BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

12. HUKUM IQAMAH

Hukum iqamah adalah seperti hukum adzan. Namun, ada beberapa tambahan sebagai berikut (Ad-Durrul Mukhtar jilid l halaman 36l dan 377; Fathul Qadir jilid l halaman 170; Al-Bada'i jilid l halaman 151; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 145; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 255 dan setelahnya; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 59; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 136, 138 dan setelahnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 415 – 417, 458 dan setelahnya; Kasysyaful Qina' jilid 1 halaman 275, 279, 281).


A. Iqamah disunnahkan dibaca secara cepat, namun huruf-hurufnya harus tetap jelas

Caranya adalah dengan menggabungkan dua kalimat dengan satu napas dan kalimat akhir dengan satu suara. Hal ini berdasarkan hadits Jabir yang telah disebutkan, “Jika engkau adzan, hendaklah engkau lambatkan. Dan apabila engkau iqamah, hendaklah engkau cepatkan, Buatlah jarak antara adzan dan iqamah sekadar orang yang makan dapat menyelesaikan makannya.”

B. Menurut madzhab yang empat, yang afdhal adalah yang mengumandangkan iqamah hendaknya orang yang mengumandangkan adzan

Hal ini berdasarkan petunjuk sunnah, yaitu siapa yang melakukan adzan, maka dialah yang iqamah seperti yang telah kita jelaskan dalam pembahasan syarat-syarat adzan, Tetapi jika iqamah dilakukan oleh orang lain, maka juga dibolehkan.
Tetapi, ulama Hanafi mengatakan, makruh bagi orang lain yang melakukan iqamah jika orang yang beradzan tersinggung. Tetapi, tidak makruh jika orang yang adzan tidak tersinggung.

C. Menurut ulama Hambali, sunnah dilakukan iqamah di tempat dikumandangkannya adzan

Iqamah disyara'kan untuk pemberitahuan. Oleh sebab itu, hendaklah dilaksanakan di tempat yang sama supaya pemberitahuan itu lebih efektif lagi. Tetapi jika adzan itu dikumandangkan di atas menara atau tempat yang jauh dari masjid, maka tidak perlu iqamah dilakukan di tempat itu, supaya tidak terlewat melaksanakan shalat.
Ulama Syafi'i berpendapat bahwa iqamah sunnah dilakukan di tempat yang lain dari tempat adzan, dan dengan suara yang lebih rendah daripada suara adzan.
Iqamah tidak boleh dikumandangkan hingga imam memberi izin. Karena, Bilal meminta izin terlebih dahulu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Hadits Ziyad ibnul Harits As-Sada'i, dia berkata, “Aku berkata kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam aku hendak melakukan iqamah, aku hendak melakukan iqamah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Petugas adzan lebih berhak mengumandangkan iqamah, dan imam lebih berhok memberi izin untuk mengumandang kan iqamah.” Hadis riwayat Ibnu Adi (Subulus Salam jilid 1 halaman 130).

D. Orang yang akan shalat tidak boleh berdiri ketika iqamah hingga imam berdiri atau imam datang

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika dikumandangkan iqamah untuk shalat, maka janganlah kamu berdiri hingga kamu melihatku.” Muttafaqun ‘alaihi.
Berkenaan dengan masa kapankah makmum patut berdiri untuk shalat, ulama Maliki mengatakan bahwa orang yang akan shalat boleh berdiri, baik ketika iqamah dikumandangkan, pada awalnya, ataupun selepasnya. Dalam hal ini, tidak boleh dibuat ketentuan apa pun. Semuanya terserah kepada keinginan masing-masing. Sebab, ada orang yang susah berdiri karena tubuhnya berat dan ada orang yang mudah berdiri.
Ulama Hanafi berpendapat, orang yang hendak shalat hendaklah bangun ketika diucapkan (حي على الصلاة) dan setelah imam berdiri. Ulama Hambali berkata bahwa disunnahkan berdiri ketika (قد قامت الصلاة) karena diriwayatkan dari Anas bahwa dia berdiri apabila petugas adzan menyebut (قد قامت الصلاة).
Ulama Syafi'i berkata bahwa orang yang shalat disunnahkan berdiri apabila iqamah telah selesai, jika memang imam berada bersama-sama orang yang shalat di masjid, dan juga jika memang dia mampu berdiri dengan segera. Yaitu, selagi dia sempat mendapat fadhilah takbiratul
ihram bersama dengan imam. Jika dia tidak sempat berbuat demikian, hendaklah dia bangun sebelum itu, kira-kira dia dapat mendapat fadhilah tersebut. (Subulus Salam jilid 1 halaman 131; Al-Hadramiyyah halaman 74; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 237; Al-Mughni jilid 1 halaman 458; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 447)

E. Sama seperti adzan, iqamah juga dalam keadaan berdiri, suci, menghadap qiblat, tidak berjalan semasa beriqamah, dan tidak bercakap-cakap

Begitu juga disyaratkan supaya tidak ada jarak waktu yang panjang antara iqamah dengan shalat. Jika berlaku jarak waktu yang panjang atau terjadi sesuatu yang dianggap dapat memutuskan antara iqamah dan shalat seperti makan, maka hendaknya iqamah tersebut diulang. Imam disunnahkan bertakbiratul ihram sebentar setelah iqamah selesai.
Antara iqamah dan shalat tidak boleh dipisahkan, kecuali dengan perkara sunnah seperti imam menyuruh membetulkan shaf. Iqamah yang dilakukan oleh perempuan tidaklah cukup untuk jamaah lelaki.
Menurut ulama Syafi'i, bagi siapa saja yang mempunyai kelayakan menggabungkan antara adzan, iqamah, dan imam, maka ia disunnahkan untuk melakukannya. Ulama Hanafi juga berpendapat demikian. Mereka mengatakan yang lebih baik adalah imam sendiri yang melakukan adzan, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam -seperti yang disebutkan dalam kitab Ad-Diya'- mengumandangkan adzan sendiri dalam perjalanannya. Beliau juga mengumandangkan
iqamah sendiri lalu shalat Zhuhur.
Iqamah tidak disunnahkan di tempat yang tinggi. Meletakkan jari di telinga, tarjil dan tartil juga tidak disunnahkan.

F. Apabila petugas adzan mengumandangkan adzan dan iqamah, orang lain tidak disunnahkan untuk adzan atau iqamah
           
Mereka cuma dikehendaki membaca sama seperti yang dibaca oleh petugas adzan, sebab sunnah telah menetapkan demikian.

G. Imam disunnahkah memerintahkan makmum untuk meluruskan shaf shalat

Dengan cara melihat ke kanan dan ke kiri lalu mengatakan, “Luruskanlah barisan, semoga Allah merahmati kalian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, 'Luruskanlah shaf, karena shaf yang lurus adalah sebagian dari kesempurnaan shalat.” Muttafaqun ‘alaihi.



PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)