BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Semua ulama bersepakat bahwa tempat niat adalah hati. Niat dengan hanya melafalkannya
di lisan saja belum dianggap cukup. Melafalkan niat bukanlah suatu syarat, namun ia disunnahkan oleh jumhur ulama selain madzhab Maliki, dengan maksud untuk membantu hati dalam menghadirkan niat. Dengan kata lain, supaya ucapan lisan dapat membantu ingatnya hati. Bagi madzhab Maliki, yang terbaik adalah meninggalkan melafalkan niat. karena tidak ada dalil yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya bahwa mereka melafalkan niat. Begitu juga, tidak ada informasi yang mengatakan bahwa imam madzhab empat berpendapat demikian. (lbnu Nujaim, Al-Asybah wan-Nazha'ir, halaman 46-51; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 57; Ad-Dardir, Asy-Syarh Al-Kabir wa Syarh Ad-Dasuqi, jilid 1 halaman 233; As-Suyuthi, Al-Asybah wan-Nazha'ir, halaman 26-30; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 365; Ahkamun Niyah, halaman 10, 78, 82, 97 dan 127)
Sebab mengapa niat dalam semua ibadah harus di hati adalah, karena niat merupakan bentuk pengungkapan keikhlasan, dan keikhlasan hanya ada dalam hati, atau karena hakikat niat adalah keinginan. Oleh sebab itu, apabila ada orang yang berniat dengan hati dan juga melafalkan dengan lisan, maka -menurut jumhur- dia telah melakukan niat dengan cara yang sempurna. Apabila dia melafalkan dengan lisan namun tidak berniat dalam hati, maka tidak mencukupi. Dan jika dia berniat dalam hati, namun tidak melafalkannya dengan lisan, maka niatnya itu cukup. Imam Al-Baidhawi berkata, "Niat adalah perasaan hati yang terdorong oleh sesuatu yang ia anggap cocok baik sesuatu itu, berbentuk datangnya suatu manfaat atau tertolaknya suatu kerusakan, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Niat menurut syara' dikhususkan untuk menunjuk
kepada keinginan yang mengarah kepada perbuatan untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, dan untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya.”
Pembicaraan mengenai tempat niat menghasilkan dua poin kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
(1) Niat tidak cukup hanya dengan menggunakan lisan tanpa ada keinginan di hati, karena Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya, "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas (mukhlishin) menaati-Nya semota-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)." Tempat ikhlas bukanlah di mulut, melainkan di hati, yaitu dengan cara berniat bahwa amalnya adalah hanya untuk Allah Ta’ala saja. Dan juga, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Sesunggungnya (sahnya) amal-amal perbuatan adalah hanya bergantung kepada niatnya, dan sesungguhnya setiap seseorang hanya akan mendapatkan apa yang diniatinya."
Poin ini dapat dikembangkan menjadi dua poin lagi, yaitu: pertama, apabila ada perbedaan antara ucapan lisan dengan suara hati, maka yang diakui adalah suara hati. Kalau seseorang niat berwudhu dengan hatinya, sedangkan lisannya mengatakan mencari kesegaran, maka wudhu orang
tersebut sah. Tapi apabila yang berlaku adalah sebaliknya, maka tidak sah. Begitu juga apabila seseorang niat shalat Dzuhur dalam hati, namun lisannya mengatakan shalat Ashar, atau hatinya berniat haji namun lisannya menyebut umrah atau sebaliknya, maka yang dianggap sah adalah apa yang disuarakan oleh hatinya. Dalam kitab fiqih madzhab Hanafi (Al-Qunyah wal-Mujtaba) disebutkan, "Barangsiapa tidak mampu menghadirkan niat dalam hatinya atau dia selalu ragu dalam niat yang dilakukan dengan hati, maka cukup baginya melafalkan niat tersebut dengan lisan, karena dalam Surah Al-Baqarah ayat 286 yang artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Kedua, jika seseorang secara tidak sengaja mengucapkan sumpah "billaahi” maka menurut jumhur ulama selain madzhab Hanafi, sumpahnya tersebut tidak terjadi dan dianggap sumpah main-main (yamin al-laghwi), dan tidak ada sangkut pautnya dengan kafarat (denda) apabila dia melanggar sumpahnya. Begitu juga apabila seseorang mempunyai maksud untuk bersumpah atas sesuatu, namun lisannya keliru mengucapkan sumpah atas sesuatu yang lain, maka sumpahnya juga tidak sah. Ulama madzhab Hanafi (Al-Asybah wa An-Nadzair karangan Ibnu Nujaim halaman 7) mengatakan bahwa kasus-kasus seperti di atas tetap menyebabkan ditetapkannya kafarat. Sebab, yang dimaksud dengan yamin al-laghwi yang tidak dihukumi dan tidak ada kafaratnya -adalah sumpah yang menceritakan tentang kejadian yang telah lewat atau kejadian yang sedang terjadi, dan hati orang yang mengucapkan itu menduga kuat bahwa ucapannya itu sesuai dengan realitas. Namun, ternyata ucapannya itu tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya terjadi (Al-Bada’i jilid 3 halaman 3-4).
Umpamanya ada seseorang yang berkata, "Wallaahi” (demi Allah), saya tidak pernah masuk rumah ini." Dia mempunyai dugaan kuat bahwa memang dia tidak pernah masuk rumah tersebut, tapi ternyata keliru. Atau ada orang melihat seekor burung dari jauh, dia menduga bahwa
burung itu adalah burung gagak, kemudian dia bersumpah dan ternyata burung yang ditunjuk tersebut adalah burung merpati. Sementara menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan yamin al-laghwi adalah sumpah yang diucapkan oleh orang yang bersumpah, baik sumpah itu atas sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, ataupun yang akan terjadi. Namun, sumpah tersebut tidak dimaksudkan sebagai sumpah. Umpamanya adalah ada orang yang berkata tanpa maksud bersumpah, "Tidak, wallahi,” "Betul, wallahi.” "Ya, dia tadi membaca Al-Qur'an” dan kemudian dari lisannya terlepas ucapan sumpah, namun tidak dimaksudkan sebagai sumpah.
Kesimpulannya adalah ulama madzhab Hanafi tidak mengakui keberadaan yamin al-laghwi terhadap perkara yang akan terjadi. Sumpah yang dilakukan untuk sesuatu apa pun yang akan terjadi, akan tetap dihukumi sebagai sumpah yang sebenarnya, dan orang yang mengucapkannya wajib membayar kafarat jika dia melanggar sumpahnya, baik sumpah tersebut diucapkan dengan sengaja maupun tidak. Menurut ulama madzhab Hanafi, yamin al-laghwi hanya berlaku bagi sumpah atas sesuatu yang sudah terjadi ataupun yang sedang terjadi saja. Yaitu, ketika orang yang bersumpah menduga kuat bahwa apa yang dikatakannya itu sesuai dengan realitas, namun ternyata tidak. Keterangan di atas adalah berkenaan dengan sumpah dengan asma Allah (billaahi). Adapun dalam masalah talak, memerdekakan budak dan ila' maka tetap dianggap sebagai haq qadha'i bukan haq diyani. Dengan kata lain, dalam masalah-masalah ini, sisi batiniah tidak dianggap dan urusannya dipasrahkan antara dia dengan Allah Ta’ala. Karena, dalam masalah ini terdapat hak orang lain sesama hamba.
Ketiga, apabila seseorang mengartikan talak dan al-'itq (makna syar'inya adalah 'memerdekakan budak') dengan selain makna syar'i, seperti lafal talak diartikan 'terlepasnya ikatan rantai atau tali' atau 'menggabungkan sesuatu dengan yang lain,' maka lafaz talak dan al-'itq-nya tidak diterima dan dipasrahkan kepada Allah Ta’ala. Yang diakui adalah apa yang dimaksudkannya tersebut. Imam Al-Faurani dalam Kitab Al-lbanah berkata, "Hukum yang asal adalah setiap orang yang mengatakan sesuatu dengan terang adalah diterima. Namun apabila dia mempunyai niat lain, maka diterima juga dan dipasrahkan kepada Allah dan hukumannya tidak dilaksanakan." Contohnya adalah apabila lelaki berkata kepada istrinya, "Kamu saya talak," kemudian sang suami berkata, "Yang saya maksud adalah melepaskan kamu dari ikatan tali/rantai," namun tidak ada indikasi apa yang dimaksudkannya itu benar (seperti istrinya tidak dalam keadaan terikat), maka alasannya itu tidak diterima. Tapi apabila ada indikator, umpamanya istrinya memang dalam keadaan terikat kemudian dia melepaskan tali tersebut dan mengatakan maksudnya tadi, maka ucapannya itu diterima (dan tidak terjadi talak).
(2) Dalam semua bentuk ibadah, melafalkan niat dengan lisan bukanlah termasuk syarat niat. Oleh sebab itu, apa yang diutarakan oleh lisan tidak dianggap. Kesimpulan ini menimbulkan beberapa konsekuensi, yaitu sebagai berikut: pertama, apabila ada orang yang menghidupkan tanah yang mati (ihya' al-mawat) dengan niat akan membangun masjid di atasnya, maka tanah tersebut menjadi tanah masjid dengan niatnya tersebut. Untuk menetapkannya, tidak perlu dengan melafalkan niat itu dengan lisan.
Kedua, barangsiapa bersumpah tidak akan memberi salam kepada si fulan, kemudian orang tersebut memberi salam kepada satu kelompok yang di dalamnya ada si fulan, namun dalam hatinya orang tersebut berniat mengecualikan si fulan dari salamnya tersebut, maka dia tidak melanggar sumpahnya. Berbeda dengan orang yang bersumpah tidak akan masuk rumah si fulan, kemudian dia memasuki rumah tersebut dengan niat memasuki rumah selain si fulan, karena memang ada banyak orang di rumah tersebut, maka dia telah melanggar sumpahnya menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Syafi'i. Menurut ulama Hanafi, orang tersebut dianggap melanggar sumpah jika si fulan memang berada di dalam rumah. Jika si fulan tidak berada dalam rumah, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah.
Namun perlu diketahui, ada beberapa perkara yang dikecualikan dari kesimpulan kedua ini, yaitu sebagai berikut. Masalah nadzar, talak, memerdekakan budak, dan wakaf. Apabila seseorang telah berniat dalam hati mengenai masalah-masalah tersebut, namun dia tidak melafalkan niatnya dengan lisan, maka nadzar, waqaf, talak, dan memerdekakan budak tersebut tidak terjadi, hingga orang tersebut melafalkannya dengan lisan.
Perkara lain yang dikecualikan juga adalah apabila ada lelaki berkata kepada istrinya,"Kamu saya talak," kemudian sang lelaki berkata, "Yang saya maksud adalah jika Allah mengendaki (insya Allah)." Maka, ucapannya tersebut tidak diterima. Imam Ar-Rafi'i berkata, "Pendapat yang masyhur adalah yang mengatakan bahwa orang tersebut tidak ditetapkan hukum atasnya." Contoh lainnya adalah bisikan hati selagi belum diucapkan dan diamalkan, maka ia juga tidak dihukumi. Atau orang yang bertekad untuk melakukan maksiat, namun tidak jadi melakukannya atau tidak jadi mengucapkannya, maka orang tersebut tidak berdosa. Karena, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menghukum bisikan-bisikan jiwa umatku, selagi mereka belum mengucapkan atau belum merealisasikannya." (diriwayatkan oleh imam hadits yang enam dari Abu Hurairah)
Imam As-Subki dan yang lain membagi bisikan maksiat dalam jiwa kepada lima tingkatan.
Tingkatan pertama, (Al-Hajis) apa yang muncul seketika dalam hati. Ulama berijma bahwa bentuk yang seperti ini tidak dihukumi. Karena, munculnya bisikan tersebut bukan atas inisiatif diri seseorang, melainkan dating dengan sendirinya, dan orang tersebut tidak mampu menahan dan mengendalikannya.
Tingkatan kedua, (Al-Khathir) apa yang terlintas dalam hati dan manusia mampu menghalaunya, bentuk seperti ini juga tidak dihukumi.
Tingkatan ketiga, (Hadits An-Nafsi) keraguan yang ada dalam hati; hingga muncul sikap menimbang-nimbang, apakah perbuatan ini perlu dilakukan atau tidak. Bentuk seperti ini juga bukan merupakan dosa berdasarkan nash hadits yang disebut di atas. Apabila tingkatan yang ini saja tidak dihukumi, maka dua tingkatan sebelumnya lebih berhak untuk tidak dihukumi.
Tingkatan keempat, (Al-Hamm) memperkuat keinginan untuk melakukan sesuatu. Dalam hadits disebutkan bahwa barangsiapa memperkuat keinginan untuk melakukan kebajikan, maka ia akan diganjar satu kebajikan. Namun siapa yang memperkuat keinginanya untuk melakukan kejelekan, maka tidak dicatat sebagai amal kejelekan, melainkan akan ditunggu jika perbuatan jelek itu akhirnya ditinggalkan karena Allah. Maka, orang tersebut mendapatkan satu kebaikan. Dan apabila dia melakukan perbuatan jelek tersebut, maka dicatat satu kejelekan. Sehingga, pendapat yang ashah adalah yang mengatakan bahwa yang dihukumi dosa adalah apabila perbuatan jelek itu jadi dilakukan, sedangkan al-hamm tidak dihukumi. Hadits tadi diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, "Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan dan keburukan, kemudian menerangkannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan, namun tidak jadi melaksanakannya, maka Allah akan mencatat kebaikan untuknya. Apabila dia berniat melakukan kebaikan dan kemudian mengamalkannya, maka Allah akan mencatat sepuluh kebaikan untuknya hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan hingga berlipat ganda. Apabila seseorang berniat melakukan kejelekan, namun ia tidak jadi melakukannya, maka Allah akan mencatat kebaikan kepadanya. Namun jika dia berniat melakukan kebaikan lalu melaksanakannya, maka Allah akan mencatat satu kejelekan untuknya."
Tingkatan kelima, (Al-'Azmu) kuatnya keinginan dan tekad untuk melakukan sesuatu. Ulama yang telah melakukan penelitian mendalam menyatakan bahwa tingkatan ini terkena hukum.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)