BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


Definisi Mengusap Khuf dan Dasar Pensyariatan

Mengusap khuf merupakan pengganti untuk membasuh kedua kaki dalam berwudhu. Dari segi bahasa, khuf berarti'menggerakkan tangan di atas sesuatu. Sedangkan dari segi syara', khuf berarti menyentuh khuf yang tertentu dan di tempat tertentu, dengan tangan yang dibasahi dengan air dan dilakukan pada waktu yang tertentu.
Adapun khuf dari segi syara' bermakna 'pakaian kulit atau sejenisnya yang menutupi dua mata kaki ke atas. Bagian tertentu yang perlu diusap adalah bagian luar kedua khuf saja, bukan bagian dalamnya. Lama waktunya adalah sehari semalam bagi yang bermukim dan tiga hari tigamalam bagi mereka yang musafir (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 240 dan seterusnya).
Ulama madzhab Maliki tidak memberikan batasan waktu untuk mengusap khuf ini seperti yang akan diterangkan nanti. Begitu juga dengan pendapat golongan Imamiyah, mereka tidak menentukan batas waktu mengusap sehari ataupun tiga hari.

Kedudukan Mengusap Khuf

Mengusap khuf disyariatkan sebagai satu rukhshah (keringanan). Menurut pandangan keempat madzhab fiqih, ia dibolehkan baik pada waktu musafir ataupun tidah bagi lelaki ataupun perempuan (Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 17; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 38; Muraqil Falah halaman 21).
Keringanan ini adalah satu kemudahan untuk kaum Muslimin, terutama pada musim dingin, dalam perjalanan, dan bagi mereka yang sentiasa dalam tugas seperti tentara, polisi, penuntut ilmu, dan sebagainya.
Dalil yang membolehkan mengusap khuf adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang terdapat dalam kumpulan hadits, diantaranya adalah: pertama, hadits Ali bin Abi Talib yang menyebut, "Kalaulah agama itu semata-mata dengan pikiran, maka tentulah bagian bawah khuf itu lebih sesuai untuk diusap daripada bagian atasnya. Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas khuf nya." Dia juga menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan tiga hari tiga malam bagi mereka yang musafir, serta sehari semalam bagi mereka yang bermukim. Hadis pertama diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ad-Daruquthni dengan isnad yang hasan. Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini adalah shahih. Hadis kedua diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah (Subulus Salam jilid 1 halaman 58-60; Nailul Authar jilid 1 halaman 184).
Kedua, hadits Al-Mughirah bin Syu'bah, dia berkata,  Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,737 lalu Rasul ingin mengambil wudhu. Aku tertunduk untuk membuka kedua khuf Rasul, tetapi Rasul bersabda, 'Biarkan ia, karena aku memasukkan kedua kakiku dalam keadaan suci,' lalu Rasul mengusap di atas keduanya.” Maksudnya adalah bersama dalam bepergian seperti yang diterangkan oleh Al-Bukhari. Menurut Imam Malik dan Abu Dawud, musafir ketika peperangan Tabuk. Muttafaqun ‘alaihi (Subulus Salam jilid 1 halaman 57; Nailul Authar jilid 1 halaman 180).
Ketiga, hadits Shafwan bin Assal, "Kami diperintahkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam supaya mengusap kedua khuf. Apabila kami memakainya dalam keadaan suci, untuk tempo tiga hari sewaktu kami musafir dan sehari semalam pada waktu kami mukim. Kami tidak perlu membuka dengan sebab membuang air besar ataupun buang air kecil, hanya kami perlu membuka disebabkan karena junub.” Riwayat Ahmad, Ibnu Khuzaimah, An-Nasa’i, At-Tirmidzi dan dihukumi shahih oleh At-Tirmidzi serta Ibnu Khuzaimah. Diriwayatkan juga oleh Asy-Syafi’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Al-Bukhari mengatakan bahwa hadis ini hasan (Nailul Authar jilid 1 halaman 181; Subulus Salam jilid 1 halaman 59).
Keempat, hadits Jarir, beliau telah buang air kecil lalu berwudhu dan mengusap kedua khuf nya. Beliau ditegur, "Mengapa engkau lakukan demikian?" Dia menjawab, "Ya, aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah membuang air kecil, mengambil wudhu dan mengusap kedua khuf -nya." Muttafaqun ‘alaihi.
Sebagaimana diketahui, Jabir telah memeluk Islam setelah turunnya Surah Al-Maidah yang di dalamnya terdapat ayat tentang wudhu.
Dalam kitab Syarh Muslim, lmam An-Nawawi telah menyatakan masalah mengusap khuf ini yang diriwayatkan oleh sahabat yang sangat banyak. Segolongan penghafal hadits (al-hafizh) telah menegaskan bahwa mengusap khuf ini telah disyariatkan secara mutawatir. Sebagian ahli hadits telah mengumpulkan sahabat yang meriwayatkannya dan terdapat lebih dari delapan puluh
orang sahabat, termasuk sepuluh orang sahabat yang telah dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad iuga mengatakan di antaranya terdapat empat puluh hadits yang diriwayatkan oleh sahabat secara marfu'. Al-Hasan juga mengatakan, "Terdapat tujuh
puluh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah menceritakan kepadaku, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengusap kedua khuf -nya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah.
Hukum boleh mengusap khuf ini adalah menjadi pegangan Amirul Mu'minin Ali, Sa'ad bin Abi Waqqash, Bilal, Hudzaifah, Buraidah, Khuzaimah bin Tsabit, Salman, Jarir Al-Bajili, dan lain-lain.
Golongan Syiah Imamiyah dan Zaidiyah serta kaum Khawarij menolak hukum boleh yang ditetapkan pada mengusap khuf (Nailul Authar jilid 1 halaman 176-178; Ath-Tusi, kitab Al-Khilaf fil Fiqh jilid 1 halaman 60-61; Muhammad bin Yusuf At-Talaiyisy, Syamil Al-Ashl wal Far’ jilid 1 halaman 211; Subulus Salam jilid 1 halaman 57 dan seterusnya).
Dengan kata yang lebih tepat, golongan Imamiyah tidak membolehkan mengusap khuf ini dengan kehendaknya sendiri. Akan tetapi, mereka membenarkan dalam keadaan darurat dan dalam keadaan takut serta mempertahankan diri. Sedangkan golongan Khawarij tetap tidak membenarkannya, walaupun dalam keadaan darurat.
Mereka mengemukakan dalil-dalil berikut untuk pendapat mereka. Semua dalil yang dikemukakan itu tidak terlepas dari perdebatan, bahkan merupakan dalil yang sangat lemah. Beberapa dalil tersebut adalah:
Pertama, ia telah di-nasakh dengan ayat wudhu dalam Surah Al-Maa'idah yang tidak menyebut sedikit pun tentang mengusap khuf. Allah Ta’ala hanya menyebutkan, "Basuhlah kaki kamu hingga mata kaki." Ayat ini telah menetapkan bahwa kedua
belah kaki hendaklah dibasuh dengan air. Ali berkata, "Ayat Al-Qur'an lebih mengatasi dari mengusap khuf." Sedangkan Ibnu Abbas, juga mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengusap khuf  setelah turunnya Surah Al-Maa'idah.
Kenyataan ini ditolak karena ulama telah bersepakat mengatakan bahwa wudhu telah ditetapkan sebelum turunnya Surah Al-Maa'idah. Oleh sebab itu, sekiranya hukum mengusap khuf ini juga disyariatkan sebelum diturunkannya ayat tersebut, maka kedatangan ayat yang menyatakan tentang wajib membasuh kaki ataupun wajib mengusapnya (menurut pendapat golongan Imamiyah) tanpa menyebut sedikit pun tentang mengusap khuf , bukanlah me-nasakh hukum mengusap khuf. Jika hukum mengusap khuf ini tidak ditetapkan sebelum ayat berkenaan diturunkan, maka tentunya tidak berlaku nasakh sama sekali. Selain itu, perawi hadits yang telah disebutkan baru memeluk Islam setelah turunnya ayat dalam Surah Al-Maa'idah, dan dia telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap khuf -nya. Dalam masalah nasakh ini, disyaratkan yang menjadi nasikh hendaklah sesuatu dalil yang datang kemudian.
Dapat dikesimpulan bahwa ayat wudhu telah diturunkan dalam masa peperangan Al-Muraysi. Sedangkan amalan mengusap khuf yangdilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berlaku pada waktu peperangan Tabuk. Peperangan Al-Mirasi atau ghazwah Bani Musthaliq terjadi pada tahun enam Hijriyah, sedangkan peperangan Tabuk terjadi pada tahun sembilan hijrah. Bagaimanakah sesuatu yang lebih dahulu dapat me-nasakh sesuatu yang datang kemudian?
Tentang kenyataan Ali yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, maka ia adalah munqathi'. Begitu juga yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Apalagi riwayat ini terdapat pertentangan dengan kenyataan yang ditetapkan dari mereka, maka hal tersebut menunjukkan pendirian mereka yang membolehkan mengusap khuf. Kedua hadits mereka ini bertentangan dengan hadits yang lebih shahih, yaitu hadits riwayat Jarir Al-Bajali.
Kedua, semua hadits yang menyebut tentang mengusap khuf telah di-nasakh dengan ayat dalam Surah Al-Maa'idah yang menjelaskan tentang wudhu. Ayat tersebut adalah umum dan mutlak meliputi semua keadaan baik itu pada waktu memakai khuf ataupun tidak. Dengan demikian, menjadikan semua hadits yang berkaitan dengan mengusap khuf itu sebagai pen-takhshish ataupun pen-taqyid kepada umum atau mutlak yang ada pada ayat tersebut. Dengan demikian, maka nasakh tidak berlaku pada perkara ini. Semua hadits yang berkaitan dengan mengusap khuf adalah mutawatir, sebagaimana yang telah dijelaskan. Dengan demikian, ia sah untuk berperan sebagai pen-takhshish menurut pendapat semua ulama. Dengan kata lain, firman Allah adalah mutlak dikaitkan oleh hadits mengusap khuf ataupun ayat itu, lalu dikhususkan oleh hadits-hadits yang berkaitan.
Ketiga, dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan wudhu, juga tidak pernah disebut tentang mengusap khuf. Semua hanya menyebut tentang membasuh kaki saja, dan setelah membasuh kaki ditambah juga dengan kenyataan bahwa "Allah tidak akan menerima shalat tanpanya." Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, "Neraka Wail (hanya diperuntukkan) bagi tumit-tumit (yang tidak terkena air wudhu)."
Secara keseluruhan, apa yang dapat dipahami dari hadits-hadits tersebut adalah petunjuk supaya membasuh kedua kaki tanpa suatu ketentuan yang menolak kebolehan cara lain. Seandainya hadits tersebut hanya menunjukkan tentang membasuh saja, sudah tentu ia dikhususkan oleh hadits-hadits mengusap khuf yang mutow atir. Tentang ungkapan, “Allah tidak menerima shalat tanpanya," ia tidak ditetapkan secara ketetapan yang dapat diterima. Tentang hadits, "Neraka (hanya diperuntukkan) bagi tumit-tumit (yang tidak terkena air wudhu)," itu pula merupakan ancaman terhadap mereka yang hanya mengusap kedua kakinya tanpa membasuhnya. Ia tidak berkaitan dengan mengusap kedua khuf. Hadits tersebut tidak meliputi mengusap khuf, karena orang yang mengusap khuf tidak membasuh atau mengusap ke seluruh kakinya, bukan hanya tidak membasuh tumit saja. Selain itu, semua hadits yang berkaitan mengusap khuf adalah hadits yang mengkhususkan ancaman bagi mereka yang mengusap khuf.
Di samping itu, boleh juga disebut bahwa telah ditetapkan membaca kasrah pada perkataan
"Arjulikum" dalam Surah Al-Maa'idah, yaitu secara diatafkan kepada sesuatu yang diusap (kepala). Dengan adanya bacaan itu, maka ia dipakai juga untuk masalah mengusap khuf sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadits. Dengan sebab itu, dapat dikatakan mengusap khuf telah ditetapkan oleh hadits dan juga Kitab. Ini adalah satu pendekatan terbaik melalui cara bacaan tersebut.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)