Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
7. MANDI-MANDI SUNNAH
Hukum mandi adakalanya wajib seperti mandi
karena haid, nifas, dan junub, juga mandi karena memeluk Islam-ini menurut pendapat
ulama Maliki dan Hambali. Adapula mandi yang hukumnya sunnah ataupun dianjurkan
(mustahab), seperti yang diterangkan oleh ulama Hanafi dan Maliki. Mandi-mandi
sunnah adalah sebagai berikut (Fathul Qadir, jilid 1 halaman 44 dan berikutnya;
Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman 156-158; Al-Lubab, jilid 1 halaman
23; Muraqil Falah, halaman 18; Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, halaman 25
dan seterusnya; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 503 dan
berikutnya; Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 171- 173).
A. Mandi untuk menunaikan shalat Jumat
Hal ini berdasarkan beberapa hadits, di
antaranya ialah hadits Abu Sa'id yang diriwayatkan
secara marfu', "Mandi Jumat adalah wajib
bagi setiap mereka yang telah baligh." Diriwayatkan oleh tujuh ahli
hadis (Imam Ahmad dan enam penyusun Kutub Sittah).
Kata wajib dalam hadits ini dipakai untuk
menunjukkan perintah sunnah yang mu'akkad. Kesimpulan ini berdasarkan
hadits-hadits yang lain. Di antaranya ialah hadits Samurah, "Barangsiapa
berwudhu pada hari Jumat, maka itu adalah tindakan utama. Dan barangsiapa mandi,
maka hal itu lebih afdhal.” Diriwayatkan oleh al-jama’ah dengan
isnad yang jayid dari Abu Hurairah dengan lafaz, “Wajib mandi bagi
seorang, sekali dalam tujuh hari yaitu mandi dengan membasuh kepala dan badan.”
Juga, hadits Aisyah, "Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam mandi disebabkan empat perkara: karena junub, pada hari Jumat,
karena berbekam, dan karena memandikan mayat.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan diakui shahih oleh Ibnu Khuzaimah. Ia juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Baihaqi
tetapi terdapat perawi yang diperselisihkan dalam sanadnya. Lihat hadis-hadis
berkenaan dengan masalah ini (Subulus Salam jilid 1 halaman 86 dan
berikutnya; Nailul Authar jilid 1 halaman 231-236).
Mandi disunnahkan bagi mereka yang menghadiri
shalat Jumat pada hari tersebut. Kesunnahan mandi tersebut mulai dari munculnya
fajar hingga tergelincirnya matahari. Menurut ulama Maliki, mandi Jumat
disyaratkan bersambung dengan kepergiannya ke masjid. Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh al-Jama'ah dari Ibnu Umar, "Siapa
di antara kalian yang menunaikan shalat Jumat, hendaklah mandi. "
Inilah mandi yang sunnah menurut ulama Maliki.
Menurut pendapat yang shahih di kalangan ulama Hanafi, mandi tersebut
disunnahkan karena adanya shalat Jumat. Adapun menurut ulama yang lain,
kesunnahan mandi karena adanya hari Jumat itu sendiri. Perbedaan pendapat ini
dapat dilihat dengan jelas dalam masalah seseorang yang telah mandi pada hari Jumat,
kemudian dia berhadats lalu dia berwudhu dan mengerjakan shalat Jumat. Bagi dua
pendapat terawal, orang ini tidak mendapat pahala sunnah. Namun, mereka tetap
sepakat bahwa mandi setelah shalat Jumat tidak lagi dianggap sunnah.
Siapa yang mandi junub atau semacamnya -seperti
mandi karena haid- dan dibarengi dengan mandi Jumat atau mandi sunnah Hari
Raya, maka dia mendapatkan kedua-duanya, apabila memang dia mengawalinya dengan
niat mandi junub kemudian diikuti dengan niat mandi Jumat. Pendapat ini adalah kesepakatan
semua madzhab. Kedudukannya sama seperti pendapat ulama Syafi'i dalam masalah
orang yang berniat shalat fardhu berbarengan dengan shalat sunnah Tahiyyatul Masjid
dan juga sama dengan masalah yang telah disepakati bersama, yaitu mandi sekali untuk
junub dan haid.
Mandi Jumat merupakan mandi sunnah yang paling
dituntut oleh syara'. Ini berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan tadi.
Meskipun demikian, ia tidak sunnah untuk kaum wanita.
B. Mandi untuk shalat dua Hari Raya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah mandi untuk tujuan tersebut. Tetapi, Imam asy-Syaukani mengatakan bahwa
hadits yang dijadikan dalil bahwa mandi Hari Raya adalah disunnahkan tidak
dapat dijadikan alasan. Sebab, dalam masalah ini tidak ada satu dalil pun yang
boleh digunakan sebagai hujjah untuk menetapkan hukum syara'. Diriwayatkan dari
Al-Fakih bin Sa'd -seorang sahabat- bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam mandi pada hari Jumat, Hari Arafah, Hari Raya Puasa, dan Hari
Nahar. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Al-Musnad.
la luga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, tetapi tanpa menyebut Jumat. Hadits ini
adalah dhaif (Nailul Authar, jilid 1 halaman 236)
Selain itu, shalat Hari Raya juga disyariatkan
supaya dikerjakan dengan berjamaah. Oleh karena itu, ia hampir sama dengan
shalat Jumat.
Mandi ini dilakukan pada Hari Raya bagi orang
yang mukim (tidak musafir), jika dia hendak mengerjakan shalat pada Hari Raya, meskipun
dia shalat sendirian, jika memang shalat sendirian itu sah umpamanya dilakukan setelah
shalat yang dikerjakan oleh bilangan jamaah yang dibenarkan. Mandi sunnah ini tidak
mencukupi apabila dilakukan sebelum muncul fajar.
C. Mandi untuk ihram haji dan umrah
Untuk melakukan wuquf di Arafah setelah
matahari tergelincir, untuk memasuki Mekah, untuk bermalam di Muzdalifah, juga
untuk melakukan Thawaf Rukun atau Thawaf Wada'. Mandi untuk berihram adalah
disunnahkan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit,
"Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menanggalkan pakaian
(biasa) untuk berihram dan beliau mandi.” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan
diakuinya sebagai shahih (Nailul Authar jilid 1 halaman 239).
Pada zahirnya, mandi untuk ihram ini disunnahkan,
meskipun dilakukan oleh wanita yang masih haid dan nifas. Hal ini berdasarkan perintah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Asma' binti Umais supaya
dia berbuat demikian ketika dia melahirkan Muhammad bin Abu Bakr. Diriwayatkan
oleh Muslim dari hadis Aisyah. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dan
Abu Dawud (Nailul Authar jilid 1 halaman 240).
Kesunnahan mandi untuk memasuki kota Mekah
meskipun masih dalam keadaan haid juga berdasarkan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadis muttafaqun ‘alaihi (Nailul
Authar jilid 1 halaman 240).
Pada zahirnya, kesunnahan ini tetap berlaku
meskipun dia sudah berada di kawasan Tanah Haram, seperti mereka yang tinggal
di Mina apabila mau masuk ke Mekah. Mandi juga disunnahkan apabila mau memasuki
Madinah, sebagai rasa hormat dan memuliakan, dan juga karena akan mengunjungi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mandi untuk wuquf di Arafah juga disunnahkan, karena
ia ada dalam sunnah. Diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
Asy-Syafi’i juga meriwayatkannya dari Ali dan Ibnu Majah juga meriwayatkannya.
Mandi untuk bermalam di Muzdalifah, melontar jumrah,
Thawaf Rukun, dan Thawaf Wada' juga disunnahkan, sebab semua perkara ini
merupakan ibadah yang dilaksanakan bersama kumpulan manusia. Kondisi ini akan menyebabkan
seorang itu berkeringat dan bisa jadi tidak menyenangkan orang lain. Oleh karena
itu, disunnahkan mandi agar bau yang tidak enak tersebut hilang dan supaya dia menjadi
bersih.
Ulama Maliki mengatakan bahwa mandi untuk
melakukan thawaf, sa'i, wuquf di Arafah
dan di Muzdalifah adalah mustahab. Sementara untuk
berihram dan memasuki Mekah adalah sunnah.
Ulama Hanafi berpendapat mandi untuk berihram
dan berwuquf di Arafah adalah sunnah, sementara untuk berwuquf di Muzdalifah
dan memasuki Mekah adalah mandub.
D. Mandi untuk mengerjakan shalat sunnah gerhana bulan
dan gerhana matahari
Shalat sunnah meminta hujan (istisqaa')
juga disunnahkan, karena ia merupakan ibadah yang dilakukan dalam kumpulan manusia.
OIeh sebab itu, ia menyerupai shalat Jumat dan shalat Hari Raya. Ulama Hanafi berpendapat
ia hanya mandub saja.
E. Mandi karena memandikan mayat, baik mayat Muslim atau
kafir
Yang mensunnahkan adalah ulama Maliki, Syafi'i,
dan Hambali berdasarkan sabda Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Siapa
yang memandikan mayat, hendaklah ia mandi. Dan siapa yang memikulnya, hendaklah
berwudhu.” Diriwayatkan oleh al-khamsah (imam yang lima). Abu Dawud
menyatakan bahwa hadis ini telah dimansukh Al-Bukhari dan Al-Baihaqi juga
merajihkannya sebagai hadis mauquf (Nailul Authar jilid 1 halaman 237).
Perintah dalam hadits ini diartikan
kesunnahan, karena ada hadits lain yang menyebutkan, bahwa orang yang mati di
kalangan kamu adalah mati dalam keadaan suci. Oleh sebab itu, cukuplah bagi
kamu apabila membasuh saja tangan kamu. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan diakui
baik oleh Ibnu Hajar.
Hal ini juga berdasarkan hadits, "Kami
memandikan mayat, di antara kami ada yang mandi dan ada yang tidak mandi."
Ditakhrijkan oleh Al-Khatib dari Ibnu Umar. Ibnu Hajar mengakui isnadnya
shahih.
Ulama Hanafi mengatakan bahwa mandi karena
memandikan mayat tidak wajib karena terdapat hadits, "Kamu tidak wajib
mandi dengan sebab memandikan mayat." Diriwayatkan secara marfu’ oleh
Ad-Daruquthni dan Al-Hakim, dari hadis Ibnu Abbas. Al-Baihaqi juga
mengesahkannya sebagai hadis mauquf. Ia mengatakan bahwa riwayat hadis
ini secara marfu’ tidak betul.
Ibnu Atha' juga mengatakan, "Janganlah
kamu menganggap mayat dari golongan kamu sebagai najis, karena orang mukmin
tidak najis baik dia hidup ataupun mati.” Isnad hadis ini adalah shahih dan
ia kadang-kadang diriwayatkan secara marfu’. Ia diriwayatkan oleh
Ad-Daruquthni dan Al-Hakim. Terdapat juga hadis ini yang diriwayatkan secara marfu’
dari hadis Ibnu Abbas dengan lafal, “Janganlah kamu menajiskan orang
mati di kalangan kamu,” yakni jangan kamu mengatakan bahwa ia najis (Nailul
Authar jilid 1 halaman 238).
Mereka mengatakan mandi adalah disunnahkan supaya
keluar dari khilaf di antara ulama yang menyatakan wajib. Namun, Imam Asy-Syaukani
menerangkan bahwa pendapat yang mengatakan mandi itu hukumnya dianjurkan adalah
pendapat yang tepat, karena ia menggabungkan semua dalil yang ada dengan cara
yang paling baik. Oleh sebab itu, jelas bahwa tuntutan supaya mandi disebabkan
memandikan mayat adalah tidak menjadi satu keharusan, tetapi disunnahkan menurut
pendapat empat madzhab.
F. Mandi wanita yang mengalami istihadhah
Menurut pendapat ulama Syafi'i dan Hambali,
mandi disunnahkan bagi wanita yang mustahadhah setiap kali ia mau melaksanakan shalat.
Ulama Maliki juga mengatakan bahwa hukumnya adalah mustahab. Ulama Hanafi
mengatakan ia disunnahkan apabila darahnya terhenti.
Dalil kesunnahan mandi bagi mereka yang istihadhah
ialah hadits yang menyebutkan, "Bahwa Ummu Habibah mengalami
istihadhah, lalu dia bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
mengenai hal itu. Lalu beliau memerintahkannya supaya mandi. Lalu Ummu Habibah
mandi setiap kali mau mengerjakan shalat." Hadis muttafaqun
‘alaihi.
Dalam riwayat yang tidak shahih juga disebutkan,
"Beliau memerintahkannya supaya mandi setiap kali shalat."
Aisyah juga meriwayatkan bahwa Zainab binti Jahsy
mengalami istihadhah lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, "Hendaklah engkau mandi
setiap kali shalat." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Sebagian jalur sanadnya diakui baik oleh Al-Mundziri (Nailul Authar jilid
1 halaman 241).
Dia boleh mandi sekali saja untuk dua shalat
yang boleh dijamak, seperti shalat Zhuhur dan Asha, Maghrib dan Isya. Hal ini berdasarkan
hadits Aisyah, "Bahwa Sahlah binti Suhail bin Amru mengalami istihadhah,
lalu dia datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menanyakan
hal tersebut. Lalu beliau menyuruhnya mandi setiap kali mau shalat. Ketika
perbuatan tersebut mulai terasa berat dan sukar dilakukan, beliau memerintahkannya
supaya ia menggabungkan di antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya, dengan
satu kali mandi, sementara untuk shalat Shubuh dengan sekali mandi.”
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa Ibnu Ishaq
keliru (waham) mengenai masalah ini (Nailul Authar jilid 1
halaman 242).
G. Mandi karena pulih dan sadar dari gila, pingsan atau
mabuk
Hukum mandi bagi mereka adalah sunnah, Ibnul
Mundzir berkata, "Telah jelas bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam mandi karena pingsan." Riwayat muttafaqun ‘alaihi dari
Aisyah (Nailul Authar jilid 1 halaman 243).
H. Mandi juga sunnah dilakukan setelah berbekam, pada
malam Nishfu Sya'ban dan juga pada malam Lailatul Qadar sekiranya dia dapat
menemuinya
Ulama Hanafi mengatakan mandi disunnahkan sebab
berbekam sebagai langkah menghindar dari khilaf dengan mereka yang mewajibkannya.
Mandi pada malam Nishfu Sya'ban adalah untuk
menghidupkan malam tersebut serta memuliakannya. Karena, pada malam itulah rezeki
dibagi dan ajal ditentukan. Sementara, mandi pada malam Lailatul Qadar jika
memang dia menemuinya adalah untuk menghayatinya. Mandi juga sunnah dilakukan
ketika menghadapi ancaman bencana untuk mencari perlindungan kepada Allah
Ta’ala dan kemurahan- Nya, agar Dia menghindarkan bencana tersebut. Begitu juga
ketika menghadapi kegelapan dan angin ribut yang kuat, karena Allah Ta’ala
telah membinasakan kaum yang zalim seperti kaum Ad dengan bencana itu.
Orang
yang bertobat dari dosa juga disunnahkan mandi. Begitu juga mereka yang kembali
dari perjalanan jauh, mereka yang terkena najis tetapi tidak diketahui tempatnya,
maka hendaklah membasuh seluruh tubuh dan pakaiannya sebagai langkah hati-hati.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments