Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
4. HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN KETIKA ISTINJA’
Hal-hal yang disunnahkan ketika istinja’ adalah (Muraqil
Falah, halaman 7; Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman 311-315; Fathul
Qadir, jilid 1 halaman 150; Tabyinul Haqa'iq, jilid 1 halaman 78; Al-Lubab,
jilid 1 halaman 58; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 96, 100 dan
seterusnya; Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 80; Al-Qawanin Al-Fiqhiyah,
halaman 37; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 43, 46; Al-Muhadzdzab,
jilid 1 halaman 28; Al-Mughni, jilid 1 halaman 154 - 158; Kasysyaful Qina',
jilid 1 halaman 75 dan 77):
Pertama, ketika ber-istinja' hendaklah dengan menggunakan batu ataupun kertas yang lembut:
tidak kasar seperti batu bata dan tidak pula licin seperti batu akik. Karena, tujuannya
adalah supaya dapat digunakan untuk membersihkan najis. Bahan selain batu yang
dapat digunakan adalah setiap bahan yang bersih yang dapat menghilangkan najis
dan tidak membahayakan. Ia juga bukan termasuk benda yang berharga dan bukan
pula benda yang bernilai. Oleh sebab itu, janganlah ber-istinja' dengan sesuatu
yang kotor seperti arang, sesuatu yang berbahaya seperti kaca, sesuatu yang
benilai seperti sutra, dan lain-lain yang ada nilai dan harganya. Karena, tindakan
itu termasuk tindakan merusak harta benda. Begitu juga, janganlah beristinja' dengan
menggunakan bahan yang bernilai baik dari segi rasa, kemuliaannya, ataupun
karena ia milik orang lain.
Oleh sebab itu, menurut ulama madzhab Hanafi,
ber-istinja' dengan menggunakan barang cair selain air seperti air mawar dan
cuka adalah boleh. Adapun jumhur ulama selain ulama madzhab Hanafi mensyaratkan
istinja' itu dilakukan dengan menggunakan bahan keras yang kering, maka
ber-istinja' dengan menggunakan cairan tidak boleh.
Mereka bersepakat bahwa istinja' hendaklah
dengan menggunakan bahan suci yang mampu menghilangkan (najis). Oleh sebab itu,
tidak boleh (ataupun makruh tahrim menurut ulama madzhab Hanafi) ber-istinja' dengan
najis seperti dengan menggunakan tahi unta, tahi kambing, atau lain-lain. Juga
tidak boleh menggunakan tulang, makanan, ataupun roti yang menjadi bahan
makanan manusia ataupun binatang. Karena, ia dianggap sebagai satu tindakan
merusak dan menghina. Begitu juga tidak boleh menggunakan sesuatu yang tidak
dapat menghilangkan najis seperti kaca, bulu, tebu yang licin, atau batu bata.
Juga, tidak boleh dengan menggunakan bahan yang bercerai-berai seperti tanah
ataupun tanah liat dan arang yang lembut. Berbeda apabila menggunakan tanah dan
arang yang keras, maka boleh. Begitu juga tidak boleh dengan menggunakan bahan
yang bernilai, karena ia bernilai dari segi zatnya seperti emas, perak, dan
batu permata, ataupun karena ia adalah hak milik orang lain, seperti dinding
rumah orang lain, meskipun dinding itu telah diwakafkan.
Ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa makruh
ber-istinja' dengan tulang dan tahi binatang yang bersih, begitu juga dengan
menggunakan dinding miliknya sendiri.
Kesimpulannya adalah, syarat bagi pembolehan
ber-istijmar dengan menggunakan batu dan yang seumpamanya ada lima perkara,
yaitu menggunakan bahan yang keras, bersih, dapat menghilangkan najis, tidak
menyakitkan, dan tidak berupa bahan yang mulia seperti makanan, bahan terhormat,
ataupun karena ia adalah milik orang lain. Jika syarat-syarat tersebut tidak sempurna,
maka tidak boleh menggunakannya sebagai bahan istinja'. Dan sudah dianggap
memadai jika dia dapat menyucikan tempat najis itu, dan memadai juga bersuci
dengan tangan tanpa menggunakan tiga biji anak batu dan seumpamanya (tapi
tangannya dihukumi terkena najis).
Ulama madzhab Hanafi tidak mensyaratkan bahan
yang digunakan untuk beristinja' itu berupa sesuatu yang keras. Ulama madzhab
Maliki dan Hanafi berkata, "Jika seseorang ber-istijmar dengan sesuatu
yang tidak dibolehkan adalah memadai, tetapi makruh."
Ber-istinja' dengan menggunakan tahi binatang
dan tulang dilarang sama sekali. Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Ibnu
Mas'ud, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Janganlah
kamu beristinja' dengan tahi binatang dan juga tulang, karena kedua-duanya
adalah makanan bagi saudara-saudara kamu dari kalangan jin.” (Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 219; Nailul Authar jilid 1 halaman 97)
Imam Ad-Daruqutni telah meriwayatkan bahwa,
"Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami ber-istinja'
dengan menggunakan tahi binatang dan juga tulang, karena kedua-duanya merupakan
bahan yang tidak menyucikan." Isnadnya shahih (Nailul Authar jilid
1 halaman 96).
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari Ibnu
Mas'ud, bahwa Rasul bersabda kepada Ruwaifa' bin Tsabit (Abu Bakrah), "Beritahukan
kepada orang-orang, siapa yang beristinja' dengan menggunakan tahi ataupun
tulang, maka ia terlepas dari agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Riwayat Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud dari Jabir, "Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang ber-istinja' dengan tulang atau tahi
binatang kering." Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari lbnu Mas'ud
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi berhajat dan
menyuruh lbnu Mas'ud membawakan tiga batu, lalu Ibnu Mas'ud membawa dua batu
dan satu tahi binatang kering. Nabi membuang tahi binatang itu dan bersabda,
"la adalah najis, bawakan kepadaku batu." Al-Bukhari
meriwayatkan dari Abu Hurairah kisah yang serupa, yaitu beliau bersabda, "
Bawakan kepadaku batu untuk mengusap (dalam beristinja'), jangan bawakan
tulang dan tahi binatang yang kering." (Nashbur Rayah, jilid 1
halaman 216, 219; Nailul Authar jilid 1 halaman 96-97)
Larangan ini adalah umum mencakup bahan yang
suci baik dari tulang ataupun tahi. Apabila menggunakan makanan jin dilarang,
maka sudah barang tentu menggunakan makanan manusia lebih dilarang lagi.
Tetapi, ulama madzhab Syafi'i membolehkan melakukan istinja' dengan menggunakan
bahan makanan yang khusus untuk binatang seperti rumput. Jumhur ulama
mengatakan yang demikian itu tidak boleh. Imam An-Nawawi berkata, "Larangan
ber-istinja' dengan arang adalah dhaif. Dan kalaupun benar, maka ia diandaikan sebagai
larangan terhadap arang yang sudah hancur."
Kedua, menggunakan
tiga batu ataupun kertas dan yang seumpamanya adalah sunnah menurut pendapat
ulama madzhab Hanafi dan Maliki, dan wajib menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i dan juga Hambali.Oleh
sebab itu, mereka berkata bahwa ada dua perkara yang diwajibkan ketika
beristinja' dengan batu. Salah satunya adalah memenuhi bilangan tiga kali
usapan, meskipun hanya dengan menggunakan sudut-sudut pada bagian batu yang
satu. Hendaklah
bilangan usapannya diganjilkan, yaitu apabila bilangannya
sudah tiga kali, maka boleh sampai bilangan tujuh kali jika tempat yang
di-istinja' itu belum suci dan bersih. Disunnahkan juga menggunakan setiap batu
ataupun yang seumpamanya itu untuk membersihkan semua bagian tempat keluarnya
najis.
Dalil mereka adalah berdasarkan dua buah
hadits, hadits pertama, "Apabila salah seorang di antara kamu pergi ke
tempat membuang najis, hendaklah ia membawa tiga buah batu karena itu sudah
mencukupi." Hadits kedua, "Siapa yang beristijmar, hendaklah
ia mengganjilkan bilangan usapannya.” Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, An-Nasa'i, Abu Dawud, Ad-Daruquthni dan dia berkata, "Hadits ini
isnadnya hasan shahih," juga diriwayatkan oleh Ibnu Maiah dari Aisyah.
Hadits kedua diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan lbnu Majah dari Abu
Hurairah (Nailul Authar, jilid 1 haIaman 90, 95).
Ketiga, janganlah ber-istinja' dengan menggunakan tangan kanan, kecuali dalam
keadaan
uzur. Karena, Rasul saw. bersabda, "Apabila salah
seorang di antara kamu kencing, maka ianganlah ia menyentuh zakarnya dengan
tangan kanannya. Dan apabila ia memasuki kamar mandi, maka janganlah ia
mengusap (najisnya) dengan tangan kanannya. Apabila ia minum, maka janganlah ia
minum dengan sekali napas saja.” Riwayat Imam Hadis yang enam dari Abu
Qatadah (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 220) Dengan demikian, maka
ber-istinja' dengan tangan kiri adalah sunnah.
Keempat, tersembunyi dan tidak membuka aurat di hadapan pandangan orang lain adalah
wajib ketika ber-istinja' dan juga ketika membuang air.
Sebab, membuka aurat adalah haram dan dapat menyebabkan fasiq. Maka, janganlah
sampai dilakukan untuk tujuan menegakkan sunnah. Hendaklah tempat keluar najis
-yang ada di balik pakaian- itu diusap dengan batu atau yang semacamnya. Namun
jika tempat keluar najis itu dibiarkan tanpa diusap, maka shalat orang tersebut
sah. Karena, apa yang masih terdapat pada tempat keluar itu tidaklah dianggap.
Dalil yang menunjukkan wajib berlindung adalah beberapa buah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah, di antaranya adalah, "Siapa yang
pergi ke tempat menunaikan hajat, hendaklah ia berlindung. Jika ia tidak dapat
berlindung kecuali dengan menghimpun sekumpulan pasir, maka hendaklah ia
membelakanginya."
Hendaklah dilakukan di suatu tempat yang jauh
dari keramaian seperti di bagian padang pasir dan seumpamanya, yang mana bagian
itu tidak didengar bunyinya dan tidak tercium baunya.
Kelima, orang yang ber-istinja' dengan air hendaklah menggosok tangannya dengan
tanah,
kemudian membasuhnya selepas beristinja' baik
menggosoknya itu dengan tanah ataupun sabun, garam halus dan yang seumpamanya.
Keenam, mengeringkan bagian dubur sebelum berdiri jika dia sedang berpuasa, agar
tempat duduk (bagian dubur itu) itu tidak menghisap air yang ada.
Ketujuh, lelaki hendaklah memulai istinja' pada kemaluan depan terlebih dahulu agar
tangannya tidak menjadi kotor apabila dia memulai istinja' pada kemaluan
belakang (dubur). Adapun bagi perempuan, diberi pilihan untuk memulakan istinja'-nya
pada salah satu di antara kedua kemaluannya. Menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i
dan Hambali, seseorang disunnahkan mencurahkan air ke kemaluannya dan iuga kain
yang dipakainya agar hilang perasaan waswas pada dirinya.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########