Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
1. DEFINISI TAYAMUM, DASAR PENSYARIATAN, DAN SIFATNYA
A. Definisi Tayamum
Tayamum menurut arti bahasa adalah al-qashd
(niat) seperti dalam firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 267 yang
artinya, "... Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan....”
Adapun dari segi istilah, para ahli fiqih memberi
definisi tayamum dengan beberapa ungkapan yang hampir sama.
Ulama Hanafi (Muraqil Falah halaman 19;
Fathul Qadir jilid 1 halaman 84; Al-Lubab jilid 1 halaman 35; Al-Bada’i
jilid 1 halaman 45; Hasyiyah Ibn Abidin jilid 1 halaman 211)
mendefinisikan tayamum dengan mengusap muka dan dua tangan dengan debu yang
suci. Al-qashd menjadi syarat dalam tayamum. Sebab ia adalah niat, yaitu
qashd menggunakan debu yang suci dengan sifat yang tertentu untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala (ibadah).
Ulama Maliki (Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala
Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 179) mendefinisikan tayamum sebagai satu
bentuk cara bersuci dengan menggunakan debu yang suci dan digunakan untuk mengusap
muka dan dua tangan dengan niat.
Ulama Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1
halaman 87) mendefinisikan tayamum sebagai mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan
sebagai ganti wudhu, mandi, atau salah satu anggota dari keduanya dengan syarat-syarat
yang tertentu.
Ulama Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1
halaman 183) mendefinisikan tayamum sebagai mengusap muka dan kedua tangan
dengan debu yang suci dengan cara yang tertentu.
B. Dasar Pensyaratannya
Tayamum adalah salah satu ciri umat Islam. Ia
disyariatkan pada waktu peperangan Bani Al-Musthaliq (peperangan Al-Muraisi'),
yaitu pada tahun keenam Hijrah, ketika Sayyidatina Aisyah kehilangan kalungnya.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah para sahabat untuk
mencarinya. Kemudian masuklah waktu shalat, tetapi mereka tidak mempunyai air untuk
berwudhu. Oleh karena itu, turunlah ayat tayamum dan juga ayat yang menyucikan Aisyah
dari tuduhan dusta, yaitu yang terdapat dalam Surah An-Nuur. Lantas, Usaid bin
Hudhair mengatakan, “Allah Ta’ala merahmati engkau, wahai Aisyah. Sesuatu
yang turun mengenai dirimu dan engkau membencinya, tetapi dengan itu Allah
memberi kelapangan kepada orang Islam."
Tayamum adalah bentuk hukum rukhshah (keringanan).
Tetapi, para ulama Hambali mengatakan ia adalah hukum 'azimah (hukum asal).
Dalil-dalil pensyariatannya adalah Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'. Yang
bersumber dari Al-Qur'an adalah firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idah ayat
6 yang artinya, "...Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu
tidak memperoleh ain maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah
wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu....” Ayat ini menyatakan bahwa
tayamum adalah fardhu sebagai ganti membasuh dengan air.
Yang bersumber dari As-Sunnah adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Seluruh tanah dijadikan tempat
shalat untuk kita dan debunya adalah alat penyuci.” Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, dan maknanya sama dengan dua hadis dari Abu Umamah dan dari Amr bin
Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya (Nailul Authar jilid 1 halaman
258).
Juga, hadits, "Tanah menjadi alat
penyuci seorang Muslim, meskipun hingga untuk sepuluh kali haji selagi dia
tidak mendapatkan air atau berhadats.” Diriwayatkan dari hadits Abu Dzar
yang ada dalam kitab Sunan Abu Dawud, An-Nasa'i, dan At-Tirmidzi. Juga, dari
hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam Al-Bazzar dan Ath-Thabrani.
Ath-Thabrani berkata, hadits yang pertama ini hasan shahih (Nashbur Rayah
jilid 1 halaman 148).
Adapun yang bersumber dari ijma adalah, seluruh
umat Islam telah bersepakat membolehkan tayamum ini.
C. Sifat Tayamum atau Apakah Kesuciannya Menyamai dengan
Wudhu?
Mayoritas ahli fiqih (Bidayatul Mujtahid,
jilid 1 halaman 61 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 38; Al-Bada'i,
jilid 1 halaman 55; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 87; Al-Mughni,
jilid 1 halaman 237, 257, 273; Kasysyaful Qina' jilid 1 halaman 194; Al-Muhadzdzab,
jilid 1 halaman 32; Fathul Qadir, jilid 1 halaman 87; Ghayatul
Muntaha, jilid 1 halaman 53) mengatakan bahwa tayamum dapat menggantikan
wudhu, mandi junub, mandi haid, dan nifas. Namun, para ulama selain Hanafi,
tidak membolehkan istri yang haid disetubuhi oleh suaminya hingga dia berhenti haidnya
dan mandi terlebih dahulu.
Seseorang yang berhadats, junub, haid, nifas,
dan perempuan yang melahirkan anak dalam keadaan kering dibolehkan bertayamum untuk
shalat dan ibadah-ibadah lain. Sebab, dhamir (kata ganti) dalam firman Allah
Ta’ala dalam Surah Al-Maidah ayat 6 yang artinya, "Jika kamu tidak
memperoleh ain maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci) ...." adalah
kembali kepada orang yang berhadats kecil dan orang yang berhadats besar, bagi
ulama yang berpendapat bahwa maksud sentuhan (al-mulamasah) adalah
persetubuhan (jimak). Adapun ulama yang menyatakan
bahwa sentuhan adalah sentuhan kulit, dalam firman Allah
Ta’ala "Atau kamu sentuh perempuan" maka dhamir-nya dirujuk kepada
orang yang berhadats kecil saja.
Adapun asas hukum tayamum bagi orang yang
berjunub adalah ditetapkan dengan sunnah. Contohnya adalah hadits Imran ibnul Hushain
yang mengatakan kami sedang bersama-sama dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dalam satu perjalanan, lalu beliau shalat dengan orang banyak.
Beliau mendapati ada seorang yang keluar tidak ikut jamaah, lalu beliau
bertanya kepadanya, "Mengapa engkau tidak shalat?" Dia
menjawab, “Aku dalam keadaan junub dan tidak ada air untuk mandi."
Rasulullah berkata, "Cukuplah engkau menggunakan debu.” Muttafaqun
‘alaihi (Nailul Authar jilid 1 halaman 256).
Hadits ini menunjukkan kewajiban tayamum ketika
hendak mendirikan shalat apabila tidak ada air, baik orang tersebut sedang dalam
keadaan junub ataupun hadats lainnya. Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir juga sama
dengan hadits di atas. Dia mengatakan, "Pada suatu hari kami keluar
berjalan (musafir), kemudian salah seorang di antara kami luka dan kepalanya
dibungkus. Dia kemudian bermimpi (junub) lalu dia bertanya kepada kawan-kawannya,
apakah dia boleh tayamum. Kawan-kawannya menjawab, “Kami tidak mengetahui ada
kelonggaran yang demikian. Kau masih bisa menggunakan air.” Maka, dia pun
mandi lalu mati. Setelah kami datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam kami memberitahukan hal itu kepada beliau. Lalu Rasulullah
berkata, “Karena mereka membunuhnya, maka Allah membunuh mereka, Mengapa
mereka tidak bertanya jika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat kebodohan
adalah bertanya."'
Adalah memadai baginya bertayamum dan membalut
atau mengikat lukanya, kemudian mengusap atasnya dan membasuh seluruh tubuhnya.
Hadits ini menunjukkan hukum bolehnya tayamum karena khawatir adanya
kemudharatan. Riwayat Abu Dawud, Ad-Daruquthni dan Ibnu Majah. Ia dihukumi
shahih oleh Ibnus Sakan (Nailul Authar jilid 1 halaman 257).
Juga, hadits Amr ibnul Ash. Dia berkata, "Ketika
aku berada dalam peperangan Dzatus Salaasil (nama tempat di belakang Wadi
Al-Qura, yang terjadi pada tahun delapan Hijriyah), aku mimpi (berjunub) sedangkan
waktu itu udara sangat dingin. Aku menghindar dari perbuatan yang bisa
membinasakanku, lalu aku bertayamum dan mengimami shalat Shubuh bersama
kawan-kawanku. Ketika kami sampai di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, kawan-kawanku mengadukan hal itu kepada beliau. Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, 'Wahai Amr, apakah kamu mengimami shalat kawan-kawanmu
sedangkan kamu dalam keadaan junub?” Aku menjawab, “Saya teringat firman Allah,
'...Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang
kepadamu.' lalu saya bertayamum dan saya shalat.'' Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa. Riwayat Imam
Ahmad, Abu Dawud, Ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Diriwayatkan juga
oleh Al-Bukhari (Nailul Authar jilid 1 halaman 258).
Hal ini menunjukkan bahwa tayamum dibolehkan
ketika udara sangat dingin, dan tidak perlu mengulangi shalat lagi. Ini adalah pendapat
Imam Malik dan Abu Hanifah.
D. lbadah yang Boleh Dilakukan dengan Menggunakan Tayamum
Setiap amalan ketaatan yang perlu kepada kesucian
(thaharah) seperti shalat fardhu, shalat sunnah, menyentuh mushaf, membaca Al-Qur'an,
sujud tilawah, sujud syukur dan duduk beri'tikaf dalam masjid adalah boleh bersuci
dengan cara tayamum. Hal ini berdasarkan hadits-hadits di atas, juga karena amalan
yang dibolehkan ber-thaharah dengan air. Maka, ia juga dibolehkan ber-thaharah dengan
tayamum.
E. Hadats-Hadats yang Boleh Ditayamumi
Tayamum dibolehkan untuk mengangkat hadats
kecil, junub, haid, dan nifas. Hal ini berdasarkan hadits yang menceritakan
bahwa satu kaum telah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan berkata, "Kami adalah satu kaum yang tinggal di tempat yang
berpasir. Kadang-kadang sebulan atau dua bulan kami tidak mendapati air. Di
antara kami ada yang berjunub, ada yang haid, dan ada yang nifas."
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka, "Hendaklah
kamu menggunakan debu.” Riwayat Imam Ahmad, Al-Baihaqi dan Ishaq bin
Rahawaih dari Abu Hurairah, tetapi hadi sini dhaif (Nashbur Rayah jilid
1 halaman 156). Juga, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maa'idah
ayat 6.
F. Kedudukan Tayamum sebagai Pengganti
Menurut ulama Hanafi (Al-Bada’i jilid 1
halaman 54 dan seterusnya; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 223),
tayamum adalah pengganti mutlak (badal muthlaq) bukan pengganti darurat
(badal dharuri). Jadi, dengan tayamum yang digunakan untuk shalat tunai (adaa'),
maka hadats akan terangkat, sehingga dia menemukan air. Hal ini berdasarkan
kepada hadits yang telah lalu, yaitu, "Tayamum adalah wudhu seorang
Muslim, meskipun untuk 10 kali haji selagi dia tidak mendapati air atau tidak
berhadats."
Dalam hadits ini, tayamum dinamakan wudhu,
sedangkan fungsi wudhu adalah untuk menghilangkan hadats. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, "Dijadikan bumi bagiku tempat sujud dan
alat yang menyucikan.” Riwayat Asy-Syaikhan dan An-Nasa’i dari Jabir bin
Abdullah.
Kalimat ath-tahuur (yang disebut dalam hadits
ini) adalah nama bagi sesuatu yang menyucikan (penyuci). Hal ini menunjukkan bahwa
hadats bisa terhapus dengan cara tayamum. Cuma, penghapusannya terbatas jika
tidak ada air saja. Apabila air ada, maka hadats itu kembali dianggap wujud.
Atas pertimbangan ini, maka tayamum boleh
dilakukan sebelum masuk waktu shalat, dan seseorang boleh menggunakan satu
tayamum untuk mengerjakan shalat fardhu dan juga shalat sunnah yang banyak,
selagi dia tidak mendapati air atau selagi dia tidak berhadats. Jika dia
bertayamum untuk shalat sunnah, maka dia boleh menggunakannya untuk mendirikan
shalat sunnah dan fardhu.
Jumhur ulama selain Hanafi (Asy-Syarhul
Kabir jilid 1 halaman 154; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 97; Bujairami
Al-Khatib jilid 1 halaman 253; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 199)
mengatakan, tayamum adalah pengganti dalam keadaan darurat (badal dharuri).
Oleh karena itu,
shalatnya dihukumi boleh, walaupun dalam keadaan berhadats
karena kondisi darurat. Kedudukannya sama seperti wanita mustahadhah apabila
bersuci. Hal ini berdasarkan kepada hadits Abu Dzar yang terdapat dalam Sunan At-Tirmidzi,
"Jika kamu mendapati air, hendaklah kamu membasahi kulitmu. Karena, hal
itu memberi kebaikan kepadamu."
Jika memang tayamum boleh mengangkat hadats,
sudah barang tentu air tidak diperlukan lagi apabila didapati. Jika orang yang
bertayamum itu melihat air, maka hadats itu kembali wujud lagi. Hal ini
menunjukkan bahwa hadats sebenarnya tidak terangkat, cuma dibolehkan menunaikan
shalat meskipun ada hadats. Pembolehan ini karena darurat, sama seperti wanita
mustahadhah.
Pendapat ini mempunyai konsekuensi hukum yang
berbeda dengan hukum-hukum yang disebutkan di atas. Namun ulama Hambali -berbeda
dengan pendapat ulama Maliki dan Syafi'i- membolehkan satu tayamum digunakan
untuk beberapa shalat fardhu dan shalat qadha yang menjadi tanggungan.
G. Pendapat-Pendapat Madzhab dalam Masalah-Masalah yang
Menjadi Konsekuensi dari Kedudukan Tayamum sebagai Pengganti
(1) Waktu Tayamum
Ulama madzhab Hanafi (Al-Bada’i jilid 1
halaman 54; Ad-Durrul Mukhtar dan Hasyiyah Ibn Abidin jilid 1
halaman 223) mengatakan bahwa tayamum adalah bersuci yang mutlak (taharah
mutlaqah). Oleh sebab itu, mereka membolehkan tayamum sebelum masuk waktu shalat.
Satu tayamum boleh digunakan untuk lebih daripada satu shalat fardhu dan boleh
digunakan untuk beberapa shalat sunnah. Hal ini disebabkan tayamum menjadi pengganti
secara mutlak ketika tidak ada air. Ia dapat mengangkat hadats sehingga orang itu
mendapat air. Ia bukanlah pengganti darurat
yang boleh dilakukan, namun kewujudan hadats tetap ada,
seperti yang dikatakan oleh jumhur. Oleh karena itu menurut jumhur, tayamum
tidak boleh dilakukan sebelum masuk waktu shalat dan tayamum tidak boleh
digunakan untuk lebih daripada satu shalat fardhu. Dalil ulama Hanafi adalah
menentukan waktu pelaksanakan ibadah harus dengan menggunakan dalil sam'i,
padahal dalil sam’i dalam masalah ini tidak ada.
Oleh karena itu, tayamum diqiyaskan dengan
wudhu, di mana wudhu boleh dikerjakan sebelum masuk waktu.
Ulama Maliki, Syafi'i, dan Hambali berpendapat
(Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 65; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman
37; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 105; Al-Muhadzdzab jilid 1
halaman 34; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 184), tayamum tidak sah
kecuali sesudah masuknya waktu ibadah-yang dia akan melaksanakannya dengan
tayamum -baik itu ibadah wajib ataupun sunnah. Oleh karena itu, tidak boleh
bertayamum untuk melakukan satu shalat fardhu sebelum masuk waktunya. Demikian
juga tidak boleh tayamum untuk melakukan satu shalat sunnah yang tertentu, atau
satu shalat sunnah yang mempunyai waktu seperti sunnah Rawatib sebelum masuk waktunya.
Dalil bagi shalat fardhu adalah firman Allah
Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idah ayat 6, “Apabila kamu hendak melaksanakan
shalat...."
Maksud dari "berdiri untuk shalat” adalah
jika sudah masuk waktu. Juga, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari,
"Siapa saja dari umatku yang menemui (waktu) shalat, maka shalatlah!”
Juga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, "Di manapun aku menemui
(waktu) shalat, maka aku akan bertayamum dan shalat." Ini adalah dalil
bahwa tayamum dilakukan ketika menemui shalat, artinya ketika telah masuk waktu
shalat.
Adapun dalil bagi shalat sunnah adalah hadits
Abu Umamah yang diriwayatkan secara marfu' yang menyebutkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Seluruh bumi
ini dijadikan bagiku dan umatku sebagai tempat sujud dan menyucikan. Oleh
karena itu, jika salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat telah tiba,
maka di sisinya ada tempat sujud dan ada penyucinya.” Riwayat Imam Ahmad,
diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir dengan lafal, “Aku
diberi lima perkata yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya, yaitu aku
ditakuti oleh musuh sejauh sebulan perjalanan, dijadikan untukku tanah sebagai masjid
dan ia bersih, oleh sebab itu siapa saja dari umatku yang berjalan, lalu masuk
waktu shalat, ia hendaklah langsung shalat, aku juga dihalalkan mengambil ghanimah
(rampasan perang) sedangkan ia tidak halal bagi seorang pun sebelumku, aku juga
bisa meminta syafa'at, para nabi sebelumku diutus untuk kaumnya saja, tetapi
aku diutus untuk seluruh manusia."
Adapun wudhu boleh dikerjakan sebelum masuk
waktu, disebabkan ia dapat mengangkat hadats sedangkan tayamum tidak, sebab tayamum
hanyalah cara bersuci darurat. Oleh sebab itu, ia tidak boleh dilakukan sebelum
masuk waktu. Kondisinya sama seperti wanita mustahadhah yang bersuci.
Tayamum sah digunakan untuk mengerjakan shalat
sunnah thawaf pada waktu kapan pun. Karena, melakukan thawaf pada waktu kapan
pun memang dibolehkan. Sah juga tayamum untuk mengerjakan shalat yang terlewat yang
baru disadari dan hendak dikerjakan. Hal ini karena shalat qadha' boleh
dilakukan pada waktu kapan pun. Tayamum sah dilakukan untuk mengerjakan shalat
sunnah gerhana, asalkan ia tidak terjadi dalam waktu yang dilarang shalat. Makruh
shalat sunnah dalam lima waktu, yaitu setelah shalat Shubuh, ketika matahari
terbit, ketika matahari di tengah-tengah langit, setelah shalat Ashar dan
ketika matahari terbenam.
Tayamum untuk shalat minta hujan (istisqa')
juga sah jika jamaah sudah berkumpul. Tayamum untuk shalat jenazah juga sah
jika mayat sudah dimandikan.
Tayamum untuk shalat Hari Raya juga sah
apabila sudah masuk waktunya. Sah juga tayamum untuk melakukan shalat nadzar
pada waktu kapan pun. Sah juga tayamum untuk shalat sunnah jika shalat itu
sudah dibolehkan seperti shalat Tahiyyatul Masjid, karena itu adalah waktunya.
Berkenaan dengan sunnah-sunnah mutlak, maka
tayamum boleh dilakukan untuk mengerjakan shalat-shalat itu pada waktu yang
disukai, kecuali pada waktu yang dilarang. Karena, waktu larangan itu bukanlah waktu
untuknya.
Bolehkah Tayamum Dilewatkan Sehingga ke Akhir Waktu?
Para imam Madzhab Empat (Ad-Durrul Mukhtar dan
Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 229; Al-Bada’i jilid 1 halaman 45;
Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 189 dan seterusnya; Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 89; Al-Mughni jilid 1 halaman 243) bersepakat
mengatakan bahwa cara yang afdhal adalah melewatkan tayamum hingga ke akhir
waktu, jika ada harapan akan keberadaan air. Jika tidak ada harapan, maka
disunnahkan bertayamum di awal waktu. Ini menurut jumhur selain ulama Hambali.
Adapun Imam Ahmad, ia mengatakan bahwa melewatkannya adalah lebih utama dalam
semua keadaan.
Pendapat yang ashah di kalangan ulama Hanafi
mengatakan, bahwa melewatkan tayamum
hingga akhir waktu mustahab: yaitu kira-kira tidak
terjadi kemakruhan adalah disunnahkan. Sebab, faedah melewatkan waktu adalah
supaya seseorang melakukan thaharah yang lebih sempurna. Sekiranya dijanjikan
bahwa dia akan memperoleh air, maka ia wajib melewatkan waktu, walaupun dia
khawatir akan terjadi qadha'. Menurut Abu Hanifah juga, wajib melewatkan waktu
apabila ada orang telanjang yang dijanjikan akan dipinjami pakaian, atau akan
diberi pinjaman timba untuk mendapatkan airl selagi dia tidak khawatir akan
terjadi qadha'.
Para ulama Syafi'i menggantungkan "keutamaan
menunggu waktu" jika memang yakin akan adanya air di akhir waktu. Jika
ragu (syak) atau hanya ada sangkaan (zhan)
bahwa air mungkin akan ada di akhir waktu, maka menurut pendapat yang zhahir
lebih baik mendahulukan tayamum. Karena, keutamaan mendahulukan adalah perkara
yang jelas, sedang keutamaan berwudhu tidaklah jelas.
Ulama Maliki menjelaskan hal ini dengan mengatakan:
orang yang yakin tidak akan mendapat air, maka dia disunnahkan menyegerakan tayamum
di awal waktu. Tetapi jika dia tidak yakin, baik dia ragu atau ada dugaan yang
tidak kuat bahwa akan ada air, maka disunnahkan bertayamum di pertengahan waktu.
Adapun orang yang mempunyai harapan, yaitu orang yang dugaannya kuat akan
mendapatkan air, maka dia disunnahkan bertayamum pada akhir waktu.
(2) Perkara yang Boleh Dilakukan dengan Satu Tayamum
Menurut ulama Hanafi (Fathul Qadir jilid
1 halaman 95), orang yang bertayamum dengan satu tayamum boleh mengerjakan beberapa
shalat fardhu dan beberapa shalat sunnah sesukanya. Ini disebabkan tayamum adalah
cara bersuci ketika tidak ada air, maka ia berfungsi sebagaimana fungsi air
selagi syaratnya ada. Dia boleh melakukan dua shalat fardhu atau lebih dengan
satu tayamum, dan dia juga boleh shalat sunnah seberapa banyak yang
dikehendakinya.
Menurut ulama Hambali (Al-Mughni jilid
1 halaman 262-264), tayamum adalah terikat dengan waktu. Hal ini berdasarkan
kata-kata Ali, "Tayamum adalah untuk setiap kali shalat" dan
juga kata-kata Ibnu Umar, "Tayamum adalah untuk setiap kali shalat."
Lagipula, tayamum adalah cara bersuci yang darurat (thaharah dharurah).
Oleh karena itu, ia terikat dengan waktu, sama seperti cara bersucinya wanita
mustahadhah. Begitu juga dengan thawaf fardhu, ia adalah sama seperti shalat
fardhu.
Berdasarkan pertimbangan ini, maka jika seseorang
sudah bertayamum, dia boleh mengerjakan shalat tunai (ada') dan boleh
juga mengerjakan shalat qadha' dengan tayamum itu, jika dia memang menanggung
kewajiban tersebut. Jadi, seseorang yang bertayamum boleh mengerjakan shalat
yang tunai, boleh menjamak antara dua shalat, boleh mengqadha' beberapa shalat
yang tertinggal, dan boleh mengerjakan beberapa shalat sunnah yang
dikehendakinya hingga masuk waktunya shalat yang lain.
Menurut ulama Maliki dan Syafi'i (Asy-Syarhush
Shaghir jilid 1 halaman 186-187; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman
151; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 36; Mughnil Muhtaj jilid 1
halaman 103; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 38), satu tayamum tidak
boleh digunakan untuk menunaikan dua fardhu. Oleh karena itu, menurut mereka
seseorang yang bertayamum tidak boleh menggunakan satu tayamum untuk menunaikan
lebih daripada satu fardhu, tidak boleh juga menggabungkan di antara beberapa sunnah,
tidak boleh melaksanakan satu shalat fardhu dan satu shalat sunnah sekaligus, jika
memang dia melakukan shalat fardhu dulu. Hal ini menurut pendapat ulama madzhab
Maliki. Adapun pendapat ulama madzhab Syafi'i, seseorang yang sudah bertayamum boleh
menunaikan beberapa shalat sunnah sebelum ataupun selepas mengerjakan shalat fardhu.
Karena, shalat sunnah itu tidak ada batasnya.
Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Dia
bertayamum untuk setiap shalat, meskipun dia tidak berhadats,"
Lagipula, tayamum adalah cara bersuci yang darurat (thaharah dharurah).
Oleh karena itu, tayamum harus diulang setiap kali melaksanakan shalat fardhu, meskipun
itu dua shalat fardhu yang dijamak dalam satu waktu seperti Zhuhur dengan
Ashar, dan juga meskipun tayamum
itu dilakukan oleh orang sakit yang susah mengulang.
Menurut ulama Maliki, satu tayamum boleh digunakan
untuk menunaikan satu shalat fardhu dan satu shalat fardhu jenazah. Pendapat
yang ashah menurut ulama Syafi'i juga sama. Hal ini disebabkan shalat jenazah adalah
fardhu kifayah. Kedudukannya sama seperti shalat yang boleh ditinggalkan secara
keseluruhan.
Tayamum untuk shalat boleh digunakan untuk memegang
mushaf dan untuk membaca Al-Qur'an jika dia berhadats besar.
Menurut pendapat yang zhahir di kalangan ulama
Syafi'i, kedudukan shalat nadzar adalah sama seperti shalat fardhu. Oleh karena
itu, hendaklah diperbarui tayammum ketika hendak melaksanakan shalat tersebut. Satu
tayamum tidak boleh digunakan untuk menunaikan satu fardhu yang digabungkan dengan
fardhu yang lain, baik shalat fardhu itu berbentuk tunai (adaa') atau
qadha'.
Thawaf fardhu dan khutbah Jumat, menurut ulama
Syafi'i adalah sama seperti shalat fardhu. Oleh karena itu, satu tayamum tidak boleh
digunakan untuk melakukan dua thawaf fardhu, juga tidak boleh untuk melakukan satu
thawaf fardhu dan satu shalat fardhu. Juga, tidak boleh digunakan untuk satu
shalat Jumat dan khutbahnya, walaupun khutbah adalah fardhu kifayah. Tetapi, ia
dihubungkan dengan fardhu'ain, yaitu ia dikatakan sebagai pengganti dua rakaat.
Ulama Maliki berpendapat satu tayamum boleh
digunakan untuk menghimpun antara satu shalat fardhu dan satu thawaf yang bukan
wajib, serta dua rakaat shalat sunnah thawaf. Oleh karena itu, pendapat mereka
adalah sama seperti pendapat ulama Syafi'i.
(3) Bolehkah Tayamum yang Asalnya untuk Mengerjakan
Kesunnahan Digunakan untuk Shalat Fardu?
Ulama Hanafi yang menganggap tayamum adalah
"pengganti mutlak" (Al-Bada’i jilid 1 halaman 55 dan
seterusnya) mengatakan, jika seseorang bertayamum untuk mengerjakan kesunnahan,
maka dia boleh menunaikan kesunnahan dan fardhu. Abu Hanifah dan Abu Yusuf juga
membolehkan seorang yang bertayamum menjadi imam bagi makmum yang berwudhu,
jika memang tidak ada air. Sebab, tayamum di saat tidak ada air adalah dianggap
suci yang mutlak. Oleh karena itu, shalat makmum yang mengikuti imam yang
bertayamum adalah sah. Tetapi jika ada air, maka mereka tidak boleh melakukan
hal itu. Sebab, tayamum hanya menggantikan air ketika air tidak ada.
Menurut ulama Maliki (Hasyiyah Ash-Shawi
‘ala Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 193; Asy-Syarhul Kabir jilid
1 halaman 154), seseorang tidak boleh shalat fardhu dengan tayamum yang diniatkan
untuk yang lain. Jika dia berniat untuk menunaikan shalat fardhu, maka dia boleh
menunaikan satu shalat fardhu dan beberapa shalat sunnah, dengan syarat dia mendahulukan
shalat fardhu baru kemudian shalat sunnah. Dia juga tidak boleh menggunakannya untuk
menunaikan fardhu yang telah lewat (shalat qadha'). Jika dia berniat dengan
tayamum itu hanya untuk shalat secara mutlak, maka dia hanya boleh
menggunakannya untuk shalat sunnah saja, dan tidak boleh ia gunakan untuk
menunaikan shalat fardhu. Sebab, shalat fardhu memerlukan satu niat khusus.
Siapa yang meniatkan tayamumnya untuk shalat sunnah, maka dia tidak boleh
melakukan shalat fardhu dengan tayamum itu. Ketika dia niat tayamum supaya dia boleh
melakukan shalat atau supaya dia boleh melakukan amalan yang asalnya dilarang karena
kewujudan hadats, maka dia harus berniat untuk mengangkat hadats besar, baik itu
junub ataupun lainnya. Namun jika dia ragu, seperti terlupa atau tidak percaya
bahwa dia sedang berhadats besar, maka dia tidak boleh berniat demikian, dan
hendaklah dia mengulanginya.
Apabila seseorang bertayamum dengan maksud
supaya dia boleh melakukan shalat atau supaya dia boleh melakukan amalan-amalan
yang asalnya dilarang karena ada hadats, maka dia disunnahkan berniat
(menghilangkan) hadats kecil. Namun jika dia berniat fardhu tayamum, maka dia
tidak disunnahkan lagi berniat untuk menghilangkan hadats kecil ataupun hadats
besar. Sebab, niat fardhu sudah cukup sebagai pengganti kedua hadats kecil dan
besar. Jika dia bertayamum dengan niat untuk membaca Al-Qur'an atau niat untuk
masuk menghadap sultan dan sebagainya,
maka dia tidak boleh melakukan shalat dengan tayamumnya
itu.
Menurut ulama Syafi'i dan Hambali (Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 98; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 21 dan
seterusnya; Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman 253), jika seseorang
berniat tayamum untuk shalat fardhu dan
sunnah, maka dia boleh melakukan shalat fardhu dan sunnah dengan tayamum tersebut.
Jika dia berniat untuk shalat fardhu, maka dia boleh mengerjakan fardhu lain
yang semacamnya dan juga shalat sunnah lainnya, sebab shalat sunnah adalah
lebih ringan. Oleh karena itu, maka niat fardhu adalah sudah mencakupinya.
Lagipula, kefardhuan adalah lebih tinggi, sehingga bolehlah melakukan sesuatu
selain fardhu yang mengikutinya. Jika dia berniat dengan tayamum itu untuk
shalat sunnah ataupun hanya mengatakan niat untuk shalat secara mutlak, seperti
niat supaya boleh melakukan shalat, dan tidak dijelaskan untuk shalat fardhu
atau sunnah, maka dia tidak boleh menjalankan shalat dengan tayamum itu kecuali
shalat sunnah saja. Dia juga tidak boleh shalat fardhu, sebab fardhu adalah
pokok, sementara sunnah adalah cabang. Jadi, yang berstatus sebagai yang
diikuti (matbu') tidak boleh dijadikan sebagai pengikut (tabi').
Juga diqiyaskan dengan kasus jika seseorang berniat shalat (secara mutlak)
ketika takbiratul ihram, maka shalatnya itu menjadi shalat sunnah.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments