Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
WUDHU DAN PERKARA YANG BERKAITAN DENGANNYA
Perkara dalam pasal ini akan dijelaskan tentang definisi wudhu,
rukun, syarat, sunnah, adab, perkara yang dimakruhkan dalam wudhu, perkara yang
membatalkan wudhu, dan cara berwudhu bagi orang yang udzur, serta hal-hal yang
dilarang bagi orang yang tidak mempunyai wudhu.
Sebelumnya telah membicarakan bersuci dari kotoran
(najis) pada pasal sebelumnya. Sebenarnya bersuci dari kotoran merupakan thaharah
haqiqiyyah (bersuci yang sebenarnya). Adapun bersuci dari hadats adalah bagian
dari thaharah hukmiyyah (bersuci dari segi hukum). Thaharah hukmiyyah
terbagi menjadi tiga bagian yaitu wudhu, mandi, dan tayamum. Di sini, kita akan
mulai dengan membicarakan masalah wudhu. Ia didahulukan karena perkara yang
mewajibkan wudhu ialah hadats kecil, sedangkan perkara yang mewajibkan mandi
ialah hadats besar. Adapun tayamum merupakan pengganti wudhu dan mandi dalam
keadaan-keadaan tertentu. Sebelum ini, kita telah mendefinisikan thaharah hukmiyyah
sebagai sifat syara' yang diatributkan
pada anggota badan, dan dia dapat menimbulkan keadaan
suci (thaharah). Sementara thaharah haqiqiyyah adalah tindakan menghilangkan
kotoran, yaitu barang-barang yang ditetapkan oleh syara'sebagai kotor.
1. DEFINISI DAN HUKUM-HUKUM WUDHU (JENIS ATAU CARA)
2. RUKUN-RUKUN WUDHU
3. SYARAT-SYARAT WUDHU
4. SUNNAH-SUNNAH WUDHU
5. ADAB DAN FADHILAH WUDHU
6. PERKARA YANG DIMAKRUHKAN SEWAKTU BERWUDHU
7. PERKARA YANG MEMBATALKAN WUDHU
8. WUDHU ORANG YANG UZUR
9. PERKARA YANG DIHARAMKAN SEBAB HADAS KECIL
1. DEFINISI DAN HUKUM-HUKUM WUDHU (JENIS ATAU CARA)
Menurut bahasa, kata wudhu –dengan membaca dhammah
pada huruf wawu (wudhu)- adalah nama untuk suatu perbuatan yang
memanfaatkan air dan digunakan untuk (membersihkan) anggota-anggota badan
tertentu. Definisi wudhu inilah yang dimaksud pada pasal ini. Ia diambil dari
kata berbahasa arab al-wadha'ah, al-hasan, dan an-nazhafah.
Jika dikatakan wadha'a ar-rajul dalam ungkapan Arab, maka ia berarti
"lelaki itu telah bersih/baik/suci."
Jika kata wudhu dibaca dengan fathah pada
huruf wawu (wadhu'), maka ia berarti air yang digunakan untuk
berwudhu.
Wudhu menurut istilah syara' adalah kegiatan
kebersihan yang khusus (Muraqil Falah halaman 9), atau perbuatan-perbuatan
tertentu yang dimulai dengan niat khusus (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman
47). Perbuatan tersebut adalah membasuh muka, membasuh kedua tangan, mengusap
kepala (rambut kepala), dan membasuh kedua kaki. Definisi wudhu yang lebih
jelas adalah menggunakan air yang suci pada empat anggota badan (yaitu seperti
yang telah disebutkan di atas) dengan cara-cara tertentu yang telah ditentukan
oleh syara' (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 91). Hukum asal wudhu (yang
diniatkan untuk digunakan melaksanakan shalat) adalah fardhu, karena ia merupakan
syarat sah shalat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah
Al-Maidah ayat 6 yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku,
dan sapulah kepadamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki...."
Dan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, "Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara
kamu yang telah berhadats hingga dia berwudhu." Riwayat Asy-Syaikhan. Dan
juga berdasarkan atas konsensus ulama (ijma') yang mengatakan wajib.
Menurut ulama, wudhu diwajibkan di Madinah
seperti yang dinyatakan oleh para muhaqqiq (ulama peneliti). Hikmah dari
membersihkan anggota-anggota badan tersebut adalah karena anggota-anggota
tersebut sering terkena kotoran dan debu.
Kadang-kadang wudhu mempunyai hukum lain,
yaitu sunnah, wajib (menurut pendapat ulama madzhab Hanafi; adalah hukum yang
ditetapkan dengan dalil qath’i, adapun wajib adalah hukum yang
ditetapkan dengan dalil dzanni/dugaan kuat) ataupun haram. Oleh sebab
itu, para fuqaha membagi wudhu menjadi beberapa bagian, dan mereka juga
menyebutkan sifat-sifatnya.
Ulama madzhab Hanafi (Muraqil Falah halaman
13 dan seterusnya) berpendapat bahwa hukum wudhu terbagi menjadi lima bagian, yaitu
sebagai berikut.
1. Fardhu
Pertama, wudhu difardhukan bagi orang yang berhadats apabila ia ingin melaksanakan
shalat, baik shalat itu adalah shalat fardhu ataupun shalat sunnah, dan baik
shalat itu dilakukan secara sempurna ataupun tidak seperti shalat jenazah dan
sujud tilawah. Ada beberapa ayat Alqur'an yang dinamakan dengan ayat sajadah.
Menurut ulama Syafi'i dan Hambali, jumlahnya ada 14 ayat. Apabila ayat ini
dibaca oleh orang Mukmin, maka hendaklah dia sujud dengan niat dan dalam
keadaan suci serta menghadap kiblat. Sujud tilawah ini hukumnya adalah wajib
menurut ulama Hanafi. Adapun menurut jumhur hukumnya adalah sunnah.
Hukum ini berdasarkan ayat yang telah di
sebutkan di atas, yaitu firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maidah ayat 6 yang artinya,
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat,
maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepadamu dan
(basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki...."
Dan juga, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, "Allah tidak menerima shalat salah seorang kamu
jika ia berhadats, hingga ia mengambil wudhu." Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Mustim, Abu
Dawud, dan At-Tirmidzi dari Abu Hurairah (Subulus Salam, jilid l halaman
40).
Dan hadis, "Allah tidak menerima
shalat seseorang tanpa berwudhu. Begitu juga Dia (Allah) tidak menerima sedekah
yang dihasilkan dari harta khianat (ghulul).” Diriwayatkan oleh al-jama’ah
kecuali Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Kata ghulul artinya khianat, dan maksudnya
di sini adalah mencuri harta rampasan sebelum dibagi (Nailul Authar jilid
1 halaman 204)
Kedua, wudhu
difardhukan karena ingin memegang Al-Qur'an, walaupun hanya sepotong
ayat yang ditulis di atas kertas atau di atas dinding
ataupun dicap di atas uang. Hal ini karena firman Allah Ta’ala dalam Surah
Al-Waqiah ayat 79, "Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang
disucikan."
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, "Al-Qur'an tidak boleh di sentuh kecuali oleh orang yang
suci dari hadats.” Diriwayatkan oleh Al-Atsram, Ad-Daruquthni, Al-Hakim,
Al-Baihaqi, Ath-Thabrani dan Malik dalam Al-Muwattha’ secara mursal.
Hadis ini adalah dhaif, tetapi Ibnu Hajar berkata bahwa hadis ini bisa
diterima. (Nailul Authar jilid 1 halaman 204)
2. Wajib
Wudhu diwajibkan karena ingin mengerjakan
thawaf; mengelilingi Ka'bah. Jumhur ulama selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa
ia adalah fardhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Thawaf
di Baitullah itu merupakan shalat hanya saja Allah membolehkan percakapan di
dalamnya. Oleh sebab itu, barangsiapa bercakap di dalam tawaf, maka hendaklah
dia hanya mengucapkan perkara yang baik.” Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan
At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas (Nashbur Rayah jilid 3 halaman 57)
Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa thawaf
bukan merupakan shalat yang sebenarnya, maka sah dan tidaknya bukan bergantung
pada bersuci. Oleh sebab itu, jika seseorang tidak berwudhu kemudian melakukan
thawaf maka dia diwajibkan membayar dam, jika thawaf itu wajib. Namun jika
thawaf itu termasuk fardhu, dan orang yang melakukan sedang dalam keadaan janabah,
maka dia diwajibkan membayar unta (badanah). Dan jika thawaf itu sunnah,
maka dia diwajibkan bersedekah.
3. Sunnah
Wudhu disunnahkan dalam banyak keadaan, di
antaranya adalah dalam keadaan-keadaan seperti berikut (Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 63).
Pertama, berwudhu setiap kali hendak shalat. Hal ini karena sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, "Jika tidak karena dikhawatirkan aku menyusahkan
umatku, tentulah aku menyuruh mereka berwudhu pada setiap hendak melaksanakan
shalat dan setiap wudhu juga hendaklah disertai dengan bersiwak.” Riwayat
Ahmad dengan isnad yang shahih dari Abu Hurairah (Nailul Authar jilid 1
halaman 210)
Memperbarui wudhu disunnahkan jika seseorang
telah melakukan satu shalat dengan menggunakan wudhu yang sebelumnya, baik
shalat tersebut shalat fardhu ataupun shalat sunnah. Hal ini karena setiap satu
kali wudhu digambarkan bagaikan satu cahaya yang akan menambah terang cahaya
yang lain. Jika orang memperbarui wudhu, namun dia tidak mengerjakan perbuatan
apa pun yang disyariatkan, maka memperbarui wudhu tersebut merupakan israf (Raddul
Mukhtar Ibnu Abidin, jilid 1 halaman 111).
Kesunnahan memperbarui wudhu ini adalah
berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang
mengatakan, "Barangsiapa berwudhu sedangkan dia masih dalam keadaan
suci (belum berhadats), maka akan ditetapkan untuknya sepuluh kebaikan.”
Riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar, tetapi hadis ini
dhaif.
Begitu juga seseorang disunnahkan untuk selalu
berada dalam keadaan berwudhu, karena terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah, Al-Hakim, Ahmad, dan Al-Baihaqi dari Tsauban radhiyallahu
‘anhu, "Beristiqamahlah dan jangan ingkar! Ketahuilah bahwa
sesungguhnya perbuatan kamu yang paling baik adalah shalat, dan orang yang
selalu memelihara wudhunya adalah orang Mukmin."
Kedua, menyentuh
buku-buku agama seperti buku tafsir, hadits, aqidah, fiqih, dan lainnya. Tetapi
jika di dalam buku tersebut ayat Al-Qur'an lebih banyak dari tafsirnya, maka
haram hukumnya menyentuh tanpa berwudhu.
Ketiga, sunnah berwudhu ketika hendak tidur dan setelah bangun tidur, dan
disunnahkan
bersegera melakukan wudhu selepas bangun tidur. Hal ini
karena sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apabila
kamu hendak memasuki tempat tidur maka hendaklah berwudhu seperti wudhu untuk
mengerjakan shalat. Kemudian tidurlah dengan memiringkan badan ke sebelah
kanan. Lalu bacalah doa, “Ya Allah, aku berserah diri kepada-Mu, aku
memalingkan mukaku ke arah-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu, dan aku berlindung
dengan-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan tempat meminta kecuali pada-Mu. Aku
beriman dengan kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan beriman dengan Nabi-Mu
yang telah Engkau
utus.” Riwayat Imam
Ahmad, Al-Bukhari, dan At-Tirmidzi dari Al-Barra' bin Azib. Hadits ini menyuruh
membasuh tangan setelah bangun tidur, setelah itu baru mengambil wudhu. Jabir
meriwayatkan hadits ini secara marfu' bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila seseorang di antara kamu bangun
dari tidur dan hendak berwudhu, maka ianganlah ia memasukkan tangannya ke dalam
tempat air yang akan digunakan untuk wudhu, sebelum ia membasuh tangannnya
terlebih dulu. Karena, ia tidak tahu di mana tangannya diletakkan dan di atas
apa tangannya diletakkan.” (Nashbur Rayah, jilid l halaman 2)
Keempat, sebelum melakukan mandi junub, juga disunnahkan berwudhu dan sunnah juga bagi
orang yang berada dalam keadaan janabah (berhadats besar) ketika dia ingin makan,
minum, tidur, dan mengulangi bersetubuh (jimak). Karena, terdapat sunnah Nabi
mengenai hal itu. Aisyah
berkata, "Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam berwudhu apabila ingin makan atau tidur, yaitu jika beliau berada
dalam keadaan janabah." Riwayat Imam Ahmad dan Muslim serta ada juga
yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i yang maknanya hampir sama.
Aisyah berkata lagi, "Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berada dalam keadaan janabah, beliau
membasuh kemaluan dan berwudhu seperti wudhu untuk shalat apabila beliau ingin
tidur.” Riwayat Al-Jama’ah.
Abu Sa'id Al-Khudri juga berkata, "Apabila
salah seorang di antara kamu telah bersetubuh (berjimak) dengan istrinya, kemudian
dia ingin mengulangi, maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu."
Riwayat Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari.
Kelima, sunnah berwudhu sesudah marah, karena wudhu dapat meredakan kemarahan. Imam
Ahmad telah meriwayatkan di dalam kitab Musnad, "Jika salah satu di antara
kamu marah, maka hendaklah ia berwudhu."
Keenam, sunnah berwudhu untuk membaca Al-Qur'an, mengkaji, dan meriwayatkan hadits
serta membaca buku-buku agama, Karena, hal ini
menunjukkan tingginya perhatian terhadap hal-hal tersebut. Imam Malik berwudhu
dan bersuci dulu ketika akan meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Hal ini dilakukan untuk memuliakannya.
Ketujuh, berwudhu disunnahkan apabila hendak adzan dan iqamah, berkhatbah meskipun khotbah
nikah, berziarah ke kubur Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
mengerjakan wuquf di Arafah, dan melakukan sa'i di antara bukit Shafa dengan
Marwa. Ini dilakukan karena tempat-tempat tersebut berada dalam bagian ibadah.
Kedelapan, sunnah berwudhu setelah melakukan kesalahan seperti mengumpat, berbohong, menghasud,
atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya. Hal ini karena perbuatan-perbuatan
yang baik dapat menghapuskan dosa yang ditimbulkan dari perbuatan-perbuatan
yang buruk. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maukah kamu
jika aku tunjukkan kepada sesuatu yang bisa menghapuskan dosa-dosamu, yang bisa
mengangkat derajatmu?" Mereka menjawab, "Mau, wahai Rasulullah.”
Rasul bersabda, "Menyempurnakan (melakukan) wudhu setelah melakukan perkara-perkara
yang dibenci, memperbanyak langkah untuk menuju ke masjid, menunggu masa shalat
setelah mengerjakan shalat sebelumnya, maka perbuatan yang demikian itu adalah
ribath (benteng) bagi kamu semua. Maka, yang demikian itu adalah benteng kamu
sekalian." Riwayat Malik, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu
Majah –dengan arti yang hampir sama- dari Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh
Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari Abu Sa’id Al-Khudri (At-Targhib
wat Tarhib jilid 1 halaman 158)
Kesembilan, sunnah berwudhu setelah tertawa terbahak-bahak di luar shalat, karena
perbuatan tersebut dianggap sebagai hadats.
Kesepuluh, sunnah berwudhu sesudah memandikan dan menghantarkan mayat ke kubur. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Barangsiapa
memandikan mayat maka hendaklah ia memandikan dirinya. Dan barangsiapa
menghantarkan mayat, maka hendaklah ia berwudhu.” Riwayat Abu Dawud, Ibnu
Majah dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah. Hadis ini adalah hadis hasan.
Kesebelas, sunnah berwudhu dengan maksud untuk menghindar dari perbedaan pendapat di
kalangan ulama dalam suatu kasus. Umpamanya apabila seseorang menyentuh perempuan
atau menyentuh kemaluannya dengan telapak tangan, atau sesudah dia makan daging
unta, maka ia disunnahkan berwudhu. Karena, sebagian ulama berpendapat bahwa
wudhu adalah wajib sebab hal-hal tersebut. Hal ini dilakukan supaya ibadahnya
menjadi sah menurut seluruh ulama dan supaya terhindar tanggung jawab
keagamaannya.
4. Makruh
Mengulang wudhu sebelum melaksanakan shalat
adalah dimakruhkan. Yakni, berwudhu di atas wudhu yang masih ada, meskipun dia
telah berpindah tempat. Hukum tersebut kekal selama dia belum melaksanakan shalat
atau melaksanakan perbuatan yang semisalnya. Pendapat ini adalah yang telah
diteliti oleh Ibnu Abidin (Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 111) walaupun
dalam Muraqil Falah ia mengatakan bahwa mengulang wudhu adalah sunnah
jika tempat wudhunya itu berlainan.
5. Haram
Berwudhu dengan air rampasan (ghasab) dari
seseorang adalah haram, begitu juga berwudhu dengan air milik anak yatim. Ulama
madzhab Hambali berkata bahwa tidak sah berwudhu dengan air yang dirampas (ghasab)
dan semisalnya, karena terdapat hadis yang menyatakan, "Barangsiapa
melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka ia ditolak."
Riwayat Imam Muslim dari Aisyah. Lafal Al-Bukhari dan Muslim ialah, Siapa
yang membuat perkara baru (bid’ah) dalam urusan kami ini, maka ia ditolak.”
Ulama madzhab Maliki (Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah halaman 20) mengatakan bahwa wudhu terbagi menjadi lima:
wajib, mustahab, sunnah, mubah, dan makruh. Wudhu yang waiib adalah wudhu yang
dilakukan untuk melaksanakan shalat fardhu, shalat sunnah (tathawwu),
untuk mengerjakan sujud karena membaca ayat-ayat Sajdah dalam Al-Qur'an, untuk
mengerjakan shalat jenazah, menyentuh Al-Qur'an, dan untuk mengerjakan thawaf.
Menurut pendapat mereka, tidak sah bagi seseorang yang melaksanakan shalat, kecuali
dengan wudhu yang wajib.
Barangsiapa berwudhu untuk mengerjakan salah satu
perkara-perkara tersebut di atas, maka dia dapat mengerjakan seluruh perkara-perkara
itu dengan menggunakan satu kali wudhu. Wudhu yang sunnah adalah wudhu bagi orang
yang iunub (berhadats besar) ketika ia ingin tidur.
Wudhu yang mustahab adalah wudhu yang
dilakukan setiap hendak mengerjakan shalat bagi perempuan yang sedang istihadhah
dan orang yang terkena penyakit beser (suka kencing). Namun, ulama selain
madzhab Maliki mewajibkan wudhu untuk kedua kondisi tersebut. Termasuk wudhu
yang mustahab adalah wudhu untuk mengerjakan perbuatan yang dapat mendekatkan
diri kepada Allah, seperti membaca Al-Qur'an, berdzikir, berdoa, dan membaca
buku agama. Dianjurkan juga berwudhu karena ingin belajar; ingin berjumpa dengan
pemimpin, dan apabila ingin berhadapan dan bertemu orang banyak.
Wudhu yang mubah adalah wudhu untuk membersihkan
diri dan untuk mendinginkan badan yang panas.
Wudhu yang makruh adalah wudhu yang diperbarui,
sedangkan ia belum melakukan ibadah apa pun dengan wudhu yang pertama.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali (Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 98 dan seterusnya) memiliki pendapat yang sama
dengan ulama madzhab Hanafi dan Maliki, mengenai perkara-perkara yang telah
disebutkan. Orang-orang yang berada dalam kondisi di atas adalah dianjurkan
untuk berwudhu; di antaranya adalah ketika hendak membaca Al-Qur'an atau hadits,
mempelajari ilmu agama, memasuki, duduk atau menyeberangi masjid, berdzikir, adzan,
ingin tidur; menghilangkan rasa ragu terhadap hadats kecil, ketika marah
(karena marah itu bersumber dari setan dan setan berasal dari api, adapun air
mempunyai fungsi untuk memadamkan api, sebagaimana yang disebutkan dalam
hadis), ketika mengucapkan yang diharamkan seperti mengumpat dan sejenisnya,
ketika hendak mengerjakan beberapa amalan haji seperti wuquf, melontar jumrah,
dan berziarah ke kubur Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berwudhu juga disunnahkan pada waktu
hendak makan dan setiap akan melakukan shalat. Hal ini karena terdapat sebuah
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah, "Jika tidak menyusahkan umatku, tentulah aku memerintah
mereka untuk berwudhu pada setiap akan menunaikan shalat.” Riwayat Ahmad
dengan isnad yang shahih.
Menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i, wudhu
juga disunnahkan setelah melakukan bekam, hidung berdarah, sewaktu mengantuk, setelah
tidur dalam keadaan pantatnya rapat, sesudah tertawa terbahak-bahak ketika akan
shalat, setelah makan sesuatu yang dimasak dengan api, memakan daging unta,
ketika dalam keadaan ragu-ragu mengenai hadatsnya, karena berziarah ke kubur,
mengantar dan menyentuh mayat.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########