BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Masjid adalah tempat yang paling mulia di atas muka bumi. Masjid yang paling utama ada tiga buah, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsha. Menurut pendapat jumhur, di antara tiga masjid tersebut yang paling utama adalah Masjidil Haram di Mekah. Imam Malik mengatakan bahwa yang paling utama adalah Masjid Nabawi, sebagaimana dia juga lebih mengutamakan Madinah dibanding dengan Mekah. Hal ini berbeda dari pendapat jumhur ulama.

Adapun ulama Hanafi, mereka mengatakan bahwa masjid tempat guru mengajarkan ilmu adalah yang paling afdhal dan masjid kampung seseorang adalah lebih utama dari masjid jami' (masjid untuk shalat Jumat yang di luar kampung), Al-lmam An-Nawawi yang meninggal pada tahun 676 H menyebut 33 hukum yang berkaitan dengan masjid, yaitu (Al-Majmu', jilid 2 halaman 187-196; jilid 6 halaman 33; Lihat I'lam Al-Masajid bi Ahkam Al-Masajid, oleh Az-Zarkasyi, khususnya pada halaman 301-407 di mana dia telah menyebutkan sebanyak 137 hukum yang berkaitan dengan masjid; Al-Qawanin al-Fiqhiyyah halaman 49; Al-Mughni, jilid 11 halaman 243; Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman 614-619; Kasysyaful Qina’ jilid 2 halaman 424-436):

1. Orang yang junub, haid, atau nifas

Haram memasuki masjid. Ulama Syafi'i dan Hambali membolehkan mereka melewati masjid apabila tidak dikhawatirkan darah menetes. Dan hukumnya tidaklah makruh, baik dilakukan dengan ada tujuan ataupun tidak. Namun yang lebih baik adalah mereka tidak melintas ke dalam masjid kecuali karena ada keperluan yang mendesak, supaya dapat terelak dari perbedaan pendapat dengan ulama Hanafi dan Maliki, seperti yang telah dijelaskan berkaitan dengan perkara yang diharamkan kepada orang yang junub dan sebagainya.
Menurut pendapat ulama Hanafi, menggunakan masjid sebagai laluan tanpa sebab dan uzur adalah makruh tahrim. Ulama Maliki berpendapat, melewati masjid dengan frekuensi yang sering adalah makruh, apabila memang masjid tersebut dibangun lebih dulu dibanding jalan. Jika keadaan sebaliknya, maka hukumnya tidaklah makruh.

2. Jika seorang bermimpi (ihtilam) di dalam masjid

Maka dia wajib keluar kecuali jika dia tidak mampu melakukannya disebabkan masjid terkunci atau sebagainya, ataupun jika dia bimbang akan keselamatan jiwa atau hartanya Oleh karena itu, jika dia tidak bisa keluar atau bimbang akan keselamatan dirinya, maka dia boleh terus berada di dalam masjid karena darurat.
Bertayamum dengan debu yang ada dalam masjid adalah haram. Namun jika dia melakukannya juga, maka tayamumnya sah.
Jika dia junub di luar masjid dan air berada di dalam masjid, maka dia tidak boleh masuk dan mandi di dalamnya, karena ketika itu dia sedang berjunub.
Jika dia masuk masjid untuk mendapatkan air minum, maka dia tidak boleh berada di dalamnya, kecuali sekadar untuk minum saja.

3. Orang yang berhadats kecil

Boleh duduk di dalam masjid, baik untuk tujuan keagamaan seperti beriktikaf, mendengar bacaan Al-Qur'an atau belajar ilmu yang lain, ataupun tanpa tujuan apa pun, dan hukumnya tidak makruh. Ini adalah ijma di kalangan umat Islam.

4. Tidur di dalam masjid

Menurut pendapat ulama Syafi'i, tidur di dalam masjid adalah boleh dan tidak makruh, karena perbuatan ini pernah dilakukan oleh Ibnu Umar sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Para sahabat dari kalangan Ahli Shuffah (sekumpulan kaum Muhajirin yang fakir dan tinggal di Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) juga tidur di dalam masjid, begitu juga rombongan Arniyyun. Perbuatan ini juga dilakukan oleh AIi Shaftaran bin Umaiyah dan lain-lain.
Ulama Maliki berpendapat bahwa perbuatan itu tidak apa-apa jika dilakukan oleh orang yang sedang merantau, tetapi tidak patut dilakukan oleh orang yang bermukim.
Ulama Hanafi berpendapat tidur di dalam masjid adalah makruh, kecuali bagi orang yang beri'tikaf dan juga bagi perantau.
Imam Ahmad dan Ishaq juga berpendapat, jika seseorang itu sedang dalam safar atau semacamnya, jika dia tidur di dalam masjid maka tidak mengapa, Tetapi, dia tidak boleh menggunakan masjid sebagai tempat bermalam atau tempat tidur secara terus-menerus.
Ulama Maliki berpendapat (Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 178), orang kafir dilarang memasuki masjid meskipun dengan izin dari orang Islam, kecuali untuk keperluan pembangunan. Misalnya, karena upahnya lebih murah atau kerjanya yang jelas lebih baik. Abu Hanifah membolehkan orang kafir memasuki semua masjid.
Menurut ulama Syafi'i, orang kafir boleh memasuki semua masjid selain Masjidil Haram dan kawasan Tanah Haram. Ia juga boleh bermalam di dalam masjid, meskipun menurut pendapat yang ashah ia dihukum sebagai orang yang junub. Semua kebolehan ini disyaratkan dengan adanya izin dari orang Islam.

5. Berwudhu di dalam masjid

Adalah boleh, apabila air wudhu itu tidak menyebabkan sakit. Yang terbaik adalah apabila air wudhu tersebut berada di tempat wudhu.
Ibnul Mundzir menyatakan bahwa semua ulama yang ilmunya dapat dipertanggungjawabkan, membolehkan berwudhu di dalam masjid. Kecuali jika tindakan itu menyebabkan masjid menjadi basah dan menyusahkan banyak orang, maka dalam keadaan seperti ini hukumnya adalah makruh.
Imam Malik dan Abu Hanifah mengatakan bahwa hukum hal di atas adalah makruh, untuk menjaga kebersihan masjid. Ulama Hanafi mengecualikan tempat yang memang disiapkan untuk berwudhu. Apabila seperti itu, maka hukumnya tidak makruh.

6. Makan dan minum di masjid

Tidaklah mengapa makan dan minum dan meletakkan hidangan di dalam masjid dan membasuh tangan di dalamnya. Ulama Hanafi mengatakan bahwa memakan makanan yang tidak mempunyai bau yang tidak enak di dalam masjid hukumnya makruh tanzih. Ulama Maliki berpendapat, orang yang dalam perjalanan atau sedang merantau dibolehkan makan di dalam masjid, selama ia tidak menyebabkan kotornya masjid. Begitu juga, ulama Hambali membolehkan makan di masjid dengan syarat tidak mengotorinya.

7. Makruh bagi orang yang memakan bawang putih, bawang besar, daun seledri

Atau sebagainya yang mempunyai bau tidak sedap dan baunya itu masih tercium ketika dibawa masuk ke dalam masjid dan tidak ada keperluan yang darurat. Hal ini berdasarkan hadits lbnu Umar bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang memakan pohon ini (bawang putih), maka jangan sekali-kali ia mendekati masjid kita.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim disebut dengan lafaz “masjid-masjid kita.”
Juga, hadits sahabat Anas, "Siapa yang memakan pohon ini, hendaklah jangan mendekati masjid dan jangan shalat bersama kami." Riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Dan juga, hadits sahabat Jabir, "Siapa yang memakan bawang putih atau bawang besar, hendaklah ia menjauhi kami atau menjauhi masjid kami.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Satu hadits lain yang mempunyai maksud yang sama diriwayatkan oleh Muslim dari Umar ibnul Khaththab. Demikianlah hukumnya, tidaklah haram seseorang kentut di dalam masjid, tetapi sebaiknya dielakkan. Hal ini berdasarkan hadits Jabir yang telah diriwayatkan sebelum ini, "Siapa yang memakan bawang, bawang putih, maka jangonlah dia mendekati masjid kami. Karena, para malaikat tidak senang dengan bau yang tidak enak di sisi manusia.” (Nailul Authar, jilid 2 halaman 154).
Ulama Hanafi berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan hukum makruh tahrim. Adapun ulama Maliki berpendapat bahwa hadits itu menunjukkan hukum haram.

8. Membuang ludah di dalam masjid adalah makruh

Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang terdapat di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Meludah di dalam masjid adalah satu kesalahan, dan kafaratnya ialah menimbunnya."

9. Kencing, berbekam, dan membuang darah di dalam masjid dan tidak pada suatu wadah (inaa') adalah haram

Jika berbekam dan membuang darah itu diletakkan di dalam satu wadah, maka hukumnya adalah makruh, tidak haram.
Ulama Hanafi berpendapat adalah makruh tahrim melakukan kencing, berak, dan jimak di dalam masjid. Hal ini disebabkan tempat yang ditetapkan sebagai masjid dihukumi sebagai masjid hingga ke langit. Begitu juga makruh membawa masuk sesuatu yang najis ke dalam masjid. Oleh karena itu, tidak boleh menyalakan lampu di dalam masjid dengan menggunakan minyak yang najis. Demikian juga memperbaiki bangunannya dengan bahan najis, juga membuang darah di dalam masjid.
Ulama Syafi'i berpendapat haram membawa masuk sesuatu yang najis ke dalam masjid. Orang yang terdapat najis ataupun yang ada luka di tubuhnya, haram memasuki masjid apabila dia bimbang akan menyebabkan mengotori masjid. Sebaliknya jika dia yakin tidak akan menyebabkan najisnya masjid, maka tidak haram.
Membangun dan menyiapkan masjid dengan bahan najis adalah tidak boleh. Menurut ulama Hanafi, perbuatan tersebut dianggap makruh tahrim. Memasang lampu di masjid dengan menggunakan minyak yang najis hukumnya juga haram.
Pengharaman semua perkara yang telah disebutkan ini berdasarkan hadits sahabat Anas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Sesungguhnya masjid-masjid ini adalah tidak layak untuk kencing dan perkara kotor ini. Masjid adalah khusus untuk mengingat Allah Ta’ala dan membaca Al-Qur'an."

10. Makruh menanam pohon di dalam masjid

Begitu juga menggali sumur. Imam boleh mencabut pohon yang ditanam di dalamnya. Ulama Hanafi berpendapat bahwa menanam pohon di dalam masjid adalah makruh, kecuali jika ada sesuatu kepentingan.

11. Bertengkar, membuat bising, mencari barang hilang, berjual beli dan melakukan akad sewa-menyewa dan jenis akad yang lain di dalam masjid adalah makruh.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam
Ahmad, dan Ibnu Majah, "Siapa yang mendengar seseorang mencari barang yang hilang di dalam masjid, hendaklah ia berkata, 'Allah Ta’ala tidak akan mengembalikannya kepada engkau, karena masjid tidak dibangun untuk hal ini.’”
Dalam riwayat At-Tirmidzi juga dikatakan, “Apabila kamu melihat orang menjual atau membeli di dalam masjid, hendaklah kamu katakan, Allah Ta’ala tidak akan menguntungkan perniagaan kamu.’ Apabila kamu melihat orang yang mencari sesuatu yang hilang di dalam masjid, hendaklah kamu katakan, Allah Ta’ala tidak akan memulangkannya kepadamu.” At-Tirmidzi mengatakan, “Ini adalah hadis hasan.” Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i telah meriwayatkan dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, sebuah hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli, mendendangkan syair, mendendangkan nyanyian yang menyesatkan. Hadits ini iuga diakui sebagai hadits hasan oleh At-Tirmidzi.
Ulama Hanafi dan Maliki berpendapat, makruh melakukan jual beli di dalam masjid. Menurut pendapat ulama Hambali, ia adalah haram. Dan jika dilakukan juga, ia merupakan jual beli yang batil atau tidak sah.
Menurut pendapat ulama Hanafi dan Hambali, berdzikir dengan kuat di dalam masjid apabila ia mengganggu orang yang sedang shalat, hukumnya adalah makruh, kecuali bagi mereka yang belajar fiqih.
Begitu juga menurut pendapat mereka, makruh bercakap-cakap sesuatu yang tidak dibolehkan. Jika percakapan itu termasuk perkara yang dibolehkan, maka ia tidak makruh jika memang tidak mengganggu orang yang sedang shalat.
Ulama Maliki mengatakan, bahwa meninggikan suara di dalam masjid adalah makruh dalam semua keadaan, meskipun dengan tujuan berdzikir dan belajar ilmu.
Namun menurut pendapat ulama Syafi'i, memberi sesuatu kepada pengemis di masjid adalah tidak mengapa. Hal ini berdasarkan hadits, "Apakah di kalangan kamu ada orang yang memberi makan kepada seorang miskin pada hari ini?" Abu Bakar menjawab, "Saya masuk ke masjid, dan tiba-tiba aku bertemu dengan orang yang sedang meminta atau mengemis. Saya mendapati di tangan Abdul Rahman ada sepotong roti lalu aku ambil dan aku berikan kepadanya.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad yang baik dari Abdurrahman bin Abu Bakr Ash-Shiddiq.
Ulama Syafi'i berpendapat bahwa meminta-minta dan mengemis di masjid adalah makruh. Begitu juga pendapat ulama Maliki dan Hambali. Namun, memberi sedekah dibolehkan. Ulama Hanafi berpendapat, mengemis di masjid adalah haram dan memberi sedekah kepada pengemis adalah makruh.

12. Membawa masuk binatang, orang gila, atau anak-anak yang belum mumayyiz ke dalam masjid adalah makruh

Karena, ia mungkin menyebabkan kotornya masjid, Ia tidak dihukumi haram, karena sebagaimana yang terdapat dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak Umamah binti Zainab dan membawanya berthawaf di atas untanya.
Dan ini tidaklah menafikan hukum makruh. Karena meskipun ia dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun maksud Rasul melakukannya adalah untuk menunjukkan kebolehannya. Tindakan ini adalah lebih afdhal bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena menjelaskan hukum itu adalah wajib.
Ini juga merupakan hukum yang  diakui oleh kalangan ulama Hambali, namun mereka membenarkan orang gila atau anak-anak dibawa ke dalam masjid dengan adanya tujuan tertentu, seperti mengajarinya menulis dan sebagainya.
Ulama Hanafi dan Maliki melarang membawa anak-anak atau orang gila ke dalam masjid, dan perbuatan itu dianggap makruh.
Perempuan dibenarkan shalat di masjid jika aman dari fitnah. Tetapi bagi para gadis yang muda belia, adalah dimakruhkan keluar ke masjid.

13. Masjid juga makruh digunakan sebagai tempat menjalankan suatu kerja seperti menjahit dan sebagainya

Hal ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan dalam masalah kesembilan sebelum ini. Adapun orang yang bekerja menyalin ilmu dan secara kebetulan dia duduk di situ, lalu menjahit satu pakaian dan tidak ada niat untuk menjadikannya sebagai tempat untuk melakukan kerja, maka tindakan itu tidaklah mengapa.

14. Tidur telentang di dalam masjid adalah dibolehkan

Begitu juga duduk dengan meletakkan satu kaki ke atas kaki yang lain dan menyilangkan jari-iari dan sebagainya. Karena, ada keterangan di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah berbuat demikian.

15. Dianjurkan untuk mengadakan halaqah pengajian ilmu di dalam masjid, dan juga memberikan nasihat dan kata-kata yang baik, dan sebagainya

Banyak hadits shahih yang menerangkan masalah ini. Membincangkan sesuatu di dalam masjid adalah boleh, Begitu juga membincangkan urusan-urusan duniawi dan perkara-perkara lain, juga dibolehkan. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samrah, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bangkit dari shalatnya ketika beliau shalat Shubuh hingga muncul matahari. Apabila matahari muncul, beliau pun bangun." Menurut Jabir, mereka (sahabat) bercakap-cakap tentang perkara-perkara semasa jahiliyah, mereka tertawa dan tersenyum.” Diriwayatkan oleh Muslim.

16. Tidaklah mengapa melagukan syair di dalam masjid

Apabila syair tersebut berupa pujian kepada Nabi atau Islam, ataupun ia berupa kata-kata hikmah ataupun yang berkaitan dengan budi pekerti yang baik, zuhud, dan sebagainya yang termasuk perkara-perkara yang baik. Hal ini berdasarkan hadits Sa'id ibnul Musayyab, "Satu ketika Umar ibnul Khaththab melewati Hassan bin Tsabit ketika ia sedang melantunkan syair. Dia lalu memerhatikan Hassan sambil berkata, 'Bernasyidlah engkau di dalam masjid, karena ia dilakukan oleh orang yang lebih baik darimu.' Dia kemudian menoleh kepada Abu Hurairah dan berkata, 'Demi Allah Ta’ala, aku minta kepastianmu. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pemah menyebut, 'Sahutilah aku, ya Tuhanku. Tolonglah dia dengan Ruhul-Qudus?' Maka, Abu Hurairah menjawab, “Ya!’”diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Adapun syair yang mengandung perkara keji, seperti menyumpah atau menghina Islam ataupun menggambarkan arak, menyebut wanita atau memuji orang yang zalim, bermegah-megah dengan sesuatu yang dilarang atau sebagainya, maka ia adalah haram berdasarkan hadits Anas yang telah disebutkan dalam masalah kesembilan dulu. Juga, berdasarkan hadits, "Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mendendangkan syair di dalam masjid.” Hadis ini merupakan hadis hasan yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dengan isnad yang baik dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya.
Hukum tafshil ini juga merupakan hukum yang ditetapkan oleh pendapat di dalam madzhab yang lain.

17. Menyapu dan membersihkan masjid, serta menghilangkan ludah, ingus, dan sebagainya adalah sunnah

Hal ini berdasarkan apa yang diterangkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat ludah yang ada di dalam masjid, lalu beliau menyapu dengan tangannya.
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah dibentangkan kepadaku pahala umatku hingga sebiji pasir atau tanah yang dikeluarkan oleh seorang dari masjid."

18. Menghidupkan banyak qindil (lampu) pada malam-malam tertentu

Di antara perkara bid'ah yang tidak baik yang biasa diamalkan ialah menghidupkan banyak qindil flampu) pada malammalam tertentu, seperti malam Nishfu Sya'ban dan lain-lain. Karena, ia menyamai perbuatan kaum Majusi yang menghormati api dan juga ia memubadzirkan harta.

19. Membawa senjata tajam

Menurut sunnah, siapa yang masuk masjid dengan membawa senjata tajam seperti tombak, panah, dan sebagainya, maka dia hendaklah memegang bagian ujungnya (yang tajam). Hal ini berdasarkan hadits Jabir, bahwa ada lelaki masuk ke masjid dengan membawa anak panah. Maka, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, "Hendaklah engkau memegang ujung matanya." Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana mereka juga telah meriwayatkan hadis yang lain yang sama maknanya.

20. Bagi musafir

Menurut sunnah juga, seseorang yang baru kembali dari perjalanan (safar), hendaklah memasuki masjid terlebih dahulu dan melakukan shalat dua rakaat, sebagaimana yang terdapat di dalam hadits Ka'ab bin Malik. Ia berkata, "Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pulang dari perialanan, beliau memulakan dengan memasuki masjid dan shalat dua rakaat." Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.

21. Bagi yang di masjid karena menunggu shalat atau pengajian

Orang yang berada di dalam masjid karena menunggu shalat atau pengajian amal ketaatan lain yang dibolehkan, hendaknya berniat i'tikaf. Karena, niat yang seperti itu adalah sah, meskipun hanya sebentar saja.

22. Bukanlah suatu kesalahan apabila masjid ditutup pada waktu-waktu yang bukan waktu shalat, dengan tujuan untuk menjaga peralatan yang ada di dalamnya

Namun apabila masjid tersebut terus dibiarkan terbuka dan tidak ada kekhawatiran akan terjadinya sesuatu yang tidak baik atau sesuatu yang menyebabkan ternodainya kehormatan masjid, dan juga dengan pertimbangan bahwa tindakan tersebut akan memberikan kemudahan kepada orang banyak, maka menurut sunnah hendaklah masjid tersebut dibuka. Hal ini sebagaimana masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah ditutup, baik ketika beliau masih hidup ataupun setelahnya.

23. Shalat Tahiyyatul Masjid

Orang yang sudah memasuki masjid, makruh baginya duduk di dalamnya sebelum menunaikan shalat dua rakaat (Tahiyyatul Masjid).

24. Tempat untuk menetapkan hukum oleh qadhi

Qadhi sepatutnya tidak menggunakan masjid sebagai tempat untuk menetapkan hukum, kecuali jika terjadi kasus secara kebetulan lalu dia harus menyelesaikannya di situ.

25. Makruh membangun masjid di atas kubur

Berdasarkan hadits shahih, "Allah Ta’ala memerangi kaum Yahudi yang menggunakan kubur para nabi mereka sebagai masjid." Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud dari Abu Hurairah.
Adapun menggali kubur di dalam masjid, adalah perbuatan haram yang amat berat.

26. Menulis di dinding masjid

Menurut pendapat ulama Syafi'i, Hanafi, dan Hambali, menulis di atas dinding dan atap masjid adalah makruh. Ulama Maliki dan Hambali juga berpendapat, makruh juga menulis di arah kiblat, supaya tidak mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat. Adapun menulis di bagian lain, adalah tidak makruh. Tulisan yang ada mungkin dapat mengganggu orang yang shalat dan mungkin akan menyebabkan dia asyik membaca tulisan tersebut sehingga lalai dari shalatnya. Begitu juga makruh menghiasi masjid dan apa saja yang dapat melalaikan orang dari
shalatnya.
Dinding masjid, baik dari dalam ataupun luar adalah mempunyai hukum yang sama dengan masjid, dari segi wajib dijaga dan dihormati. Begitu juga atapnya, sumur yang ada di dalamnya, dan juga halamannya.
Imam Syafi'i dan pengikutnya telah menyatakan sah melakukan i'tikaf di halaman masjid dan juga di atapnya, serta sah shalat makmum di situ menuruti imam yang shalat di dalam masiid. Begitu juga dalam madzhab lain, semuanya menganggap atap masjid sama kedudukannya dengan masjid.

27. Memeriksa kedua sandal dan menghilangkan kotoran sebelum masuk masjid

Menurut sunnah juga, seorang yang mau memasuki masjid, hendaklah terlebih dahulu memeriksa kedua sandalnya dan menghilangkan kotoran yang terdapat padanya sebelum masuk ke masjid. Ini berdasarkan hadits, "Apabila kamu datang ke masjid, maka hendaklah kamu melihatnya. Apabila kedua sandalnya ada kotoran atau sesuatu, maka hendaklah ia menghilangkannya terlebih dahulu, kemudian barulah kamu shalat dengan memakai kedua-duanya." Hadis hasan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad yang shahih.

28. Keluar dari masjid setelah mendengar adzan adalah makruh

Sehingga dia shalat terlebih dulu, kecuali jika ada uzur. Hal ini berdasarkan hadits Asy-Sya'tsa', "Kami sedang duduk bersama Abu Hurairah di dalam masjid. Lalu petugas adzan mengumandangkan adzan. Lalu ada lelaki berdiri dan berjalan keluar dari masjid. Abu Hurairah pun memerhatikannya hingga orang itu keluar dari masjid. Abu Hurairah lalu berkata, 'Orang ini sebenarnya durhaka kepada Abul Qasim.” Diriwayatkan oleh Muslim.

29. Ketika masuk dan keluar masjid, disunnahkan membaca doa

Dan ketika memasuki masjid, hendaklah mendahulukan langkah kanan dan ketika keluar hendaklah mendahulukan kaki kiri. Dzikir-dzikir sebagiannya terdapat dalam Shahih Muslim dan kebanyakannya terdapat dalam Sunan Abi Dawud dan An-Nasa'i. Jika semua dzikir ini sangat panjang, hendaklah dibatasi sampai kepada yang terdapat dalam Shahih Muslim saja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Jika seseorang di antara kalian memasuki masjid, hendaktah ia membaca, 'Ya Allah! Bukakantah kepadaku pintu rahmat-Mu,' dan apabila keluar hendaklah membaca, 'Ya Allah! Aku memohon limpahan karunia-Mu."'

30. Tidak boleh mengambil bagian apa pun dari masjid

Baik itu batu, kerikil, tanah, dan sebagainya, berdasarkan hadits marfu’, "Kerikil masjid akan membuat bantahan kepada mereka yang membawanya keluar dari masjid." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad yang shahih dari Abu Hurairah.

31. Membangun masjid, menjaga, dan membersihkannya, serta memperbaiki apa-apa yang rusak adalah disunnahkan

Hal ini berdasarkan hadits, "Siapa yang membangun sebuah masjid karena Allah Ta’ala maka Allah Ta’ala akan membangunkan bangunan yang sama dengan masjid itu untuknya di surga." Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Utsman bin Affan (Nailul Authar jilid 1 halaman 147).
Ulama Hambali berpendapat bahwa membangun masjid di kota atau kampung atau kawasan penghubung antara beberapa tempat adalah wajib. Hukumnya adalah fardhu kifayah. Memakmurkan masjid dan menjaga bangunannya adalah disunnahkan (mustahab) dan masjid juga sunnah dipelihara dan dijaga dari kotoran, ludah, potongan kuku, rambut, atau bulu badan yang dicukur ataupun dicabut, serta sunnah juga dijaga dari perkara yang menimbulkan bau yang busuk seperti bawang merah, bawang putih, dan sebagainya.
Membangun masjid di tempat yang asalnya gereja atau biara adalah dibolehkan. Begitu juga membangunnya di atas bekas perkuburan yang telah hilang bekasnya, sekiranya memang tanah yang didapati tersebut adalah sesuai untuk masjid. Hal ini berdasarkan hadits Utsman bin Abul Ash, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahnya supaya membangun masjid untuk penduduk Tha'if di tempat yang dulunya menjadi tempat taghut (ibadah sesat) mereka.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad yang baik. Ia juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (Nailul Authar jilid 2 halaman 145).
Juga, berdasarkan hadits Anas, "Masjid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dibangun di atas pekuburan kaum musyrikin yang dibongkar.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Mengecat masjid dengan warna merah dan kuning adalah makruh. Begitu juga mengukir dan menghiasinya, supaya ia tidak melalaikan orang yang sedang shalat. Selain itu, ia juga berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Hari Akhir tidak akan terjadi, melainkan setelah manusia berbangga-bangga dengan masjid.” Diriwayatkan oleh imam yang lima kecuali At-Tirmidzi, dari Anas (Nailul Authar jilid 2 halaman 151).
Juga, sabda Rasul, "Aku tidak diperintahkan untuk memegahkan bangunan masjid.” lbnu Abbas berkata, "Kau akan memegahkan masjid tersebut -seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas (Nailul Authar jilid 2 halaman 150).
Hadits ini menunjukkan bahwa mengukir dan menghias masjid merupakan bid'ah. Hukum makruh ini adalah yang ditetapkan oleh kalangan ulama Maliki dan Hambali. Adapun ulama Hanafi membolehkan membuat ukiran di masjid dengan menggunakan harta yang halal, kecuali bagian mihrabnya yang dihukumi makruh, karena ia akan melenakan orang yang sedang shalat.
Ada juga riwayat yang menerangkan tentang kebenaran melakukan hal itu, yang bersumber dari Imam Abu Hanifah dan juga riwayat dari Abu Talib Al-Makki, bahwa menghias mihrab tidaklah makruh.

32. Terdapat banyak hadits yang menerangkan tentang keutamaan masjid

Di antaranya adalah, "Tempat yang paling disukai Allah Ta’ala adalah masjid-Nya dan tempat yang paling dibenci Allah Ta’ala ialah pasar." Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah, Imam Ahmad dan Al-Hakim juga meriwayatkan dari Jubair bin Muth’im.

33. Shalat Hari Raya atau shalat lainnya yang didirikan selain di masjid

Tidak haram bagi orang yang berjunub dan yang sedang haid ikut berada di sana. Hal ini menurut pendapat yang difatwakan dalam Madzhab Syafi'i.



PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)