Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
3. ADZAN UNTUK SHALAT YANG TERLEWAT DAN SHALAT SENDIRIAN
Pendapat yang mu'tamad dari madzhab Syafi'i
mengatakan bahwa hukum adzan dan iqamah bagi orang yang shalat seorang diri, baik
shalat tunai (adaa’) atau qadha' adalah sunnah, meskipun dia mendengar
adzan di kampungnya atau dari masjid. Orang tersebut juga boleh mengeraskan
suaranya ketika mengumandangkan adzan, kecuali jika melaksanakan shalatnya di
masjid yang ada jamaah. Hal ini untuk menghindari sangkaan orang-orang bahwa
shalat yang lain telah masuk waktunya.
Adapun mengumandangkan adzan untuk shalat yang
terlewat juga disunnahkan menurut madzhab Syafi'i qadim yang merupakan pendapat
yang azhar seperti yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi. Adzan tersebut perlu
dikumandangkan karena ia mempunyai banyak keutamaan seperti yang dinyatakan oleh
hadits-hadits yang telah disebutkan sebelum ini, termasuk hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Abdurrahman bin Abi
Sa'sa'ah yang meriwayatkan bahwa, “Abu Sa'id Al-Khudri berkata kepadanya, Aku
lihat engkau suka kepada kambing dan juga kawasan kampung. Jika engkau sedang bersama
kambingmu atau sedang di kampungmu, hendaklah kamu mengumandangkan adzan untuk
shalat. Tinggikanlah suaramu ketika menyeru kepada shalat, Sebab, suara tukang
adzan jika didengar oleh jin, manusia, sesuatu yang lain, maka mereka akan
menjadi saksi bagi kamu pada Hari Akhir. Aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.” Hadis riwayat Imam Ahmad, Imam Asy-Syafi’i, Malik,
Al-Bukhari, An-Nasa’i dan Ibnu Majah (Nailul Authar jilid 2 halaman 45).
Jika seseorang menanggung beberapa shalat yang
terlewat, atau dia hendak melakukan jamak taqdim atau jamak ta'khir, hendaklah dia
mengumandangkan adzan untuk shalat yang pertama saja. Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir radhiyallahu
‘anha, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menggabungkan
(menjamak) antara shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah, dengan satu adzan dan
dua iqamah.
Menurut pendapat madzhab Syafi'i, adzan untuk
shalat Jumat disunnahkan sekali saja, yaitu sewaktu imam berada di atas mimbar.
Sebab, pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Bilal hanya
mengumandangkan adzan sekali saja untuk shalat Jumat. Ini adalah pendapat
madzhab Syafi'i mengenai shalat-shalat yang terlewat.
Adapun menurut pendapat ulama Hanafi,
seseorang yang hendak melakukan shalat yang terlewat, hendaklah mengumandangkan
adzan dan iqamah. Sebab, keadaannya tidak berbeda dengan keadaan shalat tunai (adaa).
Jika dia terlewat beberapa shalat, maka hendaknya dia mengumandangkan adzan dan
iqamah untuk shalat yang pertama saja. Adapun shalat-shalat yang berikutnya dia
boleh memilih: jika dia berkehendak, dia boleh mengumandangkan adzan dan iqamah
untuk setiap satu shalat. Pendapat ini adalah pendapat yang lebih utama, sebab
kesunnahan adzan yang ditetapkan untuk shalat adaa', tentunya disunnahkan juga
untuk shalat qadha'nya, sama seperti kesunnahan-kesunnahan yang lain. Jika mau,
orang tersebut juga boleh memendekkan dengan cara melakukan iqamah saja bagi shalat-shalat
berikutnya. Karena, adzan adalah untuk memanggil orang, sedang mereka/jamaah (dalam
kasus ini) sudah hadir.
Mengumandangkan adzan dan iqamah untuk setiap
shalat fardhu adalah lebih utama. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud yang
terdapat dalam musnad Abu Ya'la yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sedang sibuk berperang dengan orang musyrikin dalam
Peperangan Al-Ahzab, sehingga tidak sempat shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh supaya Bilal
mengumandangkan adzan dan iqamah untuk setiap shalat. Majama’uz Zawa’id jilid
2 halaman 4. Hadis-hadis riwayat Ahmad, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi. Dia berkata,
“Tidak ada kecacatan dalam sanadnya kecuali Abu Ubaidah tidak mendengarnya
dari Abdullah bin Mas’ud.” (Nailul Authar jilid 2 halaman 60)
Imam Malik berpendapat, dalam kasus seperti di
atas, hendaklah yang dikumandangkan iqamah saja, adapun adzan tidak perlu. Hal
ini berdasarkan hadits riwayat Abu Sa'id, “Kami telah tertahan pada Perang
Khandaq sehingga tidak dapat mengerjakan shalat, hingga sampailah waktu malam
selepas Maghrib. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal,
lalu baginda menyuruhnya. Dan Bilal pun beriqamah untuk shalat Zhuhur dan
(mereka) menunaikan shalat Zhuhur. Kemudian baginda menyuruhnya lagi, lalu
Bilal beriqamah untuk shalat Ashar dan (mereka) menunaikan shalat Ashar.”
Dalil lainnya adalah, maksud dari
dikumandangkannya adzan adalah untuk memberi tahu tentang masuknya waktu
shalat, dan dalam kasus ini adzan tidak perlu lagi karena waktu shalat telah
terlewat. Oleh sebab itu, golongan Maliki berkata, “Makruh mengumandangkan adzan
bagi orang yang terlewat waktu shalat. Begitu juga adzan untuk shalat yang
dilaksanakan dalam waktu darurat, yaitu shalat jamak (taqdim atau ta'khir),
juga adzan untuk shalat jenazah, shalat sunnah seperti hari raya dan sunnah
gerhana matahari.”
Ulama Maliki mengaitkan kesunnahan adzan di
dalam setiap masjid (meskipun masjid-masjid tersebut saling bersambung), dengan
jamaah yang menunggu (memerlukan) kehadiran orang lain lagi, baik ketika dalam perjalanan
ataupun tidak. Oleh sebab itu, adzan tidak disunnahkan bagi seseorang yang shalat
sendirian ataupun bagi shalat jamaah yang tidak menunggu orang lain. Malah
hukum adzan bagi mereka adalah makruh jika memang mereka bukan musafir. Bagi
orang yang shalat sendirian ataupun berjamaah yang tidak menunggu orang lain,
disunnahkan mengumandangkan adzan kalau memang dia dalam keadaan musafir;
walaupun jarak perjalanannya tidak sampai jarak yang membolehkan shalat
diqashar, yaitu 89 kilometer.
Kebanyakan ulama madzhab Hambali (Kasysyaful
Qina’ jilid 1 halaman 266 dan 278; Al-Mughni jilid 1 halaman
417-422; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 87) mengatakan bahwa adzan dan
iqamah hukumnya fardhu kifayah untuk setiap shalat lima waktu yang dilakukan
secara tunai (adaa’) dan juga untuk shalat Jumat, tetapi tidak untuk shalat-shalat
yang lain. Hal ini berdasarkan
hadits yang telah disebut sebelum ini, yaitu hadits yang
artinya, “Apabila tiba waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kamu
mengumandangkan adzan dan yang tertua daripada kamu menjadi imam.” Perintah
ini menyatakan bahwa yang diwajibkan mengumandangkan adzan adalah salah seorang
dari mereka. Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan dari Abu Darda' secara
marfu’, “Kumpulan tiga orang yang tidak melakukan adzan dan tidak
melakukan shalat (jamaah), maka mereka akan dirasuki setan.” Hadis riwayat
Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ath-Thabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Dia
berkata sanadnya adalah shahih (Nailul Authar jilid 2 halaman 31).
Begitu pula adzan dan iqamah sebenarnya adalah
syiar Islam yang nyata. Oleh sebab itu, kedua-duanya adalah fardhu kifayah sama
seperti jihad. Jika sebagian orang telah melakukannya, maka kewajiban itu
gugur. Berdasarkan pertimbangan ini, maka jika penduduk sebuah negeri tidak
melakukan adzan dan iqamah, mereka boleh diperangi.
Makruh meninggalkan adzan dan iqamah bagi
shalat lima waktu. Tetapi jika shalat telah dilakukan tanpa kedua-duanya, maka
tidak perlu diulangi lagi. Untuk satu kawasan kota cukup dikumandangkan satu
adzan saja. Adapun bagi jamaah yang lain, mereka cukup mengumandangkan iqamah
saja. Pendapat ini juga merupakan pendapat golongan ulama Hanafi dan Maliki,
tetapi ia berlawanan dengan pendapat ulama Syafi'i seperti yang telah kita
jelaskan. Dalil mereka adalah bahwa Ibnu Mas'ud, Alqamah, dan Al-Aswad telah
menjalankan shalat tanpa adzan.
Namun menurut pendapat Imam Sufyan, iqamah
yang dilakukan oleh seorang penduduk kota sudah cukup untuk mereka semua. Tetapi,
golongan ulama Hanafi mengatakan bahwa siapa yang shalat di rumahnya yang terletak
di kawasan satu kota, hendaklah dimulai dengan mengumandangkan adzan dan iqamah,
supaya shalat yang ditunaikannya itu bentuknya seperti bentuk jamaah. Jika adzan
dan iqamah ditinggalkan, maka tidaklah mengapa. Hal ini berdasarkan perkataan
Ibnu Mas'ud, “Adzan penduduk kampung memadai untuk kita.” Tetapi,
riwayat ini adalah gharib seperti yang telah dikatakan oleh Az-Zaila'i.
Orang yang terlewat beberapa shalat fardhu
ataupun menjamak dua shalat pada waktu shalat yang pertama (jamak taqdim) disunnahkan
melakukan adzan untuk shalat yang pertama saja. Kemudian hendaklah dia beriqamah
untuk setiap shalat setelah shalat yang pertama. Pendapat ini sama dengan
pendapat ulama madzhab Syafi'i. Dalil mereka adalah hadits Abu Sa'id yang telah
disebutkan dahulu, yaitu hadits yang artinya, “Jika engkau bersama-sama
dengan kambingmu....” Dan juga hadits Abu Qatadah, yang menceritakan bahwa mereka
bersama-sama dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lalu
mereka tertidur sehingga matahari naik. Kemudian Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam mengatakan, “Wahai Bilal, bangun dan adzanlah untuk
shalat.” Hadits muttafaqun 'alaih. Imran ibnul Hushain juga
meriwayatkan dengan lafaz, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah memerintahkan Bilal, lalu Bilal mengumandangkan adzan. Maka, kami pun
menunaikan shalat dua rakaat. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintah Bilal untuk iqamah, lalu Bilal pun mengumandagkan iqamah. Kami pun
menunaikan shalat." Hadits ini juga muttafaq 'alaih.
Orang yang memasuki masjid dan mendapati orang-orang
telah selesai melaksanakan shalat, maka dia boleh mengumandangkan adzan dan
iqamah jika mau. Hal ini berdasarkan riwayat Al-Atsram dan Sa'id bin Manshur
dari sahabat Anas yang artinya, “Dia masuk masjid dan mendapati orang-orang telah
selesai shalat. Kemudian dia menyuruh lelaki mengumandangkan adzan dan iqamah. Lalu
dia melakukan shalat dengan mereka secara berjamaah.” Begitu pula, dia juga
boleh melakukan shalat tanpa adzan dan iqamah.
Wanita tidak perlu adzan dan iqamah. Hal ini
berbeda dengan pendapat ulama Syafi'i dan Maliki tentang iqamah. Dalil mereka
adalah hadits yang diriwayatkan oleh An-Najjad dengan sanad dari Asma' binti
Buraid yang mengatakan, “Wanita tidak diperintahkan untuk adzan dan iqamah.”
Kesimpulannya, menurut jumhur, tidak disunnahkan
adzan untuk shalat-shalat yang telah terlewat waktunya. Ulama madzhab Maliki
menghukumi makruh adzan yang seperti itu. Semua ulama sepakat untuk mengatakan bahwa
adzan disunnahkan bagi kaum lelaki, tetapi tidak bagi kaum perempuan. Menurut
ulama Syafi'i dan Maliki, iqamah disunnahkan secara perlahan bagi wanita.
Namun, ulama Hanafi menganggapnya sebagai makruh, dan ulama Hambali mengatakan
bahwa iqamah bagi perempuan tidak disyariatkan.
Menurut jumhur, adzan yang dilakukan oleh seseorang
adalah mencukupi bagi orang yang ada dalam satu kawasan, sedangkan ulama Syafi'i
menganggapnya tidak memadai.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments