BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


Terdapat banyak hadits yang menjelaskan amalan-amalan Nabi yang berupa tata tertib dan amalan keagamaan yang berkaitan dengan kebersihan anggota tubuh manusia seperti rambut, kuku, dan sebagainya. Ia lebih baik disebut dan dikemukakan seperti yang terdapat dalam hadits dan kemudian diterangkan menurut cara fuqaha.
Terdapat dua hadits yang paling penting di antara beberapa hadits mengenai hal ini. Hadits pertama menyebutkan lima perkara yang dianggap sebagai fitrah, hadits kedua juga menyebutkan sepuluh perkara.
Dari Abu Hurairah, dia berkata, "Lima perkara yang dianggap sebagai fitrah adalah mencukur bulu kemaluan, berkhitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.” Diriwayatkan oleh al-jama’ah (Nailul Authar jilid 1 halaman 108 dan seterusnya).
Dari Aisyah, dia berkata, "Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terdapat sepuluh perkara yang dihitung sebagai fitrah (sunnah): memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, memasukkan air ke hidung, memotong kuku, membasuh sendi-sendi, mencabut bulu ketiah mencukur bulu kemaluan, beristinja' (kata perawi, yaitu Mush'ab bin Syaibah): aku lupa yang kesepuluh kecuali yang aku ingat adalah berkumur)." Riwayat Ahmad, Muslim, An-Nasa'i, dan At-Tirmidzi dari Aisyah dan diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dari Ammar. Hadits ini dianggap shahih oleh Ibnus Sakan. Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini cacat dan Al-Hakim meriwayatkannya dari lbnu Abbas secara mauquf (Nailul Authar, jilid 1 halaman 110).
Imam an-Nawawi berkata tentang perkara yang kesepuluh, mungkin ia adalah berkhitan. Inilah pendapat yang lebih sesuai.
Semua perkara yang dinyatakan dalam hadits tersebut telah dijelaskan dalam penjelasan hadits sebelum ini, dan juga pada waktu membicarakan perkara-perkara yang disunnahkan ketika berwudhu. Membasuh sendi-sendi juga merupakan satu amalan sunnah yang tersendiri yang tidak diwajibkan. Para ulama mengatakan kedudukan yang sama juga ditentukan bagi tempat-tempat lain yang selalu mengumpulkan kotoran, seperti di celah-celah cuping teliga dan di dalam telinga. Ia hendaklah dihilangkan dengan mengusap dan sebagainya.
Tentang menggunakan air, yang dimaksud adalah istinja'. Dalam satu riwayat, ia disebut al-intidah dengan maksud mengucurkan sedikit air pada kemaluan setelah berwudhu, untuk mengelakkan waswas.
Pendapat fuqaha tentang lima dan sepuluh perkara fitrah berdasarkan apa yang terdapat dalam dua hadits yang telah disebutkan serta hadits-hadits yang lain, maka para fuqaha mempunyai
pendapat seperti berikut (Al-Mughni jilid 1 halaman 85-94; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 82-91; Al-Hadramiyyah halaman 9; Al-Fatawa Al-Hindiyyah jilid 5 halaman 367-370).

1. BERSIWAK

Pembahasan ini akan membicarakan definisi bersiwak, hukum, cara-cara dan juga faedah-faedah bersiwak.

a. Definisi Bersiwak

Kata siwak dari segi bahasa digunakan untuk perbuatan menggosok gigi dan juga untuk alat yang digunakannya. Dari segi syara', ia berarti menggunakan ranting atau yang lain seperti pasta gigi dan sabun untuk menggosok gigi dan bagian sekelilingnya, dengan tujuan menghilangkan kuning gigi dan sejenisnya.

b. Hukum Bersiwak

Bersiwak termasuk perkara yang disunnahkan dalam agama, karena ia merupakan usaha membersihkan mulut dan orang yang melakukannya akan mendapat keridhaan Allah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Bersiwak adalah membersihkan mulut dan memperoleh keridhaan Allah.” Riwayat Imam Ahmad dan An-Nasa’i dari Aisyah. Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadis ini secara mu’allaq, dan Ibnu Hibban meriwayatkannya secara maushul (bersambung) (Nailul Authar jilid 1 halaman 102).
Hadits ini menunjukkan bahwa bersiwak merupakan perkara yang dibenarkan oleh syara' tanpa ditentukan waktu atau keadaan yang khusus. Ia disunnahkan pada setiap waktu dan merupakan sunnah yang mu'akkad, walau dalam keadaan apa pun dan ia tidak pernah menjadi perkara yang wajib. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Jika tidak karena (khawatir) memberatkan umatku, maka niscaya aku perintah mereka untuk bersiwak poda setiap hendak melaksanakan shalat."
Imam Ahmad meriwayatkan dengan perkataan yang bermaksud, "Niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak dalam setiap hendak wudhu.” Riwayat al-jama’ah diriwayatkan juga oleh Jabis dan Zaid bin Khalid. Ibnu Mintah mengatakan bahwa ahli hadis sepakat mengenai keshahihannya. Diriwayatkan juga oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i secara marfu’. (Nailul Authar jilid 1 halaman 102)
Imam Bukhari mempunyai riwayat mu'allaq dengan perkataan yang tegas. Riwayat dia yang seperti itu adalah betul, ia bermaksud, "Niscaya aku akan perintah mereka bersiwak dalam setiap berwudhu."
Sebagian fuqaha mengatakan bahwa para ulama telah satu pendapat, bahwa bersiwak adalah sunnah mu'akkad, karena syara' sangat menganjurkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengamalkannya secara berterusan, serta menganjurkan dan mendorong umatnya untuk melakukannya.

Hukum Bersiwak Menurut Para Fuqaha

Ulama Hanafi mengatakan bahwa bersiwak adalah sunnah pada setiap hendak berwudhu, yaitu sewaktu berkumur. Ulama Maliki juga mengatakan, ia adalah termasuk di antara perkara yang diutamakan dalam berwudhu dan dilakukan sebelum berkumur. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Jika tidak karena (khawatir) memberatkan umatku, maka niscaya aku perintahkan mereka supaya bersiwak pada setiap hendak berwudhu.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq, juga diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah di dalam Shahih-nya. Ia dianggap shahih oleh Al-Hakim dari Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam Al-Ausath dari Ali bin Abi Thalib dengan isnad yang hasan.
Namun jika dia terlupa untuk bersiwak pada waktu berkumur ketika berwudhu, maka disunnahkan baginya untuk melakukan pada waktu hendak mulai shalat. Amalan bersiwak yang mengikut ulama Syafi'i dan Hambali ini adalah sunnah bagi setiap hendak melakukan shalat. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Jamaah dan telah disebutkan sebelum ini, ia bermaksud, "Jika tidak karena (khawatir) memberatkan umatku, maka niscaya aku perintahkan mereka supaya bersiwak pada setiap hendak melakukan shalat."
Bersiwak juga sunnah dilakukan pada waktu berwudhu, yaitu setelah membasuh kedua tangan dan sebelum berkumur, juga pada waktu bau mulut atau gigi berubah disebabkan karena tidur, makan, lapar, tidak berbicara dalam waktu yang lama, ataupun karena banyak berbicara. Hal ini berdasarkan hadits Huzaifah yang bermaksud, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun malam, beliau menggosok mulutnya dengan siwak.” Diriwayatkan oleh al-jamaah kecuali At-Tirmidzi dari Hudzaifah. Lafal dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim adalah, “Apabila Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bangun dari tidur, beliau mencuci mulutnya dengan bersiwak.” (Nailul Authar jilid 1 halaman 105)
Keadaan lain yang dapat mengubah bau mulut bisa diqiyaskan dengan tidur ini. Sebagaimana bersiwak ini sangat perlu jika hendak mendirikan shalat atau disebabkan karena bau mulut yang berubah ataupun disebabkan karena gigi yang berubah menjadi kuning, maka ia juga sangat perlu jika seseorang itu hendak membaca Al-Qur'an, berbicara tentang agama, mempelajari ilmu syara’, berdzikir menyebut nama Allah, bangun tidur, memasuki rumah, ketika dan pada waktu menghadapi kematian (bersiwak dapat memudahkan keluarnya ruh, diriwayatkan bahwa bersiwak itu menyembuhkan segala penyakit kecuali maut [Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 126]), pada waktu sahur, setelah makan, setelah witir; dan bagi mereka yang berpuasa (untuk melakukannya) sebelum waktu zhuhur. Ulama Syafi'i menambahkan, sebelum dan sesudah bersiwak disunnahkan mencungkil celah-celah gigi untuk mengeluarkan sisa-sisa makanan (Fathul Qadir, jilid 1 halaman 15 dan seterusnya; Al-Lubab, jilid l halaman 14; Asy-Syarhush Shaghir, jilid 1 halaman 124-126; Al-Majmu' jilid l halaman 329-342; Asy-Syarhul Kabir, jilid l halaman 102 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj, jilid l halaman 55 dan seterusnya; Al-Muhdzdzab, jilid 1 halaman 13; Al-Mughni, jilid 1 halaman 95-97 ; Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 78-81.).
Alasan bagi pendapat tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh jamaah selain Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, dari Aisyah dia berkata, “Apabila Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki rumah, maka Rasul memulakannya dengan bersiwak."
Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Umamah, “Aku tetap akan bersiwak sehingga kadang aku merasa bimbang akan mencederakan dua gigi depanku."
Dari Aisyah, ia juga menyebut bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap bangun dari tidurnya baik malam atau siang, beliau tetap bersiwak sebelum berwudhu. Riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud.
Selain itu, tidur, makan, dan sebagainya merupakan penyebab yang dapat mengubah bau mulut, sementara bersiwak disyariatkan untuk menghilangkan bau yang tidak sedap tersebut serta meniadikannya harum.
Mengikut ulama Syafi'i dan Hambali, makruh bersiwak bagi orang yang sedang berpuasa setelah matahari tergelincir; ataupun dalam masa setelah masuk waktu zhuhur hingga terbenam matahari. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Shahih
Bukhari dan Muslim, "Bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak misik."
Kebaikan bau mulut yang disebut dalam hadits ini memberi maksud ia perlu dikekalkan dan makruh dihilangkan. Hukum makruh ini berakhir setelah masuk waktu maghrib. Karena, pada waktu itu dia tidak lagi dihitung sebagai orang yang berpuasa. Penentuan masa setelah matahari tergelincir oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam disebabkan karena perubahan bau mulut akan berlaku dengan jelas setelah waktu tersebut.
Ulama Maliki dan Hanafi berpendapat secara mutlak, orang yang berpuasa tidaklah makruh untuk bersiwak. Hal ini berdasarkan keumuman hadits sebelum ini yang menganjurkan bersiwak. Ia juga berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, "Di antara sifat orang berpuasa yang baik adalah bersiwak.” Riwayat Ibnu Majah dari Aisyah.
Rabi'ah bin Amir mengatakan, "Aku tidak dapat menghitung berapa kali aku melihat Rasulullah bersiwak pada waktu Rasul sedang berpuasa." Riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi, ia berkata hadis ini hasan. Diriwayatkan juga oleh Imam Hadis yang enam dan Ibnu Khuzaimah. Al-Bukhari meriwayatkannya secara mu’allaq (Nailul Authar jilid 1 halaman 107).
Menurut Asy-Syaukani, sebenarnya amalan bersiwak dianjurkan bagi mereka yang berpuasa sejak dari awal pagi hingga ke sore hari, dan inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama.

c. Cara bersiwak dan Alatnya

Seseorang boleh bersiwak dengan tangan kanannya dengan memulai dari sebelah kanan yang meliputi gigi sebelah luar dan dalam. Ia digosok secara melintang dari gigi depan, hingga ke gigi geraham. Setelah itu, ke bagian tengah dan ke sebelah kiri, kemudian digosok juga secara membujur ke bagian lidah. Cara ini berdasarkan hadits Aisyah, "Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangat suka memulakan sesuatu dari sebelah kanan, baik pada waktu memakai sepatu atau menyisir rambut, dalam bersuci dan dalam segala perbuatannya." Muttafaq ‘alaihi.
Ia juga berdasarkan hadits yang menyebutkan, "Apabila kamu bersiwak, maka lakukanlah
secara melintang." Riwayat Abu Dawud dalam Al-Marasil.
Bersiwak juga boleh dilakukan pada gigi secara membujur. Akan tetapi, cara ini dianggap
makruh karena ia mungkin menyebabkan gusi berdarah serta dapat merusak gigi. Selain itu, lidah juga sunnah untuk digosok secara membujur; sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Daqiq Al-ld berdasarkan hadits yang terdapat di dalam Sunan Abu Dawud. Dari Abu Burdah dari ayahnya, dia berkata, “Kami menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku juga lihat beliau sedang bersiwak membersihkan lidahnya.” (Abu Dawud, As-Sunan, jilid 1 halaman 12; Ibnu Daqiq Al-Id, Al-Umam, halaman 16)
Ulama Hambali berpendapat, bersiwak hendaklah dimulakan dengan menggosok geraham sebelah kanan. Bersiwak juga dapat dihasilkan dengan menggunakan batang yang lembut seperti dari kayu kurma dan sebagainya, yang dapat membersihkan mulut serta tidak menyebabkan bahaya dan hancur di dalamnya. Contohnya seperti kayu arak dan sikat, yang lebih baik adalah menggunakan kayu arak (kayu siwak) diikuti dengan kayu kurma. Setelah itu, kayu-kayu yang mempunyai bau harum dan diikuti dengan kayu kering yang dilembutkan dengan air; kemudian kayu ud. Menggunakan siwak orang lain tidaklah makruh jika dia memberi izin. Jika tidak, maka hukumnya adalah haram. Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah dia berkata, "Rasulullah bersiwak dan di sampingnya ada dua orang laki-laki, salah satunya lebih tua daripada yang lain. Lalu wahyu diturunkan kepada Rasul yang berkaitan dengan kelebihan bersiwak, supaya diberikan siwak itu kepada yang lebih tua di antara mereka berdua."
Menurut pendapat ulama Hanafi dan Maliki, bersiwak dapat dilakukan dengan menggunakan jari. Hal ini boleh dilakukan jika tidak ada alat siwak yang lain. Ali menyatakan, menggosok menggunakan jari telunjuk dan ibu jari dapat dianggap sebagai bersiwak. Al-Baihaqi dan lain-lain telah meriwayatkan satu hadits dari Anas yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang berisi, "Mencukupi untuk bersiwak dengan menggunakan jari.” Para ahli hadis berselisih pendapat mengenai hadis ini. Ibnu Adi dan Ad-Daruquthni juga meriwayatkan hadis ini (Nailul Authar jilid 1 halaman 106; Nashbur Rayah jilid 1 halaman 10).
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Aisyah. Dia berkata, “Aku telah bertanya kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, apakah orang laki-laki yang tidak memiliki gigi juga perlu bersiwak?” Jawab beliau, 'Ya!' Aku bertanya lagi, 'Bagaimana dia dapat melakukan?' Jawab beliau, 'Hendaklah dia memasukkan jarinya ke dalam mulut dan menggosoknya.” Dalam isnadnya ada perawi yang dhaif (Majma'uz Zawa'id, jilid 1 halaman 100). Diriwayatkan oleh Ahmad dari Ali, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meminta satu kendi air lalu beliau membasuh muka dan telapak tangannya serta berkumur tiga kali. Kemudian beliau memasukkan sebagian jari ke dalam mulutnya. lni merujukkan boleh bersiwak dengan jari (Nailul Authar, jilid 1 halaman 106).
Menurut pendapat yang lebih ashah di kalangan ulama Syafi'i dan ulama Hambali, bersiwak dengan menggunakan jari tidak dapat berhasil. Begitu juga dengan menggunakan kain menurut pendapat ulama Hambali. Menurut ulama Syafi'i bersiwak dapat dihasilkan jika menggunakan benda yang keras. Menggunakan jari tidak dinamakan dengan bersiwak, serta tidak dianjurkan oleh syara'. Ia tidak mampu membersihkan seperti yang dihasilkan jika menggunakan kayu siwak.
Setelah kayu siwak digunakan, maka ia hendaklah dicuci dengan air untuk menghilangkan apa yang ada padanya. Aisyah mengatakan, "Setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersiwak, maka Rasul memberikan siwaknya kepadaku untuk dibersihkan. Lalu aku mulai membersihkannya. Setelah itu aku bersiwak dengannya, kemudian aku mencucinya lagi, lalu aku serahkan kepada Rasul.” Riwayat Abu Dawud (Sunan Abu Dawud jilid 1 halaman 13)
Semestinya bersiwak tidak dilakukan dengan menggunakan kayu delima, kayu raihan, alas dan batang kayu yang berbau, karena ia dapat menimbulkan bahaya pada daging mulut. Selain itu, ia tidak dapat menghasilkan kebersihan yang diperlukan. Syara' juga tidak menginginkan perkara-perkara tersebut. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Janganlah kamu bersiwak menggunakan batang kayu raihan dan juga batang kayu delima, karena keduanya dapat membawa bibit penyakit kusta.” Riwayat Muhammad ibnul Husain Al-Azdi Al-Hafidz dengan isnadnya dari Qalisah bin Zu’aib.
Batang gandum dan juga batang hulaf serta sebagainya yang dapat menyebabkan bahaya dan melukai tidak patut digunakan untuk bersiwak, karena kedua-duanya bisa membawa kepada penyakit kusta. Bersiwak dan mencukil gigi juga tidak patut dilakukan dengan menggunakan sesuatu yang tidak dikenali, agar ia tidak menyebabkan bahaya. Apabila kamu bersiwak, maka hendaklah menyebut, "Ya Allah, bersihkan jiwaku dan hapuskan dosaku.” Sebagian ulama menganjurkan ketika permulaan bersiwak hendaknya membaca, “Ya Allah putihkanlah gigiku, kuatkanlah gusiku, tetapkanlah leherku, dan berkatilah diriku, wahai Yang Maha Pengasih." lmam An-Nawawi mengatakan bahwa doa ini tidak mengapa dibaca, walaupun tidak ada asal usulnya. Karena, ia merupakan doa yang baik (Mughnil Muhtaj, jilid l halaman 56).
Sebagian ulama Syafi'i berkata, pada waktu bersiwak hendaklah berniat untuk melaksanakan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak makruh bersiwak di dalam masjid, karena tidak ada dalil khusus yang menunjukkan
ia makruh.
Ukuran panjang kayu siwak hendaklah tidak melebihi satu jengkal. Jika lebih, maka hukumnya makruh. Dalam riwayat Al-Baihaqi terdapat hadits dari Jabir, dia berkata, "Posisi siwak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seperti posisi pena pada telinga tukang tulis.”

d. Faedah Bersiwak

Para ulama menyebut bahwa di antara faedah bersiwak adalah ia dapat membersihkan mulut, mendapat keridhaan Allah, memutihkan gigi, mewangikan mulut, mengukuhkan gusi, melambatkan uban, mempercantik rupa, meningkatkan kecerdasan, melipatgandakan pahala, memudahkan tercabutnya roh, dapat menyebut kalimah syahadat pada waktu kematian, dan sebagainya yang telah disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar yang berjumlah sebanyak tiga puluh sembilan faedah (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 57; Ad-Dardir, Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 125).
Pada masa sekarang, para dokter juga menasihatkan supaya menggunakan siwak untuk tujuan mengelakkan kerusakan serta kuning gigi, bengkak mulut dan gusi, mengelakkan dari kerusakan yang melibatkan saraf, mata, dan pernapasan. Bahkan, bersiwak juga dapat menghalang dari terjadinya lemah ingatan dan lambat berpikir serta akhlak yang buruk.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)