Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
3. CARA MENYUCIKAN NAJIS HAQIQI DENGAN AIR
Tempat-tempat yang dapat dibersihkan dari
najis haqiqi ada tiga, yaitu badan, pakaian, dan tempat shalat.
Dalam pembahasan mengenai bahan-bahan yang
bisa digunakan untuk menyucikan najis, kita mengetahui bahwa air yang bersih merupakan
bahan asal yang dapat digunakan untuk membersihkan najis. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Asma binti Abu Bakar
mengenai cara membersihkan pakaiannya yang terkena darah haid, "Hendaklah
kamu menggosok-gosokkannya kemudian basuhlah ia dengan air.” Hadis ini
telah disetujui kesahihannya oleh Ahmad dan Asy-Syaikhan (Nailul Authar jilid
1 halaman 38)
Kita juga mengetahui bahwa pendapat yang rajih
di kalangan ulama madzhab Hanafi mengatakan, bahwa najis haqiqi dapat
dibersihkan dengan berbagai macam cairan selain air biasa seperti air mawar,
cuka, air buah-buahan, dan juga air tanaman. Najis haqiqi juga dapat
dibersihkan dengan berbagai macam bahan pembersih lainnya, yang menurut pendapat
ulama madzhab Hanafi jumlahnya mencapai 21: sebagiannya disepakati oleh ulama
yang lain dan sebagian lagi diperselisihkan.
Adapun cara membersihkan najis dengan air
ataupun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut (Lihat pendapat ulama madzhab
Hanafi dalam Al-Bada'i, jilid 1 halaman 897-899; Ad-Durrul Mukhtar,
jilid 1 halaman 303 - 310; Fathul Qadir, jilid 1 halaman 145; Al-Lubab,
jilid 1 halaman 57; Muraqi Al-Falah, halaman 26 dan seterusnya; lihat
pendapat ulama madzhab Maliki dalam Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman
83; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1, halaman 8l-82; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah, halaman 35; lihat pendapat ulama madzhab Syafi'i dalam Al-Majmu',
jilid 1 halaman 188; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 83-85; Al-Muhadzdzab,
jilid 1, halaman 48 dan selanjutnya dan lihat pendapat ulama madzhab Hambali
dalam Al-Mughni jilid 1 halaman 52-58; Kasysyaful Qina', jilid l
halaman 208-213).
a. Dari Segi Bilangan
Ulama madzhab Hanafi mensyaratkan kadar bilangan
tertentu untuk membersihkan najis yang tidak dapat dilihat oleh mata normal,
yaitu sebanyak tiga kali basuhan. Oleh sebab itu, mereka berkata, "Jika
najis itu dari jenis yang tidak dapat dilihat oleh mata normal seperti air
kencing bekas air liur anjing dan lain-lain, maka cara membersihkannya ialah
dengan membasuhnya hingga ia menjadi bersih mengikuti keyakinan pembasuhnya. Ia
tidak akan menjadi bersih kecuali dengan tiga kali basuhan." Mereka
menetapkan bilangan tiga kali ini -meskipun dalam masalah najis anjing- karena
keyakinan tentang bersihnya suatu tempat akan muncul pada diri seseorang dengan
bilangan itu. Lalu, ia dijadikannya sebagai suatu indikasi untuk membuktikan bersihnya
tempat yang terkena najis. Langkah ini diambil untuk memudahkan (taisir).
Dalilnya adalah dua buah hadits, "Wadah
yang dijilat anjing hendaklah dibasuh sebanyak tiga kali." Hadits riwayat
Abu Hurairah disampaikan melalui dua jalur sanad. Pertama, melalui Ad-Daruquthni,
dia mempunyai dua riwayat. Riwayatnya yang pertama terdapat seorang perawi matruk,
dan riwayat yang kedua, sanadnya shahih. Jalur kedua melalui riwayat Ibnu Adi
di dalam Al-Kamil dan juga riwayat Ibnul Jauzi. Hadits ini adalah hadits yang
tidak shahih (Nashbur Rayah, jilid l halaman 130 dan seterusnya).
Hadits kedua, “Apabila seseorang di antara
kamu bangun dari tidurnya, hendaklah dia membasuh tangannya sebanyak tiga kali
sebelum dia memasukkannya ke dalam bejana.” Hadis riwayat Malik,
Asy-Syafi’i dan juga Ahmad dalam musnadnya dan diriwayatkan juga oleh enam
pengumpul kitab hadis yang terkenal dari Abu Hurairah dan ia adalah hadis
shahih lagi hasan.
Dalam kedua hadits ini, Rasulullah telah
menyuruh agar dilakukan basuhan sebanyak tiga kali, meskipun pada najis yang tidak
dapat dilihat dengan kasat mata. Adapun perintah Rasul berkenaan dengan
membasuh jilatan anjing sebanyak tujuh kali itu adalah pada masa permulaan
Islam saja, yang bertujuan untuk menghapus adat kebiasaan orang pada masa itu
yang terlalu gemar memelihara anjing. Kondisinya sama seperti perintah memecahkan
botol arak dan larangan meminumnya ketika arak itu mulai diharamkan.
Sekiranya najis itu termasuk jenis yang dapat
dilihat dengan mata kasat seperti darah dan seumpamanya, maka pembersihannya ialah
dengan menghilangkan benda najis itu, meskipun dengan hanya sekali basuhan -menurut
pendapat yang shahih- kecuali jika bekasnya masih ada, seperti warna ataupun baunya.
Apa saja yang tidak dapat dihilangkan baik warna atau baunya, maka tidaklah
mengapa. Menurut pendapat yang rajih, najis itu hendaklah dibasuh hingga air
basuhan itu menjadi jernih atau bersih. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam kepada perempuan yang sedang mengalami haid yang tidak
dapat menghilangkan bekas darahnya, "Cukuplah bagi kamu menggunakan air
dan keberadaan bekasnya tidaklah berpengaruh apa-apa.” Hadits riwayat Imam
Ahmad, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah. Teks
sepenuhnya adalah sebagai berikut, "Khaulah binti Yassar berkata, “Ya
Rasulullah, saya hanya memiliki sehelai pakaian saja dan saya memakainya
sewaktu saya haid.” Baginda menjawab, “Apabila kamu suci, maka basuhlah
tempat yang terkena darah! Ia bertanya kepada Rasul lagi”, “Ya
Rasulullah, jika bekasnya tidak hilang?” Rasul menjawab, “Cukuplah kamu
menggunakan air dan kewujudan bekasnya tidak menyebabkan apa-apa.” Hadis
ini sanadnya lemah (Nailul Authar jilid 1 halaman 40).
Menghilangkan bekas najis itu dianggap susah
iika ia memang memerlukan bahan pembersih yang lain selain air bersih seperti sabun
ataupun air panas. Oleh sebab itu, kain yang dicelup dengan bahan najis akan
menjadi bersih apabila air yang digunakan untuk membasuhnya meniadi bersih,
meskipun bekas celupan naiis itu masih tetap ada pada kain itu.
Menurut pendapat yang ashah, tidaklah mengapa
bekas minyak yang terkena najis asalkan najis yang dibersihkan dengan basuhan itu
hilang. Minyak yang terkena najis akan menjadi bersih apabila air dicurahkan ke
atasnya sebanyak tiga kali.
Susu, madu lebah, anggur ataupun kurma serta
minyak, dapat dibersihkan dari najis dengan
cara memanaskannya di atas api hingga mendidih sebanyak
tiga kali. Kemudian dituangkan air ke atasnya, dipanaskan hingga mendidih dan
hingga minyaknya terapung. Cara ini dilakukan sebanyak tiga kali.
Daging yang dimasak dengan arak dapat dibersihkan
dengan cara memasaknya hingga mendidih dan dibiarkan hingga sejuk sebanyak tiga
kali. Oleh sebab itu, ayam yang dimasak sebelum dikeluarkan isi perutnya dapat dibersihkan
bagian luar dan dalamnya dengan cara membasuhnya, kemudian diulangi sebanyak tiga
kali, menurut pendapat yang telah difatwakan. Apabila seekor ayam dimasukkan ke
dalam air panas untuk memudahkan kerja mencabuti bulunya, maka ia dapat
dibersihkan dengan dibasuh sebanyak tiga kali.
Gandum yang dimasak dengan arak tidak mungkin
dibersihkan sama sekali. Ini adalah menurut pendapat yang telah difatwakan. Tetapi
jika ia menjadi mengembang karena air kencing, maka hendaklah ia direndam dan dikeringkan,
kemudian diulangi sebanyak tiga kali. Jika tepung roti itu dicampur dengan arak,
maka untuk menyucikannya adalah dengan cara mencurahkan cuka ke atasnya hingga
hilang bekas araknya, barulah ia menjadi bersih.
Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa untuk
membersihkan najis tidaklah cukup hanya dengan mengalirkan air saja. Najis dan luka
bekasnya haruslah dihilangkan terlebih dahulu hingga air yang berpisah dari
tempat yang dibersihkan itu menjadi bersih dan rasa najis itu hilang sama
sekali. Begitu juga dengan warna dan baunya juga harus hilang, jika memang
mudah untuk menghilangkan keduaduanya. Tidaklah mengapa jika masih terdapat warna
ataupun bau yang memang sukar dihilangkan seperti pakaian yang dicelup dengan za'faran
yang terkena najis ataupun nila yang terkena najis dan yang seperti dua hal
itu.
Untuk membasuh najis tidak disyaratkan kadar
bilangan basuhan tertentu, karena yang dipahami dari perintah menghilangkan naiis
ialah menghilangkan zatnya. Adapun bilangan tujuh kali yang disyaratkan untuk
membasuh bekas jilatan anjing adalah bertujuan ibadah, bukannya karena najis
itu.
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali berpendapat
bahwa apa saja yang menjadi mutanajjis
karena bersentuhan dengan sedikit (air liur, air kencing,
dan semua bagian yang basah, dan juga bagian-bagian kering apabila bersentuh dengan
sesuatu yang basah) dari badan anjing, babi, anak campuran antara kedua-duanya,
ataupun yang lahir dari salah satu di antara keduanya yang kawin dengan
binatang lain yang suci, hendaklah (tempat atau bagian yang terkena naiis itu)
dibasuh sebanyak tujuh kali. Salah satunya adalah dengan air yang dicampur
dengan debu yang bersih meskipun debu pasir. Karena, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, "Wadah yang dijilat anjing dibasuh
sebanyak tujuh kali, dan hendaklah basuhan pertamanya ataupun terakhirnya
dengan menggunakan (air bercampur dengan) tanah.” Hadits riwayat Imam
Hadits yang enam dalam kitab-kitab mereka dari Abu Hurairah. Menurut lafal Imam
Muslim dan Abu Dawud adalah sebagai berikut, "Bersihnya suatu wadah
kepunyaan salah seorang di antara kamu apabila dijilat anjing adalah dengan
cara membasuhnya sebanyak tujuh kali." Ia diriwayatkan juga oleh Imam
Malik dalam Al-Muwaththa' dengan lafal, “Apabila diminum." Selain
dalam Al-Muwaththa' Malik diriwayatkan dengan lafal, “Apabila dijilat.”
(Nashbur Rayah jilid 1 halaman 132)
Dalam Hadits riwayat Abdullah ibnul Mughaffal,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila
seekor anjing menjilat sesuatu wadah, maka hendaklah kamu membasuhnya sebanyak tujuh kali. Bilasan yang kedelapan
kalinya dengan (air yang bercampur) tanah.” Hadis riwayat Muslim (Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 133)
Babi diqiyaskan dengan anjing karena ia lebih
buruk keadaannya dari anjing dan lebih jahat tabiatnya. Disebabkan ada nash
syara’ mengenai pengharaman anjing dan pengharaman memilikinya, maka hukum
mengenai babi ditetapkan dengan cara at-tanbih (memperingatkan). Nash syara'
tidak secara jelas menyebutkan hukum babi ini karena orang Arab belum terbiasa
dengan masalah babi ini.
Pada basuhan yang pertama lebih utama dicampur
dengan tanah karena ada Hadits yang berkaitan dengannya. Lagi pula air yang digunakan
untuk basuhan-basuhan berikutnya akan dapat membersihkan tanah itu, dan tanah
itu haruslah diratakan ke semua tempat yang terkena najis, yaitu dengan cara meratakan
tanah itu bersama-sama dengan air ke semua bagian tempat yang terkena najis. Menurut
pendapat yang azdhar di kalangan ulama madzhab Syafi'i adalah tanah merupakan satu-satunya
bahan yang harus digunakan. Oleh sebab itu, tidaklah cukup menggunakan bahan
lainnya seperti garam dan sabun.
Adapun menurut ulama madzhab Hambali, serbuk
garam, sabun, dan juga nukhalah (sejenis bahan pembasuh) serta
bahan-bahan lain yang seumpamanya yang dapat menghilangkan
kotoran dapat dijadikan sebagai pengganti debu, meskipun
waktu itu debu mudah didapat. Karena, penekanan penggunaan debu hanyalah karena
untuk memberi perhatian kepada suatu bahan yang mempunyai daya pembersih yang
tinggi. Jika tanah (yang dicampur) dapat merusak tempat yang
dibasuh, maka cukuplah dengan mencampur tanah dengan
kadar paling minimal ke dalam salah satu basuhan di antara beberapa kali basuhan
yang dilakukan. Tujuannya adalah untuk menghindari dari kerusakan yang mungkin
terjadi pada bahan yang dibasuh. Dan juga, karena ada sebuah hadits yang
menerangkan, "Apabila aku menyuruh kamu melakukan sesuatu, maka
lakukanlah sekuat kemampuanmu.” Hadits riwayat Ahmad, Muslim, An-Nasa'i,
dan lbnu Majah dari Abu Hurairah, "Contohilah apa yang aku tinggalkan
kepada kamu. Sesungguhnya orang yang sebelum kamu menjadi binasa karena banyak
pertanyaan mereka dan juga penentangan mereka terhadap nabi-nabi (yang diutus
kepada) mereka. Oleh karena itu, apabila aku menyuruh kamu melakukan sesuatu,
maka lakukanlah sesuai yang kamu mampu Dan apabila aku melarangmu dari sesuatu
maka tinggalkanlah ia.” Hadits ini shahih.
Adapun najis selain najis anjing dan babi, maka
menurut pendapat ulama madzhab Hambali ia dapat dibersihkan dengan tujuh kali
basuhan tanpa menggunakan debu. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar, "Kami
telah diperintahkan membasuh najis sebanyak tujuh kali."
Perkataan itu merupakan perintah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dalam perintah membersihkan najis anjing. Rasul juga
memerintahkan tujuh kali basuhan. Maka, najis-najis lain juga disamakan dengan
najis anjing tersebut. Sesuatu hukum tidaklah khusus bagi sebab yang
menyebabkan timbulnya nash itu. Ini terbukti ketika hukum membersihkan badan
dan pakaian dari najis disamakan dengan hukum membersihkan dari najis anjing.
Tempat istinja' juga hendaklah dibasuh sebanyak tujuh kali, sama seperti
tempat lain yang terkena najis. Tetapi jika tempat yang dibasuh tidak bisa bersih
dengan tujuh kali basuhan maka boleh dibasuh lagi hingga tempat itu menjadi
bersih.
Dan jika warna najis yang dibasuh masih ada, maka
tidaklah mengapa. Begitu juga apabila yang masih ada adalah baunya ataupun
kedua-duanya yang memang tidak dapat dihilangkan. Hal ini berdasarkan hadits
riwayat Khaulah binti Yassar, "Cukuplah kamu menggunakan air, dan
bekasnya tidaklah membahayakan kamu."
Tetapi jika masih terdapat rasa najis, maka ia
dianggap belum bersih karena kewujudan rasa membuktikan bahwa najis itu masih
ada. Ditambah lagi rasa najis mudah dihilangkan.
Adapun pendapat ulama madzhab Syafi'i tentang
najis selain najis anjing dan babi, adalah apabila najis itu termasuk jenis
yang dapat dideteksi dengan salah satu pancaindra, maka wajib menghilangkan
zat, rasa, warna, dan juga baunya. Wajib juga menggunakan bahan semisal sabun
jika hal-hal itu tidak dapat dihapuskan kecuali dengan menggunakan bahan itu.
Tidaklah mengapa apabila warna ataupun bau
yang sukar untuk dihapuskan masih tetap ada. Ini adalah pendapat yang disetujui
oleh semua fuqaha. Namun apabila yang wujud adalah kedua-duanya, ataupun yang wujud
adalah rasanya saja, maka keadaan itu dianggap belum suci. Dalam membersihkan najis
yang dapat dilihat tidak disyaratkan bilangan basuhan tertentu.
Jika najis itu termasuk jenis yang tidak dapat
dilihat, yaitu najis yang diyakini keberadaannya, namun tidak dapat diketahui rasanya,
warnanya, dan juga baunya, maka untuk menghilangkannya cukuplah dengan mengalirkan
air ke atasnya sekali saja, seperti najis air kencing yang telah kering yang
tidak ada bekasnya lagi. Maksud dari perkataan mengalirkan ialah sampainya air
ke tempat yang terkena najis dalam keadaan mengalir, tidak hanya sekadar
memercikkannya.
b. Memerah Sesuatu yang Dapat Diperah dan yang Telah
Menyerap Banyak Najis
Ulama madzhab Hanafi berpendapat jika tempat
yang terkena najis itu termasuk jenis benda yang meresap banyak najis. Jika ia
dapat diperah seperti pakaian, maka cara membersihkannya adalah dengan membasuh
serta memerahnya hingga hilang zat najis itu. Cara ini dipakai sekiranya najis
itu dari jenis najis yang dapat dilihat. Jika ia termasuk jenis najis hukmi,
maka cara membersihkannya adalah dengan cara membasuhnya tiga kali serta
rnemerahnya pada setiap kali basuhan. Karena, air tidak dapat dikeluarkan dalam
kadar yang banyak kecuali dengan cara memerahnya. Oleh sebab itu, pembasuhan
tersebut tidak akan sempurna tanpa pemerahan itu.
Jika tempat yang terkena najis itu bukan dari
jenis yang dapat menyerap air seperti wadah-wadah yang terbuat dari tanah liat
atau logam, ataupun dari jenis yang dapat menerima resapan najis tapi sedikit
seperti badan, khuf, dan sepatu, maka cara membersihkannya ialah dengan cara
menghilangkan zat najis itu.
Jika tempat yang terkena najis itu bukan termasuk
jenis benda yang dapat diperah seperti tikar, sajadah, permadani, dan kayu,
maka cara membersihkannya adalah dengan cara merendamnya ke dalam air. Cara ini
diulangi sebanyak tiga kali, serta setelah setiap kali rendaman hendaknya
dikeringkan. Dengan cara ini, maka benda itu akan menjadi bersih. Ini adalah
pendapat yangrajih dari Abu Yusuf. Adapun Muhammad berpendapat bahwa benda-benda
itu tidak akan menjadi bersih sama sekali.
Cara membersihkan bumi yang lembut ialah
dengan cara mencurahkan air ke atasnya sehingga ia meresap ke bagian bawah
tanah itu. Dengan cara itu, maka najis tersebut akan hilang. Dalam masalah ini,
tidak disyaratkan bilangan basuhan tertentu. Namun untuk menetapkan bersihnya,
hendaklah didasarkan kepada ijtihad dan keyakinan. Penyerapan air ataupun
pengendapannya ke bagian bawah tanah disamakan dengan proses pemerahan di atas.
Apabila diqiyaskan dengan zhahir ar-riwayat maka cara membersihkannya
adalah dengan cara mencurahkan air ke atasnya sebanyak tiga kali. Dan pada
setiap kali curahan hendaklah dibiarkan ia mengendap ke bawah.
Jika tempat yang terkena najis tersebut dari
jenis bahan yang keras dan terdapat suatu lubang atau saluran besar di bagian
bawahnya, maka untuk membersihkannya dari najis hendaklah dengan cara
mencurahkan air ke atasnya sebanyak tiga kali, dan kemudian air itu dikeluarkan
melalui lubang tersebut. Tetapi jika ia tidak mempunyai lubang keluar air, maka
tidak perlu dibasuh. Karena, basuhan itu tidak akan memengaruhi apa pun. Namun,
menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i, najis tersebut dapat dibersihkan dengan
mencurahkan air yang banyak ke atasnya, seperti yang kita akan bahas nanti.
Selain madzhab Hanafi tidak mensyaratkan pemerahan
pada sesuatu yang dapat diperah, karena dengan cara membasahi sebagian dari
tempat itu sudah dapat menyebabkan benda itu menjadi bersih. Perselisihan
pendapat ini disebabkan oleh hukum air basuhan tersebut, apakah ia bersih atau
najis. Sekiranya ia dihukumi bersih, maka tidak wajib lagi diperah. Jika sebaliknya,
maka wajib diperah. Tetapi, disunnahkan supaya diperah untuk mengelakkan
pertentangan pendapat. Adapun benda-benda yang tidak dapat diperah, maka tidak
disyaratkan hal yang demikian.
c. Mencurahkan ataupun Menuangkan Air ke Atas Najis (dan Membasuh
Wadah)
Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa tidak
disyaratkan mencurahkan air ataupun menuangkannya ke tempat yang terkena najis.
Oleh sebab itu, pakaian yang terkena najis ataupun badan yang terkena najis
dapat dibersihkan di dalam wadah-wadah dengan cara mengganti airnya sebanyak
tiga kali, dan basuhan itu hendaklah diperah setiap kali air ditukar. Wadah itu
hendaklah dibasuh sebanyak tiga kali sesudah basuhan pertama yang digunakan
untuk membasuh pakaian pada badan yang terkena najis, dan hendaklah wadah itu
dibasuh dua kali setelah basuhan yang kedua. Hendaklah wadah itu dibasuh sekali
setelah basuhan yang ketiga. Ini jika basuhan itu dilakukan dalam satu wadah
saja. Tetapi jika basuhan itu dilakukan dalam tiga wadah, maka setiap wadah
hanya perlu ditukar airnya sekali saja.
Cara yang baik sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh Ibnu Abidin (Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 308) mengenai cara pembersihan
najis yang dapat dilihat ialah dengan cara menghilangkan zat najisnya, meskipun
hanya dengan sekali basuhan dan meskipun dilakukan dalam satu wadah, dan tidak disyaratkan
diulang tiga kali basuhan dan perahan. Adapun najis yang tidak dapat dilihat, maka
cara yang baik untuk membersihkannya adalah hingga munculnya keyakinan mengenai
bersihnya, tanpa mengaitkannya dengan bilangan basuhan tertentu. Ini menurut
apa yang telah difatwakan. Namun menurut pendapat yang lemah, pembersihan ini
disyaratkan tiga kali basuhan.
Adapun yang telah menjadi fatwa di kalangan ulama
madzhab Hanafi adalah hampir sama dengan pendapat ulama madzhab Maliki yang
mengatakan wajib dihilangkan zat najis yang akan dibersihkan.
Ulama madzhab Syafi'i -menurut pendapat yang
ashah- mengatakan bahwa untuk membersihkan najis itu disyaratkan mengalirkan air
saja tanpa memerah. Yaitu, disyaratkan mengalirkan air ke atas tempat yang
terkena najis, jika air itu sedikit agar air itu tidak menjadi najis. Jika
sebaliknya, maka air akan menjadi najis hanya karena najis terjatuh ke
dalamnya. Oleh sebab itu, jika pakaian dimasukkan ke dalam suatu bejana basuhan
dan di dalamnya terdapat darah yang dimaafkan, lalu dicurahkan air ke dalam
bejana itu, maka air itu akan menjadi najis karena bercampur dengan darah itu.
Seseorang wajib melebihkan air berkumur ketika
dia membasuh mulutnya yang terkena najis, dan ia haram menelan makanan sebelum membersihkan
mulutnya.
Oleh sebab itu, ulama madzhab Hanafi bersepakat
dengan para ulama madzhab lain mengenai benda yang terkena najis, jika dibasuh
dalam air yang mengalir ataupun dibasuh dalam air yang banyak yang sama
hukumnya dengan air yang mengalir, dituangkan banyak air ke atasnya, ataupun
air dialirkan ke atasnya, maka ia akan menjadi bersih tanpa disyaratkan
pemerahan, pengeringan, ataupun pengulangan menenggelamkannya ke dalam air.
Karena, mengalirkan air di tempat yang terkena najis sudah dianggap sama dengan
mengulangi pembasuhan dan juga pemerahan (Raddul Mukhtar jilid 1 halaman
308).
Membersihkan Tanah yang Terkena Najis dengan Air yang
Banyak
Ulama madzhab Hanafi berpendapat (Al-Bada’i
jilid 1 halaman 89) jika tanah yang terkena najis itu keras dan curam, maka
hendaklah digali satu lubang di bawahnya, kemudian dicurahkan air tiga kali ke
atasnya dan dibiarkan ia turun melewati lubang itu. Hal ini berdasarkan kepada hadits
riwayat Ad-Daruquthni dari Anas tentang kisah orang Arab kampung yang kencing di
dalam masjid, "Hendaknya kamu menggali satu lubang di tempatnya,
kemudian curahkan air ke atasnya." Tetapi hadis ini merupakan hadis ma’lul
yang hanya diriwayatkan oleh Abdul Jabbar saja tanpa sahabat-sahabat Ibnu
Uyainah yang merupakan penghafal-penghafal hadis (Nailul Authar jilid 1
halaman 42). Tanah yang seperti itu tidak dapat dibersihkan dengan hanya
memperbanyak jumlah air.
Ulama madzhab selain ulama Hanafi (Asy-Syarhush
Shaghir jilid 1 halaman 82; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 7; Al-Majmu’
jilid 1 halaman 188 dan seterusnya; Kasysyaful Qina’ 213; Al-Mughni
jilid 11 halaman 94) berkata, tanah yang terkena najis dapat dibersihkan dengan
cara mencurahkan banyak air ke atasnya, yaitu kadar yang dapat membanjirinya ataupun
dengan cara menuangkan air ke atasnya, hingga najis itu tenggelam. Hal ini
berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah, "Orang Arab kampung berdiri lalu
kencing di dalam masiid. Kemudian orang-orang berdiri hendak memukulnya, lantas
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Biarkanlah dia,
dan curahkan setimba air ke atas air kencingnya. Sesungguhnya kamu telah
diutuskan sebagai orang yang menyenangkan, dan bukan menyusahkan.” Hadis
riwayat Al-Jama’ah kecuali Muslim, Ahmad dan Asy-Syaikhan telah meriwayatkan
hadis lain dengan arti yang sama, salah satu lafalnya adalah “Jangan
dipotong.” (Nailul Authar jilid 1 halaman 41-43)
Ulama madzhab Syafi'i telah menguraikan dengan
terperinci tentang cara membersihkan air yang terkena naiis dengan cara menambahkan
jumlah air yang banyak (Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 6-7; Al-Majmu’ jilid
1 halaman 183-195).
Pertama, jika najis itu menyebabkan terjadinya perubahan dan jumlah air itu melebihi
dua kulah, maka ia dihukumi bersih jika perubahan yang terjadi hilang dengan sendirinya,
dengan menambahkan air lain kepadanya, ataupun dengan membuang sebagiannya.
Karena, najis yang ada disebabkan perubahan dan perubahan itu telah hilang. Kedua,
jika najis itu jatuh di air yang tidak ada dua kulah, maka ia akan menjadi
bersih dengan cara ditambah air lain kepadanya, sehingga kadarnya mencapai dua
kulah baik air itu diperbanyak dengan air yang bersih ataupun air mutanajjis,
dan baik kadar air yang ditambah itu banyak atau sedikit. Ia akan menjadi
bersih dengan memperbanyak kadar air itu, meskipun ia tidak mencapai kadar dua
kulah. Sama seperti bumi atau tanah yang terkena najis apabila dituangi air
hingga tanah itu tenggelam dengan air, karena air itu menutupi najis tersebut. An-Nawawi
berkata apa yang dituduhkan oleh sebahagian ulama madzhab Hanafi yang
mengatakan bahwa madzhab Syafi'i berpendapat sekiranya kadar air dua kulah itu
kurang satu kuz lalu dicampur (ditambahi) dengan air kencing (sehingga meniadi
dua kulah) maka ia akan meniadi suci, adalah dakwaan yang tidak betul dan
merupakan pembohongan. Tidak ada siapa pun di antara ulama madzhab Syafi'i yang
mengatakan demikian (Al-Majmu’ jilid 1 halaman 190).
Tetapi air yang menjadi bersih dengan penambahan
air lain yang tidak sampai kadar dua kulah, dihukumi bersih pada dirinya sendiri,
tetapi air itu tidak dapat membersihkan benda yang lain. Karena, air yang telah
digunakan untuk membersihkan najis tidak boleh digunakan lagi untuk bersuci.
Namun jika kadar air itu melebihi dua kulah, dan najis yang jatuh ke dalamnya
adalah keras. Maka, menurut pendapat al-madzhab boleh bersuci dengannya
karena najis itu tidak dianggap keberadaannya.
Jika kadar air itu hanya dua kulah, dan di dalamnya
terdapat najis yang masih kelihatan wujudnya (tidak hancur atau meresap), maka terdapat
dua pendapat mengenai masalah ini, menurut pendapat yang ashah, bersuci dengan air
tersebut adalah boleh. Namun jika najis sudah meresap ke dalam air, maka
menurut pendapat yang shahih bersuci dengannya adalah boleh.
Bersuci dengan Air yang Mengalir
Ulama madzhab Hanafi (Ad-Durrul Mukhtar jilid
1 halaman 173-180; Al-Lubab jilid 1 halaman 27; Fathul Qadir jilid
1 halaman 53-56) mengatakan bahwa hukum air yang mengalir berlainan dengan
hukum air yang tidak mengalir. Yang dimaksud dengan air yang mengalir ialah air
yang biasanya dianggap mengalir oleh banyak orang. Ulama madzhab Syafi'i
menganggap air kolam mandi dan air kolam biasa sama seperti hukum air yang
mengalir, jika airnya mengalir turun dari bagian atas dan banyak orang yang mengambil
air dengan tangan mereka. Oleh sebab itu, jika nampan atau tangan yang terkena najis
dimasukkan ke dalam air tersebut, maka air itu tidak akan menjadi mutanajjis.
Jika ada najis yang tidak dapat dilihat
bekasnya baik rasa, warna, atau baunya terjatuh ke dalam air itu, maka air itu
dihukumi suci lagi menyucikan, boleh digunakan untuk berwudhu dan untuk
menghilangkan najis. Karena, najis jika berada dalam keadaan cair tidak akan
meresap bersama-sama aliran air.
Jika najis itu berupa seekor binatang yang telah
mati, maka jika air itu mengalir ke arah binatang itu, ataupun ke arah sebagian
besar badannya, ataupun ke arah separuh badannya, maka air itu tidak boleh
digunakan. Dan jika ia mengalir ke bagian yang paling kecil dari anggota
binatang itu, sedangkan kadar air yang banyak mengalir pada tempat yang bersih,
dan air itu masih mempunyai kekuatannya, maka ia boleh digunakan apabila ia
memang tidak ada najisnya.
Ulama Iraq menetapkan hukum khusus berkenanaan
dengan al-ghadiir (suatu wadah seperti mangkuk yang dalam yang dapat
digunakan untuk mengambil air) dan kolam besar yang airnya tidak mengalir,
yaitu tempat yang airnya tidak bergerak pada salah satu sisinya ketika ia
dikocak pada satu sisi yang lain. Yaitu apabila ada najis jatuh di salah satu
sisinya -menurut zhahir ar-riwayat dan ini merupakan pendapat yang ashah- maka jika
seseorang mendasarkan keputusannya berdasarkan kepada dugaan dan juga
ijtihadnya bahwa najis itu tidak akan sampai ke sisi yang satunya lagi, maka
air yang terdapat di sisi yang lain yang tidak terkena najis dapat digunakan
untuk berwudhu dan untuk menghilangkan najis. Karena, pada lahirnya najis itu
tidak sampai ke penjuru yang satu lagi. Adapun hukum yang difatwakan adalah boleh
bersuci dengan air yang terdapat di semua penjuru kolam itu.
Ulama selain madzhab Hanafi (Bidayatul
Mujtahid, jilid 1, halaman 23; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 30; Asy-Syarhush
Shaghir, jilid 1 halaman 30 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj, jilid 1
halaman 24 dan seterusnya; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 7; Kasysyaful
Qina', jilid 1 halaman 40 dan seterusnya; Al-Mughni, jilid 1 halaman
31 dan seterusnya) mengatakan bahwa air yang mengalir sama hukumnya dengan air yang
tidak mengalir. Jika kadar air itu banyak dan tidak kemasukan oleh najis, yaitu
tidak berubah salah satu sifatnya baik rasa, warna dan bau, maka ia dihukumi
bersih. Sebaliknya, jika kadarnya sedikit, maka keseluruhannya akan menjadi mutanajjis
meskipun hanya bersentuh dengan najis.
Menurut pendapat ulama madzhab Maliki, tidak
ada batas khusus bagi kadar banyaknya sesuatu air. Adapun pendapat ulama madzhab
Syafi'i dan Hambali air yang banyak itu ialah air yang kadarnya mencapai dua
kulah (kurang lebih 500 kati Baghdad), dan pengertian air yang mengalir ialah
apabila memang terjadi aliran air, yaitu seperti yang didefinisikan oleh ulama
madzhab Syafi'i, air yang naik ke atas ketika ia berombak, baik ia benar-benar
terjadi ataupun sekadar dikira saja, jika alirannya besar, maka ia tidak akan menjadi
mutanajjis. Kecuali, jika terjadi perubahan pada air tersebut, dan air
itu dianggap terpisah dari air yang di depannya dan juga air yang di
belakangnya.
Menurut ulama madzhab Hambali, air yang
terkena najis, maka air yang ada di dekatnya juga najis. Begitu juga yang ada
di belakangnya, di depannya, serta yang ada di dua tebing sungai yang
menyebelahinya, atau dengan kata lain air yang berada di sekeliling najis dari
setiap sudut -baik di bawah, kanan dan kiri- juga najis. Kedua keterangan ini adalah
sama.
Jika air itu mengalir dan di dalamnya terdapat
najis yang ikut mengalir bersamanya seperti bangkai, dan aliran air itu berubah
(karena najis tersebut), maka air yang berada pada bagian sebelumnya adalah
bersih karena najis tidak akan sampai kepadanya. Keadaan ini seperti air yang
dicurahkan kepada najis dari kendi. Begitu juga bagian yang berada pada
setelahnya dihukumi bersih, karena najis itu juga tidak sampai kepadanya.
Adapun bagian air yang mengelilinginya baik di atas, bawah, kanan, dan juga
kirinya, jika memang kadarnya mencapai dua kulah dan tidak terjadi perubahan
apa pun dengan sebab najis itu, maka ia dihukumi bersih. Tetapi jika kadarnya
tidak sampai dua kulah, maka ia menjadi mutanajjis, keadaannya sama
seperti air yang tidak mengalir.
Perlu diperhatikan juga bagian-bagian dari
setiap satu aliran itu dari satu bagian ke bagian yang lain, yaitu air yang
meninggi dan menurun di antara dua tebing sungai ketika ia berombak. Air di
bagian yang mengalir merupakan air yang tidak padu. Oleh karena itu, jika ada
najis yang terjatuh ke dalamnya dan bergerak mengikuti pergerakan aliran air,
maka bagian aliran air yang terkena najis tersebut dihukumi najis. Tetapi, air
yang mengalir setelahnya dihukumi sebagai air basuhan najis. Jika najis itu
seekor anjing, maka wajiblah dibasuh sebanyak tujuh kali, salah satunya dibasuh
dengan air debu yang bersih.
Untuk mengetahui air yang mengalir itu dua
kulah, adalah dengan cara mengukurnya sepanjang satu seperempat hasta baik panjang
lebar, dan dalamnya.
Jika di depan air ada tempat tinggi yang menahannya
dari mengalir, maka hukumnya adalah sama seperti air yang tidak mengalir.
Kesimpulannya adalah apabila ada najis mengenai
air, maka air itu dihukumi sebagai air mutanajjis. Ini menurut ijma
ulama. Apabila ada air mengenai najis, maka air itu juga menjadi mutanajjis.
(Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 300 dan selanjutnya)
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########