BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
5. ADAB & FADHILAH WUDHU
Ulama madzhab Hanafi menyebut perkara-perkara
tersebut sebagai adab berwudhu. Ia merupakan perbuatan yang pernah diamalkan oleh
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak satu atau dua kali,
dan Rasul tidak selalu mengamalkannya. Hukumnya adalah mendapatkan pahala bagi
orang yang melakukan, dan tidak dicela karena tidak mengerjakan. Adab wudhu tersebut
menurut pandangan ulama Hanafi terdiri atas empat belas adab.
Ulama madzhab Maliki menyebutnya sebagai fadhilah
berwudhu, yaitu sifat dan perbuatan
yang dianjurkan. Menurut pandangan mereka, jumlahnya
mencapai sepuluh perkara. Perbedaan antara fadhilah dengan sunnah adalah,
sunnah artinya segala sesuatu yang diperintahkan oleh syara' dengan sungguh-sungguh
dan memiliki nilai yang tinggi. Adapun mandub atau perkara yang dianjurkan adalah,
segala sesuatu yang diperintahkan oleh syara' untuk kita laksanakan mengikuti
satu tuntutan yang tidak berat dan perintahnya juga
ringan. Setiap orang yang melaksanakan salah satu di antara dua perkara tersebut
akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak terkena pembalasan (siksa).
Di antara adab-adab wudhu yang terpenting adalah seperti berikut.
A. Menghadap qiblat
Karena ia adalah arah yang paling mulia.
Perbuatan menghadap qiblat merupakan satu keadaan untuk memudahkan doa
diterima. Ulama madzhab Hambali dan Syafi'i menganggap sebagai perbuatan yang
disunnahkan. Sebabnya adalah, karena mereka tidak membedakan antara sunnah dan
adab.
B. Duduk di suatu tempat yang tinggi
Tujuannya mengelakkan air bekas basuhan memercik
kembali. Ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa sunnah mengambil wudhu di tempat
yang benar-benar bersih. Karena, ia merupakan suatu bagian dari amalan bersuci.
Oleh sebab itu, makruh berwudhu dalam toilet atau
dalam kamar mandi, meskipun masih baru dan belum digunakan.
Karena kamar mandi merupakan tempat tinggal setan, meskipun belum digunakan.
Perasaan waswas biasa muncul dalam kamar mandi, meskipun sebenarnya tidak ada
najis dari percikan air. Singkatnya, berwudhu di tempat yang najis adalah
makruh, supaya tidak ada percikan najis yang mengenai orang yang sedang
berwudhu. Begitu juga makruh berwudhu di tempat-tempat lain yang ada najisnya.
C. Tidak berbicara dengan orang lain, kecuali dalam
keadaan darurat
Karena, keadaan ini dapat melalaikan orang
dari mengingat doa yang ma'tsur.
D. Tidak minta bantuan kepada orang lain kecuali karena
ada uzur
Seperti minta bantuan untuk menyiramkan air ke
anggota wudhu ataupun untuk tujuan lain. Minta tolong orang lain untuk
mengambilkan air adalah tidak mengapa, tetapi lebih baik tindakan itu tidak
dilakukan. Meminta tolong membasuh anggota wudhu adalah makruh. (Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 61) Hal ini karena tindakan-tindakan seperti itu
kebanyakannya dilakukan sendiri
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dari hadis Ibnu Abbas, dia berkata, “Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mewakilkan kepada siapa pun untuk bersuci.
Beliau juga tidak mewakilkan kepada siapa pun untuk memberi sedekah. Beliau
melakukan perbuatan itu oleh dan untuk dirinya sendiri.” Hadis ini dhaif.
Selain itu, ia dianggap sebagai kesombongan
diri. Hal seperti itu tidak sesuai bagi seorang yang hendak beribadah,
sedangkan pahala diberikan sesuai dengan kadar kepayahan yang dilakukan dan hal
ini juga bertentangan dengan sesuatu yang lebih diutamakan. Menurut pendapat
yang lemah, ia adalah makruh. Akan tetapi jika meminta pertolongan tersebut
disebabkan karena uzur seperti sakit, maka tidaklah mengapa.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
telah membenarkan hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Mughirah
bin Syu'bah, bahwa dia pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam suatu perjalanan. Rasul pergi buang air dan Mughirah
menuangkan air untuk Rasul ketika Rasul berwudhu. Lalu Rasul membasuh muka dan
dua tangan, mengusap kepala, dan dua khuf-nya.” Muttafaq ‘alaih (Nailul
Authar jilid 1 halaman 175)
Shafwan bin Asal berkata, "Saya telah menuangkan
air kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berwudhu, baik dalam masa
bepergian ataupun bermukim.” Riwayat Ibnu Majah dan juga diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari dalam Tarikh Al-Kabir. Ibnu Hajar mengatakan bahwa dalam
sanadnya ada perawi yang dhaif (Nailul Authar jilid 1 halaman 175. Kedua
hadits tersebut menunjukkan bahwa boleh mendapatkan pertolongan dari orang
lain. Kedua hadits tersebut menjadi pegangan ulama madzhab Hambali, hingga
mereka mengatakan boleh (meminta pertolongan).
E. Menggerakkan cincin yang longgar supaya basuhan itu
semakin meyakinkan (sebagai langkah mubalaghah)
Diriwayatkan dari Abu Rafi', bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sering menggerakkan cincinnya apabila beliau berwudhu. Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni. Hadis ini dhaif (Nailul Authar jilid
1 halaman 153)
Begitu juga sunnah menggerakkan cincin yang
ketat, jika dipastikan air dapat sampai ke bawah cincin tersebut. Jika tidak
dapat dipastikan, maka wajib hukumnya menggerakkan cincin tersebut. Dan telah
dijelaskan hal ini pada bagian sebelum ini. Menurut ulama madzhab Maliki, tidak
wajib menggerakkan cincin yang ketat yang boleh dipakai oleh seseorang.
F. Melakukan madhmadhah (berkumur) dan istinsyaq
dengan menggunakan tangan kanan
Hal ini karena kemuliaan perbuatan tersebut dan
membuang ingus dengan tangan kiri karena kedudukannya yang hina.
G. Berwudhu sebelum masuk waktu shalat untuk segera
melakukan ketaatan bagi orang yang tidak ada uzur
Orang yang uzur dan orang yang bertayamum
tidak disunnahkan bersegera melakukan thaharah, menurut pendapat ulama madzhab
Hanafi. Menurut pendapat jumhur, wajib mengakhirkan bersuci hingga masuk waktu.
H. Memasukkan jari kelingking yang basah ke dalam lubang
telinga
Hal ini sebagai amalan yang berlebihan (mubalaghah/untuk
hati-hati) dalam membersihkan.
I. Mengusap leher dengan dua tangan, tidak termasuk
tenggorokan
Ini menurut pendapat ulama madzhab Hanafi.
Inilah pendapat yang rajih lagi shahih dan dianggap oleh pengarang Muraqil
Falah dan Al-Bahrur Raqi’ sebagai sunnah-sunnah wudhu. Lihat Ad-Durrul
Mukhtar jilid 1 halaman 115. Karena, terdapat sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Laits, dari Thalhah bin Musyarrif, dari bapaknya, dari
kakeknya, bahwa dia pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengusap kepala hingga sampai ke al-qadhal (bagian menonjol di atas
punggung di bawah leher belakang) dan seterusnya hingga ke bagian depan leher.
Riwayat imam Ahmad. Hadis ini dhaif (Nailul Authar jilid 1 halaman 163)
Jumhur fuqaha mengatakan bahwa tidak sunnah
mengusap leher. Malah ia adalah makruh, karena amalan tersebut dianggap sebagai
amalan yang berlebihan dalam masalah agama.
J. Melanjutkan sampai ke ghurrah dan tahjil
Melanjutkan sampai ke ghurrah adalah
dengan membasuh bagian luar muka yang wajib dibasuh dari semua sudutnya. Tujuannya
adalah untuk membasuh leher bersama dengan bagian depan kepala.
Adapun melanjutkan sampai ke tahjil adalah
dengan membasuh bagian yang lebih dari kadar yang wajib, pada waktu membasuh
kedua tangan dan kedua kaki dari semua sudutnya. Tujuannya adalah untuk
meratakan basuhan pada anggota lengan dan pada kedua betis.
Amalan ini disunnahkan menurut pendapat jumhur
ulama, karena terdapat sebuah hadits dalam Ash-Shahihain yang artinya,
"Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada Hari Akhir nanti dalam keadaan
bersih muka, kedua tangan, dan kedua kakinya, karena pengaruh wudhunya. Oleh
sebab itu, barangsiapa di antara kamu mampu melanjutkan hingga ke ghurrahnya,
maka lakukanlah."
Dan hadits riwayat Muslim, "Kamu
adalah orang yang bersih muka, kedua tangan, dan kedua kaki pada hari kiamat
karena wudhu yang sempurna. Maka barangsiapa di antara kamu yang mampu
melanjutkan membasuh ghurrah dan tahjil-nya (maka lakukanlah).” (Nailul
Authar jilid 1 halaman 152)
Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa tidak
disunnahkan melanjutkan sampai ke ghurrah, yaitu melebihi dari basuhan
anggota-anggota wudhu selain bagian yang difardhukan, malahan ia dimakruhkan karena
ia dianggap sebagai amalan yang berlebihan dalam masalah agama. Akan tetapi,
disunnahkan untuk mengekalkan thaharah dan juga memperbaruinya. Tindakan
demikian dinamakan juga sebagai "melanjutkan ghurrah” seperti yang
telah ditunjukkan oleh hadits yang telah disebutkan.
Mereka menegaskan bahwa perbuatan melanjutkan
tersebut berarti berterusan dan ghurrah pula berarti wudhu. Ringkasnya, melanjutkan
sampai ke ghurrah mempunyai dua makna, yaitu melebihi tempat membasuh
dan mengekalkan (selalu menjaga) wudhu. Perbuatan yang pertama dimakruhkan,
sementara makna yang kedua adalah dianjurkan. Ini adalah menurut pendapat
mereka.
K. Tidak mengeringkan air wudhu dengan usapan tangan atau
handuk atau dengan yang lain
Ini menurut pendapat ulama madzhab Hanafi dan
Hambali. Pendapat ini juga merupakan pendapat yang ashah di kalangan ulama
madzhab Syafi'i. Tujuannya adalah untuk mengekalkan bekas ibadah. Dalam satu
riwayat diceritakan bahwa ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam selesai mandi junub kemudian Maimunah
memberinya sapu tangan, namun Rasul menolak sambil
bersabda berkaitan air (mandi tersebut), "Beginilah!
sambil dikibaskannya." Diriwayatkan oleh asy-syaikhan. Ulama
Syafi’i mengatakan bahwa ini tidak bisa dijadikan dalil bagi sunnahnya
memercikkan air ke anggota wudhu, karena mungkin perbuatan Rasul itu
menunjukkan bahwa perkara itu hukumnya hanyalah boleh saja. (Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 61)
Ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa mengelap
air dengan sapu tangan adalah dibolehkan, karena terdapat hadits yang
diriwayatkan Qais bin Sa'ad, dia berkata, "Kami telah diziarahi oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah kami. Lalu Sa'ad menyuruh seseorang
agar memberikan kepada Rasulullah. Lalu diberikanlah air itu kepada Rasul, dan
kemudian beliau mandi. Kemudian diberikan kepada Rasul sehelai kain selimut
yang dicelup dengan za'faran atau waras, lalu Rasul berselimut dengannya.”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud dan An-Nasa’i (Nailul Authar jilid
1 halaman 175)
Menurut pendapat ulama madzhab Hambali, boleh
bagi orang yang bersuci untuk mengeringkan anggotanya, tetapi membiarkannya
merupakan perbuatan yang lebih afdhal. Ini adalah pendapat yang rajih. Ini
karena ada riwayat Ibnu Majah dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamush Shaghir dari
Salman, dia berkata, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu,
kemudian beliau mengusap mukanya dengan jubah yang dipakainya.”
L. Tidak mengibaskan air (yang ada pada anggota wudhu)
Pendapat ini menurut pendapat yang ashah di
kalangan ulama madzhab Syafi'i dan juga Hambali. Sebagian ulama madzhab Hambali
mengatakan bahwa tindakan itu adalah makruh. Adapun menurut ulama madzhab
Syafi'i, ia bertentangan dengan amalan yang lebih diutamakan. Hal ini karena
terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Apabila kamu berwudhu,
maka janganlah kamu kibaskan air wudhu yang terdapat pada tanganmu. Karena, ia
merupakan
kipas setan.” Riwayat
Al-Mu’amari dan lain-lain melalui Al-Bukhari bin Ubaid yang dianggap matruk.
Tetapi menurut pendapat yang azdhar di
kalangan ulama madzhab Hambali, ia tidak makruh. Pendapat ini merupakan pendapat
yang sesuai dengan pendapat tiga imam madzhab yang lain.
M. Menghemat penggunaan air pada semua anggota wudhu
Hal ini karena pemborosan dalam menggunakan
air adalah makruh.
N. Meletakkan wadah yang terbuka seperti wadah air di
sebelah kanan orang yang bersuci
Karena posisi seperti itu merupakan posisi
yang lebih mudah untuk mencapai wadah tersebut.
O. Membaca dua kalimat syahadat serta berdoa setelah
berwudhu
Ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa hal
tersebut sama seperti yang dilakukan setelah mandi. Bacaan itu yang artinya
adalah "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah melainkan
Allah, Tuhan Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi
Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku dari kalangan
orang yang bertobat dan jadikanlah aku dari kalangan orang yang suci. Mahasuci
Engkau, dan segala puji hanya bagi Engkau. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan
melainkan Engkau. Aku memohon ampun kepada Engkau dan aku bertobat kepada
Engkau."
Sunnah membaca shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam setelah berwudhu, yaitu
mengucapkan kata yang bermaksud, "Ya Allah, berilah shalawat dan
salam-Mu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarga beliau."
Juga, disunnahkan mengucapkan dua kalimat
syahadat berdasarkan hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Umar
secara marfu', "Tidak ada seorang pun di antara kamu yang
berwudhu, lalu ia menyempurnakannya, kemudian ia membaca ‘Aku bersaksi bahwa
tiada tuhan yang patut disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah,' melainkan niscaya akan
terbuka pintu-pintu surga yang berjumlah delapan yang dapat ia masuki dari mana
saja ia mau."
At-Tirmidzi dalam riwayatnya telah menambahkan,
"Mahasuci Engkau ya Allah, dan segala puji hanya bagi Engkau. Aku
bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Engkau. Aku memohon ampunan Engkau dan aku
bertobat kepada Engkau."
Dia menambah lagi, "Ya Allah,
jadikanlah aku dari kalangan orang yang bertobat dan jadikanlah aku dari
kalangan orang yang bersuci."
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dan
Abu Dawud. An-Nasa'i dan Al-Hakim telah
meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri, "Siapa yang berwudhu dan membaca
bacaan tersebut niscaya akan ditulis (bacaannya itu) di atas kertas, kemudian
akan dicap dengan (cincin) dan ia tidak akan hancur hingga ke hari Akhirat."
Maksudnya, ia tidak akan terhapus. As-Samiri
berkata, "Dengan membaca Al-Qadr sebanyak tiga kali."
Adapun doa ketika membasuh setiap anggota
wudhu, pada dasarnya tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Hal ini seperti
yang dikatakan oleh An-Nawawi. Akan tetapi, ulama madzhab Hanafi dan Maliki
mengatakan bahwa doa tersebut disunnahkan, sedangkan sebagian yang lain dari
ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa doa tersebut adalah mubah. Yaitu bacaan Bacaan
ketika membasuh tangan, "Ya Allah, peliharalah tanganku dari segala
maksiat." Ketika berkumur membaca, "Ya Allah, tolonglah aku
membaca Al-Qur'an, mengingati-Mu, bersyukur dan beribadah kepada-Mu."
Ketika memasukkan air ke hidung berkata, "Dengan nama Allah, ya Allah
embuskanlah bau surga kepada diriku, dan jauhkanlah diriku dari bau neraka."
Ketika membasuh muka, hendaklah berkata, "Ya Allah, putihkanlah wajahku
pada hari wajah-wajah kelihatan putih dan hitam." Ketika membasuh tangan
kanan hendaklah berkata, "Ya Allah, berilah kitab di tangan kananku dan
hisablah daku dengan mudah." Ketika menbasuh tangan kiri, hendaklah
berkata, "Ya Allah, janganlah beri kitab di tangan kiriku atau di
sebelah belakangku." Ketika mengusap kepala hendaklah berkata, “Ya
Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka.” Ketika mengusap dua
telinga hendaklah berkata, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang
yang mendengar percakapan dan mengikuti yang terbaik darinya.” Ketika
membasuh kaki hendaklah berkata, “Ya Allah, tetapkanlah kakiku di sirath
pada hari kebanyakan kaki tergelincir.” Sebagian ulama Syafi’i membolehkan
doa-doa ini.
Mereka mengatakan bahwa bercakap-cakap ketika
berwudhu selain dzikir kepada Allah adalah makruh. Diriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa ketika berwudhu, “Ya
Allah, ampunilah dosaku, luaskanlah rumahku, berkatilah rezekiku,
anugerahkanlah kepuasan pada diriku dengan rezeki itu, dan jangan sampai aku
tergoda dengan harta yang terlepas dariku.” Hadis ini riwayat At-Tirmidzi
dari Abu Hurairah (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 127)
Kesimpulan Kesunnahan dan Adab Wudhu Menurut Berbagai
Madzhab
(i) Madzhab Hanafi (Muraqil
Falah halaman 10-13; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 95-112)
Pertama, perkara yang disunnahkan dalam wudhu berjumlah tujuh belas, yaitu membasuh
kedua tangan hingga ke pergelangan, membaca bismillah,
bersiwak pada permulaan wudhu, ber-madhmadhah (berkumur) sebanyak tiga
kali meskipun dengan seciduk air; ber-istinsyaq dengan tiga ciduk air,
melebihkan (mubalaghah) dalam menjalankan madhmadhah dan istinsyaq
bagi yang tidak berpuasa, menyela jenggot yang tebal dengan seciduk air dan
dilakukan dari bagian bawah, menyela jari-jari, melakukan tiga kali basuhan,
mengusap seluruh kepala dengan sekali usap, mengusap dua telinga meskipun
dengan air yang digunakan membasuh kepala, menggosok anggota yang dibasuh,
berturut-turut, niat, tartib seperti yang disebut oleh Allah dalam Kitab-Nya,
dan memulai dari anggota sebelah kanan, ujung jari, dan bagian depan kepala.
Kedua, adab wudhu
berjumlah lima belas, yaitu mengusap leher (bukan termasuk tenggorokan), duduk
di tempat yang tinggi, menghadap kiblat, tidak meminta pertolongan orang lain,
tidak berbicara dengan percakapan biasa, mengumpulkan antara niat di hati
dengan ucapan di lidah, berdoa dengan doa yang ma'tsur, membaca
bismillah pada setiap anggota, memasukkan jari kelingking ke dalam dua lubang
telinga, menggerakkan cincin yang longgar, ber-madhmadhah (berkumur) serta
ber-istinsyaq dengan tangan kanan dan membuang air dengan tangan kiri,
berwudhu sebelum masuk waktu bagi yang tidak uzur, membaca dua kalimat syahadat
setelah berwudhu, minum sisa air wudhu sambil berdiri dan membaca doa, “Allaahummajnii
min at-tawwaabiina waj’alnii min al-mutathahhiriina.”. Di antara adab
berwudhu membaca surah Al-Qadr (ada hadis yang menceritakan masalah ini, tetapi
Ibnu Hajar mengatakan bahwa tidak ada keterangan yang dapat
dipertanggungjawabkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam baik
perkataan atau perbuatan) serta shalat dua rakaat di luar waktu yang dimakruhkan
(ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud dan juga yang
lain-lain, “Setiap orang yang berwudhu dengan sempurna dan shalat dua rakaat
dengan hati dan tujuan yang fokus kepada shalat itu, maka wajiblah dia mendapat
surga.”). Salah satu adab berwudhu juga adalah menggosok kedua khuf,
kedua mata kaki, kedua urat belakang mata kaki, dan kedua lekuk telapak kaki.
(ii) Madzhab Maliki (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 117-124; Asy-Syahul Kabir jilid
1 halaman 96-108)
Pertama, perkara yang disunnahkan dalam wudhu berjumlah delapan, yaitu membasuh dua tangan
hingga ke pergelangan tangan sebanyak satu kali sebelum memasukkan tangan ke
dalam tempat air, ber-madhmadhah (berkumur) dan ber-istinsyaq dengan
tiga ciduk air bagi setiap satunya, dan melebihkan (mubalaghah) dalam melaksanakan
kedua perkara tersebut bagi orang yang tidak berpuasa. Ketiga jenis kesunnahan
ini diwajibkan dengan adanya niat, yaitu berniat melakukan sunnah wudhu atau
ketika membasuh dua tangan dengan berniat melaksanakan wudhu.
Di antara kesunnahan wudhu juga adalah
istintsar yaitu mengembuskan air dari hidung, mengusap dua telinga, pada bagian
luar dan dalam dengan satu kali usap, membagi air bagi kedua-duanya, mengembalikan
usapan kepala ke depan jika tangan masih basah dari air usapan kepala yang
wajib, mentartibkan semua rukun wudhu yang berjumlah empat dengan mendahulukan
membasuh muka dari membasuh kedua tangan dan menyapu kepala, membasuh kedua
kaki. Hal ini karena jika mendahulukan satu rukun dari tempat yang asal, maka
wajib mengulang sekali saja tanpa mengulang rukun-rukun yang lain yang terdapat
setelahnya.
Menurut pendapat yang mu'tamad yang
menyatakan tidak perlu melaksanakan kesunnahan, maka sunnah cukup diulang tanpa
kesunnahan lain setelahnya, baik waktunya sudah lama ataupun belum. Akan tetapi
barangsiapa meninggalkan salah satu fardhu wudhu ataupun fardhu mandi selain
niat atau meninggalkan satu bagian yang tidak terkena air, maka wajib baginya
untuk melaksanakan dan mengulangi rukun-rukun yang setelahnya. Hal tersebut
dilakukan jika jarak waktunya tidak lama. Jika jarak waktunya lama, maka semua
rukun dianggap batal karena tidak ada muwalah (berturut-turut).
Kedua, fadhilah (keutamaan)
wudhu berjumlah sepuluh. Fadhilah adalah beberapa sifat dan perbuatan yang
diberikan pahala jika dilakukan dan tidak dikenakan siksa karena meninggalkannya.
Di antaranya adalah berwudhu pada tempat yang benar-benar suci, menghadap
kiblat, membaca bismillah, yaitu membacanya ketika membasuh kedua tangan hingga
ke pergelangan tangan, berhemat dalam menggunakan air waktu berwudhu (tidak ada
batasan tertentu untuk mengurangi penggunaan air, karena anggota wudhu berbeda
ukurannya antara seseorang dengan yang lain), mendahulukan tangan atau kaki
yang kanan daripada yang kiri, meletakkan wadah air yang terbuka seperti gayung
dan yang lain di sebelah tangan kanan, memulakan membasuh atau mengusap pada
bagian depan, membasuh kedua dan ketiga kali dalam perbuatan-perbuatan sunnah
dan rukun sehingga sampai pada kaki, melakukan kesunnahan dengan tartib dan
bersama rukun-rukunnya, serta bersiwak meskipun dengan jari.
(iii) Madzhab Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 55-62; Al-Hadramiyyah halaman
11-13 dan kitab-kitab lain seperti Bujairami Al-Khatib jilid 1 halaman
139 yang menyatakan bahwa sunnah wudhu adalah sepuluh)
Perkara yang disunnahkan dalam berwudhu menurut
pendapat madzhab Syafi'i berjumlah
lebih kurang tiga puluh perkara, yaitu bersiwak secara
melintang dengan menggunakan barang yang kesat selain jari menurut pendapat
yang ashah bagi orang yang tidak berpuasa. Bagi orang yang berpuasa, dia tidak disunnahkan
melakukan hal tersebut setelah matahari tergelinci, membaca bismillah yang disertai
dengan niat pada permulaan membasuh kedua telapak tangan (kalau bismillah terlewat
pada awal wudhu meskipun disengaja, maka hendaklah orang tersebut membaca “Bismillah
fi awwalihi wa akhirihi,” sama seperti ketika tertinggal membaca bismillah
ketika makan dan minum), menyebut lafal niat berbarengan dengan niatnya,
membasuh kedua telapak tangan. Tetapi jika seseorang tidak yakin akan kesucian
kedua telapak tangan tersebut, maka makruh memasukkan kedua-duanya ke dalam
benda cair ataupun air yang sedikit sebelum membasuh kedua-duanya sebanyak tiga
kali.
Ber-madhmadhah; ber-istinsyaq,
melakukan yang afdhal bagi kedua-duanya (yaitu madhmadhah dan istinsyaq)
menurut pendapat yang azhhar seperti yang ditegaskan oleh An-Nawawi yang
bertentangan dengan pendapat Ar-Rafi'i, yaitu menggabungkan kedua-duanya dengan
tiga ciduk air dimulai dengan madhmadhah menggunakan seciduk air diikuti
dengan istinsyaq menggunakan air yang tersisa, melebihkan (mubalaghah)
dalam kedua-duanya bagi orang yang tidak berpuasa, mengulangi sebanyak tiga
kali pada setiap basuhan, usap, menyela, menggosok, dan bersiwak (jika muncul
keraguan, maka hendaklah ditambah hinggal muncul keyakinan dan penambahan ini
wajib apabila perkara yang diragui adalah wajib dan sunnah apabila perkara yang
diragui adalah sunnah, tetapi makruh menambah lebih dari tiga kali), mengusap
seluruh kepala atau sebagiannya serta menyempurnakan usapan di atas serban,
kemudian mengusap bagian luar dan dalam telinga serta kedua lubang telinga
dengan menggunakan air yang baru.
Menyela jenggot yang tebal dan jari dua tangan
dengan cara menyelisihkan jari-jarinya (tasybik), menyela jari dua kaki dengan
jari kelingking tangan yang kiri dan dimulakan dari bawah telapak kaki kanan hingga
sampai ke kelingking kaki kiri, muwalah, memulakan dari arah kanan (baik
dalam membasuh atau menyapu), melanjutkan basuhan sampai ke ghurrah dan tahjil,
tidak mengibaskan (air wudhunya), tidak minta pertolongan untuk menuangkan air
kecuali karena udzur dan tidak mengeringkan air wudhunya menurut pendapat yang
ashah, menggerakkan cincin (jika air tidak sampai ke bawah cincin kecuali
dengan cara menggerakkan cincin itu, maka ia wajib melakukannya), memulakan
pada bagian atas muka (ketika membasuh muka), memulakan pada jari-jari terlebih
dahulu ketika membasuh tangan dan kaki (kalau ada orang lain yang menolong
mencurahkan air itu, maka hendaklah dimulai dari siku dan mata kaki).
Menggosok anggota (yang dibasuh), mengusap dua
lubang hidung (mengusap itu hendaklah dengan cara menggunakan dua jari telunjuk),
menghadap kiblat, meletakkan wadah air yang akan dimasuki tangan di sebelah
kanan jika ruangnya masih luas. Jika wadah air tersebut digunakan dengan cara
mencurahkan, maka wadah air hendaklah diletakkan di sebelah kiri, dan hendaklah
air wudhu tidak kurang dari satu mud (675 gram).
Tidak berbicara selama berwudhu kecuali ada
keperluan, tidak mengucurkan air ke arah muka dengan kuat, tidak mengusap
leher; dan setelah itu hendaklah membaca, “Allahummaj’alnii min
at-tawwaabiina waj’alnii min al-mutathahhiriina.” Dan setelah itu
disunnahkan membaca, “Allahumma shalli wasallim ‘ala Muhammadin wa aali
Muhammadin.” Setelah itu disunnahkan juga membaca Surah Al-Qadr dan
melakukan shalat dua rakaat.
(iv) Madzhab Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 118-122; Al-Mughni jilid 1
halaman 118, 139-142)
Perkara yang disunnahkan dalam berwudhu menurut
madzhab Hambali berjumlah lebih kurang dua puluh perkara, yaitu menghadap kiblat,
bersiwak ketika ber-madhmadhah, membasuh dua telapak tangan sebanyak
tiga kali bagi selain orang yang bangun dari tidur malam, dan wajib bagi orang
yang bangun dari tidur malam, memulakan dengan madhmadhah sebelum
membasuh muka kemudian ber-istinsyaq melebihkan (mubalaghah) pada
kedua-duanya bagi orang yang tidak berpuasa, dan mubalaghah pada
anggota-anggota yang lain bagi orang yang berpuasa dan lainnya, melakukan istintsar
dengan tangan kiri, menyela jari kedua tangan dan juga kaki, menyela jenggot
yang tebal dari muka, memulakan dengan anggota kanan meskipun pada dua telapak
tangan bagi orang yang bangun dari tidur malam dan pada dua telinga, mengusap
kedua telinga sesudah mengusap kepala dengan air yang baru, melebihkan membasuh
pada anggota yang rukun atau fardhu, membasuh kedua dan ketiga kali,
mendahulukan niat ketika mengamalkan semua amalan sunnah, melanggengkan niat hingga
akhir wudhu, membasuh bagian dalam bulu-bulu tebal yang terdapat di muka selain
jenggot, melebihkan penggunaan air ketika membasuh muka karena terdapat
berbagai keriput kulit, bulu, bagian yang dalam dan yang terlihat agar semuanya
dapat terkena air, mengambil wudhu dengan sendiri tanpa pertolongan orang lain.
Boleh
bagi orang yang bersuci mengeringkan air pada anggota-anggotanya, tetapi
membiarkannya (kering sendiri) adalah lebih afdhal, meletakkan wadah air
yang besar di sebelah kanan agar mudah dia memasukkan tangan ke dalamnya, tidak
mengibaskan air yang ada pada anggotanya, tetapi ia tidak makruh jika dilakukan
menurut pendapat yang sesuai dengan qaul azhar dari kalangan tiga madzhab yang
lain, dan doa (seperti yang dijelaskan sebelum ini menurut ulama madzhab Syafi'i)
setelah selesai berwudhu dengan mengangkat pandangan mata ke arah langit (hadis
doa ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud seperti yang telah
disebutkan dulu, dalam riwayat yang lain disebutkan, “Rasul berwudhu dengan
sempurna kemudian memandang ke langit.”), begitu juga sunnah berdoa setelah
mandi.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########