Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
3. ALAT-ALAT, SIFAT DAN CARA BER-ISTINJA'
Istinja’ hendaklah dilakukan dengan menggunakan air, batu, atau yang semacamnya, yaitu
benda-benda yang keras, suci dan mampu menghilangkan kotoran dan juga barang
tersebut bukanlah barang yang berharga (terhormat) menurut syara'. Di antara
alat yang bisa digunakan untuk ber-istinja’ adalah kertas, potongan
kain, kayu dan kulit kayu. Dengan menggunakan alat-alat ini, maka tuiuan istinja’
akan tercapai sama seperti ketika menggunakan batu.
Cara yang paling baik adalah dengan menggunakan
bahan yang keras dan juga air sekaligus. Yaitu, dengan mendahulukan menggunakan
kertas dan yang semacamnya, kemudian diikuti dengan menggunakan air, karena
benda najis itu akan hilang dengan kertas ataupun batu dan bekasnya akan hilang
dengan menggunakan air (Al-Lubab, jilid 1 halaman 57 dan sesudahnya; Muraqi
Al-Falah, halaman 7; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 36-37; Asy-Syarhush
Shaghir, jilid 1 halaman 92, 100; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 13;
Al-Mughni, jilid 1 halaman 151 dan seterusnya; Kasysyaful Qina', jilid
l halaman 72,75; Al-Muhadzdab, jilid 1 halaman 27 dan seterusnya).
Menggunakan air saja adalah lebih baik daripada
menggunakan batu saja atau yang seumpamanya. Karena, air mampu menghilangkan zat
najis dan juga bekasnya. Berbeda dengan batu, benda kertas dan yang
seumpamanya.
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik,
bahwa ketika ayat ke-108 Surah At-Taubah turun, yaitu, "... Di dalamnya
ada orang-orang yang ingin membersihkan diri...."
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, "Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memuji
kalian berkaitan dengan masalah bersuci. Apakah (jenis-jenis) bersuci
yang telah kamu lakukan?” Mereka menjawab, "Kami
berwudhu untuk shalat, mandi karena jinabah dan ber-istinja' dengan air."
Rasul berkata, " Pahalanya adalah untuk kalian, maka hendaklah kalian
mengamalkannya.” Riwayat lbnu Majah, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi
dan sanadnya hasan. Hadits ini didukung oleh kata-kata Ibnu Abbas, “Ayat
berikut ini diturunkan kepada penduduk, “Di dalamnya ada orang yang ingin
membersihkan diri, dan Allah mengasihi orang yang menyucikan dirinya!"
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka
tentang cara bersuci lalu mereka menjawab, "Kami menggunakan batu dan
disusuli dengan air." (Nashbur Rayah, jilid 1 halaman 218 dan
seterusnya)
Syarat ber-istinja’ dengan batu ataupun
kertas dan yang seumpamanya adalah sebagai berikut (Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 44 dan seterusnya; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 28; Kasysyaful
Qina', jilid 1 halaman 72 dan seterusnya; Al-Mughni, jilid 1 halaman
152, 159 dan seterusnya; Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman 311 dan
seterusnya; Asy-Syarhush Shaghir, jilid l halaman 97 ,100; Bidayatul
Mujtahid, jilid 1 halaman 83; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 36; Al-Lubab,
jilid 1 halaman 58; Fathul Qadir, jilid 1 halaman 148; Tabyinul
Haqa'iq, jilid 1 halaman 77).
Pertama, hendaklah najis yang keluar itu belum kering. Jika ia sudah kering, maka
wajib menggunakan air ketika membersihkannya.
Kedua, jangan sampai
najis itu berpindah tempat dari tempat keluarnya dan melekat pada
tempat yang lain itu. Dan jangan sampai najis itu
melewati tempat keluarnya. Jika ia melewati dan berada ditempat lain, maka
untuk membersihkannya wajib menggunakan air. Ini merupakan kesepakatan ulama.
Ketiga, janganlah najis itu bercampur dengan benda lain yang basah, baik benda itu
najis
ataupun suci. Jika ia bercampur dengan benda lain yang
kering, maka tidaklah mengapa.
Keempat, hendaklah najis yang keluar itu melewati saluran yang biasa. Oleh sebab
itu, penggunaan batu atau seumpamanya tidak cukup apabila najis yang keluar itu
tidak melewati saluran biasa, seperti keluar melewati jalur bekam, ataupun
melewati satu lubang yang terbuka di bawah usus meskipun saluran yang asal
tersumbat secara kebetulan. Juga, tidak memadai ber-istinja’dengan
kertas dan yang seumpamanya untuk menyucikan air kencing seorang khunsa
musykil, meskipun yang keluar itu melewati salah satu dari dua kemaluannya.
Karena, kemungkinan ia adalah kemaluan yang lebih. Begitu juga kertas tidak
memadai untuk menyucikan
air kencing yang keluar dari zakar yang tertutup kulup apabila
air kencingnya telah mengenai kulit kulupnya.
Menurut pendapat ulama selain ulama madzhab
Maliki, menggunakan kertas dan yang seumpamanya untuk mengusap darah haid
ataupun nifas adalah mencukupi. Begitu juga -menurut pendapat yang azhar di
kalangan ulama madzhab Syafi'i dan di kalangan ulama madzhab Hambali dan
Hanafi- sudah cukup apabila seseorang menggunakan batu untuk mengusap apa saja
yang keluarnya jarang seperti darah, wadi dan juga madzi. Ataupun, untuk
membersihkan najis yang sudah berceceran tidak seperti kebiasaan kebanyakan
orang, tetapi tidak sampai melewati bagian pantatnya (yaitu pantat sebelah
dalam yang terlindung ketika seseorang berdiri), dan juga tidak melewati bagian
kepala zakarnya (yaitu bagian ujung dari tempat khitan atau kadar tempat
tersebut memang zakarnya terpotong).
Menurut pendapat ulama Madzhab Maliki,
seseorang tidak boleh ber-istijmar dengan menggunakan batu untuk
membersihkan mani, air madzi dan darah haid, melainkan ia wajib menggunakan air
untuk menghilangkan air mani, darah haid dan darah nifas, juga darah istihadhah
jika memang istihadhah tersebut tidak datang setiap hari, meskipun hanya
sekali. Jika ia datang setiap hari, maka ia dimaafkan sama seperti lelaki atau
perempuan yang senantiasa keluar air kencing. Jika keadaannya demikian, maka
tidak bisa menghilangkannya.
Bergitu juga menurut pendapat ulama Madzhab
Maliki, untuk menghilangkan air kencing perempuan, baik perawan atau janda,
maka harus menggunakan air. Karena ia sering melewati tempat keluarnya hingga
bagian anggota yang biasanya digunakan untuk duduk.
Apakah Tiga Buah Merupakan Syarat dalam Istinja’ dengan
Batu?
Ulama
Madzhab Hanafi dan Maliki berkata, “Sunnah menggunakan tiga batu, dan tidaklah
wajib. Dan apabila menggunakan kurang dari tiga, maka sudah cukup, jika
bilangan itu memang sudah dapat membersihkannya. Maksud bersih di sini adalah
hilangnya najis dan juga basahnya najis, hingga batu yang telah digunakan itu
tidak terdapat lagi najis apapun lagi kecuali dalam kadar yang paling minimal.
Oleh sebab itu, apa yang wajib menurut pendapat ulama madzhab Maliki dan sunnah
menurut pendapat ulama madzhab Hanafi adalah bersihnya tempat istinja', bukannya
jumlah batu yang digunakan. Ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang lalu, "Siapa yang beristijmar, maka hendaklah
ia mengganjilkan bilangannya. Siapa yang melakukan demikian, maka itulah adalah
baik, dan siapa yang tidak melakukannyo, maka tidaklah berdosa."
Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa
yang diwajibkan adalah bersihnya tempat istinja' dan juga sempurnanya tiga
buah batu, ataupun dengan tiga kali usapan meskipun hanya dengan menggunakan tiga
sudut dari sebiji batu. Jika tempat istinja' belum juga bersih dengan
menggunakan tiga buah batu, maka wajib dibersihkan dengan batu yang keempat dan
seterusnya, hingga tidak bekas najisnya hilang kecuali yang memang hanya bisa
dihilangkan dengan menggunakan air ataupun batu yang kecil. Karena, itulah
(suci) yang menjadi tujuan istinja'. Dalil mereka adalah beberapa hadits
yang telah lalu. Di antaranya adalah, "Hendaklah kamu beristinja'
dengan menggunakan tiga buah batu."
Juga, hadits riwayat Muslim dari Salman, "Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami ber-istinja' dengan bilangan batu
yang kurang dari tiga biji." Dalam redaksi lain disebutkan, "dengan
tiga sudut dari sebuah batu."
Apabila seseorang menggunakan lebih dari tiga
buah batu, maka dia mengganjilkan bilangannya. Karena, berdasarkan riwayat Asy-Syaikhan
dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, "Apabila salah seorang di antara kamu beristijmar, maka
beristijmarlah dengan bilangan yang ganjil."
Hukum wajib yang ditunjukkan oleh hadits ini
telah dihapus oleh hadits lain riwayat Abu Dawud, "Barangsiapa
beristijmar, hendaklah ia mengganjilkan bilangannya. Siapa yang melakukan
(demikian), maka itulah yang baik, dan siapa yang tidak (melakukan demikian),
maka tidaklah berdosa."
Adapun bilangan basuhan ketika beristinja' dengan
air, maka menurut pendapat yang ashah, adalah mengikut kepada perasaan hingga
hati merasa puas dan yakin bahwa tempat itu sudah bersih, ataupun dengan munculnya
dugaan kuat bahwa tempat itu sudah bersih. Inilah pendapat yang ashah dari Imam
Ahmad. Abu Dawud berkata, "lmam Ahmad ditanya tentang sejauh mana
batasan ber-istinja' dengan air." Lalu dia menjawab, "(Hingga)
bersih."
Tidak ada riwayat dari Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam berkenaan dengan masalah ini yang menetapkan jumlah
tertentu (ketika istinja’) dan Rasul juga tidak menyuruh menggunakan jumlah
tertentu. Ada juga riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad bahwa dia
berpendapat, bilangannya adalah tujuh kali basuhan (Muraqil Falah halaman
8; Al-Mughni jilid 1 halaman 161 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 46).
Oleh sebab itu, yang diwajibkan dalam istinja'
adalah adanya zhan (dugaan kuat) bahwa najis tersebut telah hilang. Dan tidaklah
mengapa menguji bau najis dengan tangan, karena kewujudan bau najis itu
menunjukkan bahwa najis itu masih ada di tempat yang berkenaan. Oleh karena itu
jika memang masih ada bau, maka tangan tersebut dihukumi terkena najis.
Cara Ber-lstinja'
Hendaklah seseorang menuangkan air ke atas
tangan kirinya sebelum dia menyentuh najis, kemudian dia membasuh qubulnya,
yaitu saluran air kencing, dan membasuh seluruh zakarnya apabila keluar air
madzi. Kemudian barulah membasuh dubur diikuti dengan mencurahkan air, dan
menggosok dengan tangan kiri. Hendaklah dia membungkukkan badan sedikit
kemudian menggosoknya (dubur) dengan cermat sehingga tempat itu menjadi bersih.
Ber-istinja' dengan menggunakan tangan kanan tidak dianjurkan. Begitu juga
menyentuh zakar dengan tangan kanan (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 36;
Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 78).
Seseorang yang sedang berpuasa hendaklah tidak
memasukkan jarinya ke dalam dubur, karena tindakan itu dapat membatalkan puasa.
Cara Ber-Istijmar
Hendaklah batu pertama digunakan untuk mengusap,
dimula dari bagian depan ke arah bagian belakang, dan batu kedua digunakan untuk
bagian belakang ke arah bagian depan. Kemudian batu yang ketiga digunakan untuk
mengusap seperti ketika menggunakan batu yang pertama, yaitu dari arah depan ke
arah belakang, jika memang buah zakar dalam keadaan tergantung karena -jika
buah zakar tidak tergantung- dikhawatirkan ia akan terkena kotoran. Dan apabila
zakar itu turun (rapat), maka ketika menggunakan batu yang ketiga hendaknya
menggerakannya seperti ketika menggerakkan batu yang kedua, yaitu dari arah
belakang ke depan.
Adapun perempuan hendaklah memulainya dari
arah depan ke arah belakang supaya kelamin depannya tidak terkena najis (Muraqil
Falah halaman 8).
Ulama madzhab Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 45; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 27) berpendapat bahwa
meratakan setiap satu batu ke semua bagian tempat (keluar najis) adalah sunnah,
yaitu memulakan dengan batu yang pertama dari bagian depan sebelah kanan dubur,
kemudian mendorongnya dengan perlahan mengelilingi dubur hingga kembali ke
tempat semula. Begitu juga dengan batu yang kedua, tetapi hendaklah
memulakannya dari bagian depan sebelah kiri. Sementara, batu ketiga digunakan untuk
membersihkan kedua belah sisinya dan juga bagian keluarnya najis yang dinamai musrabah.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########