Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Darah yang keluar dari kemaluan wanita ada
tiga macam yaitu darah haid, darah istihadhah,
dan darah nifas. Darah haid ialah darah yang keluar
ketika seorang wanita dalam keadaan sehat. Adapun darah istihadhah, ialah darah
yang keluar ketika seorang wanita itu dalam keadaan sakit,
dan ia bukanlah darah haid karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah 'irq (turun darah) bukan haid.”
Riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Sementara itu, darah nifas adalah darah yang
keluar bersama keluarnya bayi. Setiap darah yang keluar dari kemaluan
perempuan, ada hukumnya. Dalam pasal ini, kita bagi kepada empat pembahasan.
1. DEFINISI HAID DAN MASANYA
A. Definisi Haid
Kata haid menurut bahasa artinya adalah (banjir/mengalir).
Oleh sebab itu, apabila terjadi
banjir pada suatu lembah, maka orang Arab menyebutnya
sebagai haadha al-waadi.
Menurut istilah syara', haid ialah darah yang
keluar dari ujung rahim perempuan ketika dia dalam keadaan sehat, bukan semasa melahirkan
bayi atau semasa sakit, dan darah tersebut keluar dalam masa yang tertentu. Kebiasaannya,
warna darah haid adalah hitam, sangat panas, terasa sakit, dan berbau busuk.
Hukum berkenaan haid ini terdapat dalam Al-Qur'an,
yaitu dalam firman Allah Ta’ala, "Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad)
tentang haid ..." (Al-Baqarah: 222)
Terdapat sebuah hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari
dan Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda tentang haid, "Ini adalah perkara yang
telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala kepada anak-anak Adam yang perempuan."
B. Waktunya
Haid mulai keluar ketika perempuan mulai masuk
umur baligh, yaitu ketika lebih kurang sembilan tahun qamariyah (satu tahun
Qamariyah ialah 354 1/5, 1/6 hari) hingga masa terputusnya haid yang disebut
dengan sin al-ya's (umur putus haid). Jika perempuan mendapati darah (keluar
dari kemaluannya) sebelum umur sembilan tahun ataupun setelah dari "umur
putus haid," maka darah itu bukanlah darah haid, tetapi darah penyakit atau
turun darah.
Perempuan yang sudah mengalami haid, maka dia
menjadi baligh dan mukallaf. Oleh sebab itu, dia dituntut menjalankan seluruh kewajiban
syara' seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Adapun anak lelaki, ia
menjadi baligh apabila ia bermimpi dan keluar mani, ataupun jika dia telah
mencapai umur lima belas tahun.
Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai penentuan
"umur putus haid," karena tidak ada nash yang jelas. Mereka hanya
berpandu kepada kajian mengenai keadaan perempuan (Muraqil Falah halaman
23; Hasyiyah Ash-Shawi jilid 1 halaman 208; Tuhfatuth Thalibin halaman
33; Al-Hadramiyyah halaman 27; Al-Mughni jilid 1 halaman 363;
Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 279 dan seterusnya).
Ulama Hanafi, menurut pendapat yang difatwakan
atau pendapat yang terpilih (al-mukhtaar), mengatakan bahwa "umur
putus haid" ialah 55 tahun. Jika setelah umur itu perempuan masih melihat
darah yang kuat, hitam, atau merah pekat maka darah itu dianggap haid. Jadi
berdasarkan pendapat ini, maka pendapat madzhab yang zhahir menganggap jika
darah itu tidak hitam dan tidak merah peka, maka darah itu adalah darah
istihadhah.
Menurut ulama Maliki, "umur putus
haid" ialah 70 tahun. Perempuan yang berumur antara 50 hingga 70 hendaklah
ditanya, apabila mereka mengatakan darah yang keluar dari kelaminnya adalah
darah haid atau mereka meraguinya, maka darah itu dihukumi sebagai darah haid.
Begitu juga anak perempuan murahiqah (yang berumur antara 7 hingga 13
tahun), hendaklah ditanya juga.
Menurut ulama madzhab Syafi'i, tidak ada batasan
akhir bagi "umur putus haid." Selama dia hidup, maka selama itulah
dia mungkin mengalami haid. Tetapi menurut kebiasaan, umur putus haid ialah
pada usia 62 tahun.
Ulama madzhab Hambali menetapkan "umur
putus haid" adalah usia 52 tahun, Mereka berpegang pada kata-kata Aisyah, "Apabila
perempuan mencapai umur 50 tahun, maka dia talah keluar dari batasan haid.”
Disebutkan oleh Imam Ahmad.
Aisyah juga mengatakan, "Dia tidak mengandung
lagi setelah mencapai umur 50 tahun." Riwayat Abu Ishaq Asy-Syalanji.
C. Apakah Perempuan yang Mengandung Bisa Mengalami Haid?
Dalam masalah ini, para ahli fiqih berbeda pendapat.
Ulama madzhab Maliki dan Syafi’i (menurut
pendapat madzhab jadid yang azhhar; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman
15; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 211; Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 118) mengatakan bahwa perempuan yang mengandung kadang-kadang bisa
didatangi haid, dan adakalanya didatangi darah hingga akhir masa mengandung.
Namun biasanya, orang yang mengandung tidak didatangi haid. Dalil mereka ialah
ayat yang disebut di atas yang bersifat mutlak dan juga hadits-hadits yang menunjukkan
bahwa haid itu merupakan tabiat wanita. Apalagi, haid adalah darah yang biasanya
keluar secara tiba-tiba. Oleh karena itu, orang hamil (mengandung) pun boleh kedatangan
haid sama seperti orang yang tidak hamil.
Ulama madzhab Hanafi dan Hambali (Ad-Durrul
Mukhtar jilid 1 halaman 263; Al-Mughni jilid 1 halaman 361 dan
seterusnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 232) mengatakan bahwa
perempuan yang mengandung tidak akan didatangi haid, meskipun darah itu keluar
sebelum keluar sebagian besar bayi yang lahir. Ini menurut madzhab Hanafi. Dan
menurut ulama madzhab Hambali, mereka mengatakan bahwa darah yang keluar pada dua
atau tiga hari sebelum bersalin ialah darah nifas.
Dalil mereka adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, mengenai tawanan (wanita) Awtas, "Janganlah
disetubuhi wanitn yang mengandung sehingga dia melahirkan anakdan janganlah
pula disetubuhi wanita yang tidak mengandung sehingga dia telah datang haid."
Riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Syuraik Al-Qadhi.
Jadi, hadits ini menyatakan bahwa keluarnya darah
haid merupakan tanda bersihnya rahim. Hal ini menunjukkan bahwa haid tidak akan
dapat bersatu dengan kehamilan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengomentari Ibnu Umar, ketika dia menceraikan istrinya dalam keadaan haid, "Hendaklah
dia menceraikannya dalam keadaan suci atau hamil.” Riwayat al-jama’ah, kecuali
Imam Al-Bukhari dari Ibnu Umar (Nailul Authar jilid 4 halaman 221).
Jadi, hadits ini menjelaskan bahwa hamil adalah
tanda ketiadaan haid, sebagaimana hadits ini juga menjadikan suci sebagai tanda
tiadanya haid. Lagipula, masa mengandung merupakan masa di mana pada kebiasaannya
wanita tidak didatangi haid. Oleh karena itu, darah yang didapatinya semasa
mengandung bukanlah darah haid. Dalam kasus ini, kedudukannya sama seperti
orang yang sudah "putus" dari haid.
Berdasarkan pendapat ini, maka seseorang yang
mengandung apabila keluar darah, maka dia tidak boleh meninggalkan shalat, karena
ia adalah darah penyakit (fasad) bukan darah haid. Demikian juga dia
tidak boleh meninggalkan puasa, i'tikaf, thawaf dan ibadah lainnya. Dia juga
tidak boleh melarang suaminya menyetubuhinya karena ia tidak sedang haid.
Wanita yang mengandung dan melihat darah keluar dari kemaluannya, maka ia
disunnahkan mandi apabila darah itu berhenti. Ini adalah langkah untuk
menghindar dari perbedaan pendapat, utamanya ulama yang mengatakan wajib mandi.
D. Warna Darah
Sebagaimana disepakati oleh seluruh ahli Fiqih
(Fathul Qadir ma’a Hasyiyah Al-‘Inayah jilid 1 halaman 112; Al-Lubab jilid
1 halaman 47; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 207; Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 113; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 112;
Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 246; Al-Bada’i jilid 1 halaman 39),
darah haid yang keluar pada hari-hari biasa setiap bulan, ialah adakalanya
hitam, merah, kuning, atau keruh (pertengahan antara hitam dengan putih). Darah
yang berwarna kuning dan keruh apabila keluarnya setelah masa biasa keluar
haid, maka ia tidak dianggap sebagai haid. Berhentinya haid dapat diketahui
dengan adanya warna putih,
yaitu dengan cara perempuan berkenaan memasukkan kain
yang bersih atau kapas ke dalam kemaluannya, untuk melihat apakah masih ada
sisa darah atau tidak.
Pendapat ulama Hanafi juga mengatakan, bahwa
warna darah haid ada enam yaitu hitam, merah, kuning, keruh, kehijauan, dan warna
seperti tanah. Ini menurut pendapat yang ashah. Sewaktu haid jika dilihat ada darah
dengan warna-warna tersebut, maka ia adalah darah haid sehingga ia mendapati
warna putih, yang berarti darah haid sudah berhenti. Ini dapat diuji sendiri
oleh perempuan yaitu dengan cara memasukkan kapas ke dalam kemaluannya, dan
jika didapati berwarna putih, maka dia telah suci dari haid.
Kehijauan (khudhrah) adalah sejenis
warna keruh. Darah ini keluar pada wanita yang makan makanan tertentu sehingga
merusak warna darahnya. Orang tua yang sudah putus haid juga akan mendapati
darah yang berwarna kehijauan.
Ulama madzhab Syafi'i menyusun daftar warna
darah haid menurut kekuatannya. Mereka mengatakan bahwa warna darah haid ada
lima yaitu (yang terkuat) hitam, merah, warna coklat (warna seperti tanah),
kuning, darah keruh. Sifat darah haid ada empat, yang terkuat adalah kental dan
busuk, kemudian busuh kemudian kental, kemudian tidak kental, dan tidak busuk.
Dalil yang menunjukkan bahwa warna-warna ini
dianggap sebagai haid jika keluar pada masa datangnya haid ialah keumuman firman
Allah Ta’ala, "Dan mereka menanyakan kepadamu
(Muhammad) tentang haid ...." (Al-Baqarah: 222)
Masalah ini juga terdapat dalam beberapa hadits.
Di antaranya adalah kata Aisyah, "Perempuan dibagi kapas (yang
dimasukkan ke dalam kemaluannya untuk menguji apakah masih ada darah atau
tidak). Jika terdapat warna kuning dan keruh, maka itu adalah dari darah haid."
Lalu Aisyah berkata lagi, "Tunggulah hingga engkau mendapati air putih,"
maksudnya ialah hingga suci dari haid. Riwayat Imam Malik.
Bukti yang mengatakan bahwa warna kuning dan
keruh setelah masa haid tidak dianggap
haid ialah kata-kata Ummu Athiyah, "Kami tidak
menganggap apa-apa terhadap darah berwarna kuning dan keruh setelah suci dari
haid.” Riwayat Abu Dawud, Al-Bukhari (Al-Bukhari tidak menyebut kata ‘selepas
suci’) dan juga Al-Hakim.
E. Masa Haid dan Suci
Darah tidak dianggap sebagai haid, kecuali apabila
mempunyai warna-warna yang telah disebutkan di atas. Darah haid tersebut hendaklah
didahului oleh sekurang-kurangnya masa suci yang paling minimal (yaitu lima belas
hari menurut jumhur ahli fiqih). Dan ia hendaklah mencapai jumlah masa haid
yang paling minimal. Namun, para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai masa ini
(Fathul Qadir jilid 1 halaman 111; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1
halaman 262; Al-Bada’i jilid 1 halaman 39; Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 208 dan seterusnya; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 48 dan
seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 39 dan seterusnya;
Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 109; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1
halaman 114; Al-Mughni jilid 1 halaman 308; Kasysyaful Qina’ jilid
1 halaman 233).
Darah yang keluar kurang dari masa minimal
haid atau lebih dari masa maksimalnya, dianggap darah mustahadhah.
Ulama Hanafi berpendapat bahwa masa minimal
haid ialah tiga hari tiga malam. Jika darah keluar pada masa kurang dari itu,
maka ia bukanlah darah haid tetapi darah istihadhah.
Biasanya darah haid keluar selama lima hari,
dan masa maksimalnya ialah sepuluh hari dan sepuluh malam. Jika darah keluar lebih
dari masa itu, maka ia dianggap sebagai darah istihadhah.
Dalil mereka ialah hadits, "Masa
minimal haid bagi seorang gadis dan janda ialah tiga hari, dan masa maksimalnya
adalah sepuluh hari.”
Darah yang keluar lebih dari masa itu ialah
darah istihadhah. Karena, penetapan yang telah dibuat oleh syara' menyebabkan hitungan
selain darinya tidak dapat dianggap sama dengan apa yang telah ditetapkan
syara'.
Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa tidak
ada batasan minimal haid, apabila dinisbatkan kepada hukum-hukum ibadah. Haid
sekurang-kurangnya ialah satu tetesan. Darah itu dianggap sebagai haid dan
hendaklah wanita tersebut mandi jika darah itu berhenti. Puasanya juga menjadi
batal dan dia wajib mengqadha' puasa tersebut sebanyak hari yang ditinggalkan
dalam masa haid. Adapun jika dihubungkan dengan masalah 'iddah dan pembuktian
tidak hamil (istibraa), maka darah haid sekurang-kurangnya ialah satu hari atau
separuh hari.
Masa maksimal haid berbeda bagi tiap wanita.
Umumnya ia dibagi kepada empat kategori, yaitu perempuan yang baru mulai mengalami
haid, perempuan yang sudah terbiasa haid, perempuan hamil, dan perempuan yang
keadaannya bercampur. Perempuan yang baru mengalami haid masa maksimalnya adalah
lima belas hari. Darah yang lebih dari masa itu dianggap darah penyakit.
Perempuan yang biasa didatangi haid, masa maksimalnya ditambah tiga hari lagi
melebihi masa biasa (al-'adah). Dan untuk menentukan masa biasa (al-'adah),
cukup dengan mengamatinya ketika berlaku haid selagi ia tidak melebihi setengah
bulan.
Perempuan hamil, sesudah dua bulan setelah
mengandung masa haid yang paling maksimal baginya ialah dua puluh hari. Dan setelah
enam bulan atau lebih, masa maksimalnya adalah tiga puluh hari.
Adapun yang dimaksud dengan perempuan yang bercampur
-campur kondisinya ialah wanita yang mendapati haid selama sehari atau beberapa
hari, dan mengalami suci satu hari atau beberapa hari, sehingga ia tidak mengalami
masa suci secara sempurna. Dalam kasus seperti ini, maka masa-masa datangnya darah
digabungkan dan dihitung sehingga mencukupi kadar masa yang maksimal, yaitu lima
belas hari. Sedangkan masa-masa suci yang ada di tengah-tengahnya tidak perlu
dihitung. Jika didapati darah keluar lebih dari masa maksimal yaitu lima belas
hari, maka itu adalah darah istihadhah.
Pada setiap hari di mana tidak ada darah keluar,
hendaklah dia mandi dengan anggapan bahwa masa sucinya telah sempurna. Dan pada
setiap hari di mana dia melihat darah, maka itu adalah darah haid. Oleh karena
itu, dia harus menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang sewaktu haid.
Ulama Syafi'i dan Hambali berpendapat, bahwa
masa haid sekurang-kurangnya ialah satu hari satu malam, yaitu dua puluh empat jam
dan darah tersebut keluar terus-menerus menurut kebiasaan. Yaitu kira-kira jika
diletakkan kapas, maka kapas tersebut akan kotor dengan darah. Kuatnya darah
haid yang keluar secara berterusan tidaklah menjadi syarat. Berdasarkan
pendapat ini, maka darah haid tersebut pada zahirnya keluar secara terus-menerus,
meskipun pada saat-saat tertentu berhenti. Tetapi, pada kenyataannya darah haid
itu kewujudannya memang ada.
Ada atau tidaknya darah haid dapat diketahui dengan
memasukkan kapas atau semacamnya
ke dalam kelamin perempuan dan didapati ia berlumuran
darah. Jika seorang wanita itu melihat darah kurang dari satu hari satu malam,
maka itu adalah darah istihadhah, bukan darah haid.
Adapun menurut kebiasaan (al-'adah) adalah
enam atau tujuh hari. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam kepada Himnah binti Jahsh semasa beliau ditanya olehnya, "Engkau
berada dalam keadaan haid menurut ilmu Allah Ta’ala, selama enam atau tujuh
hari. Kemudian hendaklah kau mandi dan shalat selama dua puluh empat hari,
serta malamnya atau dua puluh tiga malam, karena itu sudah cukup bagimu."
Sambungan hadits itu ialah, " ... hendaknya kamu lakukan seperti itu
setiap bulan, sebagaimana kebiasaan wanita didatangi haid. Mereka hendaklah
menentukan masa haid dan masa sucinya." Hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa'i,
Ahmad, At-Tirmidzi dan dia menghukuminya shahih. Al-Bukhari juga menganggapnya
sebagai hadits hasan (Nailul Authar jilid 1 halaman 271).
Adapun masa haid, paling banyak adalah lima
belas hari-lima belas malam. Jika darah itu keluar melebihi dari lima belas
hari, maka itu ialah darah istihadhah.
Darah haid berbeda dengan darah istihadhah dari
segi warna, kekentalan, dan baunya yang busuk. Dalil pendapat ini adalah
berdasarkan penelitian (yaitu dengan mengajukan pertanyaan kepada kaum wanita
dan mengkaji keadaan sebagian wanita dalam masa-masa tertentu) yang telah
dilakukan oleh Imam asy-Syafi'i dan orang lain pada zamannya. Tindakan ini
dilakukan karena tidak ada panduan yang pasti mengenai hal ini, baik dari prespektif
bahasa (al-lughawi) ataupun syara'. Oleh karena itu, masalah ini
dikembalikan kepada kebiasaan (adat), yaitu dengan cara penelitian. Jadi, dalam
masalah ini dasar yang dipegang ialah al-'urf dan adat sama seperti kasus-kasus
penetapan tentang penerimaan, pemilikan, dan perpisahan antara dua pihak yang
bertransaksi dalam kasus transaksi.
Mereka menguatkan dalil mereka dengan kata-kata
sahabat Ali, "Masa haid sekurang-kurangnya ialah satu hari satu malam. Adapun
yang melebihi dari lima belas hari, adalah istihadhah."
Juga, kata-kata Atha', "Aku dapati ada
wanita yang didatangi haid sehari dan ada yang lima belas hari."
Adapun kaidah yang digunakan oleh madzhab
Syafi'i sebagaimana diterangkan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj
adalah, "Wanita yang sudah umur haid jika melihat darah keluar dari
kemaluannya, maka itu adalah darah haid, baik wanita itu sedang mengalami haid
untuk pertama kalinya atau sudah biasa mengalami haid. Namun jika darah keluar
kurang dari sehari semalam atau melebihi dari masa haid lebih lima belas hari),
maka darah itu dianggap sebagai darah istihadhah, bukannya darah haid."
F. Masa Suci Minimal
Jumhur ulama selain ulama Hambali (Fathul
Qadir jilid 1 halaman 121; Muraqil Falah halaman 24; Asy-Syarhush
Shaghir jilid 1 halaman 209; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 48; Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 109; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 116; Al-Muhadzdzab
jilid 1 halaman 39) berpendapat bahwa masa suci paling minimal (yang
memisahkan antara dua haid) adalah lima belas hari. Karena, dalam setiap bulan
pasti ada haid dan suci. Jika masa maksimal haid adalah lima belas hari, maka masa
minimal suci pun demikian, yaitu lima belas hari. Tidak ada batasan masa
maksimal bagi haid, karena ia dapat berterusan selama setahun ataupun dua
tahun. Kadang-kadang seorang wanita tidak pernah didatangi haid sama sekali dan
kadang-kadang didatangi sekali saja dalam masa setahun.
Menurut ulama madzhab Hambali (Kasysyaful
Qina’ jilid 1 halaman 234), masa suci antara dua haid sekurang-kurangnya adalah
tiga belas hari. Hal ini berdasarkan riwayat Imam Ahmad dari sahabat Ali bahwa
seorang wanita yang telah dicerai suaminya datang menemui sahabat Ali dan mengaku
bahwa dia didatangi haid dalam satu bulan sebanyak tiga kali. Lalu, Ali berkata
kepada Qadhi Syuraih, "Putuskan fatwa berkenaan dengan kasusnya."
Maka, Qadhi Syuraih pun berkata, "Jika dia dapat mendatangkan saksi
dari kalangan keluarganya yang dapat dipercayai dari segi agama dan amanahnya,
maka hendaklah wanita tersebut membawa saksi. Tetapi jika tidak, maka dia
adalah pendusta." Lalu Ali mengatakan kata qalun, yaitu bahasa
Romawi yang artinya 'bagus.' Kata sahabat Ali ini menunjukkan persetujuannya
terhadap keputusan Qadhi Syuraih. Inilah qaul shahabi (perkataan
sahabat) yang masyhur dan ternyata tidak ada orang yang menentangnya. Adanya
tiga haid dalam satu bulan menjadi bukti bahwa tiga belas hari dapat diyakini
sebagai masa suci yang sebenarnya. Hal ini berdasarkaan bahwa masa minimal haid
adalah sehari semalam dan haid wanita ini adalah masa yang paling singkat.
Menurut kesepakatan seluruh ahli fiqih, tidak
ada batasan maksimal untuk masa suci. Maksud masa suci ialah masa bersihnya seorang
wanita dari darah haid dan nifas. Suci itu ada dua tanda, yaitu darah menjadi
kering dan air putih lembut yang keluar pada akhir haid (al-quss ah
al-baidha) (Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 52; Al-Qawanin
Al-Mukhtar halaman 41).
G. Darah Berhenti Mengalir (an-naqa') di
Tengah-tengah Masa Haid
Maksud dari an-naqa' adalah apabila
seseorang wanita datang bulan (haid) kemudian untuk beberapa lama darah haidnya
terputus, kemudian darah haidnya keluar lagi. Permasalahannya adalah, apakah
masa an-naqa' di antara dua masa itu dianggap masa haid atau tidak.
Dalam masalah ini, ada dua pendapat ulama.
Pertama, pendapat ulama Hanafi dan Syafi'i dan kedua pendapat ulama Maliki dan Hambali
(Fathul Qadir jilid 1 halaman 112; Ad-Durrul Mukhtar &
Hasyiyah Ibn Abidin jilid 1 halaman 267; Al-Lubab jilid 1 halaman 49;
Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 50; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1
halaman 212; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 119; Hasyiyah Al-Bajuri jilid
1 halaman 114; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 39; Al-Mughni jilid
1 halaman 359 dan seterusnya; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 246 dan
seterusnya).
Kelompok pertama berpendapat bahwa masa darah
berhenti mengalir (an-naqa) di tengah-tengah masa haid adalah dianggap haid.
Jika didapati darah keluar satu hari kemudian hari berikutnya bersih (tidak
keluar) -artinya jika diletakkan kapas ke dalam kemaluan kapasnya tidak
berlumuran darah- dan pada hari berikutnya didapati darah keluar lagi, dan
begitu seterusnya dalam masa haid menurut kebiasaan, maka keseluruhan masa-masa
tersebut dianggap sebagai masa haid.
Pendapat kedua memakai kaidah talfiq, yaitu
dengan mencampurkan masa keluarnya darah dengan masa keluarnya darah dan menganggap
hari-hari suci (masa tidak keluar darah) sebagai masa suci. Oleh karena itu,
jika seorang wanita yang haid mendapati keluar darah selama satu atau dua hari
kemudian dia suci satu atau dua hari, maka hari-hari ketika darah keluar
digabungkan (dan dianggap sebagai masa haid), sedangkan hari-hari lain yang
tidak keluar darah dianggap masa suci. Semua ulama sepakat bahwa masa suci –yang
berlangsung lima belas hari atau lebih- yang terjadi di antara dua masa
keluarnya darah, adalah dianggap masa yang memisahkan di antara dua masa
keluarnya darah haid. Darah yang keluar sebelum atau sesudah masa berhenti itu
dianggap sebagai darah haid, jika memang ia mencapai masa minimal haid. Adapun
pendapat ulama madzhab secara terperinci, adalah sebagai berikut.
(1) Madzhab Hanafi
Ulama muta'akhkhirin dalam madzhab ini
mengeluarkan fatwa berdasarkan pendapat Abu Yusuf. Ini adalah pendapat yang lebih
mudah, yaitu masa suci yang berlaku di antara dua masa keluarnya darah tidak
dianggap sebagai pemisah, melainkan ia dianggap sama seperti masa keluarnya
darah yang berterusan. Dengan syarat, keluarnya darah itu merangkumi dua
pengujung masa suci tersebut. Oleh karena itu, boleh jadi haid bermula dengan
suci dan berakhir dengan suci
juga. Kalaulah seseorang yang baru pertama kali datang
haid mendapati darah hanya dalam satu hari, kemudian suci selama empat belas hari,
kemudian keluar darah lagi selama satu hari, maka yang dikira haid ialah
sepuluh hari yang pertama.
Kalau wanita yang sudah biasa haid atau yang
pernah haid mendapati darah yang kurang dari masa biasanya, yaitu keluar darah satu
hari kemudian sepuluh hari suci, kemudian keluar darah lagi selama satu hari, maka
masa sepuluh hari tidak keluar darah dihukumi sebagai masa haid, jika memang
itu masa biasanya dia haid. Jika tidak, maka harus diikutkan dengan masa yang
biasanya dia datang haid.
Adapun masa suci -baik selama lima belas hari,
kurang ataupun lebih- yang terjadi di dalam rentang masa empat puluh hari
semasa nifas, maka hal itu tidak dianggap sebagai pemisah menurut pendapat Abu
Hanifah. Inilah pendapat yang difatwakan. Abu Hanifah menganggap bahwa darah
yang keluar dua ujung nifas itu sama dengan darah yang keluar secara
berterusan.
(2) Madzhab Syafi’i
Menurut pendapat yang mu'tamad, masa bersih
(masa terputus darah) di antara masa masa keluarnya darah haid -baik keluarnya darah
haid itu sedikit ataupun banyak- dianggap sebagai masa haid. Dengan syarat, ia (haidnya)
tidak melebihi lima belas hari, dan tidak kurang dari masa minimal haid, serta masa
bersih (putus darah) itu merangkumi dua masa keluarnya darah haid.
Hal ini dinamakan pendapat as-sahb
(menarik), karena kita menarik hukum masa haid kepada masa bersih (putus
darah), sehingga kita jadikan semuanya sebagai masa haid.
Ada pendapat lain yang lemah, yang disebut sebagai
pendapat al-laqth, yaitu masa bersih itu dianggap suci. Sebab jika darah
yang keluar itu ialah darah haid, maka sewaktu bersih (putus darah) juga
dihukumi suci. Disebut al-laqth (memungut), karena kita memungut
waktu-waktu bersih itu dan menganggapnya sebagai waktu suci.
Menurut pendapat yang mu'tamad, masa bersih
(an-naqa') yang terjadi di tengah-tengah masa nifas, dihukumi sebagai
masa suci. Tetapi, masa nifas yang enam puluh hari tetap dihitung. Artinya,
dari segi hitungan ia dianggap masa nifas, tetapi dari segi hukum ia tidak
dianggap nifas.
Kesimpulannya adalah, masa bersih (masa terputus
darah) yang terjadi di dalam masa haid dianggap sebagai haid. Tetapi bila
terjadinya di dalam masa nifas, ia tidak dihukumi sebagai nifas. Namun, masa
bersih itu tetap dihitung sebagai hari-hari nifas yang paling lama, yaitu enam
puluh hari.
(3) Pendapat Madzhab Maliki yang Mu'tamad dan Pendapat
Madzhab Hambali
Madzhab ini menganut metode talfiq, yaitu
dengan cara menggabungkan hari-hari keluarnya darah dengan hari-hari keluarnya darah
yang lain. Sedangkan masa suci yang terjadi di tengah-tengah masa haid,
dianggap masa suci yang sebenarnya. Umpamanya jika keluar darah dalam satu
hari, kemudian terputus satu hari atau lebih, tetapi masa putus itu tidak
sampai setengah bulan (yaitu masa maksimal haid), maka hari keluarnya darah
tersebut digabung dan dijumlah dengan hari keluarnya darah yang lain, lalu
dianggap sebagai masa haid. Sedangkan masa bersih yang terjadi di antara
hari-hari keluar darah, maka dihukumi suci.
Bagi wanita yang mengalami kejadian seperti
ini (mulaffaqah), dia wajib mandi setiap kali darahnya berhenti. Dia
juga hendaklah melakukan shalat, puasa, dan boleh disetubuhi. Hal ini karena
dia dalam keadaan suci yang hakiki. Namun, ulama madzhab Hambali mengatakan
wanita tersebut makruh disetubuhi pada masa tersebut.
Menurut ulama Hambali, keadaan seperti ini
berlangsung secara terus-menerus, hingga dia melewati masa gabungan antara masa
keluar darah dan masa bersih yang jumlahnya sama dengan masa maksimal haid.
Contohnya adalah, seorang wanita mendapati satu hari keluar darah dan satu hari
suci hingga delapan belas hari umpamanya. Maka, itu adalah darah istihadhah.
Pendapat ulama Maliki adalah wanita yang kali
pertama baru mengalami haid dan wanita yang sudah biasa haid, hendaklah menggabungkan
hari-hari keluar darah itu sebanyak setengah bulan, yaitu lima belas hari.
Adapun wanita yang sudah biasa haid, dan pada kebiasaannya terjadi kurang dari setengah
bulan, hendaklah dia menggabungkan hari-hari keluarnya darah itu sebanyak masa
kebiasaannya dengan menambah tiga hari pada masa kebiasaannya yang paling lama,
yaitu yang disebut hari-hari istizhar. Dan darah yang turun setelah itu,
dianggap sebagai darah istihadhah bukan haid.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments