Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Secara umum waktu niat adalah di awal melakukan ibadah, kecuali
dalam beberapa kasus (Ibnu Nujaim, Al-Asybah wan-Nazha'ir, halaman 43
dan setelahnya; As-Suyuthi, Al-Asybah wan-Nazha'ir; Al-Husaini, Ahkamun
Niyah, halaman 10, 74, 78, 122-125).
Niat wudhu adalah ketika membasuh muka. Madzhab Hanafi berpendapat
bahwa niat wudhu disunnahkan dilakukan ketika melakukan amalan sunnah yang
pertama, yaitu ketika membasuh telapak tangan hingga pergelangan tangan, supaya
pahala kesunnahan-kesunnahan sebelum membasuh muka dapat diperoleh. Waktunya
adalah sebelum melakukan istinja' supaya semua perbuatannya menjadi
amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Madzhab Maliki mengatakan, bahwa waktu berniat adalah ketika
membasuh muka. Ada juga yang mengatakan bahwa waktunya adalah ketika melakukan
amalan bersuci yang pertama kali. Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa
membarengkan niat dengan basuhan pertama kali pada bagian wajah adalah wajib, supaya
niat tersebut berbarengan dengan amalan fardhu yang pertama sebagaimana dalam
shalat. Namun, disunnahkan melakukan niat sebelum membasuh kedua telapak tangan,
supaya niatnya tersebut dapat mencakup seluruh amalan sunnah dan fardhu wudhu.
Sehingga, kesemua amalan tersebut akan mendapat pahala, sebagaimana yang dikatakan
oleh madzhab Hanafi.
Boleh mendahulukan niat sebelum memulai bersuci dalam jarak waktu
yang pendek. Apabila jarak waktunya lama, maka tidak memadai. Disunnahkan
menghadirkan niat dalam hati selama melakukan wudhu hingga akhir amalan wudhu
selesai, supaya semua amalannya dibarengi dengan niat. Namun apabila dia hanya
konsisten dengan konsekuensi niat saja, artinya semasa wudhu dia tidak ada niat
untuk keluar dari wudhu, maka hal itu sudah mencukupi.
Madzhab Hambali mengatakan bahwa waktu niat wudhu adalah ketika
pertama kali melakukan amalan wajib, yaitu ketika membaca basmalah.
Menurut madzhab Syafi'i dan Hambali, orang yang berwudhu dibolehkan
melakukan tafriq (memisah-misahkan) niat pada semua anggota wudhu.
Yaitu, dengan cara berniat menghilangkan hadats dari anggota wudhu yang sedang
dibasuh atau diusap. Hal ini disebabkan memisah-misah amalan wudhu dibolehkan,
sehingga memisah-misah niat masing-masing amalan tersebut juga boleh.
Pendapat yang mu'tamad menurut madzhab Malik -yang berbeda
dengan pendapat Ibnu Rusyd- adalah tidak cukup melakukan tafriq niat
pada masing-masing anggota wudhu. Yaitu, dengan melakukan niat khusus untuk
masing-masing anggota wudhu ketika membasuh atau mengusapnya, jika tanpa ada
maksud untuk menyempurnakan wudhu. Namun jika dia melakukan tafriq niat
ketika membasuh atau mengusap masing-masing anggota-anggota wudhu dengan maksud
untuk menyempurnakan wudhunya, dan itu dilakukan dengan cepat, maka niat
wudhunya
mencukupi.
Bagi madzhab Hanafi, mandi adalah sama dengan wudhu dalam masalah
kesunnahan-kesunnahannya. Karena, memulai dengan niat ketika mandi wajib bagi
mereka hanyalah kesunnahan. Hal ini dimaksudkan supaya semua yang dilakukan
oleh orang yang mandi tersebut dapat dianggap sebagai amalan untuk mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala seperti alasan dalam wudhu. Jumhur ulama mewajibkan niat
ketika mandi wajib, sama seperti wudhu dengan dalil hadits "innamal
a'maalu bin-niyaat." Niat tersebut dilakukan ketika mulai membasuh
bagian pertama dari anggota badan, yaitu dengan cara menghadirkan niat mandi
wajib atau menghilangkan jinabah atau menghilangkan hadats besar atau berniat supaya
boleh melakukan hal-hal yang dilarang sebelum mandi wajib.
Madzhab empat sepakat bahwa niat tayamum adalah wajib. Namun
menurut pendapat yang mu'tamad dan rajih dalam madzhab Hanafi dan
Hambali niat tayamum adalah syarat. Madzhab Hanafi mengatakan bahwa waktu niat
tayamamum adalah ketika menempelkan debu ke telapak tangan. Sedangkan madzhab
Syafi'i mewajibkan dibarengkannya niat dengan perpindahan debu ketika akan
diusapkan ke wajah, karena itulah rukun tayamum yang pertama. Wajib juga melanggengkan
niat hingga sampai mengusap bagian dari wajah. Madzhab Maliki dan Hambali menganggap
cukup apabila niat dilakukan ketika mengusap wajah.
Niat shalat adalah ketika takbiratul ihram. Madzhab Hanafi (Az-Zalla’i,
Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 99) mensyaratkan bersambungnya niat
dengan shalat, sehingga tidak boleh ada pemisah yang lain antara niat dan takbiratul
ihram. Yang dimaksud dengan pemisah yang lain adalah perbuatan yang tidak pantas
dilakukan ketika shalat seperti makan, minum, dan lain-lain. Madzhab Maliki (Asy-Syarh
Ash-Shagir wa Hasyiyah Ash-Shawi jilid 1 halaman 305) mewajibkan menghadirkan
niat (di hati) ketika takbiratul ihram, atau sebelumnya dalam jangka waktu yang
tidak lama.
Madzhab Syafi'i (Hasyiyah
Al-Bajuri jilid 1 halaman 305)
mensyaratkan niat harus berbarengan dengan pekerjaan shalat. Apabila niatnya
terlambat, maka dinamakan 'azam. Madzhab Hambali (Kasysyatul Qina’ jilid
1 halaman 367 dan Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 54, 115) mengatakan
bahwa yang afdhal adalah membarengkan niat dengan takbiratul ihram.
Apabila niatnya lebih dulu daripada takbiratul ihram, namun jarak waktunya
tidak lama dan waktu melaksanakan shalat fardhu sudah masuk, serta orang tersebut
tidak membatalkan niatnya, dan juga masih dalam keadaan Islam, tidak murtad, maka
shalatnya sah. Karena, didahulukannya niat atas takbiratul ihram dalam jangka
waktu yang pendek tidak menghilangkan maksud, bahwa shalat tersebut telah
diniati, dan juga tidak menyebabkan orang tersebut dianggap tidak berniat. Juga,
karena niat adalah syarat shalat maka boleh didulukan seperti syarat-syarat yang
lain. Begitu juga tuntutan untuk membarengkan niat dengan takbiratul ihram adalah
menyulitkan. Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 78 yang artinya,
"...dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama...."
Selain itu, awal shalat adalah termasuk bagian dari shalat. Maka,
menempatkan niat pada awal shalat adalah sudah cukup.
Kesimpulannya adalah, niat wajib berbarengan dengan takbiratul
ihram, dan madzhab Syafi'i selain mewajibkan barengnya niat dengan takbiratul
ihram, mereka juga mewajibkan niat tersebut harus berlangsung sepanjang melakukan
takbiratul ihram. Karena takbiratul ihram adalah amalan pertama dalam shalat, maka
wajib dibarengkan dengannya sama seperti ibadah haji dan lainnya. Adapun madzhab-madzhab
lain membolehkan niat dilakukan sebelum takbir dengan jarak waktu yang
sebentar, Apabila niat tersebut dilakukan terlambat atau mandahului takbiratul
ihram dalam jarak waktu yang lama, maka shalatnya batal.
Imam Asy-Syafi'i berkata, “Apabila seseorang melakukan takbiratul
ihram -baik sebagai imam ataupun sendirian- maka dia harus niat sewaktu
takbiratul ihram, tidak sebelumnya juga tidak setelahnya." Ulama-ulama
madzhab Syafi'i memberi komentar perkataan Imam Asy-Syafi'i di atas, "lmam
Asy-Syafi'i tidak bermaksud bahwa niat yang mendahului takbiratul ihram (yang
berlangsung terus hingga selesai takbiratul ihram) dan (niat) yang (selesainya)
terlambat setelah takbiratul ihram (tapi niatnya sudah dimulai sejak awal
takbiratul ihram) tidak boleh. Yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafi'i dengan
ucapannya, "tidak sebelumnya" adalah niat yang dilakukan sebelum
takbiratul ihram, kemudian orang yang
berniat tersebut memutuskan niatnya itu sebelum takbiratul ihram. Perkataan
Imam Asy-Syafi'i "dan tidak setelahnya" bukan berarti niat yang
berlangsung terus hingga takbiratul ihram selesai adalah tidak boleh.
Melainkan,yang dimaksud adalah apabila ada orang yang memulai niat setelah
selesai takbiratul ihram, maka itu tidak boleh. Namun apabila dia niat sebelum takbiratul
ihram, kemudian niat tersebut berlangsung
terus
hingga akhir takbiratul ihram, maka niat yang seperti ini adalah boleh, dan berarti
orang tersebut melaksanakan niat tersebut melebihi dari apa yang diwajibkan. Hal
yang seperti itu tidaklah membahayakan sahnya niat.
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa niat menjadi imam harus dilakukan
ketika ada orang yang mengikutinya (menjadi makmum), bukan sebelumnya. Niat
berjamaah juga sebaiknya dilakukan di awal amalan shalatnya makmum. Dalam kitab
Fathul Qadir bab "Sahnya Mengikuti Imam" disebutkan bahwa yang
lebih baik adalah niat mengikuti imam (niat menjadi makmum) ketika imam sudah memulai
shalat. Adapun ibadah-ibadah yang waktu niatnya tidak diharuskan di awal
melaksanakan ibadah tersebut adalah sebagai berikut.
A.
PUASA
Boleh mendahulukan niat sebelum awal waktu melakukan puasa, karena
untuk mengetahui
secara
tepat masuk awalnya waktu puasa adalah sulit. Apabila ada orang yang niat puasa
berbarengan dengan waktu fajar maka tidak sah, menurut pendapat yang ashah dalam
madzhab Syafi'i. Madzhab Hanafi memperinci pembahasan ini; apabila puasanya adalah
puasa Ramadhan tunai (ada'), maka boleh mendahulukan niat dimulai dari
terbenamnya matahari, atau membarengkan niat dengan terbitnya fajar (dan ini
adalah waktu yang asli), atau mengakhirkan niat hingga sebelum tengah hari
menurut hitungan syara'.
Ini semua untuk mempermudah orang yang melakukan puasa. Apabila
puasanya bukan puasa tunai (ada') seperti puasa qadha, nadzar, atau
kafarat, maka boleh niatnya didulukan mulai dari terbenamnya matahari hingga
terbitnya fajar. Boleh juga membarengkan niat dengan terbitnya fajar; karena
itulah waktu yang asli untuk puasa. Apabila puasanya sunnah, maka waktu niatnya
sama dengan waktu niat puasa Ramadhan tunai.
B.
HAJI
Niat dalam haji adalah mendahului pelaksanaan manasik haji, yaitu
dilakukan ketika berihram. Maksud ihram adalah niat dan membaca talbiyah
atau yang menggantikannya, seperti ketika menggiring hewan yang akan disembelih
sebagai al-hadyu menurut madzhab Hanafi. Madzhab Maliki mengatakan bahwa
ihram adalah dengan cara melakukan niat yang dilakukan bersamaan dengan ucapan atau
perbuatan yang berhubungan dengan haji, seperti ucapan talbiyah dan menuju
perjalanan. Tetapi menurut pendapat yang lebih rajih, ihram adalah dengan
melakukan niat saja. Madzhab Syafi'i dan Hambali mengatakan bahwa ihram cukup
hanya dengan niat saja. Apabila ada orang yang hanya berniat dan tidak
mengucapkan talbiyah, maka sudah cukup. Namun apabila dia mengucapkan talbiyah saja
tanpa niat, maka ihramnya belum cukup.
Niat tidak disyaratkan berbarengan dengan pembacaan talbiyah,
karena talbiyah adalah salah satu bentuk dzikir dan dia tidaklah wajib
dalam haji sebagaimana dzikir-dzikir yang lain. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa
jumhur ulama mengatakan bahwa ihram cukup hanya dengan niat saja. Namun menurut
madzhab Hanafi, ihram tidak cukup hanya dengan niat saja, melainkan niat
tersebut harus dibarengkan dengan ucapan atau perbuatan yang khusus dilakukan
sewaktu ihram. Pendapat yang ashah dalam madzhab Syafi'i adalah waktu
niat bagi orang yang berhaji tamattu' adalah selagi dia belum selesai dari
melakukan umrah.
C. ZAKAT
DAN ZAKAT FITRAH
Dalam kedua ibadah ini, niat boleh mendahului aktivitas pembagian zakat
kepada fakir miskin. Hukum ini adalah hasil qiyas dengan puasa. Niat tersebut
cukup apabila dilakukan ketika memisahkan bagian yang akan dizakatkan dari
harta benda yang di milikinya, atau ketika menyerahkannya kepada wakil atau
setelahnya namun sebelum dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya. Ini semua
adalah untuk memudahkan orang yang mengeluarkan zakat, meskipun hukum asalnya adalah
niat zakat harus dilakukan bersamaan ketika membagikan zakat tersebut. Apakah boleh
niat dilakukan setelah zakat itu diberikan kepada yang berhak? Madzhab Hanafi
mengatakan apabila seseorang memberikan zakat tanpa niat, kemudian setelah itu
dia baru
niat,
maka niatnya itu sah apabila harta zakat itu masih berada di tangan fakir
miskin, apabila sudah tidak di tangan lagi maka tidak sah. Niat pembayaran
kafarat juga sama dengan niat pembayaran zakat, boleh mendahulukan niat sebelum
pelaksanaan pembagian kafarat kepada orang-orang yang berhak.
D.
NIAT MENJAMAK DUA SHALAT
Niat menjamak tersebut adalah dilakukan ketika waktu shalat yang
pertama apabila shalat yang kedua adalah shalat yang digabungkan ke shalat yang
pertama. Apabila shalat yang pertama dijadikan ibadah pertama yang dilakukan,
maka boleh mengakhirkan niat melewati waktu yang awal. Karena, pendapat yang adzhar
menetapkan bahwa niat di tengah-tengah waktu itu adalah boleh.
E.
NIAT MENYEMBELIH HEWAN QURBAN
Boleh mendahulukan niat atas pelaksanaan penyembelihan. Menurut
pendapat yang ashah dalam madzhab Syafi'i, membarengkan niat dengan
waktu penyembelihan tidaklah wajib, Dan menurut pendapat yang ashah, boleh
juga melakukan niat ketika menyerahkan hewan qurban kepada pihak wakil.
F.
NIAT MENCECUALIKAN SESUATU DALAM SUMPAH
Niat tersebut wajib dilakukan sebelum selesainya sumpah dan
pengecualian tersebut juga wajib diniati.
TIDAK
DISYARATKANNYA MENGHADIRKAN NIAT SEGARA BERTERUSAN HINGGA SELESAINYA IBADAH
Niat tidak disyaratkan langgeng hingga akhir ibadah, karena hal itu
menyulitkan. Begitu juga, tidak wajib niat ibadah bagi setiap bagian-bagian ibadah
tersebut, melainkan cukup niat melakukan amalan-amalan ibadah itu secara
keseluruhan. Oleh sebab itu, niat dalam ibadah yang mempunyai banyak amal perbuatan
(al-af'al) cukup dilakukan di awal ibadah saja, tidak perlu berniat
ketika melakukan perbuatan-perbuatan yang ada dalam ibadah tersebut seperti
wudhu dan shalat. Begitu juga haji, sehingga tidak perlu menyendirikan niat
untuk thawaf, sa'i, dan wukuf, Dalam shalat tidak boleh membagi-bagi niat (tafriq
an-niyah), yaitu berniat setiap kali melakukan rukun-rukunnya.
Adapun dalam wudhu boleh melakukan tafriq an-niyah menurut
pendapat yang ashah dalam madzhab Syafi'i sebagaimana yang telah diterangkan.
Yang lebih sempurna dalam melakukan haji adalah melakukan niat dalam
masing-masing thawaf, sa'i, dan wukuf di Arafah. Tetapi apabila thawafnya
adalah thawaf nadzar atau thawaf sunnah, maka disyaratkan niat. Karena,
thawaf tersebut tidak ikut dalam satu paket ibadah apa pun. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa thawaf adalah ibadah yang wajib niat apabila thawafnya itu
sunnah. Tetapi kalau thawafnya itu fardhu, maka tidak diwajibkan niat.
Madzhab Hambali mengatakan bahwa yang wajib dalam niat adalah mengkontinyukan
makna niat, bukan mengkontinyukan hakikat niat, dengan cara menjauhi keinginan untuk
memutus niat. Kalau umpama seseorang lalai dengan niatnya (di tengah-tengah waktu
shalat), maka hal itu tidak memengaruhi sahnya shalat yang dilakukan.
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa orang yang berhaji apabila
melakukan thawaf dengan
niat
thawaf sunnah pada Hari Qurban, maka ia menjadi thawaf fardhu. Apabila dia melakukan
thawaf setelah selesai nafar dan dia niat melakukan thawaf sunnah, maka
dia sudah dianggap melakukan thawaf ash-shadr (thawaf al-wada').
Apabila ada orang thawaf dengan maksud mencari orang yang berutang kepadanya,
maka thawafnya tidak cukup. Namun apabila ada orang yang melakukan wuquf di
Arafah dengan maksud mencari orang yang berutang kepadanya, maka wukufnya sah.
Karena, thawaf adalah ibadah yang independen, sedangkan wukuf tidak (lbnu An-Nujaim,
Al-Asybah wan-Nazha'ir, halaman 45-46 dan setelahnya; As-Suyuthi, Al-Asybah
wan-Nazha'ir, halaman 23; Al-Husaini, Ahkamun Niyah, halaman 124-l26;
Al-Mughni, jilid 1, halaman 467).
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########