shahih. Banyak lagi hadis-hadis lain yang sama maknanya (Nailul Authar jilid 1 halaman 250 dan berikutnya).
Tidak ada batasan minimal yang ditentukan bagi air yang digunakan untuk berwudhu atau mandi. Jika air yang digunakan kurang dari yang telah disebutkan, tetapi ia dapat digunakan dengan sempurna, maka tetap dianggap mencukupi. Abu Dawud dan An-Nasa'i meriwayatkan hadits, "Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dalam tempat yang mengandungi air lebih kurang dua pertiga mud.” Selain itu, yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala adalah melakukan mandi dan perintah tersebut telah dilaksanakan, maka tidak boleh dianggap makruh. Maksud meratakan air ketika mandi dan wudhu ialah menuangkan air ke seluruh anggota badannya, sehingga air tersebut mengalir di atasnya, tidak hanya sekadar mengusapkan air ke atasnya saja. Ini karena dalam firman-Nya dalam Surah Al-Ma’idah ayat 6, Allah Ta’ala memerintahkan, "...maka basuhlah wajahmu...."
Mengusap bukanlah membasuh. Oleh karena itu, jika ada seseorang mengusap seluruh anggotanya dengan air ataupun es batu ke anggota tubuhnya, maka ia tidak dianggap bersuci. Karena, yang ia lakukan hanya mengusap bukan membasuh, kecuali jika es batu itu menjadi cair dan mengalir di atas anggota tubuhnya. Kalau seperti ini, barulah dianggap bersuci. Jika air yang digunakan ketika wudhu lebih dari satu mud dan yang digunakan untuk mandi lebih dari satu sha’ maka hukumnya adalah boleh. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah, “Aku mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu tempat air yang terbuat dari tembaga yang dinamakan al-faraq.” Hadis mutttafaqun ‘alaihi (Nailul Authar jilid 1 halaman 251). Tempat air yang dinamakan al-faraq ini dapat menampung air sebanyak 16 kati Iraq.
Ulama Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu bagi air yang digunakan untuk bersuci baik untuk mandi ataupun wudhu, karena kondisi manusia berbeda-beda. Setiap orang yang mandi hendaknya menggunakan air secukupnya, dia tidak boleh terlampau banyak menggunakan air dan tidak juga terlampau sedikit.

Adab-Adab Mandi

Ulama Hanafi dan Maliki membedakan antara perkara sunnah mandi dengan perkara yang menjadi adab dan fadhilah mandi.
Ulama Maliki berpendapat (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 26; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 170 dan berikutnya), perkara yang disunnahkan dalam mandi ada lima perkara, yaitu membasuh kedua tangan sebelum memasukkannya ke dalam tempat air, berkumur, memasukkan air ke hidung, menyapu bagian dalam telinga, dan mengusap pangkal rambut dengan jari-jari. Adapun menggosok rambut tanpa memasukkan jari ke dalamnya adalah salah satu dari fardhu mandi, menurut mereka sebagaimana yang telah diterangkan.
Ulama Hanafi dan Hambali mewajibkan berkumur dan memasukkan air ke hidung, sementara ulama Syafi'i mewajibkan menyela-nyelai rambut kepala.
Adapun fadhilah mandi ada lima, yaitu membaca bismillah, menuangkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali, mendahulukan wudhu, memulai dengan menghilangkan perkara yang menyakitkan sebelum berwudhu, memulai dari sebelah atas dengan mendahulukan bagian tubuh sebelah kanan.
Ulama Hanafi berpendapat (Muraqil Falah halaman 17), ketika mandi terdapat dua belas perkara yang disunnahkan, yaitu memulakan dengan Bismillah, niat, membasuh kedua tangan hingga ke pergelangan tangan, membasuh najis secara terpisah jika memang ada, membasuh kemaluan, berwudhu seperti wudhu untuk shalat, membasuh tiga kali dan menyapu kepala, tetapi mengakhirkan membasuh kaki jika dia berdiri di tempat air yang menggenang, menuangkan air ke seluruh badan sebanyak tiga kali, memulai dengan menuangkan air ke atas kepala, kemudian membasuh bahu sebelah kanan diikuti dengan bahu kiri dan menggosok-gosok seluruh badan.
Adab mandi ialah sama seperti adab berwudhu, namun sepatutnya tidak menghadap ke arah kiblat karena biasanya mandi dilakukan dalam keadaan terbuka aurat. 


PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)