BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

7. DARAH ISTIHADHAH DAN HUKUMNYA

Definisi istihadhah adalah darah yang mengalir bukan pada waktu biasa (selain haid dan nifas) disebabkan sakit di bagian pangkal (dekat) rahim. Pendarahan itu disebut al-'aadzil.
Jadi, setiap darah yang keluar sebelum masa haid (yaitu sembilan tahun) atau kurang dari masa minimal haid, lebih dari masa maksimal haid, lebih dari masa maksimal nifas, lebih dari hari-hari kedatangan bulan yang biasa dan melebihi masa maksimal haid, atau darah yang datang dalam masa mengandung, menurut ulama Hanafi dan Hambali, semuanya itu adalah darah istihadhah (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 262 dan seterusnya; Muraqil Falah halaman 25; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 207 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 41; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 339; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 235-237).

A. Hukum-Hukum Mustahadhah

Ada tiga perkara yang perlu dibahas, yaitu:

(1) Apakah perkara yang dihanmkan bagi wanita haid, juga diharamkan bagi wanita mustahadah

Istihadhah ialah hadats yang berterusan sama seperti kencing, madzi, berak, dan kentut yang berterusan. Hal ini disetujui oleh seluruh ulama fiqih. Atau –menurut pendapat ulama Hanafi dan Hambali seperti hidung yang senantiasa berdarah ataupun luka yang darahnya tidak berhenti. Oleh sebab itu, istihadhah ini tidaklah menghalangi apa-apa. Tidak seperti darah haid dan nifas yang menyebabkan terhalangnya melakukan shalat, puasa, walaupun shalat sunnah, thawaf,  membaca Al-Qur'an, menyentuh Al-Qur'an, masuk masjid, i'tikaf, dan bersetubuh tanpa paksaan. Darah istihadhah tidak menghalang amalan-amalan itu karena alasan dharurah (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 275; Muraqil Falah halaman 25; Fathul Qadir jilid 1 halaman 121; Asy-Syahursh Shaghir jilid 1 halaman 210; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 41; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 111; Al-Mughni jilid 1 halaman 339; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 235-237).
Dan juga karena terdapat beberapa hadits yang menerangkan tentang itu. Di antaranya adalah:
(a) Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah di mana beliau mengatakan bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Aku perempuan yang senantiasa didatangi darah istihadhah, aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, "ltu adalah 'irq (pendarahan). Ia bukan haid. Jika datang haid, hendaklah engkau tinggalkan shalat. Dan jika kadar masa kebiasaannya telah berlalu (tamat), maka mandilah dan bersalatlah." Riwayat Al-Bukhari, An-Nasa’i dan Abu Dawud (Nailul Authar jilid 1 halaman 268).
(b) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh Hamnah binti Jahsy supaya berpuasa dan shalat dalam keadaan istihadhah. Riwayat Abu Dawud, Ahmad, At-Tirmidzi dan dia menghukuminya shahih (Nailul Authar jilid 1 halaman 271).
(c) Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari lkrimah, dari Hamnah binti Jahsy bahwa ketika dia didatangi darah istihadhah, suaminya menyetubuhinya. Ikrimah juga berkata Ummu Habibah didatangi darah istihadhah dan suaminya menyetubuhinya. Hamnah ialah istri Thalhah, sedangkan Ummu Habibah ialah istri Abdurrahman bin Auf. Anak perempuan Jahsy ada tiga, yaitu: Zainab Ummul Mukminin, Hamzah dan Umum Habibah (Subulus Salam jilid 1 halaman 103).
Inilah bukti yang menghalalkan bersetubuh dengan perempuan yang didatangi darah istihadhah. Pendapat ini juga diakui oleh para fuqaha, termasuk Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya.
Dalam satu riwayat lagi yang bersumber darinya, yang dapat dikatakan sebagai pendapat yang rajih menurut ulama Hambali, ialah tidak boleh menyetubuhi wanita mustahadhah kecuali jika suaminya khawatir akan melakukan perkara terlarang. Hal ini berdasarkan riwayat Al-Khallal dengan sanadnya dari Aisyah, bahwa Aisyah mengatakan, seorang istri yang mustahadhah tidak boleh disetubuhi oleh suaminya. Lagipula, istihadhah adalah darah penyakit. Oleh karena itu, haram menyetubuhinya sama seperti orang yang sedang haid.
Allah Ta’ala dalam melarang bersetubuh dengan orang yang sedang haid memberi 'illah  (alasan) sebagai adza (penyakit) berdasarkan firman-Nya, "... Katakanlah, 'ltu adalah sesuatu yang kotor.' Karena itu jauhilah istri pada waktu haid.... " (Al-Baqarah: 222)
Tetapi jika darah istihadhah itu telah berhenti, maka para ulama Hambali mengatakan bahwa wanita itu boleh disetubuhi tanpa perlu mandi terlebih dahulu. Sebab, dia tidak diwajibkan mandi, sama hukumnya dengan kencing yang berterusan.

(2) Cara Thaharah Wanita Mustahadah (Wudhu dan Mandi)

Ulama madzhab Maliki berpendapat (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 26, 41; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 57 dan seterusnya) bahwa wanita yang mustahadah disunnahkan mengambil wudhu setiap kali hendak shalat, sebagaimana ia disunnahkan membasuh darah istihadhahnya setelah darah itu berhenti.
Adapun jumhur (ulama Hanafi, Syafi'i dan Hambali) berpendapat (Al-Lubab jilid 1 halaman 51; Muraqil Falah halaman 25; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 111; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 45 dan setelahnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 340-342), bahwa wanita yang mustahadah diwajibkan mengambil wudhu setiap kali hendak melakukan shalat setelah ia membasuh kemaluannya, mengikat dan memasukkan kapas ke dalamnya. Kecuali jika penahanan darah itu (mengikat dan memasukkan kapas) menyakitkan, ataupun dia sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hamnah ketika dia mengadu kepada Rasul tentang banyaknya darah yang keluar. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam Bersabda, "Ambillah kapas dan gunakanlah, ia akan menghilangkan darah.” Riwayat Abu Dawud, Ahmad, At-Tirmidzi dan dihukumi shahih.
Jika telah diikat secara rapi (seperti ikat simpul) namun darah masih tetap keluar, tetapi tidak sampai mengotori ikatan, maka shalatnya tidak batal. Hal ini berdasarkan riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy mengalami istihadhah lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, "Jauhilah shalat pada hari-hari haid kamu, kemudian mandi dan berwudhulah untuk setiap kali shalat. Setelah itu shalatlah, walaupun darah masih menitik di atas tikar (al-hashir).” Riwayat Imam Hadits yang Lima (Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah) juga riwayat lbnu Hibban. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya tanpa menyebut, "Berwudhulah setiap kali shalat." (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 199 dan seterusnya; Nailul Authar jilid 1 halaman 275)
Dalil yang menunjukkan bahwa wanita mustahadhah hendaklah mengambil wudhu setiap kali akan menunaikan shalat fardhu, adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tentang mustahadhah, "Tinggalkanlah shalat pada hari-hari haid. Kemudian mandi dan berwudhulah setiap kali shalat, lakukanlah puasa dan shalat.” Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi. Dia mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan (Nailul Authar jilid l halaman 274; Nashbur Rayah jilid 1 halaman 202 dan seterusnya). Adapun hadits yang berbunyi, "Perempuan yang sedang istihadhah hendaklah berwudhu setiap kali hendak melakukan shalat," yang diriwayatkan oleh Sibt ibnul Jauzi dari Abu Hanifah, dikatakan sebagai hadits gharib oleh Az-Zailai (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 204).
Lagipula, thaharah yang dilakukan adalah thaharah karena udzur dan dalam keadaan Darurat. Oleh karena itu, ia terikat dengan waktu seperti halnya tayamum. Wanita mustahadah tidak diwajibkan kecuali mandi sekali saja. Hal ini disepakati oleh empat madzhab fiqih dan berdasarkan hadits yang telah lalu, juga hadits-hadits lain seperti hadits Hamnah. Menurut ulama Syafi'i, Hambali, Hanafi, dan Maliki, mandi bagi wanita mustahadhah disunnahkan setiap kali hendak shalat. Pendapat ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan dalam pembahasan mandi sunnah, yaitu bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh Ummu Habibah mandi, lalu dia mandi setiap kali akan shalat. Muttafaqun ‘alaihi.
Menurut pendapat ulama Hanafi, wanita mustahadhah dan wanita lain semacamnya boleh shalat beberapa fardhu dan sunnah dengan menggunakan satu kali wudhu. Wudhunya batal dengan keluarnya waktu seperti yang telah dijelaskan dalam perbincangan tentang wudhunya orang udzur.
Menurut ulama Hambali, wanita itu boleh menggabungkan dua shalat dengan satu wudhu. Karena, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh Hamnah binti Jahsy menggabungkan dua shalat dengan satu wudhu. Baginda juga menyuruh Sahlah binti Suhail melakukan seperti itu. Apabila waktu sudah keluar (terlewat), maka batallah thaharah tersebut. Dari perbincangan ini, jelas bahwa kedua-dua madzhab Hanafi dan Hambali mempunyai pendapat yang sama.
Ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa wanita yang mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak melakukan shalat fardhu, meskipun karena nadzar. Hal ini seperti halnya tayamum, karena ada hadats. Wanita itu juga boleh menggunakan wudhunya itu untuk shalat jenazah dan beberapa shalat sunnah. Menurut pendapat yang ashah, wanita itu juga diwajibkan memperbaharui ikatannya setiap kali melakukan shalat fardhu. Ini diqiyaskan dengan memperbaharui wudhu. Dia wajib menyegerakan shalat seketika setelah selesai wudhu, kecuali karena melakukan kemaslahatan seperti menutup aurat, adzan, iqamah, menunggu kedatangan jamaah, berijtihad menentukan arah kiblat, pergi ke masjid, dan mencari penghalang. Semua ini telah dijelaskan dalam pembahasan tentang wudhu orang yang udzur.

(3) Menetapkan Masa Haid Wanita yang Mustahadhah

Karena darah wanita mustahadhah terus mengalir akibat sakit, maka dia perlu penjelasan mengenai masa haid bulanan supaya dia dapat melaksanakan hukum-hukum haid, dan mengetahui bahwa hari-hari selain itu adalah istihadhah. Dalam hal ini, terdapat prinsip-prinsip
utama yang dinyatakan oleh Sunnah. Di antaranya adalah:

(a) Membuat Perbedaan Menurut Sifat Darah

Jika darah itu hitam, maka ia adalah darah haid. Jika tidak, maka ia adalah istihadhah. Artinya jika perempuan itu dapat membedakan antara darah haid dan istihadhah, maka dia hendaklah mengambil keputusan berdasarkan perbedaan itu. Hal ini berdasarkan hadits Urwah dari Fatimah binti Abu Hubaisy bahwa dia sedang istihadhah, lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, "Jika ia darah haid, maka ia dapat diketahui dengan warna hitam, Jika terdapat warna itu, hendaklah kamu tinggalkan shalat. Jika warna lain, hendaklah engkau mengambil wudhu dan shalatlah, karena itu adalah 'irq (pendarahan)." Riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan dia menghukuminya shahih. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi (Nailul Authar jilid 1 halaman 270).

(b) Perbedaan Berdasarkan Pengalaman atau Kebiasaan yang Sudah Berlaku

Cara ini berdasarkan hadits Aisyah dari Fatimah binti Abu Hubaisy, yang diriwayatkan  oleh Imam Al-Bukhari, "Tetapi tinggalkanlah shalat mengikut kadar hari-hari yang (biasanya) engkau didatangi haid. Kemudian mandilah dan shalatlah.” (Nailul Authar jilid 1 halaman 268; Subulus Salam jilid 1 halaman 100)

(c) Berdasar kepada Kebiasaan Kebanyakan Wanita

Biasanya haid berlangsung selama enam atau tujuh hari. Cara ini diikuti jika cara yang pertama dan kedua di atas tidak dapat diikuti. Dalam hadits Hamnah binti Jahsy disebutkan, "Sesungguhnya itu adalah termasuk rakdhah (godaan) setan. Oleh karena itu, anggaplah masa haidmu adalah selama enam atau tujuh hari (Allah Ta’ala Maha Mengetahui yang sebenarnya). Kemudian mandilah, sehingga apabila engkau dapati bahwa engkau telah suci dan engkau yakin bahwa darah berhenti, maka shalatlah 24 hari atau 23 hari. Maka, hendaklah engkau berpuasa, dan itu adalah sah. Hendaklah engkau lakukan yang demiki an itu setiap bulan seperti wanita-wanita lain yang mengalami haid, dan seperti wanita-wanita yang mengalami suci dalam waktu-waktu haid dan suci mereka." Riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan dia menghukuminya sebagai shahih (Nailul Authar jilid 1 halaman 271; Subulus Salam jilid 1 halaman 102). Godaan di sini karena setan mencari jalan untuk merusak urusan agama seseorang, bersuci dan juga shalatnya, hingga dia lupa bahwa itu adalah kebiasannya.

B. Masa Haid Wanita Mustahadhah

(1) Madzhab Hanafi

Menurut ulama madzhab Hanafi (Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 62; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 277; Fathul Qadir jilid 1 halaman 122-124; Al-Lubab jilid 1 halaman 50; Al-Bada’i jilid 1 halaman 41 dan seterusnya), seorang wanita mustahadhah adakalanya pertama kali mengalaminya (mubtada'ah) yaitu darah keluar berterusan seketika setelah baligh atau (darah) pada waktu nifas yang pertama kemudian berterusan. Adakalanya juga sudah biasa mengalaminya (mu'tadah), yaitu wanita yang pernah datang darah dan kemudian suci. Dan adakalanya juga wanita yang mutahayyirah, yaitu wanita mu'tadah yang lupa hitungan kebiasaan datang bulan.

(a) Mubtadi'ah

Wanita mubtadi'ah hendaklah menentukan haidnya selama sepuluh hari, sebab haid tidak melebihi sepuluh hari. Sucinya ditetapkan selama dua puluh hari setiap bulan (sepuluh hari haid dan dua puluh hari istihadhah). Ini dilakukan berdasarkan hadits yang telah lalu, yaitu hadits, "Wanita mustahadhah meninggalkan shalat pada hari-hari haidnya." Demikian juga nifasnya dihitung sebanyak empat puluh hari, dan masa sucinya dari nifas itu dua puluh hari. Kemudian haidnya baru dihitung setelah itu sebanyak sepuluh hari. Demikianlah seterusnya hingga dia suci secara betul ataupun mati.

(b) Mu'tadah

Wanita mu'tadah (yang biasa didatangi haid) yang tidak lupa berapa lama masa haidnya, maka hendaklah dia memerhatikan masa kebiasaan yang dia ketahui dalam menentukan haid dan suci. Jadi, darah yang lebih dari masa itu dianggap darah istihadhah. Oleh karena itu, jika dia meninggalkan shalat setelah masa haid yang biasa itu berlalu, maka dia wajib mengqadha' shalatnya. Namun apabila kebiasaan masa sucinya berlangsung selama enam bulan atau lebih, maka -untuk menentukan berakhirnya masa 'iddah- ia hendaknya merujuk kepada jangka enam bulan kurang satu jam. Dan untuk menentukan hal yang lain (bukan 'iddah), maka hendaklah dia merujuk kepada kebiasaannya yang pernah dialami, sebagaimana yang diterangkan sebelum ini. Pendapat yang difatwakan adalah adat ditetapkan dengan berlakunya kebiasaan itu, meskipun baru sekali saja.

(c) Muhayyirah

Bagi wanita muhayyirah, yaitu yang lupa kebiasaan haidnya (tanggal dan bilangan harinya), maka haid dan sucinya tidak ditetapkan. Namun, dia hendaklah senantiasa berhati-hati berkenaan dengan hukum-hukum syara'. Yaitu selalu menghindarkan diri dari melakukan hal-hal yang dilarang ketika haid, seperti membaca Al-Quran, menyentuhnya, masuk masjid dan sebagainya, tidak melakukan hubungan intim dengan suami, mandi setiap hendak melakukan shalat, hendaklah menunaikan shalat fardhu dan witir saja dan membaca sekadar yang perlu dalam shalat.
Adapun dalam masalah habis 'iddah, maka menurut pendapat yang ashah hendaklah dihitung hingga enam bulan kurang satu jam, sebab masa suci di antara dua haid biasanya adalah kurang dari masa hamil (yaitu enam bulan), oleh sebab itu masa iddah dihitung enam bulan kurang satu jam. Jika dia dicerai, maka'iddahnya habis setelah sembilan belas bulan kecuali tiga jam, karena ada kemungkinan wanita itu diceraikan pada awal masa suci, di mana dia perlu menunggu tiga kali haid yang jumlah ke semuanya ialah satu bulan (sebab setiap haid ialah sepuluh hari), dan dia juga perlu kepada tiga kali suci di mana jumlah keseluruhannya adalah delapan belas bulan kurang tiga jam.

(2) Madzhab Maliki

Mustahadhah adalah wanita yang darahnya keluar terus setelah masa haidnya sempurna. Jika dia dapat membedakan darah tersebut dengan cara meneliti bau, warna, rasa sakitnya, atau lainnya -bukan dengan cara membedakan banyak atau sedikitnya- maka itu adalah darah haid (dipertimbangkan untuk beribadah dan masa ‘iddah). Namun, dengan syarat darah tersebut didahului oleh masa suci minimal, yaitu lima belas hari. Sebagaimana diketahui bahwa darah haid adalah hitam dan kental, Adapun darah istihadhah adalah merah dan lembut. Darah yang warnanya setengah kuning dan keruh adalah darah haid, seperti yang telah kita jelaskan dahulu mengenai warna-warna darah.
Menurut pendapat yang ashah, wanita yang dapat membedakan jenis darah tidak boleh menunggu waktu tiga hari melewati masa kebiasaannya (adat haid) untuk tujuan mencari kepastian. Ini menurut pendapat yang ashah, melainkan wanita itu hendaklah berpedoman
pada kebiasaannya,
Jika wanita itu tidak dapat membedakan, maka dia dianggap mustahadhah (dianggap dalam keadaan suci), meskipun keadaan ini berlangsung sepanjang hidupnya. Demikian juga, wanita dianggap mustahadhah jika dia dapat membedakan sebelum masa suci yang paling minimum berakhir. Sebab, perbedaan itu tidak dianggap dan tidak berfaedah baginya.
Kesimpulannya adalah, wanita mustahadhah tidak dianggap sebagai haid kecuali dengan tiga syarat berikut: (a) Wanita itu hendaklah dapat membedakan darah; (b) Darah itu berubah dari sifat darah haid kepada sifat darah istihadhah; (c) Hendaklah sebelum masa istihadhah ada masa suci yang paling minimal (15 hari).

(3) Madzhab Syafi’i

Menurut ulama madzhab Syafi’i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 113-118; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 144 dan seterusnya), darah yang keluar setelah lewat 15 hari dianggap darah mustahadhah. Wanita yang  mengalami kasus ini ada tujuh macam:

(a) Al-Mubtadi’ah Al-Mumayyizah

Yang dimaksud dengan al-mubtadi’ah adalah wanita yang pertama kali mengalami haid.  Sedangkan al-mumayyizah adalah wanita yang dapat membedakan jenis darah, juga dapat membedakan darah yang kuat dan yang lemah, begitu juga darah hitam dan darah merah. Telah diterangkan sebelum ini, yaitu warna darah hitam, merah, kuning dan keruh.
Darah yang lemah ialah darah istihadhah dan darah yang kuat ialah darah haid. Dengan syarat, darah yang kuat itu  keluarnya tidak kurang dari masa minimal haid (yaitu satu hari satu malam), juga hendaknya tidak melebihi masa maksimal (yaitu 15 hari). Sebab, haid tidak boleh melebihi masa maksimum tersebut. Juga, dengan syarat darah yang lemah itu tidak kurang dari masa minimal suci (yaitu 15 hari) jika memang darah itu keluar terus-menerus. Artinya, darah itu terus keluar selama 15 hariataupun lebih.
Jika darah yang kuat keluarnya kurang dari masa minimal haid, atau lebih dari masa maksimalnya, ataupun darah yang lemah kurang dari masa minimal suci ataupun dia tidak keluar secara terus-menerus -seperti satu hari keluar darah hitam dan satu hari darah merah- maka wanita itu kehilangan syarat tamyiz (mampu membedakan) dan hukum darah tersebut dapat diketahui melalui bentuk yang kedua.

(b) Al-Mubtadi’ah Ghairul Mumayyizah

Yaitu wanita yang pertama kali mengalami keluar darah merah, tetapi dia mendapati darah-darah yang keluar itu sifatnya sama. Wanita dalam kategori ini sama hukumnya dengan wanita di atas yang dapat membedakan darah, tetapi tidak mempunyai salah satu syarat yaitu tamyiz (kemampuan membedakan).
Hukum darahnya adalah haidnya dikira selama satu hari satu malam dan sucinya selama dua puluh sembilan hari, jika memang wanita itu mengetahui waktu mulainya keluar darah. Tetapi jika dia tidak mengetahui awal mula keluarnya darah, maka dia dianggap sebagai wanita mutahayyirah yang hukumnya akan diterangkan nanti.

(c) Al-Mu'tadah Al-Mumayyizah

Al-Mu'tadah adalah wanita yang pernah mengalami haid dan suci. Adapun al-mumayyizah ialah wanita yang mendapati darah yang keluar ada yang kuat dan ada yang lemah, seperti yang telah dijelaskan. Menurut pendapat yang ashah, kebiasaan  (adat) dapat ditetapkan dengan satu keiadian, meskipun hanya sekali.
Dalam keadaan seperti ini, hendaklah wanita itu menetapkan hukum berdasarkan perbedaan (tamyiz) darah. Dia tidak boleh mendasarkan kepada adat kebiasaan yang bertentangan dengan keputusan yang didasarkan kepada perbedaan (tamyiz) darah. Ini adalah pendapat yang ashah, namun dengan syarat di antara darah yang kuat dan yang lemah itu tidak wanita itu biasa mengalami haid selama lima hari dari awal bulan dan setelah lima hari dia berada dalam keadaan suci, kemudian dia mengalami istihadhah (darah keluar terus), dan dia mendapati dalam masa 10 hari dari awal bulan warna darah itu hitam dan sisanya berwarna merah, maka haidnya ialah selama 10 hari, bukannya selama lima hari. Hal ini berdasarkan hadits yang lalu, yaitu hadits, "Darah haid diketahui melalui warnanya yang hitam." Lagipula, kemampuan membuat perbedaan (tamyiz) jenis darah adalah lebih kuat bagi menentukan jenis darah daripada berdasarkan kebiasaan (adat). Sebab, tamyiz merupakan tanda pada darah, sedangkan kebiasaan (adat) merupakan tanda tuannya.
Kalau kebiasaan (adat) sesuai dengan perbedaan (tamyiz), umpamanya kebiasaannya ialah lima hari dari awal bulan, dan perbedaan (tamyiz) yang terjadi pun demikian, maka hendaklah dia menggunakan kedua-duanya.
Jika di antara dua jenis darah itu diselingi dengan masa suci minimal, umpamanya setelah lima hari haid, dia mengalami keluar darah yang lemah selama dua puluh hari, kemudian keluar darah yang kuat selama lima hari, kemudian keluar darah lemah lagi, maka kebiasaan (adat) digunakan untuk menentukan haid yang bisa didasarkan kepada adat. Dan perbedaan (tamyiz) juga digunakan untuk menentukan haid yang bisa ditentukan dengan cara tamyiz.

(d) Wanita yang biasa mengalami haid namun tidak dapat membuat perbedaan (antara darah tersebut), tetapi dia dapat mengingat kebiasaan (adat) lamanya haid dan kapan biasanya dia haid

Wanita ini adalah wanita yang pernah mengalami haid dan suci, tetapi dia mendapati darah-
darah yang keluar hanya mempunyai satu sifat saja. Di samping itu, dia dapat mengingat berapa lama biasanya dia haid dan dia dapat menentukan waktu biasanya dia haid.
Hukumnya adalah hendaknya wanita tersebut mendasarkan kepada kebiasaan lama waktunya haid dan juga kapan biasanya dia haid. |ika dia mengalami haid selama lima hari dalam satu bulan, dan bermula pada awal bulan kemudian dia didatangi darah istihadhah, maka haidnya ialah lima hari dari awal bulan dan sisanya adalah suci. Hukum ini berdasarkan kepada kebiasaan (adat) meskipun kebiasaan itu tidak berulang. Sebab, adat (kebiasaan) dapat ditetapkan dengan satu kejadian saja, jika memang kebiasaan itu tidak saling bertentangan. Namun jika ia bertentangan, maka adat (kebiasaan) tidak bisa ditentukan hanya dengan sekali kejadian saja.

(e) Wanita yang biasa mengalami haid, tetapi dia tidak dapat membuat perbedaan (antara darah tersebut) dan dia tidak ingat berapa lama dan kapan biasanya dia haid.

Hukumnya sama seperti hukum orang yang sedang haid, yaitu dia haram bersetubuh, haram membacaAl-Qur'an di luar shalat dan haram menyentuh Al-Qur'an. Ini sebagai langkah berhati-hati, sebab setiap masa yang dia alami ada kemungkinan sebagai masa haid, Pada waktu yang sama, dia juga dihukumi sama seperti orang yang suci dalam beberapa hukum. Yaitu, seperti kewajiban mendirikan shalat fardhu dan mendirikan shalat sunnah menurut pendapat yang ashah, demikian juga dalam masalah puasa. Ini juga sebagai langkah berhati-hati, sebab setiap waktu yang dia lalui ada kemungkinan sebagai masa suci. Jadi, dia wajib mandi setiap kali hendak mengerjakan shalat fardhu dalam waktunya. Sebab, ada kemungkinan darahnya berhenti pada waktu-waktu itu. Ini jika memang dia tidak mengetahui waktu berhentinya darah haid.
Jika dia mengetahuinya seperti dia mengetahui bahwa masa berhentinya ialah ketika matahari tenggelam, maka dia tidak wajib mandi kecuali ketika matahari tenggelam.
Dia juga hendaklah berwudhu ketika menunaikan fardhu-fardhu yang lain. Sebab, ada kemungkinan masa berhentinya darah adalah ketika matahari tenggelam.
Dia juga hendaklah berpuasa pada bulan Ramadhan, dan setelah itu dia hendaklah berpuasa sebulan penuh. Tapi, dia tetap menanggung (kewajiban) puasa dua hari. Sebab, boleh jadi haidnya bermula pada hari pertama bulan puasa, dan kemungkinan juga dia didatangi haid yang maksimal (15 hari) sehingga menyebabkan puasanya rusak pada hari yang ke-16. Sebab, mungkin haidnya datang di pertengahan hari dan terputus di pertengahan hari.
Jadi, dia dianggap suci dalam dua puluh delapan hari dalam dua bulan, yaitu 14 hari pada setiap bulan. Oleh karena itu, dia masih mempunyai kewajiban puasa dua hari. Dikarenakan, masa minimal suci adalah lima belas hari. Maka untuk mendapatkan dua hari puasa itu, hendaklah dia berpuasa pada hari ke 18: tiga hari pertama dan tiga hari terakhir.

(f) Wanita yang sudah biasa mengalami haid dan dia tidak dapat membuat perbedaan, tetapi dia dapat mengingat berapa lama biasanya dia haid, namun dia tidak ingat kapan biasanya dia haid

Seperti seorang wanita yang mengatakan bahwa haidnya biasanya adalah lima hari dalam rentang sepuluh hari di awal bulan, namun dia tidak mengetahui kapan haidnya itu bermula. Tetapi, dia tahu secara yakin bahwa hari pertama adalah suci. Oleh sebab itu, hari yang keenam dapat dipastikan secara yakin sebagai masa haid. Hari yang pertama dipastikan sebagai masa suci, sama seperti hari dua puluh hari yang akhir (tersisa dalam bulan itu). Adapun hari yang kedua hingga akhir hari kelima ada kemungkinan sebagai masa haid secara terus-menerus dan mungkin juga suci secara terus-menerus. Hari ketujuh hingga akhir hari kesepuluh kemungkinan adalah masa haid, mungkin juga masa suci dan kemungkinan juga terputus-putus.
Bagi seseorang wanita yang yakin masa haid dan sucinya, maka ada hukumnya tersendiri. Adapun bagi wanita berada dalam kondisi serba berkemungkinan, maka hukumnya adalah sama seperti wanita yang lupa tentang haid dan sucinya, seperti wanita dalam kategori kelima di atas.
Seperti yang telah diketahui, wanita tersebut tidak wajib mandi kecuali ketika ada kemungkinan darah berhenti. Masa kemungkinan berhentinya darah ini dinamakan dengan "masa suci yang diragukan." Sedangkan masa yang tidak mungkin darah berhenti dinamakan dengan "haid yang diragukan."

(g) Wanita yang biasa mengalami haid dan dia tidak dapat membuat perbedaan

Namun, dia dapat mengingat kapan biasanya dia haid, tetapi tidak dapat mengingat berapa lama biasanya dia haid. Contohnya adalah apabila ada seorang wanita yang mengatakan bahwa haidnya bermula pada awal bulan, tetapi dia tidak tahu berapa hari dia berlangsung.
Hukum wanita seperti ini adalah masa dalam satu hari satu malam dianggap masa haid (secara yakin). Separuh bulan yang terakhir adalah suci (secara yakin). Adapun hari-hari di antara keduanya adalah ada kemungkinan haid, suci, dan mungkin juga terputus-putus.
Jadi, bagi seorang wanita yang yakin masa haid dan sucinya, maka hukumnya sudah jelas. Adapun orang yang berada dalam masa serba mungkin, maka kedudukannya sama seperti wanita yang lupa (masa haid dan suci) seperti hukum-hukum wanita yang telah dinyatakan sebelum ini.

Kesimpulan

Kesimpulannya adalah, bagi wanita-wanita yang mengalami tiga keadaan terakhir seperti
yang disinggung di atas, maka dia dinamakan mutahayyirah, yaitu orang yang lupa tentang kebiasaan haidnya baik dari segi kadar (lamanya berlangsung) maupun waktunya, atau dia lupa kadar; tetapi tidak lupa waktunya, atau sebaliknya. Hukumnya yang masyhur adalah dia wajib berhati-hati (ihtiyat). Oleh karena itu, dia diharamkan bersetubuh, menyentuh Al-Qur'an, dan membaca Al-Qur'an selain masa shalat. Tetapi, dia tetap wajib melakukan shalat fardhu. Demikian juga shalat sunnah, menurut pendapat yang ashah. Dia hendaklah mandi pada setiap kali hendak mengerjakan shalat fardhu. Dia juga hendaklah berpuasa Ramadhan, dan kemudian berpuasa sebulan penuh. Dengan demikian, dia memperoleh empat belas hari dalam setiap bulan tersebut. Kemudian hendaklah dia berpuasa dari hari ke-18, yaitu hari bagian pertamanya dan tiga hari lagi bagian akhirnya. Dengan demikian, dia telah memperoleh dua hari tersebut.
Wanita yang bukan al-mutahayyirah hendaklah berusaha membuat perbedaan jenis darah, jika dia memang dapat membuat per bedaan itu, baik dia adalah seorang yang baru mengalami haid (mubtadi'ah) ataupun dia orang yang telah biasa didatangi haid (mu'tadah). Jika dia tidak dapat membuat perbedaan, tetapi dia dapat mengetahui kebiasaan haidnya baik dari segi waktu atau dan lamanya, maka keputusannya dikembalikan kepada kebiasaan itu. Jika wanita itu adalah
orang yang baru mengalami haid dan dia tidak dapat membuat perbedaan ataupun kehilangan syarat membuat perbedaan, maka menurut pendapat yang azhar haidnya ialah satu hari satu malam dan sucinya ialah dua puluh sembilan hari.

(4) Madzhab Hambali

Menurut ulama madzhab Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 234-246; Al-Mughni jilid 1 halaman 310-332 dan seterusnya), wanita mustahadhah adakalanya mubtadi'ah, dan adakalanya mu'tadah, dan kedua-duanya adakalanya dapat membedakan (darah haid dengan lainnya) dan adakalanya tidak dapat membedakan. Jika dia termasuk mubtadi'ah dan dapat membuat perbedaan, maka dia harus mendasarkan keputusannya kepada perbedaan itu. Jika dia baru mengalami haid, tetapi tidak dapat membuat perbedaan, maka haidnya ditetapkan selama satu hari satu malam. Setelah itu, dia hendaklah mandi. Hari-hari selebihnya dalam bulan tersebut dianggap sebagai masa suci. Ketetapan demikian adalah untuk tiga bulan yang pertama. Pada bulan keempat, ia berpindah kepada kebiasaan (ghalib) haid, yaitu enam atau tujuh hari menurut ijtihadnya. Perincian pendapat madzhab Hambali adalah seperti berikut.

(a) Mubtadi'ah yang tidak dapat membuat perbedaan

Dia hendaklah menetapkan haidnya selama satu hari satu malam, karena masa itu adalah masa yang meyakinkan, sedangkan masa yang lebih dari itu adalah diragukan, sama seperti wanita yang bukan mustahadhah. Kemudian hendaklah dia mandi dan melakukan shalat sebagai langkah berhati-hati supaya dia dapat terbebas dari tanggungan. Tetapi, dia tetap haram disetubuhi dalam masa 15 hari jika dalam masa ini memang darahnya masih terus keluar. Jika darah berhenti sebelum masa ini hendaklah dia mandi, yaitu mandi yang kedua. Pada setelah itu, ia boleh bersetubuh.
Dalam masa tiga bulan pertama, hendaklah ketentuan ini dilakukan seperti itu. Karena, kebiasaan (adat) tidak akan ditetapkan tanpa adanya pengulangan sebanyak tiga kali. Ini menurut zahir madzhab atau kebanyakan riwayat dari Imam Ahmad.
Pada bulan yang keempat, hendaknya dia berpindah kepada pertimbangan kebiasaan (ghalib) haid yang berlaku, yaitu enam atau tujuh hari menurut ijtihad dan pendapatnya. Dia hendaklah mengikuti apa yang menjadi dugaan kuatnya, bahwa masa itu lebih menyamai dengan kebiasaan adat atau kebiasaan wanita-wanita lain, ataupun lebih menyerupai haid. Jika darahnya melebihi masa maksimal haid (15 hari), maka darah itu (dianggap) darah mustahadhah, karena baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "ltu adalah 'irq (pendarahan) bukan haid." Lagi pula semua jenis darah tidak semestinya dianggap sebagai darah haid.

(b) Mubtadi'ah yang dapat membuat perbedaan

Contohnya adalah seperti wanita yang dapat membedakan darah hitam yang pekat atau busuk dari darah merah yang cair dan tidak busuk. Jika ini dapat dilakukan, maka dia hendaklah menetapkan jenis darah menurut perbedaan ini. Darah dianggap sebagai darah haid jika darah itu hitam atau pekat atau darah itu berbau busuh ini jika memang darah itu keluarnya tidak kurang dari masa minimal haid, (yaitu sehari semalam) dan tidak melebihi masa maksimalnya, (yaitu 15 hari). Kesimpulan ini adalah berdasarkan Hadits riwayat 'Aisyah tentang cerita Fatimah binti Abu Hubaisy yang diriwayatkan oleh An-Nasa'i: Jika memang darah haid. Maka ia diketahui dengan warna hitam. Oleh karena itu, janganlah shalat. Jika darah itu berwarna lain hendaklah dia berwudhu' dan shalat karena itu adalah darah (biasa) dan pendarahan.    
Jika darah itu kurang dari satu hari satu malam, maka itu adalah darah istihadhah. Jika keluarnya darah itu melebihi lima belas hari, umpamanya dalam sepuluh hari darahnya berwarna hitam dan dalam masa tiga puluh hari darahnya berwarna merah, maka haidnya ialah semasa darah
itu berwarna hitam, adapun selainnya adalah darah istihadhah, sebab ia tidak sama dengan karakter darah haid.

(c) Mu'tadah, yang tidak dapat membuat perbedaan

Dalam kasus seperti ini wanita tersebut hendaklah menggantungkan keputusannya kepada kebiasaan (adat) seperti yang akan dijelaskan nanti.

(d) Mu'tadah yang dapat membuat perbedaan

Misalnya seorang wanita mendapati setengah dari darahnya berwarna hitam, pekat, atau busuk, maka hendaklah dia mendahulukan kebiasaan (adatnya) daripada perbedaan (tamyiz), baik perbedaan darah (tamyiz) dan kebiasaannya itu menghasilkan kesimpulan yang sama-seperti kebiasaan haidnya ialah empat hari bermula dari awal bulan, dan dia mendapati darah hitam dalam masa empat hari juga, sedangkan darah pada hari-hari setelah itu berwarna merah atau pun kebiasaan (adat) dan perbedaan (tamyiz) itu menghasilkan kesimpulan yang berlainan. Contohnya adalah apabila kebiasaannya haid adalah enam hari, tetapi dia mendapati darah hitam hanya dalam empat hari saja sedangkan hari-hari setelahnya, darahnya berwarna merah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Tinggalkanlah shalat selama hari-hari haid kamu, kemudian mandi dan shalatlah."
Lagipula adat (kebiasaan) adalah lebih kuat, sebab ia tidak membatalkan kesimpulan yang ditetapkan atasnya (dilalahnya). Ini berbeda dengan warna. Apabila warna itu melebihi masa maksimal haid, maka kesimpulan yang ditetapkan berdasarkan hal itu (dilalah-nya) menjadi batal.

(e) Mu'tadah yang dapat membuat perbedaan tetapi lupa kebiasaan masa haidnya

Kasusnya adalah sama dengan seorang wanita yang baru pertama kali mengalami haid (al-mubtadi’ah), yaitu dia hendaklah mengikut at-tamyiz as-salih (perbedaan yang dapat dilakukan) karena darah itu adalah darah haid. At-tamyiz as-salih adalah apabila darah itu keluar tidak kurang
dari satu hari-satu malam dan tidak melebihi 15 hari. Hal ini berdasarkan hadits Fatimah binti Abu Hubaisy, yaitu, "Jika darah itu darah haid karena diketahui berwarna hitam, maka janganlah kamu shalat. Jika ia berwarna selain hitam, maka hendaklah kamu berwudhu karena itu adalah 'irq (pendarahan)."

(f) Al-Mutahayyirah

Yaitu wanita yang tidak tahu masa haidnya karena dia tidak mengetahui masa biasanya dia haid, dan dia juga tidak dapat membuat perbedaan jenis darah. Kasus ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga keadaan seperti berikut.

(i) Wanita yang lupa kapan dan berapa lama biasanya dia haid

Dalam keadaan seperti ini, ditetapkan bahwa haidnya wanita itu dalam setiap bulan adalah enam atau tujuh hari menurut ijtihadnya, yang didasarkan kepada sangkaan kita bahwa masa itu lebih mendekati kepada kebiasaannya (adatnya) atau kebiasaan wanita wanita lain, atau berdasarkan darah yang lebih menyerupai haid. Setelah masa itu selesai, hendaklah dia mandi. Darah-darah yang keluar setelah itu dihukumi sebagai darah istihadhah.Dia juga hendaklah puasa, shalat, dan thawaf. Ini adalah mengikut hadits Hamnah bin Jahsh, "Hendaklah kamu mengambil masa haid selama enam atau tujuh hari (Allah Ta’ala saja Yang Maha Mengetahui sebenarnya)  kemudian hendaklah kamu mandi."

(ii) Wanita yang lupa lamanya masa haid yang biasa dialami, tetapi dia ingat waktu biasanya dia mengalami haid

Contohnya adalah apabila ada wanita mengetahui bahwa dia haid biasanya pada tanggal sepuluh tiap bulan, tetapi dia tidak mengetahui berapa hari biasanya dia haid. Hukum wanita seperti ini adalah sama seperti hukum wanita yang dalam kasus pertama di atas, yaitu hendaknya dia mengembalikan keputusannya kepada kebiasaan haid, yaitu enam atau tujuh hari, menurut salah satu dari riwayat yang ashah.

(iii) Wanita yang lupa waktu biasanya haid, tetapi ingat lamanya masa haid

Artinya dia tahu tentang jumlah hari biasanya dia mengalami haid, tetapi dia lupa kapan itu terjadi. Contohnya adalah apabila ada wanita yang mengetahui jumlah hari haidnya dan dia lupa kapan haidnya itu terjadi, apakah haidnya terjadi pada awal bulan, di pertengahan bulan, ataupun di akhir bulan.
Hukum wanita yang seperti ini adalah hendaknya dia menetapkan haidnya pada setiap awal bulan sebab Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan haid Hamnah pada awal bulan, dan hendaklah ia melakukan shalat pada hari-hari setelah itu. Lagipula, darah haid adalah darah yang asal (al-ashl), sedangkan darah istihadhah adalah darah yang baru datang ('aaridhah). Oleh karena itu, darah haid lebih diutamakan.


PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)