BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


Darah yang keluar dari kemaluan wanita ada tiga macam yaitu darah haid, darah istihadhah,
dan darah nifas. Darah haid ialah darah yang keluar ketika seorang wanita dalam keadaan sehat. Adapun darah istihadhah, ialah darah yang keluar ketika seorang wanita itu dalam keadaan sakit,
dan ia bukanlah darah haid karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah 'irq (turun darah) bukan haid.” Riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Sementara itu, darah nifas adalah darah yang keluar bersama keluarnya bayi. Setiap darah yang keluar dari kemaluan perempuan, ada hukumnya. Dalam pasal ini, kita bagi kepada empat pembahasan.

1. DEFINISI HAID DAN MASANYA

A. Definisi Haid

Kata haid menurut bahasa artinya adalah (banjir/mengalir). Oleh sebab itu, apabila terjadi
banjir pada suatu lembah, maka orang Arab menyebutnya sebagai haadha al-waadi.
Menurut istilah syara', haid ialah darah yang keluar dari ujung rahim perempuan ketika dia dalam keadaan sehat, bukan semasa melahirkan bayi atau semasa sakit, dan darah tersebut keluar dalam masa yang tertentu. Kebiasaannya, warna darah haid adalah hitam, sangat panas, terasa sakit, dan berbau busuk.
Hukum berkenaan haid ini terdapat dalam Al-Qur'an, yaitu dalam firman Allah Ta’ala, "Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid ..." (Al-Baqarah: 222)
Terdapat sebuah hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang haid, "Ini adalah perkara yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala kepada anak-anak Adam yang perempuan."

B. Waktunya

Haid mulai keluar ketika perempuan mulai masuk umur baligh, yaitu ketika lebih kurang sembilan tahun qamariyah (satu tahun Qamariyah ialah 354 1/5, 1/6 hari) hingga masa terputusnya haid yang disebut dengan sin al-ya's (umur putus haid). Jika perempuan mendapati darah (keluar dari kemaluannya) sebelum umur sembilan tahun ataupun setelah dari "umur putus haid," maka darah itu bukanlah darah haid, tetapi darah penyakit atau turun darah.
Perempuan yang sudah mengalami haid, maka dia menjadi baligh dan mukallaf. Oleh sebab itu, dia dituntut menjalankan seluruh kewajiban syara' seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Adapun anak lelaki, ia menjadi baligh apabila ia bermimpi dan keluar mani, ataupun jika dia telah mencapai umur lima belas tahun.
Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai penentuan "umur putus haid," karena tidak ada nash yang jelas. Mereka hanya berpandu kepada kajian mengenai keadaan perempuan (Muraqil Falah halaman 23; Hasyiyah Ash-Shawi jilid 1 halaman 208; Tuhfatuth Thalibin halaman 33; Al-Hadramiyyah halaman 27; Al-Mughni jilid 1 halaman 363; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 279 dan seterusnya).
Ulama Hanafi, menurut pendapat yang difatwakan atau pendapat yang terpilih (al-mukhtaar), mengatakan bahwa "umur putus haid" ialah 55 tahun. Jika setelah umur itu perempuan masih melihat darah yang kuat, hitam, atau merah pekat maka darah itu dianggap haid. Jadi berdasarkan pendapat ini, maka pendapat madzhab yang zhahir menganggap jika darah itu tidak hitam dan tidak merah peka, maka darah itu adalah darah istihadhah.
Menurut ulama Maliki, "umur putus haid" ialah 70 tahun. Perempuan yang berumur antara 50 hingga 70 hendaklah ditanya, apabila mereka mengatakan darah yang keluar dari kelaminnya adalah darah haid atau mereka meraguinya, maka darah itu dihukumi sebagai darah haid. Begitu juga anak perempuan murahiqah (yang berumur antara 7 hingga 13 tahun), hendaklah ditanya juga.
Menurut ulama madzhab Syafi'i, tidak ada batasan akhir bagi "umur putus haid." Selama dia hidup, maka selama itulah dia mungkin mengalami haid. Tetapi menurut kebiasaan, umur putus haid ialah pada usia 62 tahun.
Ulama madzhab Hambali menetapkan "umur putus haid" adalah usia 52 tahun, Mereka berpegang pada kata-kata Aisyah, "Apabila perempuan mencapai umur 50 tahun, maka dia talah keluar dari batasan haid.” Disebutkan oleh Imam Ahmad.
Aisyah juga mengatakan, "Dia tidak mengandung lagi setelah mencapai umur 50 tahun." Riwayat Abu Ishaq Asy-Syalanji.

C. Apakah Perempuan yang Mengandung Bisa Mengalami Haid?

Dalam masalah ini, para ahli fiqih berbeda pendapat.
Ulama madzhab Maliki dan Syafi’i (menurut pendapat madzhab jadid yang azhhar; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 15; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 211; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 118) mengatakan bahwa perempuan yang mengandung kadang-kadang bisa didatangi haid, dan adakalanya didatangi darah hingga akhir masa mengandung. Namun biasanya, orang yang mengandung tidak didatangi haid. Dalil mereka ialah ayat yang disebut di atas yang bersifat mutlak dan juga hadits-hadits yang menunjukkan bahwa haid itu merupakan tabiat wanita. Apalagi, haid adalah darah yang biasanya keluar secara tiba-tiba. Oleh karena itu, orang hamil (mengandung) pun boleh kedatangan haid sama seperti orang yang tidak hamil.
Ulama madzhab Hanafi dan Hambali (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 263; Al-Mughni jilid 1 halaman 361 dan seterusnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 232) mengatakan bahwa perempuan yang mengandung tidak akan didatangi haid, meskipun darah itu keluar sebelum keluar sebagian besar bayi yang lahir. Ini menurut madzhab Hanafi. Dan menurut ulama madzhab Hambali, mereka mengatakan bahwa darah yang keluar pada dua atau tiga hari sebelum bersalin ialah darah nifas.
Dalil mereka adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mengenai tawanan (wanita) Awtas, "Janganlah disetubuhi wanitn yang mengandung sehingga dia melahirkan anakdan janganlah pula disetubuhi wanita yang tidak mengandung sehingga dia telah datang haid." Riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Syuraik Al-Qadhi.
Jadi, hadits ini menyatakan bahwa keluarnya darah haid merupakan tanda bersihnya rahim. Hal ini menunjukkan bahwa haid tidak akan dapat bersatu dengan kehamilan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengomentari Ibnu Umar, ketika dia menceraikan istrinya dalam keadaan haid, "Hendaklah dia menceraikannya dalam keadaan suci atau hamil.” Riwayat al-jama’ah, kecuali Imam Al-Bukhari dari Ibnu Umar (Nailul Authar jilid 4 halaman 221).   
Jadi, hadits ini menjelaskan bahwa hamil adalah tanda ketiadaan haid, sebagaimana hadits ini juga menjadikan suci sebagai tanda tiadanya haid. Lagipula, masa mengandung merupakan masa di mana pada kebiasaannya wanita tidak didatangi haid. Oleh karena itu, darah yang didapatinya semasa mengandung bukanlah darah haid. Dalam kasus ini, kedudukannya sama seperti orang yang sudah "putus" dari haid.
Berdasarkan pendapat ini, maka seseorang yang mengandung apabila keluar darah, maka dia tidak boleh meninggalkan shalat, karena ia adalah darah penyakit (fasad) bukan darah haid. Demikian juga dia tidak boleh meninggalkan puasa, i'tikaf, thawaf dan ibadah lainnya. Dia juga tidak boleh melarang suaminya menyetubuhinya karena ia tidak sedang haid. Wanita yang mengandung dan melihat darah keluar dari kemaluannya, maka ia disunnahkan mandi apabila darah itu berhenti. Ini adalah langkah untuk menghindar dari perbedaan pendapat, utamanya ulama yang mengatakan wajib mandi.

D. Warna Darah

Sebagaimana disepakati oleh seluruh ahli Fiqih (Fathul Qadir ma’a Hasyiyah Al-‘Inayah jilid 1 halaman 112; Al-Lubab jilid 1 halaman 47; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 207; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 113; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 112; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 246; Al-Bada’i jilid 1 halaman 39), darah haid yang keluar pada hari-hari biasa setiap bulan, ialah adakalanya hitam, merah, kuning, atau keruh (pertengahan antara hitam dengan putih). Darah yang berwarna kuning dan keruh apabila keluarnya setelah masa biasa keluar haid, maka ia tidak dianggap sebagai haid. Berhentinya haid dapat diketahui dengan adanya warna putih,
yaitu dengan cara perempuan berkenaan memasukkan kain yang bersih atau kapas ke dalam kemaluannya, untuk melihat apakah masih ada sisa darah atau tidak.
Pendapat ulama Hanafi juga mengatakan, bahwa warna darah haid ada enam yaitu hitam, merah, kuning, keruh, kehijauan, dan warna seperti tanah. Ini menurut pendapat yang ashah. Sewaktu haid jika dilihat ada darah dengan warna-warna tersebut, maka ia adalah darah haid sehingga ia mendapati warna putih, yang berarti darah haid sudah berhenti. Ini dapat diuji sendiri oleh perempuan yaitu dengan cara memasukkan kapas ke dalam kemaluannya, dan jika didapati berwarna putih, maka dia telah suci dari haid.
Kehijauan (khudhrah) adalah sejenis warna keruh. Darah ini keluar pada wanita yang makan makanan tertentu sehingga merusak warna darahnya. Orang tua yang sudah putus haid juga akan mendapati darah yang berwarna kehijauan.
Ulama madzhab Syafi'i menyusun daftar warna darah haid menurut kekuatannya. Mereka mengatakan bahwa warna darah haid ada lima yaitu (yang terkuat) hitam, merah, warna coklat (warna seperti tanah), kuning, darah keruh. Sifat darah haid ada empat, yang terkuat adalah kental dan busuk, kemudian busuh kemudian kental, kemudian tidak kental, dan tidak busuk.
Dalil yang menunjukkan bahwa warna-warna ini dianggap sebagai haid jika keluar pada masa datangnya haid ialah keumuman firman Allah Ta’ala, "Dan mereka menanyakan kepadamu
(Muhammad) tentang haid ...." (Al-Baqarah: 222)
Masalah ini juga terdapat dalam beberapa hadits. Di antaranya adalah kata Aisyah, "Perempuan dibagi kapas (yang dimasukkan ke dalam kemaluannya untuk menguji apakah masih ada darah atau tidak). Jika terdapat warna kuning dan keruh, maka itu adalah dari darah haid." Lalu Aisyah berkata lagi, "Tunggulah hingga engkau mendapati air putih," maksudnya ialah hingga suci dari haid. Riwayat Imam Malik.
Bukti yang mengatakan bahwa warna kuning dan keruh setelah masa haid tidak dianggap
haid ialah kata-kata Ummu Athiyah, "Kami tidak menganggap apa-apa terhadap darah berwarna kuning dan keruh setelah suci dari haid.” Riwayat Abu Dawud, Al-Bukhari (Al-Bukhari tidak menyebut kata ‘selepas suci’) dan juga Al-Hakim.

E. Masa Haid dan Suci

Darah tidak dianggap sebagai haid, kecuali apabila mempunyai warna-warna yang telah disebutkan di atas. Darah haid tersebut hendaklah didahului oleh sekurang-kurangnya masa suci yang paling minimal (yaitu lima belas hari menurut jumhur ahli fiqih). Dan ia hendaklah mencapai jumlah masa haid yang paling minimal. Namun, para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai masa ini (Fathul Qadir jilid 1 halaman 111; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 262; Al-Bada’i jilid 1 halaman 39; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 208 dan seterusnya; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 48 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 39 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 109; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 114; Al-Mughni jilid 1 halaman 308; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 233).
Darah yang keluar kurang dari masa minimal haid atau lebih dari masa maksimalnya, dianggap darah mustahadhah.
Ulama Hanafi berpendapat bahwa masa minimal haid ialah tiga hari tiga malam. Jika darah keluar pada masa kurang dari itu, maka ia bukanlah darah haid tetapi darah istihadhah.
Biasanya darah haid keluar selama lima hari, dan masa maksimalnya ialah sepuluh hari dan sepuluh malam. Jika darah keluar lebih dari masa itu, maka ia dianggap sebagai darah istihadhah.
Dalil mereka ialah hadits, "Masa minimal haid bagi seorang gadis dan janda ialah tiga hari, dan masa maksimalnya adalah sepuluh hari.”
Darah yang keluar lebih dari masa itu ialah darah istihadhah. Karena, penetapan yang telah dibuat oleh syara' menyebabkan hitungan selain darinya tidak dapat dianggap sama dengan apa yang telah ditetapkan syara'.
Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal haid, apabila dinisbatkan kepada hukum-hukum ibadah. Haid sekurang-kurangnya ialah satu tetesan. Darah itu dianggap sebagai haid dan hendaklah wanita tersebut mandi jika darah itu berhenti. Puasanya juga menjadi batal dan dia wajib mengqadha' puasa tersebut sebanyak hari yang ditinggalkan dalam masa haid. Adapun jika dihubungkan dengan masalah 'iddah dan pembuktian tidak hamil (istibraa), maka darah haid sekurang-kurangnya ialah satu hari atau separuh hari.
Masa maksimal haid berbeda bagi tiap wanita. Umumnya ia dibagi kepada empat kategori, yaitu perempuan yang baru mulai mengalami haid, perempuan yang sudah terbiasa haid, perempuan hamil, dan perempuan yang keadaannya bercampur. Perempuan yang baru mengalami haid masa maksimalnya adalah lima belas hari. Darah yang lebih dari masa itu dianggap darah penyakit. Perempuan yang biasa didatangi haid, masa maksimalnya ditambah tiga hari lagi melebihi masa biasa (al-'adah). Dan untuk menentukan masa biasa (al-'adah), cukup dengan mengamatinya ketika berlaku haid selagi ia tidak melebihi setengah bulan.
Perempuan hamil, sesudah dua bulan setelah mengandung masa haid yang paling maksimal baginya ialah dua puluh hari. Dan setelah enam bulan atau lebih, masa maksimalnya adalah tiga puluh hari.
Adapun yang dimaksud dengan perempuan yang bercampur -campur kondisinya ialah wanita yang mendapati haid selama sehari atau beberapa hari, dan mengalami suci satu hari atau beberapa hari, sehingga ia tidak mengalami masa suci secara sempurna. Dalam kasus seperti ini, maka masa-masa datangnya darah digabungkan dan dihitung sehingga mencukupi kadar masa yang maksimal, yaitu lima belas hari. Sedangkan masa-masa suci yang ada di tengah-tengahnya tidak perlu dihitung. Jika didapati darah keluar lebih dari masa maksimal yaitu lima belas hari, maka itu adalah darah istihadhah.
Pada setiap hari di mana tidak ada darah keluar, hendaklah dia mandi dengan anggapan bahwa masa sucinya telah sempurna. Dan pada setiap hari di mana dia melihat darah, maka itu adalah darah haid. Oleh karena itu, dia harus menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang sewaktu haid.
Ulama Syafi'i dan Hambali berpendapat, bahwa masa haid sekurang-kurangnya ialah satu hari satu malam, yaitu dua puluh empat jam dan darah tersebut keluar terus-menerus menurut kebiasaan. Yaitu kira-kira jika diletakkan kapas, maka kapas tersebut akan kotor dengan darah. Kuatnya darah haid yang keluar secara berterusan tidaklah menjadi syarat. Berdasarkan pendapat ini, maka darah haid tersebut pada zahirnya keluar secara terus-menerus, meskipun pada saat-saat tertentu berhenti. Tetapi, pada kenyataannya darah haid itu kewujudannya memang ada.
Ada atau tidaknya darah haid dapat diketahui dengan memasukkan kapas atau semacamnya
ke dalam kelamin perempuan dan didapati ia berlumuran darah. Jika seorang wanita itu melihat darah kurang dari satu hari satu malam, maka itu adalah darah istihadhah, bukan darah haid.
Adapun menurut kebiasaan (al-'adah) adalah enam atau tujuh hari. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Himnah binti Jahsh semasa beliau ditanya olehnya, "Engkau berada dalam keadaan haid menurut ilmu Allah Ta’ala, selama enam atau tujuh hari. Kemudian hendaklah kau mandi dan shalat selama dua puluh empat hari, serta malamnya atau dua puluh tiga malam, karena itu sudah cukup bagimu." Sambungan hadits itu ialah, " ... hendaknya kamu lakukan seperti itu setiap bulan, sebagaimana kebiasaan wanita didatangi haid. Mereka hendaklah menentukan masa haid dan masa sucinya." Hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa'i, Ahmad, At-Tirmidzi dan dia menghukuminya shahih. Al-Bukhari juga menganggapnya sebagai hadits hasan (Nailul Authar jilid 1 halaman 271).
Adapun masa haid, paling banyak adalah lima belas hari-lima belas malam. Jika darah itu keluar melebihi dari lima belas hari, maka itu ialah darah istihadhah.
Darah haid berbeda dengan darah istihadhah dari segi warna, kekentalan, dan baunya yang busuk. Dalil pendapat ini adalah berdasarkan penelitian (yaitu dengan mengajukan pertanyaan kepada kaum wanita dan mengkaji keadaan sebagian wanita dalam masa-masa tertentu) yang telah dilakukan oleh Imam asy-Syafi'i dan orang lain pada zamannya. Tindakan ini dilakukan karena tidak ada panduan yang pasti mengenai hal ini, baik dari prespektif bahasa (al-lughawi) ataupun syara'. Oleh karena itu, masalah ini dikembalikan kepada kebiasaan (adat), yaitu dengan cara penelitian. Jadi, dalam masalah ini dasar yang dipegang ialah al-'urf dan adat sama seperti kasus-kasus penetapan tentang penerimaan, pemilikan, dan perpisahan antara dua pihak yang bertransaksi dalam kasus transaksi.
Mereka menguatkan dalil mereka dengan kata-kata sahabat Ali, "Masa haid sekurang-kurangnya ialah satu hari satu malam. Adapun yang melebihi dari lima belas hari, adalah istihadhah."
Juga, kata-kata Atha', "Aku dapati ada wanita yang didatangi haid sehari dan ada yang lima belas hari."
Adapun kaidah yang digunakan oleh madzhab Syafi'i sebagaimana diterangkan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj adalah, "Wanita yang sudah umur haid jika melihat darah keluar dari kemaluannya, maka itu adalah darah haid, baik wanita itu sedang mengalami haid untuk pertama kalinya atau sudah biasa mengalami haid. Namun jika darah keluar kurang dari sehari semalam atau melebihi dari masa haid lebih lima belas hari), maka darah itu dianggap sebagai darah istihadhah, bukannya darah haid."

F. Masa Suci Minimal

Jumhur ulama selain ulama Hambali (Fathul Qadir jilid 1 halaman 121; Muraqil Falah halaman 24; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 209; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 48; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 109; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 116; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 39) berpendapat bahwa masa suci paling minimal (yang memisahkan antara dua haid) adalah lima belas hari. Karena, dalam setiap bulan pasti ada haid dan suci. Jika masa maksimal haid adalah lima belas hari, maka masa minimal suci pun demikian, yaitu lima belas hari. Tidak ada batasan masa maksimal bagi haid, karena ia dapat berterusan selama setahun ataupun dua tahun. Kadang-kadang seorang wanita tidak pernah didatangi haid sama sekali dan kadang-kadang didatangi sekali saja dalam masa setahun.
Menurut ulama madzhab Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 234), masa suci antara dua haid sekurang-kurangnya adalah tiga belas hari. Hal ini berdasarkan riwayat Imam Ahmad dari sahabat Ali bahwa seorang wanita yang telah dicerai suaminya datang menemui sahabat Ali dan mengaku bahwa dia didatangi haid dalam satu bulan sebanyak tiga kali. Lalu, Ali berkata kepada Qadhi Syuraih, "Putuskan fatwa berkenaan dengan kasusnya." Maka, Qadhi Syuraih pun berkata, "Jika dia dapat mendatangkan saksi dari kalangan keluarganya yang dapat dipercayai dari segi agama dan amanahnya, maka hendaklah wanita tersebut membawa saksi. Tetapi jika tidak, maka dia adalah pendusta." Lalu Ali mengatakan kata qalun, yaitu bahasa Romawi yang artinya 'bagus.' Kata sahabat Ali ini menunjukkan persetujuannya terhadap keputusan Qadhi Syuraih. Inilah qaul shahabi (perkataan sahabat) yang masyhur dan ternyata tidak ada orang yang menentangnya. Adanya tiga haid dalam satu bulan menjadi bukti bahwa tiga belas hari dapat diyakini sebagai masa suci yang sebenarnya. Hal ini berdasarkaan bahwa masa minimal haid adalah sehari semalam dan haid wanita ini adalah masa yang paling singkat.
Menurut kesepakatan seluruh ahli fiqih, tidak ada batasan maksimal untuk masa suci. Maksud masa suci ialah masa bersihnya seorang wanita dari darah haid dan nifas. Suci itu ada dua tanda, yaitu darah menjadi kering dan air putih lembut yang keluar pada akhir haid (al-quss ah al-baidha) (Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 52; Al-Qawanin Al-Mukhtar halaman 41).

G. Darah Berhenti Mengalir (an-naqa') di Tengah-tengah Masa Haid
           
Maksud dari an-naqa' adalah apabila seseorang wanita datang bulan (haid) kemudian untuk beberapa lama darah haidnya terputus, kemudian darah haidnya keluar lagi. Permasalahannya adalah, apakah masa an-naqa' di antara dua masa itu dianggap masa haid atau tidak.
Dalam masalah ini, ada dua pendapat ulama. Pertama, pendapat ulama Hanafi dan Syafi'i dan kedua pendapat ulama Maliki dan Hambali (Fathul Qadir jilid 1 halaman 112; Ad-Durrul Mukhtar & Hasyiyah Ibn Abidin jilid 1 halaman 267; Al-Lubab jilid 1 halaman 49; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 50; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 212; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 119; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 114; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 39; Al-Mughni jilid 1 halaman 359 dan seterusnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 246 dan seterusnya).
Kelompok pertama berpendapat bahwa masa darah berhenti mengalir (an-naqa) di tengah-tengah masa haid adalah dianggap haid. Jika didapati darah keluar satu hari kemudian hari berikutnya bersih (tidak keluar) -artinya jika diletakkan kapas ke dalam kemaluan kapasnya tidak berlumuran darah- dan pada hari berikutnya didapati darah keluar lagi, dan begitu seterusnya dalam masa haid menurut kebiasaan, maka keseluruhan masa-masa tersebut dianggap sebagai masa haid.
Pendapat kedua memakai kaidah talfiq, yaitu dengan mencampurkan masa keluarnya darah dengan masa keluarnya darah dan menganggap hari-hari suci (masa tidak keluar darah) sebagai masa suci. Oleh karena itu, jika seorang wanita yang haid mendapati keluar darah selama satu atau dua hari kemudian dia suci satu atau dua hari, maka hari-hari ketika darah keluar digabungkan (dan dianggap sebagai masa haid), sedangkan hari-hari lain yang tidak keluar darah dianggap masa suci. Semua ulama sepakat bahwa masa suci –yang berlangsung lima belas hari atau lebih- yang terjadi di antara dua masa keluarnya darah, adalah dianggap masa yang memisahkan di antara dua masa keluarnya darah haid. Darah yang keluar sebelum atau sesudah masa berhenti itu dianggap sebagai darah haid, jika memang ia mencapai masa minimal haid. Adapun pendapat ulama madzhab secara terperinci, adalah sebagai berikut.

(1) Madzhab Hanafi

Ulama muta'akhkhirin dalam madzhab ini mengeluarkan fatwa berdasarkan pendapat Abu Yusuf. Ini adalah pendapat yang lebih mudah, yaitu masa suci yang berlaku di antara dua masa keluarnya darah tidak dianggap sebagai pemisah, melainkan ia dianggap sama seperti masa keluarnya darah yang berterusan. Dengan syarat, keluarnya darah itu merangkumi dua pengujung masa suci tersebut. Oleh karena itu, boleh jadi haid bermula dengan suci dan berakhir dengan suci
juga. Kalaulah seseorang yang baru pertama kali datang haid mendapati darah hanya dalam satu hari, kemudian suci selama empat belas hari, kemudian keluar darah lagi selama satu hari, maka yang dikira haid ialah sepuluh hari yang pertama.
Kalau wanita yang sudah biasa haid atau yang pernah haid mendapati darah yang kurang dari masa biasanya, yaitu keluar darah satu hari kemudian sepuluh hari suci, kemudian keluar darah lagi selama satu hari, maka masa sepuluh hari tidak keluar darah dihukumi sebagai masa haid, jika memang itu masa biasanya dia haid. Jika tidak, maka harus diikutkan dengan masa yang biasanya dia datang haid.
Adapun masa suci -baik selama lima belas hari, kurang ataupun lebih- yang terjadi di dalam rentang masa empat puluh hari semasa nifas, maka hal itu tidak dianggap sebagai pemisah menurut pendapat Abu Hanifah. Inilah pendapat yang difatwakan. Abu Hanifah menganggap bahwa darah yang keluar dua ujung nifas itu sama dengan darah yang keluar secara berterusan.

(2) Madzhab Syafi’i

Menurut pendapat yang mu'tamad, masa bersih (masa terputus darah) di antara masa masa keluarnya darah haid -baik keluarnya darah haid itu sedikit ataupun banyak- dianggap sebagai masa haid. Dengan syarat, ia (haidnya) tidak melebihi lima belas hari, dan tidak kurang dari masa minimal haid, serta masa bersih (putus darah) itu merangkumi dua masa keluarnya darah haid.
Hal ini dinamakan pendapat as-sahb (menarik), karena kita menarik hukum masa haid kepada masa bersih (putus darah), sehingga kita jadikan semuanya sebagai masa haid.
Ada pendapat lain yang lemah, yang disebut sebagai pendapat al-laqth, yaitu masa bersih itu dianggap suci. Sebab jika darah yang keluar itu ialah darah haid, maka sewaktu bersih (putus darah) juga dihukumi suci. Disebut al-laqth (memungut), karena kita memungut waktu-waktu bersih itu dan menganggapnya sebagai waktu suci.
Menurut pendapat yang mu'tamad, masa bersih (an-naqa') yang terjadi di tengah-tengah masa nifas, dihukumi sebagai masa suci. Tetapi, masa nifas yang enam puluh hari tetap dihitung. Artinya, dari segi hitungan ia dianggap masa nifas, tetapi dari segi hukum ia tidak dianggap nifas.
Kesimpulannya adalah, masa bersih (masa terputus darah) yang terjadi di dalam masa haid dianggap sebagai haid. Tetapi bila terjadinya di dalam masa nifas, ia tidak dihukumi sebagai nifas. Namun, masa bersih itu tetap dihitung sebagai hari-hari nifas yang paling lama, yaitu enam puluh hari.

(3) Pendapat Madzhab Maliki yang Mu'tamad dan Pendapat Madzhab Hambali

Madzhab ini menganut metode talfiq, yaitu dengan cara menggabungkan hari-hari keluarnya darah dengan hari-hari keluarnya darah yang lain. Sedangkan masa suci yang terjadi di tengah-tengah masa haid, dianggap masa suci yang sebenarnya. Umpamanya jika keluar darah dalam satu hari, kemudian terputus satu hari atau lebih, tetapi masa putus itu tidak sampai setengah bulan (yaitu masa maksimal haid), maka hari keluarnya darah tersebut digabung dan dijumlah dengan hari keluarnya darah yang lain, lalu dianggap sebagai masa haid. Sedangkan masa bersih yang terjadi di antara hari-hari keluar darah, maka dihukumi suci.
Bagi wanita yang mengalami kejadian seperti ini (mulaffaqah), dia wajib mandi setiap kali darahnya berhenti. Dia juga hendaklah melakukan shalat, puasa, dan boleh disetubuhi. Hal ini karena dia dalam keadaan suci yang hakiki. Namun, ulama madzhab Hambali mengatakan wanita tersebut makruh disetubuhi pada masa tersebut.
Menurut ulama Hambali, keadaan seperti ini berlangsung secara terus-menerus, hingga dia melewati masa gabungan antara masa keluar darah dan masa bersih yang jumlahnya sama dengan masa maksimal haid. Contohnya adalah, seorang wanita mendapati satu hari keluar darah dan satu hari suci hingga delapan belas hari umpamanya. Maka, itu adalah darah istihadhah.
Pendapat ulama Maliki adalah wanita yang kali pertama baru mengalami haid dan wanita yang sudah biasa haid, hendaklah menggabungkan hari-hari keluar darah itu sebanyak setengah bulan, yaitu lima belas hari. Adapun wanita yang sudah biasa haid, dan pada kebiasaannya terjadi kurang dari setengah bulan, hendaklah dia menggabungkan hari-hari keluarnya darah itu sebanyak masa kebiasaannya dengan menambah tiga hari pada masa kebiasaannya yang paling lama, yaitu yang disebut hari-hari istizhar. Dan darah yang turun setelah itu, dianggap sebagai darah istihadhah bukan haid.




PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)