Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
2. HUKUM ISTINJA’, ISTIJMAR DAN ISTIBRA'
Menurut ulama madzhab Hanafi (Fathul Qadir jilid
1 halaman 148; Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 76; Al-Lubab jilid
1 halaman 57; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 310, 313; Muraqil
Falah halaman 7), istinja' adalah sunnah mu'akkad bagi lelaki
dan perempuan dalam kondisi normal, selagi najis itu tidak melampaui tempat
keluarnya. Karena, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan
cara itu dan juga karena beliau bersabda, "Siapa yang beristijmar
hendaklah dilakukan dengan bilangan yang ganjil. Siapa yang melakukannya, maka
adalah lebih baik. Dan siapa yang tidak melakukannya, maka tidaklah berdosa.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Al-Baihaqi dan Ibnu Hibban dari
Abu Hurairah (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 217).
Jika najis itu melampaui saluran keluarnya meskipun
sebesar uang koin dirham, maka wajib membersihkannya dengan air. Jika limpahan
itu sampai melebihi kadar koin dirham, maka wajib dibasuh dengan air ataupun
benda cair lainnya.
Jumhur ulama selain ulama madzhab Hanafi (Asy-Syahush Shaghir jilid 1 halaman 94, 96; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah halaman 37; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 109 dan
seterusnya; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 43, 46; Al-Muhadzdzab jilid
1 halaman 28; Al-Mughni jilid 1 halaman 149 dan seterusnya; Kasysyaful
Qina’ jilid 1 halaman 71, 77)
berkata, bahwa ber-istinja' ataupun ber-istijmar atas sesuatu
yang keluar dari dua kemaluan seperti air kencing, air madzi, ataupun tahi
adalah wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah
Al-Muddatstsir ayat 5 yang artinya, "Dan segala kotoran hendaklah
engkau jauhi."
Perintah dalam ayat ini adalah umum meliputi setiap
tempat, baik pada pakaian ataupun badan. Lagipula, ber-istinja’ dengan
air merupakan cara yang mendasar dalam menghilangkan najis. Juga, berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Jika salah
seorang di antara kamu hendak pergi ke tempat buang air besar, hendaklah membawa
tiga batu. Karena, sesungguhnya batu itu sudah cukup untuk membersihkannya."
Riwayat Abu Dawud, diriwayatkan juga oleh Asy-Syafi'i dan Al-Baihaqi, "Hendaklah
kamu ber-istinja' dengan tiga batu." Diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa'i,
Abu Dawud, Ad-Daruquthni dan dia berkata bahwa isnad hadits ini hasan shahih
dari Aisyah, "Jika salah seorang di antara kamu pergi ke tempat buang
air besar, maka pergilah dengan membawa tiga batu. Karena sesungguhnya baitu
itu cukup untuk membersihkannya.” (Nashbur Rayah jilid 1 halaman
214; Nailul Authar jilid 1 halaman 90)
Juga, berdasarkan sabda Rasul, "Hendaknya
seseorang di antara kamu tidak beristinja' dengan bilangan batu yang kurang
dari tiga." (HR. Muslim)
Dalam lafaz lain, Imam Muslim menyatakan, "Sesungguhnya
kami dilarang beristinja’dengan bilangan yang kurang dari tiga batu."
Kesemuanya ini adalah perintah dan setiap perintah
menunjukkan kewajiban. Istinja' tidak diwajibkan kepada siapa saja yang
bangun dari tidur ataupun yang keluar angin dari duburnya. Ini disetujui oleh
seluruh ulama berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
"Siapa yang beristinja’ karena kentut, maka dia bukanlah termasuk
golongan kami." Riwayat Ath-Thabari dalam Al-Mu’jamush Shaghir.
Ketika menafsiri surah Al-Maa'idah ayat 6, Zaid
bin Aslam berkata, “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat (padahal kamu
berhadats kecil), maka (berwudhulah) yaitu basuhlah wajahmu....”
Ayat ini hanya menyuruh membasuh muka. Ini
membuktikan bahwa selain muka tidaklah wajib. Lagipula, istinja’
disyariatkan dengan tujuan membersihkan najis, padahal ketika kentut tidak ada
najis. Menurut pendapat azhar dari kalangan ulama madzhab Syafi'i, istinja'
tidak disyariatkan karena keluar ulat dan juga tahi keras yang tidak mengotori
bagian dubur; karena tidak terdapat najis. Namun menurut pendapat ulama madzhab
Syafi'i dan Hambali, dalam keadaan
seperti itu istinja’ tetap disunnahkan. Menurut ulama
madzhab Hanafi dan Maliki, istinja’diwajibkan jika memang ulat dan tahi yang
keras itu keluar selepas membuang air besar dan sebelum beristinja’.
Istibra' boleh dilakukan baik dengan berjalan, berdehem, ataupun memiringkan badan ke
sebelah kiri ataupun dengan cara lainnya, seperti mengangkat dan menghentakkan kakinya.
Yang dimaksud dengan istibra' adalah membersihkan bagian zakar yang
menjadi tempat keluar air kencing, dengan cara mengurut batang zakarnya dengan
tangan kiri, dimulai dari bibir duburnya hingga ke kepala zakar sebanyak tiga
kali, agar tidak ada lagi sisa basah air kencing di tempat itu. Boleh juga
dilakukan dengan meletakkan jari tengah tangan kirinya di bawah zakarnya dan ibu
jarinya di bagian atas zakarnya, kemudian mengurutnya turun ke arah kepala
zakar, dan disunnahkan juga menariknya dengan perlahan sebanyak tiga kali agar
keluar sisa air kencingnya, jika ada.
Menurut ulama madzhab Maliki, Hambali, dan
juga Syafi'i, istibra' itu dilakukan dengan
cara menarik dan mengurut zakar dengan perlahan-lahan
sebanyak tiga kali. Yaitu, dengan meletakkan jari telunjuk tangan kirinya di
bawah pangkal zakarnya, sedangkan ibu jarinya di atas zakar, kemudian
mengurutnya dengan perlahan-lahan hingga keluarlah sisa air kencing yang masih
ada. Ketika menarik dan mengurut zakar, disunnahkan dengan cara perlahan,
sehingga yakin bahwa tempat itu sudah bersih dari air kencing. Janganlah seseorang
mengikut perasaan ragu-ragu
(wahm), karena sikap itu dapat menyebabkan timbulnya
penyakit waswas yang merusak keberagamaan. Oleh sebab itu orang yang bijak
berkata, “Waswas disebabkan rusaknya akal atau ragu dalam masalah agama.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, "Apabila
seseorang di antara kamu kencing, maka hendaklah ia menarik zakarnya sebanyak
tiga kali." Adapun cara istibra' bagi perempuan adalah dengan
menekan bagian ari-ari kemaluannya dengan ujung jari tangan kirinya.
Pada umumnya, istibra' itu mempunyai cara
yang berlainan menurut keadaan masing-masing. Tujuannya adalah agar seseorang
itu yakin bahwa tidak ada lagi air kencing yang tertinggal pada saluran air
kencing, sehingga dikhawatirkan akan keluar. Ada orang yang cukup dengan sekali
urutan saja dan ada juga yang memerlukan berulang-ulang urutan. Ada orang yang
perlu berdehem dan ada orang yang tidak perlu melakukan apa-apa.
Menyumbat lubang kencing zakar dengan sesuatu
seperti kapas adalah makruh. Makruh juga duduk berlama-lama dalam WC, karena dapat
menyebabkan sakit limpa atau hati.
Dalil yang menunjukan bahwa istibra' dituntut
adalah hadits riwayat Ibnu Abbas, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam melintasi bagian yang dekat dengan dua buah kubur, lalu beliau bersabda,
"Kedua-dua orang yang berada dalam kubur ini sedang diazab, tetapi
bukan diazab korena melakukan dosa besar. Salah seorang di antara keduanya (diazab karena) apabila kencing
tidak melakukan istibra' dan yang lainnya karena sering mengadu domba."
Riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Adapun dalil bagi ulama yang mengatakan bahwa istibra'
adalah sunnah bukannya wajib adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, "Bersucilah dari air kencing, karena azab kubur pada
umumnya disebabkan darinya."
Yang dimaksud dengan berhentinya air kencing
adalah ketika ia tidak akan keluar lagi. Adapun maksud hadits di atas adalah berkenaan
dengan orang yang tidak melakukan istibra', padahal biasanya kalau dia
tidak istibra' maka air kencingnya akan keluar lagi.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########