BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


4. MEMOTONG KUMIS DAN MEMELIHARA JENGGOT (RAMBUT DAN BULU DI BADAN)

Ulama bersepakat bahwa amalan memendekkan kumis termasuk dalam amalan sunnah. Orang yang memendekkan kumisnya diberi pilihan, baik dilakukannya sendiri ataupun dilakukan oleh orang lain. Karena, kedua-duanya boleh mencapai tujuan. Ini berbeda dengan mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan.
Ulama madzhab Syafi'i dan madzhab Maliki mengatakan, yang dimaksud dengan memotong kumis adalah membuang sebagian kumis hingga menampakkan tepi bibir mulut. Ini merupakan makna yang terkandung dalam hadits, "Potonglah kumis dan biarkan jenggot, dan hendaklah kamu jangan menyerupai orang Majusi." Riwayat Imam Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah, makna yang sama juga terdapat dalam riwayat Ahmad dan asy-syaikhan dari Ibnu Umar, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Bedakan diri kamu dengan kaum Musyrikin, lebatkan janggut dan tipiskan kumis." Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad, An-Nasa'i, dan At-Tirmidzi. lmam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits yang shahih ialah dari Zaid bin Arqam yang berbunyi, "Siapa yang tidak memelihara janggutnya, maka ia bukan dari kami." (Nailul Authar, jilid 1 halaman 114 dan seterusnya). Terdapat hadits lain yang menyebutkan, "Hendaklah kamu pendekkan kumis."
Menurut ulama madzhab Hanafi, anjuran ini merupakan anjuran agar menghilangkan kumis secara keseluruhan. Hal ini berdasarkan zahir hadits yang telah dinyatakan di atas, yaitu, "Hendaklah kamu membuang kumis dengan bersungguh-sungguh."
Menurut pendapat ulama madzhab Hambali, seseorang diberi pilihan, baik memendekkan
kumis ataupun memotong kumis secara keseluruhan. Bagaimanapun, memotong kumis secara keseluruhan merupakan amalan yang lebih baik berdasarkan nash.
Memelihara jenggot, ia bermaksud membiarkan jenggot dan tidak melakukan perbuatan yang dapat mengubahnya. Ulama madzhab Maliki dan madzhab Hambali mengharamkan mencukur jenggot. Bagaimanapun, tidak makruh membuang jenggot sekadar yang lebih dari genggaman atau yang lebih panjang dari batas leher. Hal ini berdasarkan amalan lbnu Umar. Ketika Ibnu Umar menunaikan haji atau umrah, ia memegang janggutnya, kemudian bagian yang melebihi dari genggamannya dipotong (Nailul Authar, jilid 1 halaman 114 dan seterusnya).
Menurut ulama madzhab Hanafi, mencukur jenggot merupakan perbuatan makruh tahrim. Ulama madzhab Syafi'i juga menganggap makruh terhadap perbuatan tersebut. Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim telah menyebut sepuluh perkara yang makruh dilakukan pada jenggot, di antaranya adalah mencukur, kecuali jika ia tumbuh pada wanita, maka ia sunnah dicukur.
Mencabut bulu ketiak  juga merupakan amalan sunnah mengikut kesepakatan para ulama.
Sunnah hukumnya menyisir rambut secara berselang hari, seperti halnya memakai minyak wangi. Ia dapat juga dilakukan pada setiap hari jika perlu. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Qatadah yang dinukil oleh An-Nasa'i. Jenggot juga memiliki hukum yang sama dengan rambut dalam masalah ini.
Memendekkan kumis, membiarkan jenggot, dan mencabut bulu ketiak adalah sunnah. Karena, semua perbuatan tersebut merupakan beberapa perkara fitrah menurut hadits yang telah disebutkan. Semua perkara tersebut dan juga memotong kuku serta mencukur bulu kemaluan, hendaklah dilakukan pada hari Jumat. Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa ia perlu dilakukan pada hari Kamis. Pendapat lain mengatakan, ia dapat dipilih di antara dua hari tersebut. Rambut, kuku, dan darah juga hendaklah dikubur dalam tanah, karena terdapat hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkaitan dengan hal ini. Riwayat Al-Khallal dengan sanadnya yang bersumber dari Mitslah binti Misyrah al-Asy'ariyah, ia berkata, "Aku melihat bapakku memotong kuku dan menanamnya. Ia (bapakku) berkata, 'Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat demikian.” Ibnu Jurail juga meriwayatkan bahwa Nabi suka mengubur darahnya. Ibnu Umar mengubur kuku dan rambutnya. Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 84 dan seterusnya; Al-Mughni jilid l halaman 88. Ad-Dailami meriwayatkan dalam Musnad Al-Fridaus dari Ali sebuah hadits dhaif. "Memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu ketamin adalah pada hari Kamis. Mandi, memakai wewangian, dan memakai pakaian yang bagus adalah pada hari Jumat."
Semua perkara yang telah disebutkan hendaklah dilakukan pada setiap minggu, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memotong kuku pada setiap hari Jumat. Riwayat Al-Baghawi dengan sanadnya dari Abdullah bin Amr ibnul Ash (Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 84 dan seterusnya).
Oleh sebab itu, yang lebih baik hendaklah seseorang itu memotong kuku, kumis, dan mandi membersihkan tubuhnya satu kali dalam seminggu.
Makruh membiarkan kuku tanpa dipotong atau tidak mencukur rambut, bulu kemaluan, serta tidak mencabut bulu ketiak lebih dari empat puluh hari. Mencukur rambut setiap hari Jumat adalah disunnahkan. Bagaimanapun, makruh mencukur sebagian kepala dan membiarkan bagian yang lain tanpa dicukur akan tetapi dipotong sekadar tiga jari. Pendapat yang dinukil dari Abu Hanifah juga menyatakan, perbuatan mencukur bagian belakang tengkuk adalah makruh, melainkan dengan tujuan untuk berbekam. Begitu juga makruh mencukur rambut atau bulu, serta
memotong kuku pada waktu sedang dalarn keadaan junub.
Panduan yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkaitan masalah mencukur kepala adalah sama, baik ia mencukur seluruh rambut kepala atau tidak mencukur seluruhnya. Tidak boleh mencukur sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Jika tidak dicukur, ia sunnah dibasuh dan dirapikan dengan bermula dari sebelah kanan. Hal ini berdasarkan hadits yang menyebutkan, "Barangsiapa mempunyai rambut, maka hendaklah dia menjaganya." Riwayat Abu Dawud dan sanadnya hasan (Nailul Authar jilid 1 halaman 123).
Ibnu Abdil Barr mengatakan, para ulama di semua kota besar Islam sependapat tentang hukum boleh bagi orang laki-laki yang mencukur kepala mereka, walaupun bukan untuk tujuan beribadah ataupun karena suatu keperluan. Perbuatan mencabut uban adalah makruh. Hal ini berdasarkan hadits yang maksudnya, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mencabut uban dengan menegaskan, bahwa ia adalah cahaya Islam.” Riwayat Al-Khallal dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya. Hadis ini juga diriwayatkan dari Thariq bin Habib, “Siapa yang tumbuh sehelai uban ketika Islam, ia akan menjadi cahaya pada Hari Akhir.” (Al-Mughni jilid 1 halaman 91)
Perbuatan mencabut jenggot supaya kelihatan ganteng juga dimakruhkan. Begitu juga mencukur sebagian kepala, karena terdapat larangan berbuat demikian. Begitu juga dengan perbuatan mencukur bagian belakang tengkuk tanpa mencukur kepala. Hal ini jika dilakukan tanpa tujuan untuk berbekam atau sebagainya, karena ia merupakan amalan orang Majusi.
Uban sepatutnya diinai dengan warna kuning ataupun merah untuk mengikut sunnah (riwayat Imam Ahmad dan lain-lain dalam kitab Al-Mughni jilid 1 halaman 91 dan seterusnya). Menghitamkan uban adalah makruh atau haram, kecuali dalam keadaan perang dengan tujuan menakut-nakuti orang kafir.
Wanita yang bersuami boleh menginai kedua tangan dan kakinya, sekiranya hal itu disukai oleh suaminya.
Perempuan dimakruhkan mencukur atau memendekkan rambut tanpa sebab uzur apa pun. Ikrimah menyatakan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang wanita dari mencukur rambutnya. Riwayat Al-Khallal dengan isnadnya dari Qatadah bin Ikrimah.
Jika terdapat alasan uzur, maka mereka tidak makruh mencukur rambutnya. Contohnya seperti jika kepalanya berkudis atau karena alasan lain. Mencukur kepala karena ditimpa bencana adalah haram. Hal ini seperti perbuatan memukul pipi dan menyobek baju ketika terkena musibah.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)