BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


8. HUKUM ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI DUA ALAT BERSUCI (AIR DAN DEBU)

Seseorang yang tidak mempunyai dua alat untuk bersuci, yaitu air dan tanah seperti orang yang terkurung di tempat yang dua alat bersuci tersebut tidak ditemui, di tempat najis yang tidak mungkin ditemukan tanah untuk menyucikan, seperti seseorang melihat kondisi yang perlu menggunaan air seperti (ada orang atau hewan yang) kehausan, dia mendapati tanah yang basah dan dia tidak mempunyai alat seperti api untuk mengeringkannya, atau dia berada di atas kapal, tetapi tidak dapat mengambil air. Termasuk juga orang yang tidak sanggup untuk menggunakan air dan juga tidak mampu bertayamum karena sakit dan sebagainya, seperti orang luka yang kulitnya tidak boleh disentuh dengan air wudhu.
Hukum orang yang tidak mempunyai alat bersuci seperti ini ada dua pendapat. Menurut jumhur, dia wajib mengerjakan shalat dan wajib mengulangi shalatnya itu. Hal ini menurut ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i. Adapun menurut ulama madzhab Hambali, orang tersebut tidak wajib mengulangi shalatnya. Menurut ulama Maliki, dalam pendapat yang mu'tamad, shalatnya telah gugur. Adapun secara terperinci, pendapat ini adalah sebagai berikut (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 232; Muraqil Falah halaman 21; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 200 dan seterusnya; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 162; Al-Majmu’ jilid 2 halaman 351; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 35; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 105 dan seterusnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 95 dan seterusnya).


A. Madzhab Hanafi

Pendapat yang difatwakan dalam madzhab ini adalah pendapat Abu Yusuf dan Muhammad Al-Hasan, yaitu orang yang tidak mempunyai dua alat bersuci wajib melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan shalat. Dia hendaklah ruku' dan sujud jika memang ada tempat yang kering. Dia tidak boleh membuat isyarat dengan cara berdiri. Dia juga tidak boleh membaca bacaan shalat
dan juga tidak boleh berniat. Dia hendaklah mengulangi shalat jika sudah mendapatkan air ataupun tanah.
Adapun orang yang terputus dua tangan dan dua kakinya, jika ada luka di mukanya, maka dia boleh shalat tanpa thaharah dan tidak perlu bertayamum. Menurut pendapat yang paling ashah, orang tersebut tidak perlu mengulangi shalatnya.
Orang yang terperangkap (terpenjara), jika melakukan shalat dengan tayamum hendaklah mengulangi shalatnya jika dia memang orang mukim (bukan musafir). Hal ini karena dalam kasus ini seperti tidak ada darurat, sebab air dapat diperoleh di tempat tersendiri. Berbeda dengan musafir yang biasanya tidak menemukan air, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Inilah pendapat madzhab Syafi'i seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan yang lalu, yaitu tentang "mengulangi shalat."

B. Madzhab Maliki

Menurut pendapat yang mu'tamad dalam madzhab ini, seseorang yang tidak mempunyai dua alat bersuci (air dan tanah) ataupun hilang kemampuan untuk menggunakan keduanya seperti orang yang dipaksa atau yang diikat, maka shalatnya gugur baik yang berbentuk tunai ataupun qadha. Oleh karena itu, dia tidak perlu shalat tunai dan juga tidak perlu qadha'. Kedudukannya sama seperti perempuan yang sedang haid. Hal ini karena air dan tanah adalah syarat wajib bagi pelaksanaan shalat, sedangkan dalam kasus ini syarat itu tidak ada. Dan syarat wajib qadha' juga bergantung kepada kewajiban melaksanakan secara tunai, sedang kewajiban melaksanakan secara tunai itu tidak diperintahkan.

C. Madzhab Syafi'i

Menurut ulama Syafi'i, orang yang tidak mempunyai air dan tanah hendaklah melakukan shalat fardhu saja. Menurut pendapat dalam madzhab jadid, shalat itu hendaklah dilakukan menurut keadaan, yaitu dengan niat dan bacaan saja untuk menghormati waktu. Dia tidak boleh melakukan shalat sunnah. Tetapi, shalat yang dilakukan itu hendaklah diulang lagi apabila dia sudah mendapatkan air atau tanah di tempat yang tidak ada air. Karena, udzur ini jarang sekali terjadi. Oleh karena itu, hukumnya tidak boleh berterusan. Apalagi, ketidakmampuan melakukan salah satu syarat shalat (bersuci), bukan berarti menyebabkan boleh meninggalkan shalat seperti menutup aurat, menghilangkan najis, menghadap kiblat, berdiri dalam shalat, dan membaca.
Orang yang ada najis di badannya dan dia tidak bisa membasuhnya karena takut sakit (binasa), dan juga orang yang tertahan sehingga tidak dapat melakukan shalat, sama hukumnya dengan orang yang tidak mempunyai air dan tanah. Mereka hanya wajib melakukan shalat fardhu saja. Namun, orang yang berjunub hanya boleh membaca Al-Faatihah saja. Pendapat yang paling kuat menurut ulama Syafi'i adalah shalat dilakukan seperti biasa dan hendaklah diulangi, jika sudah mendapatkan air. Karena, memang tidak ada nash yang jelas yang menerangkan hukum shalat orang yang seperti ini.

D. Madzhab Hambali

Orang yang tidak mempunyai dua alat bersuci hendaklah melakukan shalat fardhu saja. Shalat itu wajib dilakukan menurut keadaannya. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Apabila aku menyuruh kamu melakukan sesuatu, hendaklah kamu lakukan menurut kemampuanmu."
Lemahnya syarat tidak bisa menjadi alasan untuk meninggalkan apa yang disyaratkan (Al-Masyruth). Keadaan orang seperti ini sama seperti orang yang tidak sanggup menutup aurat dan tidak mampu menghadap kiblat. Artinya, pendapat mereka sama seperti pendapat ulama Syafi'i. Mereka mengatakan bahwa shalat itu tidak perlu diulang. Hal ini berdasarkan riwayat Aisyah, bahwa dia telah meminjam kalung Asma, lalu dia menghilangkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mengutus beberapa orang untuk mencari kalung itu. Setelah mereka menemui kalung itu, waktu shalat pun tiba, tetapi mereka tidak mempunyai air. Maka, mereka melakukan shalat tanpa wudhu. Setelah itu, mereka memberi tahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Allah Ta’ala menurunkan ayat mengenai tayamum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh mereka mengulangi shalatnya. Muttafaqun ‘alaihi.
Dan wudhu, adalah salah satu syarat shalat. Oleh karena itu, ia menjadi gugur ketika ada ketidakmampuan, sama seperti syarat-syarat shalat yang lain.  
Seseorang yang shalat dalam keadaan tidak mempunyai dua alat bersuci tidak boleh menambah lebih dari membaca bacaan atau perbuatan yang mengesahkan shalat. Oleh karena itu. dia hendaklah membaca Al-Faatihah saja, bertasbih sekali saja, memendekkan tuma'ninah, ruku', sujud, duduk antara dua sujud, tasyahud awal dan akhir sebatas yang menjadi syarat saja. Kemudian hendaklah dia mengucapkan salam.
Di samping itu, dia tidak boleh melakukan shalat sunnah dan tidak boleh menjadi imam bagi makmum orang yang bersuci dengan air ataupun tanah. Karena, orang yang suci tidak boleh mengikut (berimam) kepada orang yang berhadats yang mengetahui hadatsnya. Namun, dia boleh menjadi imam kepada orang yang sama sepertinya.
Selain dalam shalat, dia tidak boleh membaca Al-Qur'an jika dia orang yang berjunub, haid, atau nifas. Shalat menjadi batal jika dia berhadats atau terkena najis yang tidak dimaafkan dalam masa shalat, karena hadats dan najis itu tidak sesuai dengan amalan shalat.
Shalat orang tersebut tidak batal hanya disebabkan waktu shalat telah lewat. Hal ini berbeda dengan shalat orang yang bertayamum, karena dalam keadaan seperti itu tayamum menjadi batal, maka shalatnya juga batal.
Shalat jenazah dihukumi batal jika mayatnya tidak dimandikan dan tidak ditayamumkan, karena memang tidak ada air dan tanah. Kuburan tersebut boleh digali selagi mayat belum hancur dengan tujuan untuk dimandikan atau ditayamumkan. Karena, hal itu adalah mashlahah (kebaikan) sekiranya tidak ada mafsadah (kerusakan). Tetapi jika khawatir mayat itu akan hancur, maka tidak boleh digali.



PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)