Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
7. HAL-HAL SUNNAH YANG PERLU DILAKUKAN SEWAKTU ADZAN
Ketika adzan, disunnahkan beberapa perkara berikut
(Al-Bada'i jilid 1 halaman 149-152; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman
359-361 ; Fathul Qadir jilid 1 halaman 770-776; Al-Lubab jilid 2
halaman 63; Muraqil Falah halaman 32; Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 252 dan setelahnya; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halamaan
195-198; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 47 dan setelahnya; Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 138; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 57 dan 59;
Al-Mughni jilid 1 halaman 407, 412, 415, 422, 426, 429; Kasysyaful
Qina' jilid 1 halamaan 270-282; Al-Majmu jilid 3 halaman 105-117, 126,
129 dan setelahnya; Al-Hadramiyyah halaman 35).
A. Orang yang Adzan Hendaklah Orang yang Suaranya Lantang
dan Bagus
Orang yang adzan hendaklah meninggikan suaranya
ketika adzan. Hendaknya dikumandangkan di tempat yang tinggi dan berdekatan dengan
masjid. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zaid, “Beritahulah kepada Bilal, karena
suaranya lebih kuat daripada suaramu.”
Suara yang kuat dapat memastikan bahwa adzan
tersebut didengar, dapat melembutkan hati orang yang mendengar dan dapat
mendorong orang untuk menjawab seruan itu (menunaikan shalat). Orang yang
menyeru (orang yang melakukan adzan) hendaklah orang yang merdu suaranya.
Ad-Darimi dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan bahwa, “Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam menyuruh dua puluh lelaki melakukan adzan. Baginda suka dengan
suara Abu Mahdzurah, lalu Baginda mengajarnya adzan.”
Apabila suara tinggi, maka pesan adzan itu
akan lebih terdengar, dan dari segi pahala ia juga akan mendapat pahala yang
lebih besar seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Abu Sa'id, “Jika
engkau berada bersama-sama kambingmu...” Juga, berdasarkan apa yang diriwayatkan
oleh imam hadits yang lima, kecuali At-Tirmidzi, dari Abu Hurairah bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adzan
diampuni dosanya sejauh
suaranya. Dan setiap benda yang kering dan yang basah
akan menjadi saksi baginya.”
Tetapi, jangan sampai seorang muadzdzin sengaja
mengangkat suaranya lebih daripada kadar kemampuannya, supaya ia tidak
membahayakan dirinya sendiri dan supaya suaranya tidak terputus. Seseorang yang
melakukan adzan untuk shalat sendirian disunnahkan mengangkat suaranya lebih
daripada kadar pendengarannya sendiri. Adzan untuk suatu jamaah hendaklah
dengan cara mengangkat suara lebih daripada yang dapat didengar oleh satu orang
daripada jamaah. Dan hendaknya, suara adzan direndahkan jika pada tempat tersebut
telah selesai didirikan shalat berjamaah.
Adzan perlu dilakukan di tempat yang tinggi
supaya ia lebih dapat didengar. Diriwayatkan
oleh Abu Dawud dari Urwah ibnuz Zubair dari istrinya yang
berasal dari Bani An-Najjar, ia mengatakan bahwa, “Rumahku adalah rumah yang
paling tinggi yang ada di sekitar masjid. Bilal mengumandangkan adzan Shubuh di
atasnya. Dia datang di waktu sahur (yaitu seperenam bagian
akhir malam). Dia duduk di atas rumah dengan melihat fajar.
Apabila dia melihat fajar, dia pun berdiri kemudian berdoa, 'Ya Allah aku
memohon pertolongan kepada Engkau berkenaan dengan orang Quraisy supaya mereka
mau menegakkan agama-Mu.' Istri Urwah
selanjutnya berkata, 'Kemudian dia (Bilal) pun mengumandangkan adzan.” (Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 292)
Adzan hendaknya dilakukan di tempat yang dekat
dengan masjid, karena ia adalah seruan untuk shalat berjamaah, dan shalat berjamaah
adalah lebih baik dilakukan di masjid. lbnu Sa'd meriwayatkan dengan sanad yang
sampai kepada Ummu Zaid bin Tsabit, "Di sekitar masjid itu, rumahku
adalah paling tinggi. Bilal adalah orang yang mengumandangkan adzan di saat
adzan mulai disyariatkan, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
membina masjidnya. Kemudian Bilal mengumandangkan adzan di atas masiid.
Sesungguhnya telah ditinggikan satu bangunan di atas masjid itu." Orang
pertama yang menaiki menara masjid untuk mengumandangkan adzan di Mesir adalah
Syurahbil bin Amir Al-Muradi. Salamah membangun menara untuk tempat
mengumandangkan adzan atas perintah Mu'awiyah. Sebelum itu, belum ada menara yang
seperti itu (Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 360).
B. Adzan Hendaklah Dikumandangkan dengan Berdiri di Atas
Bangunan ataupun Menara, Supaya Suara lebih dapat Didengar
Ibnul Mundzir berkata, “Semua guruku sepakat
mengatakan bahwa sunnahnya adzan adalah dilakukan dengan cara berdiri.”
Dalam hadits riwayat Abu Qatadah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata kepada Bilal, “Hendaklah engkau berdiri kumandangkanlah azan.”
Hadis muttafaqun ‘alaihi (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 292).
Para muadzdzin pada zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengumandangkan adzan dengan cara berdiri. Jika muadzdzin
mengalami udzur seperti sakit, maka ia boleh mengumandangkannya dengan cara
duduk. Mengumandangkan iqamah juga disunnahkan dilakukan secara berdiri.
C. Muadzdzin Hendaklah Orang yang Merdeka, Baligh, Adil,
Amanah, Saleh dan Mengetahui Waktu-Waktu Shalat
Aturan ini berdasarkan kepada hadits riwayat Ibnu
Abbas yang telah disebut sebelum ini yang artinya, “Hendaklah orang yang terbaik
di kalangan kalian yang mengumandangkan adzan dan hendaklah orang yang terbaik
bacaannya di antara kalian yang menjadi imam.” Jumhur ulama -selain ulama
Maliki- menganggap hal ini sebagai kesunnahan. Namun, ulama Maliki tetap
mensyaratkan sifat ‘adalah (keadilan) bagi muadzdzin. Para ulama madzhab
Syafi'i menetapkan bahwa muadzdzin yang diharuskan mengetahui waktu shalat
adalah muadzdzin yang bertugas secara resmi.
D. Muadzdzin Hendaklah dalam Keadaan Suci dari Hadas
Ketetapan ini berdasarkan hadits yang telah
lalu yang artinya, ”Adzan hendaknya dikumandangkan oleh orang yang berwudhu.”
Dan juga, hadits riwayat lbnu Abbas, “Sesungguhnya
adzan ada hubungannya dengan shalat. Oleh sebab itu, janganlah seseorang mengumandangkan
adzan kecuali ia dalam keadaan suci.” (Subulus Salam jilid 1 halaman
129)
E. Muadzdzin Hendaklah Orang yang Dapat Melihat Karena
Orang Buta Tidak Mengetahui Waktu, dan Mungkin Dia Akan Melakukan Salah
Meskipun demikian, adzan yang dilakukan oleh
orang buta adalah sah. Karena, Ibnu Ummi
Maktum pernah mengumandangkan adzan untuk Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Imam Al-Bukhari menjelaskan, Ibnu Umar menerangkan bahwa Ibnu
Ummi Maktum adalah orang yang buta dan dia tidak akan mengumandangkan adzan kecuali
sesudah diberi tahu (oleh sahabat lain), “Waktu shubuh sudah masuh waktu
shubuh sudah masuk.”
Menurut pendapat ulama Maliki, adzan boleh
dilakukan oleh orang buta jika dalam penentuan waktu masuknya shalat dia
mengikuti atau menunggu kabar dari orang yang dapat dipercaya.
F. Hendaklah Muadzdzin Meletakkan Jari-Jari Tangannya di
Kedua Telinganya
Perbuatan seperti ini dapat menyebabkan tingginya
suara. Riwayat dari Abu Juhaifah mengatakan, bahwa ketika Bilal membaca adzan,
dia meletakkan jari-iari tangannya di kedua telinganya. Hadis muttafaqun
‘alaihi.
Sa'ad (salah seorang muadzdzin Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam) meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menyuruh Bilal meletakkan jari-iari tangannya di kedua telinganya dan bersabda,
“Itu lebih menguatkan suaramu.” Hadis riwayat Ibnu Majah, Al-Hakim,
Ath-Thabrani dan Ibnu Adi (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 278).
G. Hendaklah Muadzdzin Mengumandangkan Adzan dengan Cara
Berhenti Sekejab di antara Dua Kalimat Adzan
Dan hendaklah orang yang beriqamah membacanya dengan
cepat, yaitu dengan cara menggabungkan di antara dua kalimat. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
Bilal radhiyallahu ‘anhu, “Jika engkau mengumandangkan adzan, hendaklah
engkau membacanya secara mursal (lambat). Apabila kamu beriqamah, hendaklah kau
membacanya secara hadar (cepat).” Hadis riwayat At-Tirmidzi dan sanadnya majhul
(Nashbur Rayah jilid 1 halaman 275).
Maksud adzan adalah untuk memberi tahu orang
yang berada di tempat jauh, berkenaan dengan masuknya waktu shalat. Pemberitahuan
itu akan lebih efektif jika dilakukan dengan cara memperlambat bacaan. Adapun
maksud iqamah adalah untuk memberi tahu orang yang sudah hadir (dalam jamaah)
bahwa shalat akan dimulai. Maksud ini dapat dicapai dengan cara hadar (mempercepat
bacaan).
H. Semasa Mengumandangkan Adzan dan Iqamah Hendaklah
Menghadap Kiblat
Para muadzdzin pada masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam semuanya mengumandangkan adzan dengan menghadap kiblat.
Dalam perbuatan adzan ini, terdapat unsur munajat. Oleh sebab itu itu, sangat
patut apabila dilakukan dengan menghadap ke kiblat.
Ketika muadzdzin mengumandangkan kalimat (حي على الفلاح – حي على
الفلاح) dia disunnahkan menghadapkan
muka ke arah kanan pada kalimat yang pertama dan menghadapkan muka ke arah kiri
pada kalimat yang kedua, namun tanpa berubah telapak kakinya. Hal ini disebabkan
dalam adzan terdapat maksud panggilan. Jadi, adzan tersebut perlu ditujukan kepada
orang yang ada di sebelah kanan dan sebelah kiri. Hal ini juga berdasarkan apa
yang diriwayatkan oleh Abu Juhaifah yang berkata, “Aku melihat Bilal
mengumandangkan adzan, dan aku memerhatikan mulutnya ke sana kemari, ke kanan
dan ke kiri, ketika dia membaca (حي على الفلاح – حي على الفلاح) sedangkan dua jaiinya diletakkan pada kedua telinganya.” Asal matannya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam
Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadits ini menurut At-Tirmidzi adalah shahih (Subulus
Salam jilid l halaman 122; Nailul Authar jilid 2 halaman 46).
Dengan redaksi yang lain, Abu Juhaifah
menyebutkan, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sewaktu
beliau berada di Qubbah Humra (atap merah) yang dibuat dari kulit. Lalu Bilal
keluar dan mengumandangkan adzan. Apabila Bilal sampai pada kalimat (حي على الفلاح – حي على
الفلاح) dia
memalingkan mukanya ke arah kanan dan ke arah kiri tanpa memutar badannya.” Hadis riwayat Abu Dawud (Nashbur Rayah jilid 1
halaman 275).
Menurut pendapat ulama Syafi'i, berjalan berputar
di atas menara dan membelakangi qiblat ketika azan dibolehkan jika memang
diperlukan. Madzhab Hambali mempunyai dua riwayat yang bersumber dari Imam
Ahmad. Riwayat yang pertama mengatakan seorang muadzdzin tidak boleh berputar.
Ini berdasarkan hadits yang telah lalu mengenai menghadap kiblat. Riwayat kedua
mengatakan seorang muadzdzin boleh berputar sebab maksud pemberitahuan tidak
akan berhasil jika memutar badan tidak dilakukan. Riwayat yang kedua ini adalah
lebih tepat.
Di antara adzan dan iqamah disunnahkan ada
jarak waktu. Yaitu, kira-kira selama orang-orang yang hendak shalat dapat
hadir, namun dengan tetap mempertimbangkan waktu mustahab. Jarak antara adzan
dan iqamah untuk shalat Maghrib adalah sekadar bacaan tiga ayat yang pendek.
Dalil kesunnahan ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
kepada Bilal, “Wahai Bilal, buatlah jarak waktu antara adzan dan iqamah,
yaitu sekadar orang yang makan dapat menyelesaikan makannya tanpa tergesa-gesa,
serta orang itu dapat menyelesaikan hajatnya, juga tanpa tergesa-gesa.” Hadits
riwayat Imam Ahmad dengan sanad dari Ubay bin Ka'ab. Hadits ini iuga
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Jabir, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda kepada Bilal, “Jarak di antara adzan dan
iqamah kadar selesainya makan. Orang yang sedang makan, orang yang minum
selesai menghabiskan minumannya, dan orang yang hendak membuang air selesai
menunaikan hajatnya.”
Hal ini juga berdasarkan apa yang dilihat oleh
sahabat Abdullah bin Zaid dalam tidurnya (mimpinya), di mana setelah adzan, dia
duduk sekejap untuk menunggu jamaah, sehingga tercapailah maksud seruan adzan.
Pendapat yang ashah dari ulama Hanafi menyatakan
bahwa at-tatswiib disunnahkan setelah selesai adzan pada waktu shalat
apa pun. Maksud at-tatswiib adalah seperti mengatakan, “Dirikanlah
shalat, dirikanlah shalat, wahai orang yang hendak shalat.” Hal ini dimaksudkan
supaya orang tidak tergesagesa dalam menjalankan urusan-urusan keagamaan.
Menurut pendapat ulama Syafi'i, orang yang
melakukan adzan pada malam yang sedang dilanda hujan atau angin ribut atau
malam yang terlalu gelap sunnah mengumandangkan (ألا صلوا في الرحال) setelah selesai adzan ataupun setelah mengumandangkan kalimat
(حي على الصلاة – حي على الفلاح)
I. Hendaklah Adzan Dilakukan dengan Ikhlas karena Allah
Ta’ala
Orang yang mengumandangkan adzan dan iqamah hendaknya tidak meminta upah atas adzan
dan iqamah. Namun, ulama madzhab Hanafi dan madzhab
Hambali berpendapat bahwa mengambil upah untuk adzan
dan iqamah tidak dibolehkan. Karena, perbuatan
itu berarti mengambil upah untuk melakukan ibadah.
Adzan adalah perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Ibadah
adalah kegiatan untuk diri sendiri. Oleh sebab itu, imam dan lainnya tidak
boleh diupah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada
Utsman bin Abil Ash, “Tetapkanlah seorang petugas adzan yang tidak meminta
upah untuk adzannya.” Hadis riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi.
Dia berkata, ini adalah hadis hasan.
Ulama Maliki dan Syafi'i (menurut pendapat yang
asah), membolehkan mengambil upah dari adzan. Karena, adzan adalah suatu kerja
yang jelas dan boleh diupah sama seperti pekerjaan-pekerjaan lain. Ulama Hanafi
yang datang kemudian (muta'akhkhirin) serta para ulama lain, sebagaimana
yang akan disebut dalam pembahasan mengenai sewa-menyewa nanti, memfatwakan
boleh mengambil upah untuk kerja-kerja keagamaan. Sebab, bantuan khusus dari
Baitul Mal kepada para ahli ilmu telah terputus.
Para ulama madzhab Hambali mengatakan, jika
tidak ada orang yang melakukan adzan dan iqamah secara sukarela, maka orang
yang mau melakukannya dapat diberi upah yang diambilkan dari harta al-fai'
yang disediakan untuk pos kemaslahatan umum.
J. Muadzdzin tidak Boleh Lebih dari Dua Orang
Jumhur ulama selain ulama Hanafi mengatakan, disunnahkan
bagi satu jamaah shalat mempunyai tidak lebih dari dua petugas adzan. Hal ini
disebabkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai dua
petugas adzan saja, yaitu Bilal dan Ibnu Ummi Maktum. Hadis shahih, riwayat
Al-Bukhari dan Muslim.
Sebuah masjid boleh mempunyai seorang petugas adzan
saja. Tetapi yang lebih baik adalah ada dua, berdasarkan hadits di atas. Jika
dirasakan perlu juga, maka boleh ditambah hingga empat orang. Sebab, Sayyidina
Utsman mempunyai empat orang petugas adzan. Menurut ulama Syafi'i dan Hambali,
bahkan boleh lebih dari empat orang, sesuai dengan yang diperlukan dan
kemaslahatan.
Jika terdapat banyak petugas adzan, maka tugas
adzan disunnahkan dilakukan oleh seorang
demi seorang, seperti yang dilakukan oleh Bilal dan Ibnu
Ummi Maktum. Yaitu, salah seorang dari mereka melakukan adzan untuk satu waktu
shalat setelah adzan tersebut dilakukan oleh yang petugas yang lain pada waktu
shalat sebelumnya. Cara seperti ini lebih efektif bagi fungsi adzan, yaitu
memberi tahu waktu shalat kepada orang banyak.
Jika terdapat beberapa orang petugas adzan,
maka setiap orang boleh melakukan adzan di atas menara, atau pada suatu sudut, atau
mereka mengumandangkan adzan sekaligus pada suatu tempat.
K. Disunnahkan Adzan pada Awal Waktu
Petugas adzan disunnahkan mengumandangkan adzan
pada awal waktu, supaya orang-orang dapat mengetahui masuknya waktu shalat.
Sehingga, mereka dapat membuat persiapan untuk shalat. Jabir bin Samurah meriwayatkan
bahwa Bilal tidak pernah terlewat waktu dalam mengumandangkan adzan, tetapi
kadang dia melewatkan iqamah sedikit. Hadis riwayat Ibnu Majah.
Dalam satu riwayat lain, dia mengatakan bahwa
Bilal melakukan adzan sebentar setelah matahari condong dan dia tidak pernah
lewat dari waktu itu. Kemudian dia tidak langsung mengumandangkan iqamah hingga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar. Apabila Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah keluar, dia pun mengumandangkan iqamah sebentar
setelah dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadis
riwayat Imam Ahmad di dalam Al-Musnad.
L. Boleh Mengundang Pemimpin untuk Shalat
Hal ini berdasarkan riwayat Aisyah radhiyallahu
‘anha bahwa Bilal datang dah berkata, “Assalamu'alaikum wahai Rasulullah.”
Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Suruh
Abu Bakar shalat dengan orang-orang.” Bilal kemudian memberi salam kepada
Abu Bakar dan Umar, sebagaimana dia memberi salam kepada Baginda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
M. Disunnahkan tidak Berdiri Sebelum Selesai Adzan
Ketika adzan dikumandangkan, maka disunnahkan supaya
tidak ada seorang pun yang berdiri sebelum petugas adzan menghabiskan adzannya.
Hendaknya orang-orang bersabar hingga petugas adzan selesai adzan atau hampir
selesai, sebab orang yang bergerak (seakan tidak memerhatikan) ketika mendengar
adzan adalah menyerupai setan.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments