Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Ibnun Nujaim dalam Kitab Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 24
dan Imam as-Suyuthi dalam Kitab Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 10-21 menerangkan
pembahasan tujuan niat dengan pembahasan yang sangat lengkap. Tujuan utama niat
adalah untuk membedakan antara ibadah dengan adat, dan juga untuk membedakan antara
tingkatan-tingkatan ibadah.
Umpamanya adalah amalan wudhu dan mandi yang mempunyai beberapa
kemungkinan apabila dilakukan, yaitu untuk membersihkan badan, mendapat
kesegaran, atau ibadah.
Maksud menahan diri dari makan dan minum atau yang seumpamanya, kadang
untuk menjaga kesehatan, untuk pengobatan, atau karena memang tidak ingin makan
dan minum. Maksud duduk di masjid adakalanya untuk istirahat atau yang lain.
Memberikan harta kepada orang lain adakalanya karena didorong
keinginan-keinginan duniawi, dan adakalanya didorong keinginan untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala seperti zakat, sedekah, atau kafarat.
Maksud menyembelih kadang hanya untuk memenuhi keperluan makanan, sehingga
hukumnya adalah mubah atau sunnah, dan adakalanya untuk qurban sehingga menjadi
amalan ibadah. Atau penyembelihan itu dilakukan untuk acara ritual menyambut
kedatangan seorang pembesar maka hukumnya haram. Oleh sebab itu, niat
disyariatkan oleh agama supaya amalan ibadah dapat dibedakan dari yang lain.
Hukum amalan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah
adakalanya fardhu, sunnah, atau wajib. Oleh sebab itu, niat ditetapkan supaya
antara satu dengan yang lainnya dapat dibedakan. Wudhu, mandi, shalat, dan
puasa ada yang hukumnya fardhu, sunnah, dan ada juga yang wajib karena nadzar. Tayamum
juga kadang dilakukan karena hadats atau jinabah, padahal bentuk amalannya adalah
sama, yaitu mengusap wajah dan kedua tangan saja.
Ada beberapa poin yang berhubungan dengan pembahasan ini, yaitu: pertama,
amalan yang tidak termasuk adat kebiasaan dan juga tidak mungkin serupa dengan
yang lain. Dalam amalan seperti ini, niat yang disyaratkan hanyalah menyatakan kehendak
untuk melakukan (qashdul fi'l) tidak lebih dari itu, seperti iman kepada
Allah Ta’ala, ma'rifah, takut, dan mengharap kepada Allah atau membaca Al-Qur'an
dan berdzikir karena amalan-amalan tersebut mempunyai ciri-ciri yang istimewa,
yang menyebabkannya tidak serupa dengan amalan yang lain. Apabila seseorang
berkeinginan untuk beriman atau membaca Al-Qur'an, maka dia akan diberi pahala
dan dihukumi taat, meskipun dalam melakukannya tanpa ada niat untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Adapun amalan yang tidak mempunyai karakter seperti di atas,
maka tidak cukup hanya sekadar menyatakan keinginan melakukan amalan tersebut, melainkan
harus ada niat tambahan, yaitu niat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala ketika
-umpamanya- memasuki masjid, supaya ia mendapatkan pahala.
Kedua, amalan yang ada kemungkinan serupa dengan amalan lain, maka harus
dijelaskan
dengan
terang jenis amalan tersebut (ta'yin). Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, "Sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan
apa yang diniati saja," Hadits ini secara jelas menegaskan keharusan ta'yin
dalam niat. Oleh sebab itu, dalam melaksanakan shalat fardhu, seseorang harus
melakukan ta'yin, karena perbuatan dan bentuk shalat Zhuhur dan Ashar
adalah sama, dan yang membedakannya adalah ta'yin (dengan cara menerangkan
secara jelas jenis shalat yang dilakukan tersebut sewaktu niat). Shalat-shalat
sunnah selain sunnah mutlak,
seperti
shalat sunnah rawatib iuga harus dijelaskan secara jelas jenisnya (ta'yin),
yaitu dengan cara menisbatkan kepada shalat Zhuhur umpamanya baik itu ba'diyah
atau qabliyah. Kemudian Imam as-Suyuthi menerangkan tiga kaidah, yaitu:
(1) Sesuatu yang tidak disyaratkan untuk dinyatakan baik secara global maupun terperinci,
maka salah dalam menyatakannya/menentukannya (ta'yin)
adalah
tidak mengapa, seperti menyatakan tempat shalat dan masanya; (2) Sesuatu yang disyaratkan
untuk dinyatakan (ta'yin), apabila salah menyatakannya dapat menyebabkan
rusaknya
niat,
seperti kesalahan menyatakan puasa pada ibadah shalat atau salah menyatakan
shalat Zhuhur pada pelaksanaan shalat Ashar; (3) Sesuatu yang disyaratkan untuk
dinyatakan secara global namun tidak wajib menyatakannya secara terperinci, apabila
dinyatakan secara terperinci dan salah, maka menyebabkan rusaknya niat.
Umpamanya adalah masalah jumlah rakaat, kalau seumpama ada orang yang niat
shalat Zhuhur dengan lima atau tiga rakaat, maka niatnya tidak sah.
Ketiga, disyaratkan menyatakan dengan jelas (ta'yin) tentang
kefardhuan dan tentang ibadah shalat. Dengan ta'yin ini, maka maksud niat
-yaitu supaya ada perbedaan dengan yang lain- dapat tercapai, sehingga perlu menyatakan
dengan jelas tentang kefardhuan ibadah supaya dia dapat dibedakan dari ibadah
yang sunnah.
Pendapat yang ashah juga menetapkan bahwa kewajiban
menyatakan dengan jelas (ta'yin) bahwa ibadah yang dilakukan adalah
ibadah shalat mempunyai maksud supaya ia dapat dibedakan dari ibadah lain
seperti puasa atau yang lain. Pendapat yang ashah juga menetapkan bahwa
menyatakan kefardhuan dalam mandi merupakan syarat. Adapun dalam wudhu tidak
dianggap sebagai syarat, karena aktivitas mandi kadang merupakan aktivitas kebiasaan,
sedangkan aktivitas wudhu adalah pasti ibadah. Pendapat yang ashah juga
menetapkan bahwa apabila dalam niat zakat orang yang melakukannya menggunakan
kata sedekah, maka menyatakan kefardhuan adalah syarat. Namun apabila dia
menggunakan kata zakat, maka tidak perlu menyatakan kefardhuan. Karena, sedekah
ada yang fardhu dan ada juga yang sunnah, sehingga tidak cukup hanya menyebut
sedekah saja. Sedangkan amalan zakat dapat dipastikan kefardhuannya, karena
zakat memang nama atau istilah yang digunakan untuk amalan fardhu yang
berhubungan dengan harta, sehingga tidak perlu diperjelas lagi dengan
menyatakan kefardhuan. Adapun haji dan umrah, maka ulama sepakat bahwa menyatakan
kefardhuan dengan jelas adalah syarat.
Kesimpulannya adalah ibadah yang niatnya harus dengan menyatakan
kefardhuan ada empat macam: [1] Ibadah haji, umrah zakat (dengan menggunakan
kata zakat ketika niat) dan shalat berjamaah, tidak disyaratkan menyatakan
kefardhuan; [2] lbadah shalat, shalat Jumat, mandi, dan zakat (dengan
menggunakan kata sedekah ketika niat), disyaratkan menyatakan kefardhuan. Ini
menurut pendapat yang ashah; [3] Ibadah wudhu dan puasa, tidak
disyaratkan menyatakan kefardhuan menurut pendapat yang ashah; [4].
Tayamum, tidak cukup dengan niat fardhu, bahkan dapat menyebabkan niat tersebut
tidak sah -menurut pendapat yang shahih, sehingga apabila ada orang niat fardhu
tayamum maka tidak cukup.
Keempat, dalam shalat dan termasuk shalat Jumat tidak disyaratkan menyatakan
niat qadha' atau ada', menurut pendapat yang ashah. Menurut
pendapat yang rajih, dalam puasa harus dinyatakan niat qadha'. Sedangkan
dalam haji dan umrah tidak disyaratkan menyatakan niat qadha' atau ada',
karena apabila seseorang melakukan haji atau umrah ada' dengan niat qadha'
tidak apa-apa dan akan menjadi haji atau umrah qadha'. Kalau orang
tersebut memang mempunyai tanggungan haji yaitu haji waktu kecil yang dia
batalkan kemudian dia menginjak dewasa dan melakukan haji dengan niat qadha',
maka hajinya menjadi haji ada'.
Kelima, keikhlasan merupakan faktor yang dapat membedakan antara satu
ibadah dengan
ibadah
yang lain. Oleh sebab itu, menggantikan atau mewakilkan niat kepada orang lain
adalah tidak sah. Kecuali, dalam ibadah yang memang boleh diganti atau
diwakilkan seperti membagikan harta zakat, menyembelilh hewan qurban, puasa
menggantikan maut, dan haji. Melakukan niat sendiri ini diwajibkan, karena
maksud utamanya adalah untuk menguji kesungguhan niat ibadah yang tersembunyi
dalam hati, sehingga harus dilakukan sendiri oleh orang mukallaf.
Aturan menggabungkan niat dua ibadah akan diterangkan dalam
pembahasan berikut ini: pertama, niat ibadah digabung dengan niat yang
bukan ibadah, maka niatnya menjadi batal. Umpamanya adalah menyembelih hewan
qurban dengan niat karena Allah dan juga karena yang lain. Niat seperti ini
menyebabkan hasil sembelihannya menjadi haram. Contoh lain adalah, apabila
seseorang melakukan takbiratul ihram berulangkali dan setiap takbiratul ihram
dia niat memulai shalatnya, maka shalatnya batal karena niat yang pertama
menjadi terputus. Tapi, ada juga yang tidak menyebabkan batalnya niat.
Umpamanya adalah ketika berwudhu atau mandi wajib seseorang juga berniat
mencari kesegaran, maka menurut pendapat yang ashah adalah sah niatnya. Karena,
kesegaran akan tetap diperoleh baik dikehendaki atau tidak sehingga kalau
memang dikehendaki, maka ia tidak dianggap menduakan niat ibadah dengan niat
yang lain. Dan juga tidak dianggap meninggalkan keikhlasan, melainkan niat
tersebut adalah untuk ibadah yang memang kesejukan itu menyertai amalan ibadah
tersebut.
Kedua, niat ibadah fardhu digabung dengan niat ibadah lain yang sunnah.
Ada banyak kemungkinan dalam kasus ini: [1] Tidak menyebabkan batalnya niat dan
kedua-duanya dapat diperoleh. Umpamanya adalah seseorang melakukan takbiratul ihram
dan dia niat melakukan shalat fardhu dan juga niat shalat tahiyyatul masjid,
maka niatnya sah dan dia mendapatkan keduanya. Contoh lain adalah niat mandi jinabah
dengan mandi fumat secara bersamaan, maka kedua-duanya sah. Orang yang
mengucapkan salam di akhir shalat dengan niat keluar dari shalat dan juga niat
memberi salam kepada orang-orang yang hadir maka kedua-dua niatnya tersebut
sah. Kalau seseorang melakukan haji fardhu dan menggabungkannya dengan umrah
sunnah atau sebaliknya, maka kedua-duanya sah. Kalau seseorang ketika puasa
hari Arafah niat melakukan puasa qadha’ nadzar, atau kafarat, maka
niatnya sah dan dia mendapatkan semuanya; [2] Mendapatkan yang fardhu saja.
Umpamanya adalah seseorang niat haji fardhu dan haji sunnah, maka yang sah
adalah niat haji fardhu. Karena apabila dia berniat dengan niat haji sunnah,
maka hajinya akan menjadi haji fardhu, Kalau seseorang melakukan shalat yang
sudah terlewat pada malam Ramadhan, dan dalam waktu bersamaan dia niat shalat
Tarawih, maka yang sah adalah niat shalat yang terlewat bukannya Tarawih; [3] Mendapatkan
yang sunnah saja. Umpamanya adalah seseorang mengeluarkan uang sebanyak lima
dirham, dia niat mengeluarkan zakat dan juga niat mengeluarkan sedekah sunnah,
maka zakatnya tidak sah, dan yang sah adalah sedekah sunnahnya. Kalau
seandainya orang melakukan khotbah dengan.niat khutbah Jumat dan khutbah Kusuf,
maka niat khutbah Jumatnya tidak sah. Karena, dalam amalan seperti ini ada
unsur menduakan perkara fardhu dengan perkara Sunnah; [4] Menyebabkan batal
semuanya. Umpamanya adalah imam sedang dalam keadaan ruku' dan makmum masbuq
(makmum yang terlambat) melakukan takbir sekali dengan niat takbiratul ihram
dan takbir turun menuju posisi ruku’ maka shalatnya tidak sah. Kalau ada
orang niat shalat fardhu dan shalat sunnah ratibah, maka semuanya tidak sah.
Ketiga, niat perkara fardhu digabung dengan perkara fardhu yang lain.
Apabila itu dilakukan antara niat haji dan niat umrah atau antara niat mandi
dan niat wudhu, maka kedua-duanya sah, menurut pendapat yang ashah.
Keempat, niat perkara sunnah digabung dengan perkara sunnah yang lain,
maka kedua-duanya tidak sah. Karena dua perkara sunnah, apabila salah satunya
tidak dapat masuk dalam yang lainnya, maka dua-duanya tidak sah ketika
digabungkan. Umpamanya adalah antara sunnah dhuha dan sunnah fajar yang
dilakukan secara qadha’. Namun apabila salah satunya dapat masuk ke
dalam yang lainnya, seperti antara sunnah tahiyyatul masjid dan sunnah
zhuhul maka kedua-duanya sah.
Namun ada beberapa kasus yang dikecualikan, yaitu apabila seseorang
niat mandi Jumat dan mandi 'led, maka kedua-duanya sah. Begitu juga apabila
seseorang melakukan khutbah dengan niat khotbah 'led dan khotbah kusuf
secara bersamaan, maka kedua-duanya sah. Sama seperti apabila seseorang niat
puasa hari Arafah dan niat puasa Senin, maka kedua-duanya juga sah.
Kelima, niat perkara yang bukan ibadah digabung dengan perkara yang lain
dan dua perkara tersebut mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Umpamanya
adalah lelaki berkata kepada istrinya, "Kamu adalah haram untukku"
dengan niat talak dan zhihar, maka menurut pendapat yang ashah
orang tersebut disuruh memilih antara dua hal tersebut, mana yang dia pilih
maka itulah yang berlaku.
Kesimpulannya adalah niat mempunyai beberapa faktor pembentuk,
yaitu [1] Kehendak
(al-qashdu);
[2] Kefardhuan bagi ibadah shalat fardhu yang lima, mandi, zakat yang
dilafalkan dengan kata sedekah; [3] Menyatakan dengan jelas jenis yang diniati
(ta'yin), jika memang yang diniati tersebut mempunyai kesamaan dengan
amalan-amalan lain; [4] Keikhlasarn oleh sebab itu tidak boleh mewakilkan niat
kecuali dalam amalan-amalan yang boleh diganti atau diwakilkan.
Hukum asal dalam masalah niat adalah tidak boleh menggabungkan dua
amalan ibadah dengan satu niat, kecuali beberapa ibadah yang dikecualikan.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########