BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


1. DEFINISI TAYAMUM, DASAR PENSYARIATAN, DAN SIFATNYA

A. Definisi Tayamum

Tayamum menurut arti bahasa adalah al-qashd (niat) seperti dalam firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 267 yang artinya, "... Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan....”
Adapun dari segi istilah, para ahli fiqih memberi definisi tayamum dengan beberapa ungkapan yang hampir sama.
Ulama Hanafi (Muraqil Falah halaman 19; Fathul Qadir jilid 1 halaman 84; Al-Lubab jilid 1 halaman 35; Al-Bada’i jilid 1 halaman 45; Hasyiyah Ibn Abidin jilid 1 halaman 211) mendefinisikan tayamum dengan mengusap muka dan dua tangan dengan debu yang suci. Al-qashd menjadi syarat dalam tayamum. Sebab ia adalah niat, yaitu qashd menggunakan debu yang suci dengan sifat yang tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala (ibadah).
Ulama Maliki (Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 179) mendefinisikan tayamum sebagai satu bentuk cara bersuci dengan menggunakan debu yang suci dan digunakan untuk mengusap muka dan dua tangan dengan niat.
Ulama Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 87) mendefinisikan tayamum sebagai mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan sebagai ganti wudhu, mandi, atau salah satu anggota dari keduanya dengan syarat-syarat yang tertentu.
Ulama Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 183) mendefinisikan tayamum sebagai mengusap muka dan kedua tangan dengan debu yang suci dengan cara yang tertentu.


B. Dasar Pensyaratannya

Tayamum adalah salah satu ciri umat Islam. Ia disyariatkan pada waktu peperangan Bani Al-Musthaliq (peperangan Al-Muraisi'), yaitu pada tahun keenam Hijrah, ketika Sayyidatina Aisyah kehilangan kalungnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah para sahabat untuk mencarinya. Kemudian masuklah waktu shalat, tetapi mereka tidak mempunyai air untuk berwudhu. Oleh karena itu, turunlah ayat tayamum dan juga ayat yang menyucikan Aisyah dari tuduhan dusta, yaitu yang terdapat dalam Surah An-Nuur. Lantas, Usaid bin Hudhair mengatakan, “Allah Ta’ala merahmati engkau, wahai Aisyah. Sesuatu yang turun mengenai dirimu dan engkau membencinya, tetapi dengan itu Allah memberi kelapangan kepada orang Islam."
Tayamum adalah bentuk hukum rukhshah (keringanan). Tetapi, para ulama Hambali mengatakan ia adalah hukum 'azimah (hukum asal). Dalil-dalil pensyariatannya adalah Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'. Yang bersumber dari Al-Qur'an adalah firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idah ayat 6 yang artinya, "...Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh ain maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu....” Ayat ini menyatakan bahwa tayamum adalah fardhu sebagai ganti membasuh dengan air.
Yang bersumber dari As-Sunnah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Seluruh tanah dijadikan tempat shalat untuk kita dan debunya adalah alat penyuci.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan maknanya sama dengan dua hadis dari Abu Umamah dan dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya (Nailul Authar jilid 1 halaman 258).
Juga, hadits, "Tanah menjadi alat penyuci seorang Muslim, meskipun hingga untuk sepuluh kali haji selagi dia tidak mendapatkan air atau berhadats.” Diriwayatkan dari hadits Abu Dzar yang ada dalam kitab Sunan Abu Dawud, An-Nasa'i, dan At-Tirmidzi. Juga, dari hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam Al-Bazzar dan Ath-Thabrani. Ath-Thabrani berkata, hadits yang pertama ini hasan shahih (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 148).
Adapun yang bersumber dari ijma adalah, seluruh umat Islam telah bersepakat membolehkan tayamum ini.

C. Sifat Tayamum atau Apakah Kesuciannya Menyamai dengan Wudhu?

Mayoritas ahli fiqih (Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 61 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 38; Al-Bada'i, jilid 1 halaman 55; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 87; Al-Mughni, jilid 1 halaman 237, 257, 273; Kasysyaful Qina' jilid 1 halaman 194; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 32; Fathul Qadir, jilid 1 halaman 87; Ghayatul Muntaha, jilid 1 halaman 53) mengatakan bahwa tayamum dapat menggantikan wudhu, mandi junub, mandi haid, dan nifas. Namun, para ulama selain Hanafi, tidak membolehkan istri yang haid disetubuhi oleh suaminya hingga dia berhenti haidnya dan mandi terlebih dahulu.
Seseorang yang berhadats, junub, haid, nifas, dan perempuan yang melahirkan anak dalam keadaan kering dibolehkan bertayamum untuk shalat dan ibadah-ibadah lain. Sebab, dhamir (kata ganti) dalam firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maidah ayat 6 yang artinya, "Jika kamu tidak memperoleh ain maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci) ...." adalah kembali kepada orang yang berhadats kecil dan orang yang berhadats besar, bagi ulama yang berpendapat bahwa maksud sentuhan (al-mulamasah) adalah persetubuhan (jimak). Adapun ulama yang menyatakan
bahwa sentuhan adalah sentuhan kulit, dalam firman Allah Ta’ala "Atau kamu sentuh perempuan" maka dhamir-nya dirujuk kepada orang yang berhadats kecil saja.
Adapun asas hukum tayamum bagi orang yang berjunub adalah ditetapkan dengan sunnah. Contohnya adalah hadits Imran ibnul Hushain yang mengatakan kami sedang bersama-sama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu perjalanan, lalu beliau shalat dengan orang banyak. Beliau mendapati ada seorang yang keluar tidak ikut jamaah, lalu beliau bertanya kepadanya, "Mengapa engkau tidak shalat?" Dia menjawab, “Aku dalam keadaan junub dan tidak ada air untuk mandi." Rasulullah berkata, "Cukuplah engkau menggunakan debu.” Muttafaqun ‘alaihi (Nailul Authar jilid 1 halaman 256).
Hadits ini menunjukkan kewajiban tayamum ketika hendak mendirikan shalat apabila tidak ada air, baik orang tersebut sedang dalam keadaan junub ataupun hadats lainnya. Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir juga sama dengan hadits di atas. Dia mengatakan, "Pada suatu hari kami keluar berjalan (musafir), kemudian salah seorang di antara kami luka dan kepalanya dibungkus. Dia kemudian bermimpi (junub) lalu dia bertanya kepada kawan-kawannya, apakah dia boleh tayamum. Kawan-kawannya menjawab, “Kami tidak mengetahui ada kelonggaran yang demikian. Kau masih bisa menggunakan air.” Maka, dia pun mandi lalu mati. Setelah kami datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kami memberitahukan hal itu kepada beliau. Lalu Rasulullah berkata, “Karena mereka membunuhnya, maka Allah membunuh mereka, Mengapa mereka tidak bertanya jika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya."'
Adalah memadai baginya bertayamum dan membalut atau mengikat lukanya, kemudian mengusap atasnya dan membasuh seluruh tubuhnya. Hadits ini menunjukkan hukum bolehnya tayamum karena khawatir adanya kemudharatan. Riwayat Abu Dawud, Ad-Daruquthni dan Ibnu Majah. Ia dihukumi shahih oleh Ibnus Sakan (Nailul Authar jilid 1 halaman 257).
Juga, hadits Amr ibnul Ash. Dia berkata, "Ketika aku berada dalam peperangan Dzatus Salaasil (nama tempat di belakang Wadi Al-Qura, yang terjadi pada tahun delapan Hijriyah), aku mimpi (berjunub) sedangkan waktu itu udara sangat dingin. Aku menghindar dari perbuatan yang bisa membinasakanku, lalu aku bertayamum dan mengimami shalat Shubuh bersama kawan-kawanku. Ketika kami sampai di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kawan-kawanku mengadukan hal itu kepada beliau. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 'Wahai Amr, apakah kamu mengimami shalat kawan-kawanmu sedangkan kamu dalam keadaan junub?” Aku menjawab, “Saya teringat firman Allah, '...Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.' lalu saya bertayamum dan saya shalat.'' Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa. Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, Ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari (Nailul Authar jilid 1 halaman 258).
Hal ini menunjukkan bahwa tayamum dibolehkan ketika udara sangat dingin, dan tidak perlu mengulangi shalat lagi. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah.

D. lbadah yang Boleh Dilakukan dengan Menggunakan Tayamum

Setiap amalan ketaatan yang perlu kepada kesucian (thaharah) seperti shalat fardhu, shalat sunnah, menyentuh mushaf, membaca Al-Qur'an, sujud tilawah, sujud syukur dan duduk beri'tikaf dalam masjid adalah boleh bersuci dengan cara tayamum. Hal ini berdasarkan hadits-hadits di atas, juga karena amalan yang dibolehkan ber-thaharah dengan air. Maka, ia juga dibolehkan ber-thaharah dengan tayamum.

E. Hadats-Hadats yang Boleh Ditayamumi

Tayamum dibolehkan untuk mengangkat hadats kecil, junub, haid, dan nifas. Hal ini berdasarkan hadits yang menceritakan bahwa satu kaum telah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, "Kami adalah satu kaum yang tinggal di tempat yang berpasir. Kadang-kadang sebulan atau dua bulan kami tidak mendapati air. Di antara kami ada yang berjunub, ada yang haid, dan ada yang nifas." Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka, "Hendaklah kamu menggunakan debu.” Riwayat Imam Ahmad, Al-Baihaqi dan Ishaq bin Rahawaih dari Abu Hurairah, tetapi hadi sini dhaif (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 156). Juga, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maa'idah ayat 6.

F. Kedudukan Tayamum sebagai Pengganti

Menurut ulama Hanafi (Al-Bada’i jilid 1 halaman 54 dan seterusnya; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 223), tayamum adalah pengganti mutlak (badal muthlaq) bukan pengganti darurat (badal dharuri). Jadi, dengan tayamum yang digunakan untuk shalat tunai (adaa'), maka hadats akan terangkat, sehingga dia menemukan air. Hal ini berdasarkan kepada hadits yang telah lalu, yaitu, "Tayamum adalah wudhu seorang Muslim, meskipun untuk 10 kali haji selagi dia tidak mendapati air atau tidak berhadats."
Dalam hadits ini, tayamum dinamakan wudhu, sedangkan fungsi wudhu adalah untuk menghilangkan hadats. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Dijadikan bumi bagiku tempat sujud dan alat yang menyucikan.” Riwayat Asy-Syaikhan dan An-Nasa’i dari Jabir bin Abdullah.
Kalimat ath-tahuur (yang disebut dalam hadits ini) adalah nama bagi sesuatu yang menyucikan (penyuci). Hal ini menunjukkan bahwa hadats bisa terhapus dengan cara tayamum. Cuma, penghapusannya terbatas jika tidak ada air saja. Apabila air ada, maka hadats itu kembali dianggap wujud.
Atas pertimbangan ini, maka tayamum boleh dilakukan sebelum masuk waktu shalat, dan seseorang boleh menggunakan satu tayamum untuk mengerjakan shalat fardhu dan juga shalat sunnah yang banyak, selagi dia tidak mendapati air atau selagi dia tidak berhadats. Jika dia bertayamum untuk shalat sunnah, maka dia boleh menggunakannya untuk mendirikan shalat sunnah dan fardhu.
Jumhur ulama selain Hanafi (Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 154; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 97; Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 253; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 199) mengatakan, tayamum adalah pengganti dalam keadaan darurat (badal dharuri). Oleh karena itu,
shalatnya dihukumi boleh, walaupun dalam keadaan berhadats karena kondisi darurat. Kedudukannya sama seperti wanita mustahadhah apabila bersuci. Hal ini berdasarkan kepada hadits Abu Dzar yang terdapat dalam Sunan At-Tirmidzi, "Jika kamu mendapati air, hendaklah kamu membasahi kulitmu. Karena, hal itu memberi kebaikan kepadamu."
Jika memang tayamum boleh mengangkat hadats, sudah barang tentu air tidak diperlukan lagi apabila didapati. Jika orang yang bertayamum itu melihat air, maka hadats itu kembali wujud lagi. Hal ini menunjukkan bahwa hadats sebenarnya tidak terangkat, cuma dibolehkan menunaikan shalat meskipun ada hadats. Pembolehan ini karena darurat, sama seperti wanita mustahadhah.
Pendapat ini mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda dengan hukum-hukum yang disebutkan di atas. Namun ulama Hambali -berbeda dengan pendapat ulama Maliki dan Syafi'i- membolehkan satu tayamum digunakan untuk beberapa shalat fardhu dan shalat qadha yang menjadi tanggungan.
           
G. Pendapat-Pendapat Madzhab dalam Masalah-Masalah yang Menjadi Konsekuensi dari Kedudukan Tayamum sebagai Pengganti

(1) Waktu Tayamum

Ulama madzhab Hanafi (Al-Bada’i jilid 1 halaman 54; Ad-Durrul Mukhtar dan Hasyiyah Ibn Abidin jilid 1 halaman 223) mengatakan bahwa tayamum adalah bersuci yang mutlak (taharah mutlaqah). Oleh sebab itu, mereka membolehkan tayamum sebelum masuk waktu shalat. Satu tayamum boleh digunakan untuk lebih daripada satu shalat fardhu dan boleh digunakan untuk beberapa shalat sunnah. Hal ini disebabkan tayamum menjadi pengganti secara mutlak ketika tidak ada air. Ia dapat mengangkat hadats sehingga orang itu mendapat air. Ia bukanlah pengganti darurat
yang boleh dilakukan, namun kewujudan hadats tetap ada, seperti yang dikatakan oleh jumhur. Oleh karena itu menurut jumhur, tayamum tidak boleh dilakukan sebelum masuk waktu shalat dan tayamum tidak boleh digunakan untuk lebih daripada satu shalat fardhu. Dalil ulama Hanafi adalah menentukan waktu pelaksanakan ibadah harus dengan menggunakan dalil sam'i, padahal dalil sam’i dalam masalah ini tidak ada.
Oleh karena itu, tayamum diqiyaskan dengan wudhu, di mana wudhu boleh dikerjakan sebelum masuk waktu.
Ulama Maliki, Syafi'i, dan Hambali berpendapat (Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 65; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 37; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 105; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 34; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 184), tayamum tidak sah kecuali sesudah masuknya waktu ibadah-yang dia akan melaksanakannya dengan tayamum -baik itu ibadah wajib ataupun sunnah. Oleh karena itu, tidak boleh bertayamum untuk melakukan satu shalat fardhu sebelum masuk waktunya. Demikian juga tidak boleh tayamum untuk melakukan satu shalat sunnah yang tertentu, atau satu shalat sunnah yang mempunyai waktu seperti sunnah Rawatib sebelum masuk waktunya.
Dalil bagi shalat fardhu adalah firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idah ayat 6, “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat...."
Maksud dari "berdiri untuk shalat” adalah jika sudah masuk waktu. Juga, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, "Siapa saja dari umatku yang menemui (waktu) shalat, maka shalatlah!” Juga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, "Di manapun aku menemui (waktu) shalat, maka aku akan bertayamum dan shalat." Ini adalah dalil bahwa tayamum dilakukan ketika menemui shalat, artinya ketika telah masuk waktu shalat.
Adapun dalil bagi shalat sunnah adalah hadits Abu Umamah yang diriwayatkan secara marfu' yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Seluruh bumi ini dijadikan bagiku dan umatku sebagai tempat sujud dan menyucikan. Oleh karena itu, jika salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat telah tiba, maka di sisinya ada tempat sujud dan ada penyucinya.” Riwayat Imam Ahmad, diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir dengan lafal, “Aku diberi lima perkata yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya, yaitu aku ditakuti oleh musuh sejauh sebulan perjalanan, dijadikan untukku tanah sebagai masjid dan ia bersih, oleh sebab itu siapa saja dari umatku yang berjalan, lalu masuk waktu shalat, ia hendaklah langsung shalat, aku juga dihalalkan mengambil ghanimah (rampasan perang) sedangkan ia tidak halal bagi seorang pun sebelumku, aku juga bisa meminta syafa'at, para nabi sebelumku diutus untuk kaumnya saja, tetapi aku diutus untuk seluruh manusia."
Adapun wudhu boleh dikerjakan sebelum masuk waktu, disebabkan ia dapat mengangkat hadats sedangkan tayamum tidak, sebab tayamum hanyalah cara bersuci darurat. Oleh sebab itu, ia tidak boleh dilakukan sebelum masuk waktu. Kondisinya sama seperti wanita mustahadhah yang bersuci.
Tayamum sah digunakan untuk mengerjakan shalat sunnah thawaf pada waktu kapan pun. Karena, melakukan thawaf pada waktu kapan pun memang dibolehkan. Sah juga tayamum untuk mengerjakan shalat yang terlewat yang baru disadari dan hendak dikerjakan. Hal ini karena shalat qadha' boleh dilakukan pada waktu kapan pun. Tayamum sah dilakukan untuk mengerjakan shalat sunnah gerhana, asalkan ia tidak terjadi dalam waktu yang dilarang shalat. Makruh shalat sunnah dalam lima waktu, yaitu setelah shalat Shubuh, ketika matahari terbit, ketika matahari di tengah-tengah langit, setelah shalat Ashar dan ketika matahari terbenam.
Tayamum untuk shalat minta hujan (istisqa') juga sah jika jamaah sudah berkumpul. Tayamum untuk shalat jenazah juga sah jika mayat sudah dimandikan.
Tayamum untuk shalat Hari Raya juga sah apabila sudah masuk waktunya. Sah juga tayamum untuk melakukan shalat nadzar pada waktu kapan pun. Sah juga tayamum untuk shalat sunnah jika shalat itu sudah dibolehkan seperti shalat Tahiyyatul Masjid, karena itu adalah waktunya.
Berkenaan dengan sunnah-sunnah mutlak, maka tayamum boleh dilakukan untuk mengerjakan shalat-shalat itu pada waktu yang disukai, kecuali pada waktu yang dilarang. Karena, waktu larangan itu bukanlah waktu untuknya.

Bolehkah Tayamum Dilewatkan Sehingga ke Akhir Waktu?

Para imam Madzhab Empat (Ad-Durrul Mukhtar dan Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 229; Al-Bada’i jilid 1 halaman 45; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 189 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 89; Al-Mughni jilid 1 halaman 243) bersepakat mengatakan bahwa cara yang afdhal adalah melewatkan tayamum hingga ke akhir waktu, jika ada harapan akan keberadaan air. Jika tidak ada harapan, maka disunnahkan bertayamum di awal waktu. Ini menurut jumhur selain ulama Hambali. Adapun Imam Ahmad, ia mengatakan bahwa melewatkannya adalah lebih utama dalam semua keadaan.
Pendapat yang ashah di kalangan ulama Hanafi mengatakan, bahwa melewatkan tayamum
hingga akhir waktu mustahab: yaitu kira-kira tidak terjadi kemakruhan adalah disunnahkan. Sebab, faedah melewatkan waktu adalah supaya seseorang melakukan thaharah yang lebih sempurna. Sekiranya dijanjikan bahwa dia akan memperoleh air, maka ia wajib melewatkan waktu, walaupun dia khawatir akan terjadi qadha'. Menurut Abu Hanifah juga, wajib melewatkan waktu apabila ada orang telanjang yang dijanjikan akan dipinjami pakaian, atau akan diberi pinjaman timba untuk mendapatkan airl selagi dia tidak khawatir akan terjadi qadha'.
Para ulama Syafi'i menggantungkan "keutamaan menunggu waktu" jika memang yakin akan adanya air di akhir waktu. Jika ragu (syak) atau hanya ada sangkaan (zhan) bahwa air mungkin akan ada di akhir waktu, maka menurut pendapat yang zhahir lebih baik mendahulukan tayamum. Karena, keutamaan mendahulukan adalah perkara yang jelas, sedang keutamaan berwudhu tidaklah jelas.
Ulama Maliki menjelaskan hal ini dengan mengatakan: orang yang yakin tidak akan mendapat air, maka dia disunnahkan menyegerakan tayamum di awal waktu. Tetapi jika dia tidak yakin, baik dia ragu atau ada dugaan yang tidak kuat bahwa akan ada air, maka disunnahkan bertayamum di pertengahan waktu. Adapun orang yang mempunyai harapan, yaitu orang yang dugaannya kuat akan mendapatkan air, maka dia disunnahkan bertayamum pada akhir waktu.

(2) Perkara yang Boleh Dilakukan dengan Satu Tayamum

Menurut ulama Hanafi (Fathul Qadir jilid 1 halaman 95), orang yang bertayamum dengan satu tayamum boleh mengerjakan beberapa shalat fardhu dan beberapa shalat sunnah sesukanya. Ini disebabkan tayamum adalah cara bersuci ketika tidak ada air, maka ia berfungsi sebagaimana fungsi air selagi syaratnya ada. Dia boleh melakukan dua shalat fardhu atau lebih dengan satu tayamum, dan dia juga boleh shalat sunnah seberapa banyak yang dikehendakinya.
Menurut ulama Hambali (Al-Mughni jilid 1 halaman 262-264), tayamum adalah terikat dengan waktu. Hal ini berdasarkan kata-kata Ali, "Tayamum adalah untuk setiap kali shalat" dan juga kata-kata Ibnu Umar, "Tayamum adalah untuk setiap kali shalat." Lagipula, tayamum adalah cara bersuci yang darurat (thaharah dharurah). Oleh karena itu, ia terikat dengan waktu, sama seperti cara bersucinya wanita mustahadhah. Begitu juga dengan thawaf fardhu, ia adalah sama seperti shalat fardhu.
Berdasarkan pertimbangan ini, maka jika seseorang sudah bertayamum, dia boleh mengerjakan shalat tunai (ada') dan boleh juga mengerjakan shalat qadha' dengan tayamum itu, jika dia memang menanggung kewajiban tersebut. Jadi, seseorang yang bertayamum boleh mengerjakan shalat yang tunai, boleh menjamak antara dua shalat, boleh mengqadha' beberapa shalat yang tertinggal, dan boleh mengerjakan beberapa shalat sunnah yang dikehendakinya hingga masuk waktunya shalat yang lain.
Menurut ulama Maliki dan Syafi'i (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 186-187; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 151; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 36; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 103; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 38), satu tayamum tidak boleh digunakan untuk menunaikan dua fardhu. Oleh karena itu, menurut mereka seseorang yang bertayamum tidak boleh menggunakan satu tayamum untuk menunaikan lebih daripada satu fardhu, tidak boleh juga menggabungkan di antara beberapa sunnah, tidak boleh melaksanakan satu shalat fardhu dan satu shalat sunnah sekaligus, jika memang dia melakukan shalat fardhu dulu. Hal ini menurut pendapat ulama madzhab Maliki. Adapun pendapat ulama madzhab Syafi'i, seseorang yang sudah bertayamum boleh menunaikan beberapa shalat sunnah sebelum ataupun selepas mengerjakan shalat fardhu. Karena, shalat sunnah itu tidak ada batasnya.
Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Dia bertayamum untuk setiap shalat, meskipun dia tidak berhadats," Lagipula, tayamum adalah cara bersuci yang darurat (thaharah dharurah). Oleh karena itu, tayamum harus diulang setiap kali melaksanakan shalat fardhu, meskipun itu dua shalat fardhu yang dijamak dalam satu waktu seperti Zhuhur dengan Ashar, dan juga meskipun tayamum
itu dilakukan oleh orang sakit yang susah mengulang.
Menurut ulama Maliki, satu tayamum boleh digunakan untuk menunaikan satu shalat fardhu dan satu shalat fardhu jenazah. Pendapat yang ashah menurut ulama Syafi'i juga sama. Hal ini disebabkan shalat jenazah adalah fardhu kifayah. Kedudukannya sama seperti shalat yang boleh ditinggalkan secara keseluruhan.
Tayamum untuk shalat boleh digunakan untuk memegang mushaf dan untuk membaca Al-Qur'an jika dia berhadats besar.
Menurut pendapat yang zhahir di kalangan ulama Syafi'i, kedudukan shalat nadzar adalah sama seperti shalat fardhu. Oleh karena itu, hendaklah diperbarui tayammum ketika hendak melaksanakan shalat tersebut. Satu tayamum tidak boleh digunakan untuk menunaikan satu fardhu yang digabungkan dengan fardhu yang lain, baik shalat fardhu itu berbentuk tunai (adaa') atau qadha'.
Thawaf fardhu dan khutbah Jumat, menurut ulama Syafi'i adalah sama seperti shalat fardhu. Oleh karena itu, satu tayamum tidak boleh digunakan untuk melakukan dua thawaf fardhu, juga tidak boleh untuk melakukan satu thawaf fardhu dan satu shalat fardhu. Juga, tidak boleh digunakan untuk satu shalat Jumat dan khutbahnya, walaupun khutbah adalah fardhu kifayah. Tetapi, ia dihubungkan dengan fardhu'ain, yaitu ia dikatakan sebagai pengganti dua rakaat.
Ulama Maliki berpendapat satu tayamum boleh digunakan untuk menghimpun antara satu shalat fardhu dan satu thawaf yang bukan wajib, serta dua rakaat shalat sunnah thawaf. Oleh karena itu, pendapat mereka adalah sama seperti pendapat ulama Syafi'i.

(3) Bolehkah Tayamum yang Asalnya untuk Mengerjakan Kesunnahan Digunakan untuk Shalat Fardu?

Ulama Hanafi yang menganggap tayamum adalah "pengganti mutlak" (Al-Bada’i jilid 1 halaman 55 dan seterusnya) mengatakan, jika seseorang bertayamum untuk mengerjakan kesunnahan, maka dia boleh menunaikan kesunnahan dan fardhu. Abu Hanifah dan Abu Yusuf juga membolehkan seorang yang bertayamum menjadi imam bagi makmum yang berwudhu, jika memang tidak ada air. Sebab, tayamum di saat tidak ada air adalah dianggap suci yang mutlak. Oleh karena itu, shalat makmum yang mengikuti imam yang bertayamum adalah sah. Tetapi jika ada air, maka mereka tidak boleh melakukan hal itu. Sebab, tayamum hanya menggantikan air ketika air tidak ada.
Menurut ulama Maliki (Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 193; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 154), seseorang tidak boleh shalat fardhu dengan tayamum yang diniatkan untuk yang lain. Jika dia berniat untuk menunaikan shalat fardhu, maka dia boleh menunaikan satu shalat fardhu dan beberapa shalat sunnah, dengan syarat dia mendahulukan shalat fardhu baru kemudian shalat sunnah. Dia juga tidak boleh menggunakannya untuk menunaikan fardhu yang telah lewat (shalat qadha'). Jika dia berniat dengan tayamum itu hanya untuk shalat secara mutlak, maka dia hanya boleh menggunakannya untuk shalat sunnah saja, dan tidak boleh ia gunakan untuk menunaikan shalat fardhu. Sebab, shalat fardhu memerlukan satu niat khusus. Siapa yang meniatkan tayamumnya untuk shalat sunnah, maka dia tidak boleh melakukan shalat fardhu dengan tayamum itu. Ketika dia niat tayamum supaya dia boleh melakukan shalat atau supaya dia boleh melakukan amalan yang asalnya dilarang karena kewujudan hadats, maka dia harus berniat untuk mengangkat hadats besar, baik itu junub ataupun lainnya. Namun jika dia ragu, seperti terlupa atau tidak percaya bahwa dia sedang berhadats besar, maka dia tidak boleh berniat demikian, dan hendaklah dia mengulanginya.
Apabila seseorang bertayamum dengan maksud supaya dia boleh melakukan shalat atau supaya dia boleh melakukan amalan-amalan yang asalnya dilarang karena ada hadats, maka dia disunnahkan berniat (menghilangkan) hadats kecil. Namun jika dia berniat fardhu tayamum, maka dia tidak disunnahkan lagi berniat untuk menghilangkan hadats kecil ataupun hadats besar. Sebab, niat fardhu sudah cukup sebagai pengganti kedua hadats kecil dan besar. Jika dia bertayamum dengan niat untuk membaca Al-Qur'an atau niat untuk masuk menghadap sultan dan sebagainya,
maka dia tidak boleh melakukan shalat dengan tayamumnya itu.
Menurut ulama Syafi'i dan Hambali (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 98; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 21 dan seterusnya; Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 253), jika seseorang berniat tayamum untuk shalat  fardhu dan sunnah, maka dia boleh melakukan shalat fardhu dan sunnah dengan tayamum tersebut. Jika dia berniat untuk shalat fardhu, maka dia boleh mengerjakan fardhu lain yang semacamnya dan juga shalat sunnah lainnya, sebab shalat sunnah adalah lebih ringan. Oleh karena itu, maka niat fardhu adalah sudah mencakupinya. Lagipula, kefardhuan adalah lebih tinggi, sehingga bolehlah melakukan sesuatu selain fardhu yang mengikutinya. Jika dia berniat dengan tayamum itu untuk shalat sunnah ataupun hanya mengatakan niat untuk shalat secara mutlak, seperti niat supaya boleh melakukan shalat, dan tidak dijelaskan untuk shalat fardhu atau sunnah, maka dia tidak boleh menjalankan shalat dengan tayamum itu kecuali shalat sunnah saja. Dia juga tidak boleh shalat fardhu, sebab fardhu adalah pokok, sementara sunnah adalah cabang. Jadi, yang berstatus sebagai yang diikuti (matbu') tidak boleh dijadikan sebagai pengikut (tabi'). Juga diqiyaskan dengan kasus jika seseorang berniat shalat (secara mutlak) ketika takbiratul ihram, maka shalatnya itu menjadi shalat sunnah.


PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)