BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


MENGUSAP BALUTAN ATAU PERBAN

Perbincangan ini akan mencakup tentang definsi, dasar mensyariatkan, kebolehan mengusap perban atau balutan, hukumnya, syarat dibolehkan, kadar yang dibutuhkan untuk diusap, bolehkah mengumpulkan antara mengusap perban dengan tayamum, apakah shalat orang yang menggunakan perban perlu diulang setelah dilepas, perkara-perkara yang membatalkan mengusap perban, dan pada akhir pembahasan akan disebutkan perbedaan yang terdapat antara mengusap balutan dengan mengusap khuf
Apa yang dimaksud dengan balutan adalah bilah-bilah kayu atau bambu yang diluruskan dan diikat pada bagian anggota yang patah atau terbuka untuk menguatkannya (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 94; Al-Mughni jilid 1 halaman 277).
Keadaan yang hampir sama dengan kedudukan ini adalah membalut tempat patah dengan semen, Hal-hal berikut memiliki kedudukan hukum yang sama dengan keadaan ini. Ia meliputi balutan luka walaupun di kepala atau tempat pembuangan darah (luka bekas berbekam dengan membuang darah untuk tujuan kesehatan), balutan kudis, balutan luka yang disebabkan operasi, dan sebagainya. Ibnu Juzi Al-Maliki mengatakan, maksud jaba'ir adalah sesuatu yang diikat pada tempat luka, kudis, dan tempat membuang darah (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 39).


A. Dasar pensyariatan mengusap perban

Mengusap perban dan balutan merupakan perkara mubah di sisi syara'. Hal ini berdasarkan hadits dan akal. Dari segi hadits, terdapat beberapa hadits di antaranya: pertama, hadits Ali bin Abi Talib. Dia berkata, "Salah satu dari lenganku telah patah. Lalu aku bertanya tentang hukumnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasul menyuruhku supaya mengusap di atas perbannya." Riwayat Ibnu Majah, Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dengan sanad yang sangat lemah (Nashbur Rayah jilid 1 halaamn 186 dan seterusnya; Subulus Salam jilid 1 halaman 99).
Kedua, hadits Jabir tentang seorang sahabat yang luka di kepala, lalu dia mandi hingga membawa maut. Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya dapat mencukupi kalau ia hanya mengambil tayamum dan membalut lukanya dengan perca kain, dan setelah itu ia mengusap di atasnya dan mandi ke seluruh tubuhnya.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang dhaif. Imam Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini adalah yang paling shahih dalam bab ini, walaupun sanadnya diperselisihkan (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 187; Subulus Salam, jilid 1 halaman 99). Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, jilid l halaman 285, mengatakan bahwa hadits Jabir banyak jalurnya, dan masing-masing saling menguatkan. Oleh sebab itu, ia dapat dibuat dalil dan ia dikuatkan lagi oleh hadits Ali. Tetapi, hadits Jabir menuniukkan penggabungan antara mengusap, membasuh, dan tayamum.
Dalil dari akal adalah, mengusap perban dan balutan diperlukan, karena membuang balutan merupakan satu kesulitan dan berbahaya. AI-Marghinani dalam kitab Al-Hidayah mengatakan bahwa kesulitan yang dihadapi dalam masalah balutan, jauh lebih berat jika dibandingkan dengan kesukaran dalam mencabut khuf. Oleh sebab itu, ia lebih utama untuk boleh diusap (Fathul Qadir jilid 1 halaman 90).

B. Adakah hukum mengusap jabirah (balutan) wajib atau sunnah?

Menurut madzhab Abu Hanifah dan pendapat yang shah dari dua sahabatnya (Al-Bada’i jilid 1 halaman 13 dan seterusnya; Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 257, inilah yang lebih tepat, berbeda dengan yang disebut dalam Al-Bada’i yang mengatakan bahwa mengusap adalah sunnah menurut Abu Hanifah, bukannya wajib. Tetapi menurut pendapat Muhammad dan Abu Yusuf, mengusap adalah wajib), bahwa mengusap perban adalah wajib, namun bukan fardhu. Pendapat inilah yang menjadi fatwa dalam madzhab Hanafi. Hanya Abu Hanifah berpendapat, seandainya usapan juga menyebabkan kemudharatan, maka hukum mengusap itu dapat gugur. Karena kalaulah kewajiban membasuh dapat dilepaskan dengan sebab uzur, niscaya kewajiban mengusap ini lebih utama untuk digugurkan. Dalil yang menunjukkan wajib adalah perkara fardhu tidak dapat ditetapkan, kecuali dengan dalil yang qath'i. Sedangkan hadits AIi yang telah dinyatakan merupakan hadits Ahad. Ia tidak dapat menentukan hukum fardhu. Dengan demikian, nyatalah bahwa Imam Abu Hanifah sependapat dengan kedua sahabatnya tentang hukum wajib. Dengan arti lain, ia boleh ditinggalkan. Bagi Imam Abu Hanifah, orang yang tidak mengusap menanggung dosa, sedang hukum shalatnya adalah sah dan dia harus mengulangi lagi. Beliau memaksudkan wajib, pada tingkat wajib yang rendah. Sedang kedua sahabatnya mengatakan, shalat yang dilakukan tanpa mengusap adalah tidak sah. Mereka memaksudkan wajib, pada tingkat wajib tertinggi.
Menurut jumhur, yaitu ulama madzhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 202; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaamn 163; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 94; Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 262-265; Al-Mughni jilid 1 halaman 286; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 127, 135 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 39; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 37), mengusap balutan dengan air adalah wajib atau difardhukan. Hal ini agar menggunakan air sebatas kemampuannya. Ini adalah diqiyaskan kepada hukum mengusap kedua khuf , karena keduanya dilakukan dalam keadaan darurat, bahkan mengusap perban ini lebih besar daruratnya. Ia juga berdasarkan petunjuk yang terdapat dalam hadits Ali yang menyebut bahwa hendaklah engkau mengusap perban. Walaupun hadits ini lemah, akan tetapi ia merupakan satu petunjuk dan petunjuk tersebut menunjukkan wajib.
Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengusap perban sebelah kaki serta mengusap khuf untuk kaki yang sebelah lagi yang sehat. Hal yang boleh hanyalah menggabungkan antara membasuh serta mengusap balutan.

C. Syarat-syarat untuk mengusap perban

Untuk membolehkan mengusap perban, ditetapkan syarat-syarat berikut (Al-Bada’i jilid 1 halaman 13; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 258):

1. Perban dan balutan tidak boleh dibuang

Seandainya dibuang dan dicuci dikhawatirkan akan menimbulkan rasa sakit, bertambah sakit, ataupun memperlambat kesembuhan. Hukumnya sama dengan masalah dalam tayamum. Ulama madzhab Maliki berpendapat, jika dikhawatirkan menyebabkan kematian ataupun menyebabkan kemudharatan yang parah, maka hukum mengusap perban menjadi wajib. Contohnya, menyebabkan hilang fungsi suatu anggota badan, menjadi tuli, buta, atau sebagainya. Seandainya dikhawatirkan rasa sakit itu bertambah atau lambat sembuh tanpa menyebabkan kecacatan seperti kekaburan atau bernanah, maka hukumnya adalah boleh.
Hal ini berlaku jika luka tersebut berada pada anggota wudhu sewaktu berhadats kecil, ataupun pada bagian tubuh jika berhadats besar.

2. Tidak mampu membasuh atau mengusap tempat itu sendiri disebabkan kemudharatan

Jika mengusap tempat tersebut boleh dilakukan dan tidak membawa mudharat, maka tidak boleh mengusap perban. Akan tetapi, hendaklah mengusap tempat luka itu sendiri jika tidak membawa kepada kemudharatan. Dalam hal ini, mengusap balutan tidak cukup. Ulama madzhab Maliki berpendapat, jika seorang yang mengidap penyakit mata atau dahi dan tidak dapat mengusap mata dan dahinya karena takut membahayakan, maka hendaklah dia meletakkan kain ke atas mata atau dahinya, dan mengusap di atasnya.
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, mengusap juga tidak perlu dilakukan, seperti halnya membasuh jika ia menyebabkan timbulnya bahaya. Jika tidak, maka ia tidak boleh ditinggalkan.       
Menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i, tempat sakit tidak perlu diusap dengan air, hanya perlu membasuh anggota yang sehat dan bertayamum untuk anggota yang sakit dan mengusap ke atas perban jika ada.

3. Hendaklah balutan itu tidak melebihi bagian yang perlu

Jika perban tersebut lebih dari bagian yang diperlukan, maka wajib dibuang untuk membasuh bagian anggota yang tidak sakit yang tidak membahayakan dengan sebab dibasuh. Karena, ia merupakan satu bentuk pembersihan yang didasarkan atas darurat. Oleh sebab itu, ia harus dibatasi kepada ukuran darurat saja. Jika dikhawatirkan membuka balutan tersebut akan menyebabkan kemudharatan atau kematian, maka hendaklah dia bertayamum untuk bagian yang melebihi dari kadar yang perlu tersebut, serta mengusap bagian tepat pada bagian yang perlu dan membasuh bagian yang lain.
Dengan demikian, ia menggabungkan tiga perbuatan secara bersamaan yaitu membasuh, mengusap perban, dan bertayamum. Dia tidak perlu mengusap tempat sakit dengan air, sekalipun dia tidak bimbang menimbulkan mudharat. Karena, yang wajib adalah membasuh. Namun, sunnah jika dia mengusap. Meletakkan kain ke atas tempat sakit dengan tujuan untuk mengusap juga tidak wajib, karena mengusap adalah satu kelonggaran. Oleh sebab itu, ia tidak sesuai dengan hukum wajib mengusap.
Ini adalah syarat-syarat yang dinyatakan oleh ulama madzhab Syafi'i dan Hambali. Ulama madzhab Syafi'i juga mewajibkan bertayamum secara mutlak, seperti yang akan dijelaskan nanti.
Ulama madzhab Hanafi berpendapat berdasarkan kenyataan Al-Hasan bin Ziad, "Seandainya membuka balutan luka dan membasuh bagian sekitar tempat luka itu dapat menimbulkan kesan buruk terhadap luka berkenaan, maka mengusap pembalut yang melebihi bagian luka tersebut juga dibolehkan." Mengusap balutan tersebut adalah pengganti membasuh bagian yang terdapat di bawahnya. Kedudukan hukumnya sama dengan mengusap ke atas bagian yang betul-betul berada di atas luka itu sendiri.
Jika membuang balutan dan membasuh bagian sekitar itu tidak memberi efek buruk kepada luka tersebut, maka tidak boleh mengusap kecuali ke atas luka itu sendiri. Mengusap perban adalah
tidak boleh, karena kebolehan mengusap perban ini disebabkan adanya uzur, sedang dalam kasus ini uzur tersebut tidak wujud. Pendapat ini juga dibenarkan oleh ulama madzhab Maliki. Dengan demikian, jelas bahwa ulama Hanafi dan Maliki tidak membedakan antara perban yang meliputi tempat sakit saja ataupun yang lebih dari bagian tempat sakit karena ia diperlukan.

4. Perban tersebut hendaklah dipasang dalam keadaan orang tersebut bersuci dengan air

Jika tidak, maka shalatnya wajib diulang. Ini adalah syarat yang ditetapkan oleh ulama madzhab Syafi'i dan Hambali. Alasan mereka, karena mengusap jabirah adalah lebih utama dari mengusap khuf karena ia berdasarkan keadaan darurat. Mengusap khuf disyaratkan ia dipakai dalam keadaan suci (berwudhu atau mandi). Shalat tidak perlu diulang sekiranya perban atau balutan itu sekadar perlu dan ia dipakai sewaktu dalam keadaan suci, dan (pada waktu berwudhu) membasuh bagian yang sehat, serta bertayamum untuk bagian tempat luka serta mengusap di atas balutan. Jika perban dan balutan itu diikat sewaktu dalam keadaan tidak suci, maka balutan itu harus dibuka untuk membasuh anggota yang berada di bawahnya, jika dia tidak bimbang menyebabkan kemudharatan. Jika bimbang tindakan membuka tersebut menyebabkan maut atau bahaya, maka bertayamum dapat untuk dijadikan pengganti anggota yang dibalut itu.
Jika balutan itu meliputi semua bagian tayamum (muka dan dua tangan), maka ulama madzhab Hambali berpendapat, kewajiban bertayamum itu gugur. Ulama madzhab Syafi'i berpendapat dia perlu shalat lagi, karena kedudukannya sama dengan mereka yang tidak mempunyai kedua alat untuk bersuci.  
Ulama madzhab Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan supaya perban itu dipakai pada waktu suci. Oleh sebab itu, baik ia dipakai sewaktu dalam keadaan suci ataupun dalam keadaan berhadats, dia tetap boleh mengusapnya dan tidak perlu mengulangi shalatnya apabila dilakukan dengan sah. Hal ini untuk mengelakkan kesukaran. Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang paling munasabah, karena biasanya memakai perban ini terjadi secara tiba-tiba. Oleh sebab itu, mensyaratkan keadaan suci sewaktu memakainya dianggap menjadi satu kesulitan dan kesusahan.

5. Perban itu hendaklah tidak menggunakan bahan yang dirampas

Seandainya ia seorang laki-laki hendaklah bukan dari bahan sutra yang diharamkan. Perban
juga bukan bahan najis seperti kulit bangkai atau perca kain yang najis. Dalam keadaan ini, mengusap perban tidak sah dan shalatnya juga tidak sah. Syarat ini adalah syarat yang ditetapkan menurut ulama madzhab Hambali.

D. Kadar yang harus diusap

Menurut pendapat yang menjadi fatwa di kalangan ulama madzhab Hanafi (Al-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 260; Fathul Qadir jilid 1 halaman 129; Al-Bada’i jilid 1 halaman 12), cukup mengusap sebagian besar balutan dengan satu kali usap. Ulama bersepakat mengatakan, ia tidak perlu diratakan dan diulang serta tidak perlu diniatkan seperti dalam mengusap khuf, mengusap kepala, dan mengusap serban.
Perbedaan antara mengusap balutan dengan mengusap khuf dan mengusap kepala adalah, dalam mengusap kepala dan mengusap khuf tidak disyaratkan supaya mengusap sebagian besar, hanya cukup apabila mengusap sekadar tiga jari. Alasannya adalah mengusap kepala ditetapkan syara' melalui Al-Qur'an dengan menggunakan huruf ba' yang memberi arti sebagian. Adapun mengusap khuf , jika dianggap tetap hukumnya dengan Al-Qur'an melalui bacaan kasrah pada kalimat " Arjulikum” maka hukumnya sama dengan hukum mengusap kepala, karena ia di-'athaf-kan kepadanya. Jika hukumnya tetap dengan berdasarkan hadits, maka semua hadits mewajibkan mengusap sebagian.
Adapun mengusap balutan, hanya ditetapkan melalui hadits Ali. Hadits ini tidak menyatakan tentang mengusap sebagian. Namun, bagian kecilnya dihitung gugur untuk menghindari kesulitan dan mengusap sebagian besar itu dapat mengambil tempatnya.
Menurut pendapat jumhur, yaitu ulama madzhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 163; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 203; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 39; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 37; Muhgnil Muhtaj jilid 1 halaman 94 dan seterusnya; Buraijami Al-Khatib jilid 1 halaman 262; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 128, 135), wajib mengusap seluruh perban dengan air, sedapat mungkin hendaklah ia dilakukan dengan menggunakan air. Oleh karena mengusap perban hanya sebagai pengganti membasuh bagian yang diperban, yang mana ketika membasuh anggota tersebut harus dicuci secara menyeluruh, begitu juga pada waktu mengusapnya. Mengusap perban secara keseluruhan tidaklah membawa kemudharatan, tidak seperti mengusap khuf. Karena, khuf mungkin akan pecah atau rusak jika diusap seluruhnya.
Ulama madzhab Maliki dan Hanafi juga menjelaskan, pada asalnya hal yang wajib adalah membasuh ataupun mengusap tempat luka itu sendiri seandainya dapat dilakukan tanpa ada kemudharatan. Jika tidak dapat diusap ke atasnya, maka hendaklah diusap di atas balutan luka (yaitu tempelan yang mengandung obat dan dilekatkan di atas tempat luka atau sebagainya, juga yang diletakkan di atas mata yang sakit). Seandainya tidak dapat mengusap balutan atau perban dan tidak dapat juga mengubahnya, maka hendaklah mengusap pengikat yang ada di atasnya, walaupun banyak. Mengusap pengikat tidak cukup jika dia mampu mengusap di atas lapisan yang di bawahnya.
Jangka waktu masa untuk mengusap perban juga tidaklah dibatasi, bahkan dia dapat melakukannya sampai sembuh. Karena, tidak ada suatu dalil yang menunjukkan penentuan waktu. Pembalut itu juga tidak perlu dicabut ketika junub, dan hal ini berbeda dari khuf.  Mengusap perban berdasarkan kepada darurat menurut kewujudannya. Menurut jumhur, ia masih wujud sehingga dapat dibuang perban tersebut, atau sampai luka tersebut sembuh, dan menurut ulama madzhab Hanafi sampai sembuh keseluruhannya.
Orang yang junub dan sejenisnya dapat mengusap pada kapan-kapan saja. Bagi yang berhadats menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i dan Hambali haruslah melakukannya pada waktu membasuh bagian anggota yang sakit, agar terlaksana tartib yang menjadi syarat menurut pendapat mereka. Dia juga boleh melakukan tayamum dahulu sebelum mengusap dan membasuh tempat tersebut dan cara ini lebih utama.
Pembalut yang menutup anggota itu wajib diusap walaupun terdapat darah. Karena dalam keadaan ini, ia dimaafkan dari menggunakan air untuk bersuci (Buraijami Al-Khatib jilid 1 halaman 262). Mengusapnya merupakan pengganti dari bagian anggota yang sehat. Oleh sebab itu, kalau balutan itu tidak melindungi bagian anggota yang sehat ataupun melindungi sedikit, tetapi dibasuh dengan air, maka menurut pendapat yang kuat dari kalangan ulama madzhab Syafi'i, ia tidak wajib lagi mengusap.
Ulama madzhab Syafi'i juga berpendapat, jika dia sembuh pada waktu berwudhu, maka tayamumnya menjadi batal dengan sendirinya. Karena penyebab yang membolehkan bertayamum telah terhapus dan dia wajib membasuh tempat uzur berkenaan, baik karena berjunub ataupun berhadats kecil, dan ia tidak perlu bersuci lagi dari awal. Keadaan suci tidak menjadi batal secara keseluruhan disebabkan batalnya sebagiannya. Menurut mereka, orang yang berhadats haruslah membasuh anggota yang di luar tempat uzur itu, untuk melaksanakan tertib, seperti jika dia tidak menyadari atau terlupa satu tumpuk. Ini berbeda dari orang yang berjunub, karena dia tidak perlu membasuh anggota yang setelahnya. Karena dalam melakukan mandi wajib, semua fuqaha bersepakat ia tidak memerlukan tartib.

E. Perlukah Menggabungkan antara Mengusap Perban atau Balutan dan Tayamum?

Ulama madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 258; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 163; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 202), bahwa mencukupi dengan mengusap perban saja. Karena, ia adalah pengganti membasuh anggota di bawahnya. Tidak perlu lagi melakukan tayamum, karena menggabungkan antara dua cara bersuci tidak diperlukan.
Ulama madzhab Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 94; Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 262 dan seterusnya; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 101; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 37) pula dalam pendapat yang umum mengatakan bahwa perlu menggabungkan di antara mengusap perban dan bertayamum. Dengan demikian, seseorang itu harus membasuh anggotanya yang sehat, mengusap perban dan wajib juga bertayamum. Pendapat mereka ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ad-Daruquthni dengan sanadnya yang dipercayai dari Jabir, berkaitan dengan seorang sahabat yang luka di kepala, dia telah bermimpi lalu dia mandi, Air mandinya itu telah meresap ke dalam lukanya hingga menyebabkan kematian. Berkaitan dengan kisah sahabat tersebut, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, "Sesungguhnya cukup jika dia bertayamum saja, kemudian ia mengikat kepalanya dengan kain,lalu mengusap di atasnya dan mandi bagi seluruh anggota yang lain."
Tayamum dilakukan untuk menggantikan perbuatan membasuh anggota yang sakit, sedangkan mengusap balutan yang menutup juga merupakan sebagai pengganti kepada membasuh anggota sehat di sekeliling tempat cedera. Karena, biasanya balutan akan mengambil ruang yang melebihi dari tempat yang sakit itu sendiri. Jika balutan itu hanya meliputi tempat yang sakit saja ataupun mengambil ruang yang lebih, tetapi ruang yang lebih itu dibasuh, maka tayamum tidak lagi wajib.
Jika tubuhnya mempunyai banyak perban, kemudian dia junub dan hendak bersuci, maka dia cukup bertayamum sekali untuk semuanya. Dalam keadaan berhadats kecil, maka menurut pendapat yang ashah, ia harus mengulangi tayamum sesuai jumlah anggota wudhu yang sakit dan berbalut tersebut, dan dapat mengusap pada setiap perban yang mencakupi anggotanya. Berdasarkan hal ini, seandainya dia mempunyai luka atau kecederaan di keempat anggota wudhu. Akan tetapi kecederaan itu tidak menyeluruh, maka dia dapat bertayamum sebanyak tiga kali: pertama untuk muka, kedua untuk dua tangan, dan ketiga untuk dua kaki. Sedangkan bagian kepala, cukuplah dengan sebagiannya. Jika kecederaan meliputi seluruh kepala hingga tidak dapat diusap, maka dia perlu melakukan empat kali tayamum. Jika kecederaannya menyeluruh pada anggota wudhunya, maka dia harus bertayamum sekali saja. Karena, dalam keadaan ini tartib sudah tidak perlu lagi disebabkan hukum wajib membasuh telah gugur.
Ulama madzhab Hambali mempunyai pendapat pertengahan (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 135 dan seterusnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 279 dan seterusnya). Mereka mengatakan, mengusap perban saja tanpa bertayamum sudah cukup, seandainya perban tersebut tidak melebihi kadar yang diperlukan, karena dia telah mengusap tempat yang dibenarkan. Oleh sebab itu, dia tidak perlu bertayamum lagi, sama seperti mengusap khuf, bahkan lebih utama. Karena, orang yang menghadapi keadaan darurat lebih utama diberikan keringanan (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 135 dan seterusnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 279 dan seterusnya).
Seseorang itu dapat mengusap dan juga bertayamum jika perbannya melebihi tempat berkenaan, dan dikhawatirkan akan menimbulkan kemudharatan jika membuangnya. Tayamum merupakan pengganti bagian yang di luar keperluan. Dengan demikian, ia menggabungkan antara membasuh, mengusap, dan bertayamum. Seandainya tempat luka tidak dibalut, maka haruslah dibasuh bagian anggota yang tidak cedera dan bertayamum untuk yang cedera. Pendapat ini, adalah lebih sesuai. Barangkali tayamum juga perlu dilakukan lebih dari sekali seperti pendapat ulama madzhab Syafi'i.

F. Perlukah Mengulang Shalat setelah Sembuh?

Mereka yang tidak mensyaratkan balutan dipakai sewaktu dalam keadaan suci, yaitu ulama madzhab Hanafi dan Maliki (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 39; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 285) tidak mewajibkan shalat semula setelah sembuh dari luka atau cedera. Pendapat mereka lebih tepat, karena para ulama sependapat mengatakan harus melakukan shalat dengan mengusap perban. Apabila shalat boleh, maka ia tidak perlu diulang.
Bagi golongan yang mensyaratkan perban dipakai dalam keadaan suci, yaitu ulama madzhab Syafi'i dan Hambali (Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 265; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 131), mereka mewajibkan supaya mengulangi shalat yang telah dikerjakan karena ketiadaan syarat tersebut.
Menurut ulama madzhab Syafi'i, shalat harus diulang dalam tiga keadaan berikut (Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 265; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 100; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 107; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 37): pertama, seandainya perban tersebut pada anggota tayamum (muka dan tangan) baik dipakai sewaktu dalam keadaan suci ataupun berhadats. Kedua, apabila perban dipakai pada waktu tidak suci atau berhadats, baik ia pada anggota tayamum ataupun anggota lain. Ketiga, apabila perban dipasang lebih dari ruang yang perlu atau lebih dari tujuan untuk menyembuhkan, baik ia dipakai pada waktu suci ataupun berhadats.
Menurut pendapat mereka, shalat tidak perlu diulang dalam dua keadaan berikut: pertama, apabila perban tersebut dibuat selain pada anggota tayamum dan tidak menutupi bagian yang tidak sakit walau sedikitpun, meskipun ia dipakai pada waktu berhadats. Kedua, apabila perban tersebut pada selain anggota tayamun, dan dipakai sewaktu suci walaupun ia melebihi kadar yang perlu.

G. Perkara-Perkara yang Membatalkan Mengusap Perban

Mengusap perban akan meniadi batal dengan dua keadaan (Al-Bada’i jilid 1 halaman 14; Fathul Qadir jilid 1 halaman 110; Al-Lubab jilid 1 halaman 46; Muraqil Falah halaman 23; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 39; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 206; Asy-Syahul Kabir jilid 1 halaman 166; Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 262; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 136-137):

1. Apabila perban itu dibuang ataupun terbuka

Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa mengusap perban dianggap batal apabila ia terbuka ketika cederanya telah sembuh, karena perkara yang menjadi uzur telah hilang. Jika pada waktu itu dia sedang shalat, dia wajib memulai lagi shalatnya setelah mengambil wudhu yang sempurna, karena dia telah mampu melaksanakan kewajiban yang asal sebelum selesai melakukan dengan penggantiannya.
Sebaliknya, kalau ia terbuka sebelum sembuh, maka hukum untuk mengusap tidak batal, karena perkara yang menjadi uzur masih wujud. Kedudukan mengusap perban adalah seperti membasuh anggota di bagian bawahnya selagi keuzuran masih wujud. Dengan kata lain, yang membatalkan hukum mengusap perban hanya terjadi dengan sebab luka telah sembuh. Dalam tempo kecederaannya, dia harus menukar perban dengan yang lain dan tidak wajib mengusap lagi di atasnya. Akan tetapi, yang afdhal hendaklah diusap semula.
Seandainya seseorang itu menderita sakit mata dan dianjurkan oleh dokter Islam yang pakar supaya jangan membasuh matanya, ataupun kukunya pecah atau menderita suatu penyakit lalu diberikan obat ke atasnya, maka dia tidak harus mengusap karena darurat. Bahkan jika mengusap dapat menyebabkan kemudharatan, maka dia tidak perlu melakukannya karena perkara darurat dilaksanakan menurut kadarnya.
Ulama madzhab Maliki berpendapat, mengusap perban dapat menjadi batal dengan membuka balutan tersebut ataupun terbuka sendiri, baik ia terjadi dengan tujuan untuk berobat ataupun untuk tujuan lain. Jika luka telah sembuh, maka hendaklah membasuh tempat berkenaan dengan segera. Jika masih belum sembuh dan menukar perban atau balutan bagi meneruskan pengobatan, maka bolehlah mengusap lagi. Jika pada waktu sedang shalat perban terjatuh atau terbuka, maka shalat tersebut menjadi batal. Perban tersebut perlu dipakai lagi dengan segera dan mengulangi mengusap, jika tidak berselang lama. Kemudian mulai lagi shalat karena kesucian tempat tersebut telah menjadi batal apabila ia terbuka.
Orang yang berwudhu harus mengusap kepalanya apabila penutup atau pembalut kepala yang telah diusap di atasnya terjatuh, baik penutup tersebut berupa balutan, ikatan kepala, ataupun serban, kemudian dia shalat kembali. Dia hendaklah meneruskan shalatnya jika hal itu terjadi tanpa disadari, walaupun berselang lama. Jika tidak, maka dia perlu bersuci kembali ataupun mengambil wudhu kembali.
Ulama madzhab Syafi'i berpendapat, jika perban atau balutan terbuka pada waktu sedang shalat, maka shalatnya dianggap batal, baik ia telah sembuh dari lukanya ataupun belum. Kedudukannya seperti khuf yang terbuka. Begitu juga apabila kecederaannya telah sembuh, maka
keadaan sucinya menjadi batal. Jika belum sembuh, maka dia boleh memakai perban tersebut di tempatnya dan hanya perlu mengusapnya lagi.
Ulama madzhab Hambali berpendapat, perban yang terbuka memiliki hukum yang sama dengan kecederaan yang diperban itu sembuh, walaupun luka atau kecederaan itu sebenarnya belum sembuh. Keadaannya yang telah sembuh adalah seperti seorang yang telah membuka khuf -nya usapannya, kesuciannya, dan shalatnya semuanya menjadi batal dan perlu diulang lagi. Hal ini karena mengusapnya merupakan pengganti dari membasuh bagian yang dilindunginya. Hanya dalam kasus bersuci dari hadats besar, cukuplah membasuh bagian yang dilindungi oleh perban apabila ia terbuka. Dalam berwudhu, jika perban tersebut terbuka setelah luka sembuh, maka ia perlu berwudhu saja. Jika ia terbuka, tetapi lukanya masih belum sembuh, maka ia perlu berwudhu dan bertayamum lagi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa jumhur ulama selain ulama madzhab Hanafi menetapkan bahwa mengusap perban atau balutan menjadi batal apabila ia dibuka ataupun terbuka sendiri.

2. Berhadats

Para ulama bersepakat bahwa mengusap perban juga menjadi batal apabila berhadats. Hanya menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i, seandainya seorang yang mengusap perban itu berhadats, maka ia harus mengulangi lagi tiga hal (Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 101). Yaitu, membasuh bagian anggota yang sehat, mengusap perbannya, dan bertayamum. Jika ia tidak berhadats dan ingin mengerjakan shalat fardhu yang lain, maka ia perlu bertayamum saja tanpa harus mengulangi membasuh dan mengusap perban. Karena menurut pendapat mereka, tayamum merupakan perkara yang perlu diulangi untuk setiap kali shalat fardhu (Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 265).
Menurut ulama Hanafi, wudhu menjadi batal apabila darah keluar dari tempat luka dan mengalir keluar dari tempat keluarnya, yaitu bila ikatan pembalut itu basah (Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 129).

H. Perbedaan Penting antara Mengusap Khuf dan Mengusap Perban atau Balutan

Ulama madzhab Hanafi menyebutkan perbedaan antara kedua jenis usapan ini sebanyak dua puluh tujuh perkara. Ibnu Abidin menambah lagi sebanyak sepuluh perbedaan. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut (Al-Bada’i jilid 1 halaman 14 dan seterusnya; Fathul Qadir jilid 1 dan Hasyiyah Al-‘Inayah jilid 1 halaman 109 dan seterusnya; Ad-Durrul Mukhtar dan Hasyiyah Ibn ‘Abidin jilid 1 halaman 259-260).
Pertama, mengusap perban, tidak terbatas pada sejumlah hari tertentu, akan tetapi, ia terbatas sampai sembuhnya luka yang dialami. Sedangkan hukum mengusap dua khuf ditetapkan tempo masanya dengan hari, yaitu sehari semalam bagi mereka yang bermukim dan tiga hari tiga malam bagi yang musafir.
Kedua, memakai perban tidak disyaratkan dalam keadaan suci. Orang yang berhadats juga boleh mengusap perban, akan tetapi memakai khuf disyaratkan haruslah sewaktu dalam keadaan suci. Orang yang memakai khuf sewaktu berhadats tidak boleh mengusapnya.
Ketiga, apabila perban terbuka sebelum luka sembuh, ia tidak akan membatalkan kebolehan mengusap. Sebaliknya jika kedua khuf atau salah satunya terbuka, maka batallah kebolehan mengusapnya.
Keempat, mengusap perban hanya boleh apabila mengusap tempat luka atau cedera dapat menyebabkan mudharat. Jika mengusap luka itu tidak menimbulkan mudharat, maka tidak sah mengusap perban. Dalam mengusap kedua khuf, kebolehannya tetap wujud walaupun seseorang itu boleh membasuh kedua kakinya.
Kelima, mengusap perban boleh walaupun terdapat pada anggota yang lain dari kaki. Sedangkan mengusap khuf hanya terbatas untuk kedua kaki saja. Perbedaan-perbedaan lain, dapat diketahui melalui tabi'i dan syarat-syarat untuk kedua jenis usapan ini.
Ulama madzhab Hambali menyebut lima perbedaan antara dua jenis usapan ini. Mereka sependapat dengan ulama madzhab Hanafi dalam perbedaan pertama, kedua, dan keempat. Sementara dua perbedaan lagi, yaitu pertama: boleh mengusap di atas perban pada waktu bersuci dari hadats besar; karena membuang perban dalam bersuci ini juga dapat menimbulkan kemudharatan. Keadaan ini tidak boleh dalam mengusap khuf. Kedua: mereka berpendapat dalam mengusap perban haruslah diratakan air ke semua perban, karena berbuat yang demikian tidak menyebabkan kemudharatan apa pun. Ini berbeda dari mengusap khuf, karena perbuatan demikian pada dua khuf akan menyebab ia rusak (Al-Mughni jilid 1 halaman 278).

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)