BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


3. KAPANKAH SHALAT DIANGGAP TUNAI (ADAA')?

Sebagaimana diketahui bahwa jika shalat dikerjakan dalam waktu yang memang dikhususkan untuknya, maka shalat itu dianggap tunai (adaa’). Jika dilakukan untuk kali yang kedua juga dalam waktu yang sama disebabkan adanya kecacatan yang tidak merusakkan shalat, sewaktu melakukan shalat yang pertama, maka dinamakan pengulangan (i' aadah). Jika shalat itu dilakukan di luar waktunya, maka dinamakan qadhaa'. Jadi, qadhaa' adalah melakukan sesuatu  kewajiban setelah waktunya.

Jika seseorang shalat dan hanya sempat melakukan sebagian dari shalat saja dalam waktunya, apakah ia dianggap tunai (adaa)? Dalam perkara ini, ada dua pendapat fuqaha. Pendapat pertama adalah pendapat ulama Hanafi yang merupakan pendapat yang rajih di kalangan ulama Hambali, manakala pendapat kedua adalah pendapat ulama Maliki dan Syafi'i.
Pendapat pertama, yaitu pendapat ulama Hanafi dan Hambali, dalam salah satu riwayat yang lebih rajih di antara dua riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 677; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 298; Al-Mughni jilid 1 halaman 378). Mereka mengatakan bahwa semua shalat fardhu menjadi tunai (adaa) jika sempat bertakbiratul ihram dalam waktunya, baik dia terlambatnya shalat karena udzur seperti orang yang haid menjadi suci atau orang gila menjadi sembuh, ataupun terlambatnya tanpa udzur. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Aisyah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang sempat mendapati satu rakaat (sajdah) dari shalat Ashar, sebelum matahari terbenam, ataupun dari shalat Shubuh sebelum matahari naik, maka sesungguhnya dia telah memperoleh (shalat Ashar dan Shubuh itu dengan sempurna).” Riwayat Muslim, Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Majah. Tetapi, Muslim menyebut sajadah yang dimaksud adalah rakaat.
Menurut riwayat Al-Bukhari, terdapat ungkapan yang artinya, “maka sempurnalah shalatnya.”
Contoh lainnya adalah seperti orang yang musafir menjadi makmum orang bermukim (shalat al-Muqim). Begitu juga seperti shalat berjamaah. Selain hadits di atas, hujjah lain adalah karena rakaat shalat yang tersisa adalah mengikuti apa yang berlaku dalam waktu awalnya.
Pendapat kedua, yaitu pendapat golongan Maliki dan pendapat yang ashah menurut ulama Syafi'i (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 231; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 46; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 136; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 54; Nihayatul Muhtaj jilid 1 halaman 280). Mereka mengatakan bahwa seluruh shalat dianggap tunai (adaa) jika ia sempat mendapat satu rakaat dengan dua sujudnya dalam waktu yang sebenarnya. Tetapi jika tidak sempat, seperti tidak sempat satu rakaat pun dilakukan, maka dianggap qadhaa'. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, “Siapa yang mendapat satu rakaat shalat (pada waktunya), maka dia mendapat shalat tunai.” (Nailul Authar jilid 3 halaman 151)
Apa yang dapat dipahami dari hadits ini adalah siapa yang tidak mendapat satu rakaat, maka dia tidak mendapat shalat tunai. Perbedaan antara dua perkara ini adalah satu rakaat mengandungi sebagian besar amalan shalat, dan rakaat yang lain setelahnya hanyalah mengulangi amalan-amalan sebelumnya. Oleh karena itu, ia ikut dengan bagian awalnya. Pada zahirnya, pendapat ini lebih tepat, karena yang dimaksud dengan satu sujud adalah satu rakaat. Hal ini berdasarkan hadits yang disebutkan oleh Muslim, dan hadits yang diriwayatkan oleh al-jama'ah, dengan lafaz yang artinya, “Siapa yang mendapat satu rakaat dari shalat Shubuh” hingga akhir hadits.



PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)