BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
 
1. DEFINISI NAJIS SECARA UMUM DAN HUKUM MEMBERSIHKANNYA

Perkataan an-najaasah adalah lawan kata dari perkataan ath-thahaarah, dan perkataan an-najas juga kebalikan kata ath-thahir. Kata al-anjaas merupakan bentuk jamak dari kata najis, yaitu nama bagi benda yang kotor menurut pandangan syara’. Najis ada dua jenis, najis hukmi dan najis haqiqi. Kotoran (al-khubuts) khusus bagi najis haqiqi, sedangkan hadats adalah sebutan khusus bagi najis hukmi. Kata an-najas, jika huruf jim- nya dibaca dengan fathah, maka ia menjadi isim. Tetapi jika dibaca dengan kasrah (an-najis), maka ia menjadi kata sifat.
Najis terbagi kepada dua jenis, yaitu najis haqiqi dan najis hukmi. Dari segi bahasa, najis haqiqi ialah benda-benda yang kotor seperti darah, air kencing, dan tahi. Menurut syara', ia adalah segala kotoran yang menghalangi sahnya shalat. Najis hukmi ialah najis yang terdapat pada beberapa bagian anggota badan yang menghalangi sahnya shalat. Najis ini mencakup hadats kecil yang dapat dihilangkan dengan wudhu dan hadats besar (janabah) yang dapat dihilangkan dengan
mandi. Najis haqiqi terbagi kepada beberapa jenis, yaitu mughalladzah (berat), mukhaffafah  (ringan), najis yang keras, najis yang cair; najis yang dapat dilihat, dan najis yang tidak dapat dilihat.
Hukum menghilangkan najis yang tidak dimaafkan dari pakaian, badan, dan juga tempat shalat bagi orang yang hendak mengerjakan shalat adalah wajib. Ini menurut pendapat jumhur fuqaha kecuali ulama Madzhab Maliki, karena Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Muddatstsir ayat 4 yang artinya, "Dan bersihkanlah pakaianmu."
Ada dua pendapat yang masyhur dalam Madzhab Imam Malik (Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 65; Asy-Syarhush Shagir jilid 1 halaman 64 dan seterusnya; Fath Al-‘Ali Al-Malik jilid 1 halaman 111) berkenaan dengan masalah ini, yaitu wajib dan sunnah. Jika orang yang berkenaan dalam keadaan sadar, mampu dan dapat menghilangkan najis itu, maka pendapat yang mu'tamad dan masyhur mengatakan bahwa hukumnya sunnah. Namun menurut pendapat lain, hukumnya adalah wajib. Oleh sebab itu, siapa yang menunaikan shalat dalam keadaan terkena najis dengan sengaja, sedangkan dia mampu menghilangkannya, maka dia wajib mengulangi shalatnya, karena shalatnya itu tidak sah. Tetapi kalau berdasarkan pendapat yang masyhur dari Madzhab Maliki, yang menyatakan hukum menghilangkan najis hanya sunnah saja, sekiranya dia sadar dan mampu
menghilangkannya. Maka, mengulangi shalat tersebut hanyalah sunnah. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka mengulangi shalat bagi orang yang terlupa, orang yang tidak mengetahui
keberadaan najis, dan orang yang tidak mampu menghilangkannya adalah sunnah. Pembahasan ini mengandung dua cabang permasalahan.

a. Najis yang Disepakati dan yang Dipertikaikan oleh Ulama

1. Najis yang Disepakati oleh Ulama Madzhab

Para fuqaha telah bersepakat mengenai najisnya perkara-perkara berikut (Fath Al-Qadir jilid 1, halaman 135 dan seterusnya; Al-Lubab Syarh Al-Kitab, jilid l, halaman 55 dan seterusnya; Muraqi Al-Falah, halaman 25 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, halaman 34; Bidayah Al-Mujtahid, jilid 1, halaman 73 dan seterusnya; Asy-Syarh Ash-Shaghir jilid 1, halaman 49 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 77 dan seterusnya; Al-Muhadzdzab, jilid 1, halaman 46 dan seterusnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1, halaman 213 dan seterusnya; Al-Mughni, jilid 1, halaman 52 dan selanjutnya):

(a) Babi

Babi adalah najis meskipun disembelih secara syara’ karena ia dihukumi sebagai najis 'ain (najis pada dirinya) melalui nash Alquran. Maka, daging dan juga semua bagian badannya seperti bulu, tulang, dan kulit dihukumi najis meskipun kulitnya disamak.

(b) Darah

Darah manusia selain darah orang yang mati syahid, dan darah binatang selain binatang laut, yang mengalir keluar dari tubuhnya baik semasa hidupnya ataupun sesudah matinya, jika memang ia mengalir banyak, maka darah tersebut dihukumi najis. Oleh sebab itu, darah orangyang mati syahid selama darahnya masih berada di badannya tidaklah termasuk najis. Begitu juga darah ikan, jantung, limpa, dan hati dan semua darah yang berada dalam saraf binatang sesudah ia disembelih selama ia tidak mengalir, juga tidak termasuk ke dalam hukum najis. Begitu juga darah kutu dan kepinding, meskipun banyak menurut pendapat Madzhab Hanafi.
Darah yang mengalir adalah najis, meskipun ia keluar dari binatang seperti ikan, lalat, dan kutu anjing. Ini adalah menurut ulama Madzhab Maliki dan Syafi'i.
Berdasarkan perbedaan pendapat ini, maka memakan ikan yang diasinkan (fasikh) yang disusun secara bertindih-tindih dalam keadaan darah masing-masing ikan itu masih mengalir dari seekor kepada yang lainnya, adalah tidak boleh menurut pendapat ulama Madzhab Syafi'i, dan juga menurut pendapat yang terkuat di kalangan ulama Madzhab Maliki. Kecuali, ikan-ikan yang berada di lapisan atas saja ataupun ikan yang diduga berada di bagian atas atau yang ada di tempat
lainnya.
Menurut ulama Madzhab Hanafi dan Ibnul Arabi dari Madzhab Maliki, semua ikan itu boleh dimakan. Karena menurut pendapat mereka, apa yang keluar dari badan ikan itu bukanlah darah, melainkan ia adalah benda basah. Oleh sebab itu, ia dihukumi bersih. (Asy-Syarhul Kabir oleh Ad-Dardir dan Hasyiyah Ad-Dasuqi jilid 1 halaman 57)

(c) Air Kencing, Muntah dan Tahi Manusia

Semuanya dihukumi najis kecuali air kencing anak-anak lelaki yang masih menyusu. Karena menurut pendapat ulama Madzhab Syafi'i dan Hambali, cara membersihkannya adalah cukup dengan memercikkan air ke atasnya saja. Air kencing binatang yang tidak dimakan dagingnya, tahi, dan juga muntah binatang juga dihukumi najis. Kecuali tahi burung, air kencing tikus, dan kelelawar menurut pendapat ulama Madzhab Hanafi. Karena, air kencing tikus amat sulit untuk dielakkan, sementara kelelawar juga sering kencing di udara (semasa ia terbang). Oleh sebab itu, kedua-duanya digolongkan ke dalam najis yang dimaafkan jika terkena pakaian ataupun
ketika masuk ke dalam makanan. Tetapi tidak dimaafkan, jika masuk ke dalam air dalam bejana. Selain itu, apa saja yang keluar dari dubur binatang hukumnya adalah najis.
            Muntah menurut pendapat ulama madzhab Hanafi dihukumi sebagai najis berat jika ia memenuhi mulut seseorang dan ia tidak dapat mengendalikannya.

(d) Arak

Arak adalah najis menurut pendapat kebanyakan fuqaha berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maidah ayat 90 yang artinya, "Bahwa sesungguhnya arak, judi dan pemujaan berhala dan mengundi nasib dengan batang-batang anak panah adalah kotor (keji) dari perbuatan setan."
Namun, terdapat sebagian ahli hadits yang mengatakan bahwa ia adalah bersih. Arak menurut pendapat jumhur ulama dan pendapat yang mu'tamad dari kalangan ulama madzhab Hanafi adalah mencakup semua cairan yang memabukkan.

(e) Nanah

Nanah ialah sejenis darah yang rusak, yang tidak bercampur dengan darah biasa yang tidak rusak. Ia adalah najis, karena pada asalnya ia adalah darah yang berubah. Begitu juga Ash-Shadid, yaitu sejenis cairan yang bercampur dengan darah. Kedua-duanya dihukumi najis jika kadarnya banyak dan dimaafkan jika hanya sedikit.

(f) Air Madzi dan Wadi

Madzi ialah cairan berwarna putih yang keluar tanpa memuncrat pada saat memuncaknya
nafsu seseorang, ataupun ketika ia teringat aktivitas persetubuhan. Ia dihukumi najis karena terdapat perintah membasuh dzakar dan perintah berwudhu dalam hadits riwayat Ali radhiyallahu anhu, "Saya adalah lelaki yang kuat keluar air madzi. Saya malu untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu saya menyuruh Al-Miqdad ibnul Aswad bertanya kepada beliau. Dia pun bertanya dan Rasul menjawab, “Diwajibkan berwudhu.” Sedangkan dalam riwayat
Imam Muslim disebutkan, "Hendaklah membasuh dzakarnya dan hendaklah berwudhu." Hadis riwayat asy-syaikhan dari Ali. Adapun lafalnya dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud, “Ia membasuh dzakar dan juga kedua buah dzakarnya, kemudian berwudlu.” (Nailul Authar jilid 1 halaman 51)
Wadi ialah air putih pekat yang keluar setelah air kencing ataupun ketika menanggung sesuatu yang berat. Ia juga dihukumi najis karena ia keluar bersama-sama air kencing ataupun sesudahnya. Oleh sebab itu, ia dihukumi sama seperti air kencing. Perlu diingat bahwa benda yang keluar dari badan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam seperti darah, nanah, muntah, tahi, air kencing madzi, dan wadi adalah suci/bersih karena Barakah (perempuan berketurunan Habsyi) telah meminum air kencing beliau. Lalu beliau bersabda, "Api neraka tidak akan menjilat perutmu." Hadits ini disahkan oleh Ad-Daruquthni, dan lagi Abu Tibah juga telah meminum darah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diambil dari beliau sesudah ia membekam darah Rasulullah. Lalu beliau bersabda, "Orang yang darahnya bercampur dengan darahku, mako dirinya tidak akan disentuh oleh api neraka.”
Pasir ataupun batu yang keluar setelah air kencing. Apabila menurut keterangan dokter yang adil bahwa ia berasal dari air kencing, maka dihukumi najis. Jika tidak, maka dihukumi sesuatu yang mutanajjis (terkena najis) yang dapat dibersihkan dengan cara membasuhnya (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 79).

(g) Daging Bangkai Binatang Darat yang Berdarah Mengalir

Yang dimaksud dengan binatang tersebut adalah segala jenis binatang darat baik yang boleh dimakan dagingnya ataupun yang tidak seperti anjing, kambing, kucing, burung-burung kecil, dan seumpamanya. Kulit bangkai yang belum disamak juga disamakan hukumnya. Ini adalah menurut pendapat ulama Madzhab Hanafi. Ulama selain mereka mengatakan bahwa semua bagian bangkai selain mayat manusia seperti tulang, bulu, dan lain-lainnya dihukum najis, karena setiap bagian itu merupakan bagian yang hidup (sebelum ia menjadi bangkai).

(h) Daging dan Susu Binatang yang tidak Boleh Dimakan

Daging binatang yang tidak boleh dimakan dan juga susunya dihukumi najis, karena susu itu berasal dari dagingnya. Oleh sebab itu, ia mengikut hukum dagingnya.

(i) Bagian Anggota yang Terpisah

Yang dimaksud adalah bagian anggota yang terpisah ataupun yang terputus dari badan binatang semasa masih hidup, seperti tangan dan ekor atau punggungnya, kecuali bulu dan seumpamanya. Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Bagian mana pun dari badan binatang yang terputus atau terpotong ketika ia masih hidup, maka ia dianggap sebagai bangkai.” Hadis riwayat Al-Hakim dan dia menghukumi shahih berdasarkan syarat Asy-Syaikhan. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dia mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis yang baik, dari Abu Waqid Al-Laits (Subulus Salam jilid 1 halaman 28)

2. Najis yang Diperselisihkan oleh Ulama

Para fuqaha berselisih pendapat mengenai hukum najis dalam beberapa perkara.

(a) Anjing

Menurut pendapat yang ashah dari kalangan ulama Madzhab Hanafi, anjing bukanlah najis ‘ain karena ia berguna untuk penjagaan dan buruan, tidak seperti babi di mana ia adalah najis ‘ain karena huruf ha’ yang terdapat dalam Surah Al-An’aam ayat 145 ditujuan kepadanya (babi), karena kedudukannya lebih dekat dengan huruf ha’ itu. Mulut, air liur dan tahi anjing saja yang dihukumi najis. Namun semua bagian badannya yang lain tidak dapat diqiyaskan dengan mulutnya. Oleh sebab itu, tempat yang dijilat anjing mestilah dibasuh sebanyak tujuh kali (Fathul Qadir jilid 1 halaman 64; Raddul Mukhtar oleh Ibnu Abidin jilid 1 halaman 192, 300; Al-Bada’i jilid 1 halaman 63), karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila seekor anjing meminum dari bejana salah orang dair kamu, maka basuhlah bejana itu sebanyak tujuh kali.”
Menurut riwayat Imam Ahmad dan Muslim, redaksinya adalah seperti berikut, "Bejana salah seorang dari kamu yang dijilat anjing menjadi bersih jika dibasuh sebanyak tujuh kali, dan basuhan yang pertama adalah dengan tanah.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Asy-Syaikhan dari Abu Hurairah (Nailul Authar jilid 1 halaman 36; Subulus Salam jilid 1 halaman 22)
Ulama madzhab Maliki (Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 83; Asy-Syarhush Shagir jilid 1 halaman 43) berkata bahwa, semua anjing -baik yang boleh digunakan untuk penjaga dan buruan ataupun yang tidak boleh, hanya jilatannya saja yang wajib dibasuh sebanyak tujuh kali secara ta'abbudi. Ini adalah menurut pendapat yang masyhur dari kalangan mereka. Sehingga, tidak wajib membasuh tujuh kali apabila anjing itu hanya memasukkan kakinya ataupun memasukkan lidahnya ke dalam sesuatu bejana air, tapi tanpa menggerakkannya ataupun tanpa terjatuh air liurnya.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 78; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 208; Al-Mughni jilid 1 halaman 52) berkata bahwa anjing, babi, dan keturunan yang lahir dari keduanva, termasuk kotoran dan keringatnya adalah najis ‘ain. Oleh sebab itu, apa saja yang disentuh oleh binatang itu hendaklah dibasuh sebanyak tujuh kali, salah satunya adalah dengan debu. Karena, hukum najisnya mulut anjing telah ditetapkan berdasarkan nash hadits yang telah lalu.
Meskipun mulut adalah anggota badan yang terbaik pada diri binatang itu karena ia sering membuka mulut dan mengeluarkan lidahnya, tetapi ia tetap dihukumi najis. Oleh sebab itu, bagian badannya yang lain juga dihukumi najis.
Dalam hadits lain tentang najis yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Hakim bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diundang ke rumah suatu kaum. Beliau memenuhi undangan itu. Kemudian beliau diundang juga ke rumah yang lain, lalu beliau tidak mau memenuhi undangan itu. Oleh sebab itu, beliau ditanya tentang tindakannya itu dan beliau menjawab, "Dalam rumah si fulan terdapat seekor anjing." Lalu beliau diberi tahu bahwa di dalam rumah si fulan juga terdapat seekor kucing. Beliau menjawab, "Sesungguhnya kucing tidaklah najis.” Atas dasar ini, maka dapat dipahami bahwa anjing itu adalah najis.

(b) Bangkai Binatang Air dan Binatang yang tidak Berdarah Mengalir

Semua ulama madzhab bersepakat bahwa bangkai binatang air seperti ikan dan binatang laut yang lain adalah bersih, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Dihalalkan untuk kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah; ikan dan belalang, hati dan limpa.” Hadis riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni dari Ibnu Umar, terdapat kelemahan di dalam sanadnya (Subulus Salam jilid 1 halaman 25; Nailul Authar jilid 8 halaman 150).
Berkaitan dengan laut, Rasul juga bersabda, "Airnya, (yaitu air laut) menyucikan dan bangkainya halal.”
            Para fuqaha berselisih pendapat mengenai bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir. Perbincangan mereka adalah sebagai berikut.
Ulama madzhab Hanafi (Fathul Qadir jilid 1 halaman 57; Al-Bada’i jilid 1 halaman 62 dan seterusnya; Muraqi Al-Falah halaman 25) menyatakan bahwa kematian seekor binatang yang hidup di dalam air, maka ia tidak menyebabkan air itu menjadi najis seperti ikan, katak, dan ketam yang mati dalam air. Tetapi, daging bangkai binatang yang berdarah mengalir dan juga kulitnya -sebelum disamak- adalah najis. Binatang apa saja yang darahnya tidak mengalir, jika terjatuh ke dalam air, maka ia tidak menyebabkan air itu menjadi najis seperti kepinding, lalat, kala jengking, dan yang seumpamanya. Karena, terdapat hadits yang berkaitan dengan masalah lalat, “Jika terjatuh seekor lalat ke dalam minuman salah orang dari kamu, maka hendaklah ia menenggelamkannya, kemudian membuangnya. Karena, sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, dan pada sayapnya yang satu lagi terdapat penawar.” Hadis riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah, Asy-Syafi’i berkata, “Sebab terjadi demikian adalah karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh supaya menenggelamkan sesuatu yang menyebabkan tempat dia mati itu menjadi najis. Karena, tindakan demikian dianggap sebagai sengaja merusaknya. Abu Dawud juga telah memasukkan satu penambahan melalui satu sanad yang baik, “Dan sesungguhnya ia berlindung dengan menggunakan sayapnya yang mempunyai racun.” (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 115). Oleh sebab itu, jelas bahwa bangkai binatang air dan bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir adalah suci menurut pendapat ulama madzhab Hanafi.
Begitulah juga menurut pendapat ulama madzhab Maliki (Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 74; Asy-Syarhush Shagir jilid 1 halaman 44, 45, 49; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 34) mengenai hukum bangkai binatang laut dan juga bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya, semuanya adalah bersih.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 78; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 47; Al-Mughni jilid 1 halaman 42; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 223) mengatakan bahwa bangkai ikan, belalang, dan seumpamanya yang dari jenis binatang laut adalah suci. Tetapi, bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir seperti lalat, kepinding, kumbang, kalajengking, lipas, dan semacamnya dihukumi najis menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i. Ia dihukumi bersih oleh ulama madzhab Hambali. Bangkai binatang laut yang hidup di darat seperti
katak, buaya, dan ular adalah najis menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i dan Hambali.
Walaupun begitu, ulama madzhab Syafi'i berkata bahwa bangkai ulat seperti bangkai ulat cuka ataupun ulat buah apel dihukumi najis. Tetapi, ia tidak menyebabkan cuka dan buah apel itu menjadi najis, karena amat sukar untuk mengelakkan dari ulat tersebut. Malahan ulat itu boleh dimakan bersama cuka ataupun bersama buah apel tersebut, sebab memisahkan di antara keduanya adalah sulit.
Ulama madzhab Hambali menyatakan bahwa binatang yang darahnya tidak mengalir. Apabila ia dilahirkan dari benda-benda yang bersih, maka ia dihukum bersih baik hidup ataupun mati. Tetapi jika ia dilahirkan dari benda-benda yang najis seperti ulat kebun dan juga lipas, maka ia dihukumi najis baik hidup ataupun mati. Karena kelahirannya ber asal dari benda najis, maka ia juga dihukumi najis seperti anak anjing dan juga babi yang dihukumi najis karena dilahirkan dari induk yang najis.
Kesimpulannya, bangkai binatang air dan juga bangkai binatang lainnya yang tidak mempunyai darah adalah bersih menurut pendapat fuqaha, kecuali ulama madzhab Syafi'i saja yang mengatakan bahwa binatang yang darahnya tidak mengalir adalah najis, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idaah ayat 3 yang artinya, "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai ...."
Pengertian bangkai menurut ulama madzhab Syafi'i ialah binatang yang hilang nyawanya tanpa sembelihan yang sah menurut syara' seperti sembelihan orang Majusi, orang yang sedang berihram, sembelihan dengan menggunakan tulang, dan begitu juga binatang yang tidak halal dimakan jika disembelih. Demikian juga pendapat ulama madzhab Maliki. Mereka mengatakan bahwa semua binatang yang disembelih di lehernya ataupun disembelih pada pangkal lehernya atau dengan cara melukainya, maka hukumnya adalah bersih, asalkan binatang-binatang tersebut adalah binatang yang tidak haram dimakan. Namun binatang yang tidak boleh dimakan seperti keledai, bighal, dan kuda, menurut pendapat mereka, sembelihannya adalah tidak memberi dampak apa pun terhadap diri binatang tersebut. Begitu juga dengan anjing dan babi, sembelihan tidak memberi dampak apa pun, oleh sebab itu bangkai binatang tersebut dihukumi najis.

(c) Bagian-Bagian Bangkai yang Keras yang tidak Mengandungi Darah

Bagian-bagian tersebut adalah seperti tanduk, tulang dan gigi, termasuk juga gading gajah, semua jenis kuku seperti kuku kuda, kuku kaki unta dan kuku kaki lembu, dan termasuk juga semua jenis bulu dan rambut, urat putih dan juga al-infihah (suatu benda yang keluar dari perut anak kambing yang berumur setahun, lalu diperas dan dimasukkan ke dalam susu dan ia mengembang seperti keju, ia dikenali dengan nama al-majinah dalam bahasa pasaran) yang keras;
semua ini dihukumi bersih menurut pendapat ulama madzhab Hanafi (Al-Bada’i jilid 1 halaman 63). Karena, semua benda tersebut bukanlah bangkai sebab bangkai binatang menurut pengertian syara' ialah nama bagi binatang yang telah keluar nyawanya tidak disebabkan oleh perbuatan manusia ataupun disebabkan oleh perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak syara'. Sedangkan benda-benda tersebut tidak mempunyai nyawa, maka oleh sebab itu ia tidak dihukum sebagai bangkai. Lagipula kalau diperhatikan najis bangkai-bangkai tersebut adalah karena adanya darah yang mengalir dan bahan-bahan lembab yang dihukumi najis. Padahal, darah dan bahan lembab itu tidak terdapat pada benda-benda tersebut.
Berdasarkan ini, maka bagian anggota binatang tersebut yang terpotong atau terputus pada masa hidupnya dihukumi bersih. Menurut Abu Hanifah, al-infihah yang cair dan juga susu adalah bersih berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah An-Nahl ayat 66 yang artinya, "Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orong yang meminumnya."
Abu Yusuf dan Muhammad ibnul Hasan Asy-Syaibani berkata -pendapat mereka adalah pendapat yang azdhar- bahwa kedua benda itu dihukumi najis karena susu itu meskipun bersih, tetapi disebabkan ia berdekatan dengan najis, maka ia menjadi najis.
Jumhur ulama selain ulama madzhab Hanafi (Asy-Syarhush Syaghir jilid 1 halaman 44-49 dan seterusnya; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 55; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 78; Al-Mughni jilid 1 halaman 52, 72, 74, 79) berkata semua bagian badan bangkai adalah najis, termasuk al-infihah dan juga susu kecuali -menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i- jika keduanya diambil dari anak yang sedang menyusu. Karena, setiap bagian bangkai adalah tempat keberadaan nyawa. Namun, ulama madzhab Hambali mengatakan bahwa bulu bangkai adalah bersih, karena terdapat hadits riwayat Ad-Daruquthni dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Minyak misk dari bangkai yang sudah disamak adalah tidak mengapa, begitu juga dengan bulu-bulunya apabila ia sudah dibasuh."
Tetapi, hadits ini adalah lemah. Ulama madzhab Maliki mengecualikan juga bulu. Mereka mengatakan bahwa hukumnya adalah bersih, karena ia tidak dihukumi sebagai bangkai. Keadaannya tidak sama dengan tulang di mana tulang adalah najis. Sebagian ulama madzhab Maliki memutuskan bahwa gading gajah adalah makruh tanzih. Begitu juga dengan batang bulu bagi makhluk yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Kesimpulannya adalah, para fuqaha selain ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa semua jenis bulu bangkai adalah suci.

(d) Kulit Bangkai

Ulama madzhab Maliki dan Hambali dalam pendapat yang terkuat di kalangan mereka (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 51; Al-Mughni jilid 1 halaman 66; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 76) mengatakan bahwa kulit bangkai adalah najis, baik sesudah disamak ataupun sebelumnya, karena ia adalah bagian dari bangkai. Oleh karena itu, ia menjadi haram berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idah ayat 3 yang artinya, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai ....”
Ia tidak akan berubah menjadi bersih meskipun disamak sama seperti daging yang tidak akan bersih meskipun disamak. Pendapat mereka didukung oleh beberapa hadits, di antaranya adalah, "Janganlah kamu manfaatkan bagian bangkai mana pun.” Hadis riwayat Abu Bakr Asy-Syafi’i melalui sanadnya dari Abuz Zubair dari Jabir, sanadnya adalah baik
Di antara dalil lainnya adalah surat Rasul kepada Fuhainah, "Aku telah memudahkan (membolehkan) penggunaan kulit-kulit bangkai bagi kamu. Tetapi apabila suratku ini sudah sampai, janganlah kamu gunakan bagian bangkai mana pun, meskipun itu kulit yang disamak ataupun urat putih.” Hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari Abdullah bin Ukaim. Imam Ahmad berkata, sanadnya adalah baik, tetapi apabila dikaji didapati bahwa hadits ini adalah dhaif karena sanadnya terputus dan tidak jelas matannya. Karena, kadang-kadang ia mempunyai arti yang umum, dan kadang-kadang berbentuk mengkhususkan, yaitu dengan disebutnya "sebulan ataupun dua bulan." At-Tirmidzi berkata pada akhir hadits, Ahmad tidak menerima hadits ini karena sanadnya yang tidak jelas. Sebagian ulama mencoba menyelaraskan antara hadits ini dengan hadits-hadits lain yang shahih berkaitan dengan pembersihan dengan menggunakan samak, bahwa hadits ini berkaitan dengan kulit-kulit yang belum disamak karena perkataam "al-ihab" adalah nama khas bagi kulit yang belum disamak.
Dalam riwayat lain, disebutkan, “Telah tiba surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kami sebulan ataupun dua bulan sebelum beliau wafat."
Mereka menganggap bahwa hadits ini menasakh hadits-hadits lain sebelumnya. Karena, hadits ini disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada akhir umurnya.
Sementara itu, ulama madzhab Maliki memahami hadits, "Kulit apabila disamak ia akan menjadi bersih." Dengan bersih menurut arti bahasa saja bukan bersih menurut syara'. Demikian juga hukumnya jika binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya disembelih, maka kulitnya adalah najis baik disamak ataupun tidak.
Ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i (Al-Bada’i jilid 1 halaman 85; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 82) berkata bahwa semua kulit yang najis karena menjadi bangkai atau karena sebab lainnya -seperti karena binatang tersebut termasuk binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya- maka kulitnya dapat menjadi bersih apabila disamak. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Kulit apa pun yang disamak, maka ia menjadi bersih.” Hadis ini diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu lbnu Abbas dan tbnu Umar, dari perawi pertama yang meriwayatkan adalah An-Nasa'i, At-Tirmidzi, dan lbnu Majah. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan (baik) dan shahih. Perawi kedua yang meriwayatkan adalah Ad-Daruquthni, dia mengatakan bahwa sanadnya adalah baik (Nashbur Rayah jilid 1, halaman 115 dan seterusnya).
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dengan redaksi, "Jika suatu kulit itu disamak, maka ia akan menjadi bersih."
Inilah pendapat yang rajih, karena hadits tersebut adalah shahih dan karena samakan memang dapat menghilangkan segala benda-benda yang lembab dan juga najis dari kulit yang disamak. Selain itu, pendapat ini juga didukung oleh sebuah hadits lain riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim dari lbnu Abbas, "Seorang hamba sahaya perempuan Maimunah diberi sedekah seekor kambing, lalu kambing itu mati. Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam welewatinya dan beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak mengambil kulitnya, menyamaknya, dan menggunakannya?” Mereka menjawab, “Ia telah menjadi bangkai.” Rasul menjawab, “Sesungguhnya yang diharamkan adalah memakannya.”
Dalam hadits yang lain Rasul bersabda, "la dapat dibersihkan dengan air dan daun pohon qarez."
Imam An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim: Penyamakan (kulit bangkai binatang) adalah boleh dengan apa saja yang dapat mengeringkan segala kotorannya, menghilangkan baunya yang busuk, dan dapat menjaganya dari menjadi kerusakan seperti dengan menggunakan syats (sejenis tanah), daun qaraz, kulit buah delima, ataupun bahan obat-obatan yang bersih. Penyamakan tidak dianggap dengan cara memanaskan kulit di bawah terik matahari, kecuali menurut pendapat ulama madzhab Hanafi saja. Begitu juga penyamakan tidak dianggap dengan cara menggunakan tanah, abu dan juga garam menurut pendapat yang ashah.
Dengan demikian, ulama madzhab Hanafi membolehkan proses penyamakan hakiki (yang sebenarnya) dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Mereka juga membolehkan penyamakan hukmi seperti menggunakan tanah dengan memanaskannya di bawah terik matahari. Karena, cara tersebut dapat mengeringkan kulit yang disamak, di samping juga dapat menghilangkan kotoran dan membersihkannya.

(e) Air Kencing Anak-anak Lelaki yang Belum Memakan Makanan Apa pun Kecuali Susu

Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 84; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 217; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 49) memutuskan bahwa apa saja yang terkena najis air kencing ataupun muntah anak lelaki yang belum memakan makanan apa pun (yaitu sebelum umurnya mencapai dua tahun) selain susu saja (ini tidak termasuk bahan yang disuap ke mulutnya ketika acara tahnik di saat dia baru dilahirkan seperti buah tamar) maka untuk membersihkannya adalah dengan cara memercikkan air ke tempat tersebut.
Tetapi, tempat yang terkena air kencing anak-anak perempuan atau anak-anak khunsa harus dibasuh dengan mengalirkan air ke tempat tersebut. Ini berdasarkan kepada pada hukum asal mengenai air kencing yang najis. Air kencing anak lelaki dikecualikan karena ia sering digendong. Alasan ini diambil dari hadits riwayat Asy-Syaikhan dari Ummu Qais binti Mihsan yang membawa anak lelakinya yang belum memakan makanan apa pun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Ummu Qais meletakkan anaknya itu di atas pangkuan Rasul, dan anak itu kemudian kencing di atasnya. Rasul kemudian meminta air dan memercikkan air tersebut tanpa membasuhnya. Dalam riwayat At-Tirmidzi -yang mengakui bahwa hadits itu adalah hasan-disebutkan, "Air kencing anak perempuan dibasuh dan air kencing anak lelaki diperciki (air).” Rujuk kedua hadis tersebut dalam kitab Nashbur Rayah jilid 1 halaman 126-127.
Perbedaan antara keduanya adalah karena anak-anak lelaki sering digendong, maka hukum air kencingnya diringankan. Di samping itu air kencing anak lelaki lebih lembut daripada air kencing anak perempuan yang menyebabkan ia tidak melekat di tempat kencingnya. Air kencing anak khunsa adalah sama hukumnya dengan air kencing anak perempuan.
Ini adalah pendapat yang rajih karena haditsnya shahih. Oleh sebab itu, ia diutamakan daripada hadits yang umum, yang menyuruh semua jenis air kencing dibasuh.
Ulama madzhab Hanafi dan Maliki (Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 77, 82; Asy-Syarhush Shagir jilid 1 halaman 73; Maraqi Al-Falah halaman 25; Al-Lubab Syarhul Kitab jilid 1 halaman 55; Fathul Qadir jilid 1 halaman 140; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 293) menegaskan bahwa air kencing ataupun muntah anak lelaki dan juga perempuan adalah najis dan semuanya wajib dibasuh. Hal ini berdasarkan keumuman maksud dari beberapa buah hadis yang menyuruh agar semua jenis air kencing dibasuh. Di antaranya adalah sebuah hadits, "Basuhlah air kencing, korena kebanyakan adzab kubur itu datang darinya.” Hadis ini diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yaitu Anas, Abu Hurairah, dan lbnu Abbas. Hadits riwayat Anas diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni. Ia adalah hadits mursal. Hadits riwayat Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak. Al-Hakim berkata, ia adalah hadits shahih menurut asy-Syaikhan, dan saya tidak mendapati kecacatan padanya. Namun, mereka berdua tidak meriwayatkannya. Adapun hadits riwayat Ibnu Abbas diriwayatkan oleh ath-Thabrani, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 128).
Namun, ulama madzhab Maliki berkata, "Air kencing ataupun tahi anak kecil yang terkena pakaian ataupun badan orang yang menyusuinya adalah dimaafkan, baik yang menyusui itu ibunya sendiri ataupun bukan. Dengan syarat, apabila dia memang berusaha menghindarkan diri dari najis tersebut ketika najis itu keluar. Jika dia tidak ada usaha untuk itu, maka tidak dimaafkan. Namun, dia disunnahkan membasuhnya jika memang kotorannya terlihat."

(f) Air Kencing dan Kotoran Binatang yang Boleh Dimakan Dagingnya

Ada dua kecenderungan di kalangan ahli fiqih mengenai masalah ini. Salah satunya mengatakan bahwa ia bersih, dan yang satu lagi mengatakan bahwa ia adalah najis. Kecenderungan
pertama didukung oleh ulama madzhab Maliki dan Hambali dan yang kedua didukung oleh ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i.
Ulama madzhab Maliki dan Hambali (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 47; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 77 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 33 dan seterusnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 220) mengatakan bahwa air kencing dan tahi binatang yang dagingnya boleh dimakan seperti unta, lembu, kambing, ayam, merpati dan semua jenis burung adalah bersih. Namun, ulama madzhab Maliki mengecualikan binatang yang biasa makan atau minum benda-benda najis, maka tahi binatang itu adalah najis. Binatang yang dagingnya makruh dimakan, maka air kencing serta tahinya juga makruh. Demikianlah kedudukan air kencing semua binatang lain, hukumnya adalah mengikut hukum dagingnya. Oleh sebab itu, air kencing binatang yang dagingnya haram dimakan adalah naiis, dan air kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan adalah bersih. Sedangkan air kencing binatang yang makruh dimakan dagingnya adalah makruh.
Dalil yang menunjukkan bersihnya air kencing dan kotoran itu ialah tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membenarkan sekumpulan kaum Urainah meminum air kencing dan susu unta. Hadits riwayat Asy-Syaikhan dan Ahmad dari Anas bin Malik: Sejumlah orang dari suku Ukl ataupun Urainah telah datang ke Madinah. Mereka merasa tidak suka tinggal di Madinah. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh mereka meminum air kencing unta jantan dan beliau menyuruh mereka keluar (ke tempat unta) dan meminum air kencing dan susunya (Nailul Authar, jilid 1, halaman 48). Juga, berdasarkan bolehnya seorang Muslim menunaikan shalat di dalam kandang kambing. Hal ini menunjukkan bahwa tahi dan air kencing binatang tersebut adalah bersih dan suci. Ibnu Taimiyah berkata di akhir hadits yang lalu, "'Telah tsabit dari Rasul bahwa beliau bersabda, “Shalatlah di dalam kandang kambing!" Diriwayatkan oleh lmam Ahmad dan At-Tirmidzi dan dia menghukuminya shahih, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Shalatlah di dalam kandang kambing dan janganlah kamu shalat di dalam kandang unta!' Ada yang mengatakan bahwa hikmah pelarangan tersebut adalah berdasarkan kepada perasaan jijik terhadap apa yang ada di dalam kandang unta, dan kemungkinan ia terasa jijik ketika sedang shalat dan hal ini dapat menyebabkan terputusnya shalat (Nailul Authar, jilid 2, halaman 137).
            Ulama Madzhab Syafi’i dan Hambali (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 79; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 46; Fathul Qadir jilid 1 halaman 142 dan seterusnya; Muraqi Al-Falah halaman 25 dan seterusnya; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 295-297) berkata bahwa air kencing, muntah dan juga tahi binatang ataupun manusia adalah najis, karena terdapat perintah dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam supaya air dicurahkan ke atas air kencing orang Arab Badui yang kencing dalam masjid. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Asy-Syaikhan dari Anas bin Malik dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 43 dan Nashbur Rayah jilid 1 halaman 212. Dan juga karena sabda Rasul dalam hadis yang berkaitan dengan dua buah kubur, “Adapun salah seorang dari keduanya ialah karena ia tidak membasuh air kencingnya.” Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dalam kitab Nashbur Rayah jilid 1 halaman 314.
            Begitu juga sabda Rasul dalam hadis yang lalu, “Basuhlah air kencing.” Dalam sebuah hadis yang lain diriwayatkan bahwa beliau pernah diberi dua kerikil dan tahi kering untuk digunakan dalam beristinja', lalu beliau mengambil dua kerikil saja dan menolak tahi yang kering. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "lni adalah riks. (riks adalah najis)."
Adapun mengenai muntah, meskipun ia tidak berubah, namun ia tetap merupakan sesuatu yang keluar dari usus. Oleh sebab itu, ia tetap najis, karena ia dianggap sebagai bagian dari sisa-sisa makanan yang sudah berubah yang sama keadaannya dengan air kencing. Begitu juga ludah yang naik dari usus, kecuali jika ia turun dari kepala ataupun dari bagian dalam leher dan dada, maka ia adalah bersih.
Mengenai perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Hadits Al-'Urnayain adalah untuk berobat, dan berobat dengan menggunakan bahan najis adalah dibolehkan ketika tidak ada bahan yang bersih yang dapat menggantikannya.
Ulama madzhab Hanafi ketika membuat uraian masalah ini, berpendapat bahwa air kencing binatang yang boleh dimakan dagingnya adalah najis mukhaffafah  (najis ringan). Oleh sebab itu, bagi orang yang seperempat pakaiannya terkena najis, maka dia boleh menunaikan shalat. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
Adapun tahi kuda dan juga tahi lembu adalah najis menurut pendapat Abu Hanifah, sama seperti tahi binatang yang dagingnya tidak boleh dimakan. Karena, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah membuang tahi kering dan bersabda, "Ini adalah rijs ataupun riks (najis)." Menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad ibnul Hasan Asy-Syaibani, ia adalah najis ringan. Oleh sebab itu, shalat dengan pakaian yang terkena najis ini tetap sah, kecuali jika kadarnya sangat banyak. Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, dan lagi ia merupakan kondisi darurat karena ia sering terdapat di jalan raya.
Pendapat Abu Yusuf dan Muhammad adalah yang terkuat, karena keadaan 'umum al-balwa (kesulitan umum yang amat sukar untuk dielakkan) yang banyak di jalan raya. Kadar banyak adalah sekadar yang dikatakan banyak dan berlebihan oleh banyak orang. Umpamanya adalah bagian yang terkena najis ialah seperempat bagian pakaian.
Berdasarkan penjelasan ini, maka air kencing binatang apa saja yang dagingnya boleh dimakan, tahi anjing, tahi, dan air liur binatang buas seperti harimau, beruang, dan juga tahi ayam, itik dan angsa adalah najis berat menurut kesepakatan seluruh ulama. Dimaafkan apabila banyaknya hanya sekadar luasnya satu koin dirham.
Air kencing kuda, air kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan dan tahi burung yang tidak boleh dimakan seperti elang, adalah termasuk kumpulan najis mukhaffafah  menurut pendapat yang ashah. Karena, semua itu dianggap sebagai satu kesulitan umum yang tidak dapat dielakkan. Ia dimaafkan jika kadarnya kurang dari seperempat pakaian ataupun badan. Maksudnya adalah kadar anggota yang terkena najis itu kadarnya tidak sampai seperempat anggota itu seperti anggota tangan dan kaki. Tetapi jika kadar yang terkena itu mencapai seperempat bagian (pakaian ataupun anggota badan) atau lebih, maka kadar itu sudah dianggap sebagai kadar yang banyak dan berlebihan.
Adapun tahi burung yang dagingnya boleh dimakan yang berak di udara seperti burung merpati, maka ia adalah bersih menurut pendapat ulama Madzhab Hanafi karena kejadian itu adalah lumrah ('umum al-Balwa); artinya burung-burung itu sering memenuhi jalan raya dan warung-warung. Imam Muhammad menganggap air kencing binatang yang boleh dimakan hukumnya adalah bersih, seperti kuda. Dia berkata, "Tahi binatang (yang dagingnya boleh dimakan) tidak menghalang sahnya shalat seseorang meskipun kadarnya banyak," Kata-kata ini diucapkan ketika beliau memasuki kota Ar-Ray bersama Khalifah dan melihat sendiri bagaimana kesulitan yang dihadapi banyak orang berkenaan dengan tahi-tahi binatang itu yang memenuhi jalan-raya dan juga warung-warung. Atas dasar ini, maka para ulama menjadikan tanah Bukhara sebagai asal qiyas bagi jalan-jalan lainnya (Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 295 dan seterusnya; Al-Lubab Syarhul Kitab jilid 1 halaman 56). Pendapat ini adalah sama dengan pendapat Imam Malik dan Ahmad.
Ulama madzhab Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 188) berkata, "Tahi burung meskipun banyak adalah dimaafkan karena amat sulit untuk menghindarkan diri darinya." Menurut saya pendapat yang sesuai untuk kita amalkan adalah pendapat yang termudah dalam perkara-perkara semacam ini, selama kadar najis itu memang tidak banyak.

(g) Air Mani

Air mani ialah air yang keluar ketika kenikmatan jimak memuncak. Apabila air mani tersebut adalah mani manusia, maka terdapat dua pendapat mengenai hukum najis atau bersihnya. Tetapi jika ia mani binatang, maka menurut pendapat ulama madzhab Hanafi dan Maliki ia adalah najis. Ulama madzhab Hambali juga berpendapat apabila mani itu dari binatang yang boleh dimakan, maka hukumnya adalah bersih. Menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Syafi'i, air mani binatang selain anjing dan babi dan gabungan dari salah satunya adalah bersih.
            Adapun air mani manusia, ulama madzhab Hanafi dan Maliki (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 287 dan seterusnya; Al-Lubab Syarhul Kitab jilid 1 halaman 55; Muraqil Falah halaman 26; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 79; ) berpendapat bahwa air mani itu adalah najis dan bekasnya wajib dibasuh. Namun, mereka mengatakan wajib dibasuh ketika manu itu masih basah. Apabila ia sudah kering di atas pakaian, maka cukup dikeruk saja.
Ulama madzhab Maliki secara mutlak mengatakan bahwa air mani itu najis walaupun ia dari binatang yang boleh dimakan. Karena, ia menjijikkan, kotor dan mudah berubah menjadi busuk. Lagipula asalnya adalah dari darah. Dan juga dengan alasan bahwa kemaafan yang diberikan kepada yang asal tidak harus diberikan kepada yang cabang. Sehingga meskipun kadar darah yang sedikit -yaitu yang tidak sampai ukuran satu koin dirham- adalah dimaafkan. Namun, air mani yang sedikit tidak dapat dimaafkan karena tidak semua yang ditetapkan kepada perkara asal harus ditetapkan juga kepada perkara-perkara cabangnya. Dalil mereka ialah hadits riwayat Aisyah, "Saya pernah menggosok-gosok (mengeruk) air mani yang melekat pada pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia sudah kering, dan saya membasuhnya ketika ia masih basah atau lembab." Hadis riwayat Ad-Daruquthni dalam kitab Sunan-nya dan riwayat Al-Bazzar dalam kitab musnadnya, dia berkata, "Tidak diketahui orang lain selain Abdullah ibnuz Zubair yang meriwayatkannya dari Aisyah." Adapun hadits, "Basuhlah ia jika ia masih lembab dan gosoklah ia jika sudah kering" adalah sebuah hadits gharib dan tidak dikenali (Nashbur Rayah, jilid 1, halaman 209). Hadits ini keseluruhannya tidak jelas, karena dalam sebagian matannya disebut perkataan basuh, dan dalam sebagian matan yang lain disebut gosok. Dalam matannya yang lain disebut, "Maka, terus shalatlah dengannya,"
Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah, "Bahwa dia pernah membasuh air mani yang terdapat pada pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesudah itu, Rasul keluar menunaikan shalat, dan saya masih dapat melihat bekas basah air pada pakaiannya itu.”
Lagipula, air mani itu seakan-akan hadats yang keluar dari badan. Ini menunjukkan bahwa air mani tersebut adalah najis.
Menurut pendapat yang azdhar dari kalangan ulama madzhab Syafi'i dan juga pendapat ulama Hambali (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 79-80; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 224; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 47), bahwa air mani adalah bersih, tetapi disunnahkan membasuhnya, ataupun mengeruknya jika ia adalah air mani lelaki. Ini adalah berdasarkan kepada hadis riwayat Aisyah, bahwa dia pernah menggosok-gosok air mani yang terdapat pada pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Rasul menunaikan shalat dengan pakaian itu (hadis riwayat al-jamaah, lafalnya, “Saya pernah menggosok-gosok air mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau pergi menunaikan shalat dengan memakai pakaian itu,” dalam Kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 53). Dalam riwayat yang lain, disebutkan, "Saya pernah menggosok-gosok air mani pada pakaian Rasul ketika beliau sedang shalat dengan pakaian itu.” Hadis riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban di dalam kedua kitab shahih mereka.
Ibnu Abbas berkata, "Usaplah ia dari badan atau pakaian kamu dengan rumput ataupun potongan kain, karena ia seperti tempat jahitan dan air ludah.” Hadis riwayat Sa’id, dan diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni secara marfu’.
Air mani adalah berbeda dengan air kencing dan air madzi, karena ia merupakan unsur awal kewujudan manusia. Imam Asy-Syaukani menjelaskan tentang najisnya air mani ini, "Sebenarnya air mani itu adalah najis yang dapat dibersihkan dengan salah satu cara yang telah ditetapkan,” (Nailul Authar jilid 1 halaman 55) yaitu dengan membasuh, mengusap, ataupun mengeruknya. Saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa air mani adalah bersih, agar kita tidak terpaksa mengatakan bahwa asal usul manusia itu najis, di samping pendapat ini juga akan memberi kemudahan kepada manusia. Namun begitu, menghilangkan bekasnya adalah sunnah karena mematuhi sunnah Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun, bersihnya air mani itu, apabila memang tidak didahului dengan keluarnya air madzi yang biasanya keluar ketika memuncaknya nafsu. Dan hendaklah sebelum keluarnya mani kemaluan tersebut dibasuh dengan air (jika keluar kencing). Tetapi jika bekas air kencing masih ada pada kemaluan karena air kencing itu dikeringkan dengan kertas seperti yang sering berlaku di kalangan kebanyakan orang sekarang ini, maka air mani akan menjadi mutanajjis karena bercampur dengan air kencing yang telah dikeringkan itu. Oleh sebab itu, hendaklah seseorang mengkhususkan pakaian tertentu untuk berjimak supaya dapat terhindar dari perbedaan pendapat.

(h) Air yang Keluar karena Luka (Sakit)

Ulama madzhab Hanafi dan Maliki (Al-Bada’i jilid 1 halaman 60; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 294; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 56 dan seterusnya; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 55; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 33) menganggap benda-benda berikut adalah najis, yaitu al-qaih (yaitu nanah yang kental yang keluar dari bisul), ash-shadiid (yaitu air jernih yang berasal dari nanah yang bercampur dengan darah), dan air kudis (nanah putih), yaitu air yang mengalir keluar dari luka seperti karena terkena api, penyakit kurap, kudis, ataupun penyakit-penyakit lainnya Namun, al-qaih dan ash-shadiid yang sedikit adalah dimaafkan sama seperti darah yang sedikit.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 219; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 79, 193-194; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 47) sependapat dengan ulama lain tentang najisnya al-qaih dan ash-shadiid. Namun, ulama madzhab Hambali memutuskan bahwa darah yang sedikit dan apa saja yang bersumber darinya, seperti al-qaih, ash-shadiid, dan air kudis, adalah dimaafkan jika ia tidak jatuh ke dalam cairan dan makanan. Karena, biasanya orang sering mengalami hal itu. Lagipula, amat sulit untuk mengelakkan diri dari hal ini, sama seperti masalah bekas yang masih tersisa dari istijmar (istinja' dengan menggunakan batu). Adapun cairan dan makanan yang terkena najis-najis tersebut, maka ia tidak dimaafkan.
Kadar sedikit yang dimaafkan ialah kadar yang tidak membatalkan wudhu, yaitu kadar yang tidak dirasakan jijik oleh seseorang. Al-Qaih dan yang seumpamanya lebih utama dimaafkan jika dibanding dengan darah. Najis yang dimaafkan yang keluar dari binatang yang bersih ataupun manusia, hendaklah jenis yang memang tidak dapat dihindari. Namun apabila masih ada jalan untuk menghindar darinya, maka ia tidak diberi kemaafan.
Menurut pendapat yang terkuat dari kalangan ulama Madzhab Syafi'i, benda-benda berikut adalah bersih: darah jerawat bintik-bintik kecil, nyamuk, tahi lalat, air kudis, kurap air, luka bakar ataupun tempat yang melembung (bengkak) yang mengeluarkan bau ataupun yang tidak mengeluarkan bau (menurut pendapat yang kuat) dan juga bekas bekaman baik kecil ataupun besar. Darah orang lain yang sedikit, yaitu darah manusia yang telah terpisah dari badannya kemudian kembali mengenainya lagi, adalah dimaafkan menurut pendapat yang azdhar.

(i) Mayat Manusia dan Air yang Mengalir dari Mulut Orang yang Tidur

Kita hanya mengetahui dua pendapat saja mengenai hukum mayat manusia. Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi (Fathul Qadir jilid 1 halaman 72; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 44; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 44; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 222; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 47), mayat manusia adalah najis berdasarkan fatwa sebagian sahabat. Di antara mereka adalah Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair yang menyamakan hukumnya seperti bangkai-bangkai lainnya.
Menurut pendapat jumhur ulama, ia adalah suci karena sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Sesungguhnya orang Islam tidak akan menjadi najis."
Sebagaimana yang ditegaskan oleh ulama madzhab Syafi'i dan Hambali (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 79; Kasysysaful Qina’ jilid 1 halaman 220), air yang mengalir keluar dari mulut orang yang sedang tidur semasa tidurnya adalah bersih. Namun, ulama madzhab Syafi'i dan Maliki berkata, jika ia keluar langsung dari usus seseorang seperti ia keluar dalam keadaan berbau busuk
dan berwarna kuning, maka ia dihukumi najis sama seperti hukum air ludah yang keluar dari usus. Tetapi jika ia keluar dari tempat lain selain usus ataupun diragui apakah ia keluar dari usus ataupun tidak maka ia dihukumi bersih.
Ulama madzhab Maliki (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 48) menganggap bahwa al-qalas, yaitu air yang didorong keluar oleh usus seseorang jika usus sudah penuh, adalah suci, apabila memang ia belum menyamai salah satu dari sifat-sifat tahi.

b. Jenis Najis yang Haqiqi

7. Pembagian Najis Menurut Ulama Hanafi

Pembagian najis menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, yaitu sebagai berikut.

a) Najis Mughallazhah dan Mukhaffafah

Menurut Kitab Al-I’anah bi Hamisy Fath Al-Qadir jilid 1 halaman 140-144, Kitab Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 293-297 dan Kitab Al-Lubab jilid 1 halaman 55 menyatakan tentang najis mughallazhah dan mukhaffafah .
Najis mughallazhah (berat) ialah najis yang hukumnya ditetapkan melalui dalil qath'i, (yaitu dalil yang jelas dari Al-Qur'an dan Sunnah Al-Mutawatirah) seperti darah yang mengalir; tahi, air kencing binatang yang dagingnya tidak boleh dimakan, meskipun binatang itu masih kecil dan belum memakan makanan apa pun, arak, tahi burung yang tidak berak di udara seperti ayam, itik dan angsa, daging bangkai dan kulitnya, tahi anjing tahi binatang buas dan air liurnya, muntah yang memenuhi mulut, dan apa saja yang membatalkan wudhu yang keluar dari badan manusia seperti tahi, air mani, air madzi, dan juga darah yang mengalir. Adapun minuman selain arak, maka menurut zahir riwayat, hukumnya adalah najis berat. Tetapi jika berdasarkan kias pendapat Abu Yusuf dan Muhammad ibnul Hasan Asy-Syaibani, maka ia dianggap sebagai najis ringan. Terjadinya hal ini adalah disebabkan terdapat pertentangan pendapat mengenainya di kalangan para ulama (Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 295)
Najis-najis tersebut dimaafkan dalam shalat jika kadarnya hanya sebesar ukuran koin dirham ataupun kurang dari kadar itu (yaitu ukuran satu dirham besar untuk kadar timbangan, dan untuk kadar ukuran luas maka ia adalah sekadar lebar telapak tangan menurut pendapat yang shahih). Karena, kadar sedikit menyebabkannya sulit untuk dihindari. Kadar minimal dirham ini diukur sebesar ukuran tempat istinja'. Tetapi jika najis-najis tersebut melebihi kadar satu dirham, maka tidak boleh shalat dengan jumlah najis tersebut.
Najis mukhaffafah  (ringan) adalah najis yang hukumnya ditetapkan melalui dalil yang tidak qath'i, seperti air kencing binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya seperti kuda dan seperti tahi unggas yang tidak boleh dimakan dagingnya. Adapun tahi unta, kambing tahi kuda, bighal, himar dan tahi lembu, semuanya adalah najis mughallazhah menurut pendapat Abu Hanifah. Adapun Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani berkata, semuanya adalah najis mukhaffafah , dan pendapat mereka berdua adalah pendapat yang azdhar. Karena, keadaan seperti itu telah menjadi kesulitan umum ('umum al-balwa) di jalan raya yang sukar dihindari. Sementara itu Muhammad akhirnya, menganggapnya bersih, dan dia berkata, "Tidak menjadi halangan meskipun ia jijik ketika dipandang.” Pada zaman kita ini, jalan raya sering dipenuhi dengan najis, maka najis itu dihukumi sebagai najis mukhaffafah .
Najis mukhaffafah  dimaafkan dalam shalat jika kadar yang mengenai pakaian itu sekadar seperempat saja, ataupun sekadar seperempat anggota seperti apabila terkena najis pada tangan dan kaki jika yang terkena itu adalah anggota badan. Kadar ini dipertimbangkan untuk kemudahan banyak orang, terutama bagi orang awam yang tidak mempunyai pendapat yang dipegangi.

b) Najis yang Padat dan Najis yang Cair

Najis yang padat ialah seperti bangkai dan  tahi. Adapun najis yang cair ialah seperti air kencing, darah yang mengalir, dan air madzi.

c) Najis yang Dapat Dilihat dan Najis yang tidak Dapat Dilihat

Menurut Kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 145, Kitab Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 303-307, Kitab Al-Lubab jilid 1 halaman 57 dan Kitab Muraqil Falah halaman 26 menyatakan tentang najis yang dapat dilihat dan najis yang tidak dapat dilihat.
Najis yang dapat dilihat ialah najis yang dapat dilihat dengan mata ketika ia sudah kering,
seperti tahi dan darah. Untuk membersihkan najis yang dapat dilihat ini, dapat dilakukan dengan cara menghilangkan dan membersihkan benda najis itu, meskipun dengan sekali basuhan saja. Ini menurut pendapat yang shahih karena najis tersebut telah mengambil tempat dan ada bendanya. Oleh sebab itu, untuk menghilangkannya adalah dengan cara menghilangkan benda tersebut.
Najis yang tidak dapat dilihat ialah najis yang tidak dapat dilihat oleh mata ketika dia sesudah kering, seperti air kencing dan seumpamanya. Dengan kata lain, ia adalah najis yang zatnya tidak dapat dilihat oleh pandangan mata. Untuk membersihkannya, hendaklah najis itu dibasuh hingga muncul dugaan kuat (zhan) pada diri pembasuh, bahwa tempat yang dibasuhnya itu sudah bersih. Kadar yang dapat menimbulkan zhan adalah tiga kali basuhan, karena mengulangi basuhan itu perlu untuk menghilangkan najis. Jika tidak dapat dipastikan mengenai hilangnya najis tersebut, maka untuk menentukan hilangnya najis itu hendaklah disandarkan kepada munculnya sangkaan kuat, sama seperti ijtihad ketika menentukan arah qiblat. Setiap kali membasuh hendaklah basuhan itu diperah. Ini menurut pendapat yang zahir, karena dengan cara ini maka najis itu akan dikeluarkan.

2. Jenis Najis Menurut Pendapat Ulama Selain Ulama Madzhab Hanafi

Pembagian yang ada di kalangan ulama Hanafiyah juga terkenal di kalangan ulama selain ulama madzhab Hanafi. Ulama madzhab Maliki menambah satu pembagian lain, yaitu najis yang disepakati najisnya dalam madzhab dan satu lagi ialah najis yang dipertikaikan najisnya dalam madzhab (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 34).
Najis-najis yang disetujui hukum najisnya ada delapan belas, yaitu air kencing manusia dewasa, tahinya, air madzi, air wadi, daging bangkai, anjing dan babi dan tulang keduanya, kulit babi, kulit bangkai (binatang selain anjing dan babi) yang belum lagi disamak, bagian anggota yang terpisah dari binatang yang masih hidup semasa hidupnya, kecuali bulu dan apa saja yang seumpamanya, susu babi, bahan cair yang memabukkan, air kencing binatang yang dilarang memakannya, tahinya, air mani, darah, dan juga nanah yang banyak.
Adapun najis-najis yang diperselisihkan hukum najisnya dalam madzhab Maliki ada delapan belas, yaitu air kencing anak-anak yang belum memakan makanan apapun, air kencing binatang yang makruh dimakan, kulit bangkai binatang yang sudah disamak, kulit binatang yang disembelih dari jenis binatang yang haram dimakan dagingnya, tulangnya, debu bangkainya, gading gajah, darah ikan paus, (darah) lalat, kadar yang sedikit dari darah haid, kadar yang sedikit dari darah yang bercampur dengan nanah, air liur anjing, susu binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya selain babi, susu yang bercampur najis, keringat yang bercampur najis, bulu babi, dan juga arak yang sudah berubah menjadi cuka.
Konsekuensi dari pembagian-pembagian ini akan jelas kelihatan dalam pembahasan mengenai cara membersihkannya dan mengenai ukuran najis yang dimaafkan.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)