BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto 

Niat dalam semua bentuk ibadah mempunyai beberapa syarat, namun niat dalam masing-masing ibadah juga mempunyai syarat-syarat tersendiri. Syarat niat dalam semua bentuk ibadah adalah sebagai berikut (Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 52-55; As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 31-38; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 115 dan setelahnya):

A. ISLAM

Niat yang dapat menghasilkan pahala dan dapat menyebabkan sahnya suatu amalan adalah niat yang dilakukan oleh orang Muslim. Ibadah yang dilakukan oleh orang kafir tidak sah. Oleh sebab itu, tayamum dan wudhu yang dilakukan oleh orang kafir dianggap tidak berarti sebagaimana ditegaskan oleh jumhur ulama. Namun menurut madzhab Hanafi, wudhu dan mandinya orang kafir adalah sah, karena niat -menurut mereka- hanya disyaratkan sewaktu tayamum tidak pada waktu wudhu. Apabila setelah melakukan wudhu dan mandi orang kafir itu masuk Islam, maka dia boleh malakukan shalat dengan wudhu dan mandi yang dilakukan sebelum masuk Islam tersebut. Menurut madzhab Hanafi kafarat yang dilakukan oleh orang kafir tidak sah,
begitu juga dengan sumpah yang diucapkannya. Karena, Allah Ta’ala berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 12 yang artinya, “... Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya...!” “Dan jika mereka melanggar sumpah setelah ada perjanjian...! maksudnya
adalah janji-janji lahiriah mereka. Namun menurut madzhab Syafi'i, kafarat orang kafir selain dalam bentuk ibadah (puasa) seperti memerdekakan budak dan memberi makan fakir miskin adalah sah. Dan supaya sah, mereka disyaratkan berniat, karena yang ditekankan di sini adalah sisi denda dan hukumannya. Sehingga, niat adalah untuk membedakan dari kegiatan untuk maksud yang lain bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Pembayaran kafarat ini hampir sama dengan pembayaran utang. Mandi setelah berhenti dari haid yang dilakukan oleh wanita Ahli Kitab
yang menjadi istri seorang Muslim adalah sah. Ketetapan ini diputuskan supaya sang suami dibolehkan menggauli istrinya tersebut tanpa ada perbedaan pendapat, karena darurat. Menurut madzhab Syafi'i supaya mandinya itu sah, maka wanita itu disyaratkan niat terlebih dulu.
Adapun orang yang murtad, maka mandi atau amalan lainnya yang dilakukan tidak sah. Namun apabila orang murtad tersebut mengeluarkan zakat sewaktu dalam keadaan murtad, maka hal itu sah dan cukup.

B. TAMYIZ

Ulama bersepakat bahwa, ibadah yang dilakukan oleh anak kecil yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan yang baik dan yang buruk) dan orang gila adalah tidak sah. Namun menurut madzhab Syafi'i, seorang wali yang mewudhukan anaknya untuk keperluan thawaf  -yaitu ketika dia melakukan ihram untuk anaknya-  adalah sah. Begitu juga apabila seorang suami memandikan istrinya yang gila setelah berhentinya darah haid adalah sah, apabila suami tersebut berniat. Hal ini adalah menurut pendapat yang ashah. Oleh sebab itu, perbuatan anak kecil dan orang gila yang dilakukan dengan sengaja adalah dianggap tidak sengaja. Madzhab Hanafi  menambahkan baik anak kecil tersebut sudah mumayyiz atau belum. Sedangkan madzhab Syafi'i, menetapkan bahwa kesengajaan orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz dianggap ketidaksengajaan. Namun apabila yang melakukan adalah anak kecil yang sudah mumayyiz, maka tetap dianggap sebagai kesengajaan.
Wudhu orang yang mabuk menjadi batal karena mabuknya tersebut. Begitu juga shalatnya
menjadi batal, karena orang tersebut berada dalam kondisi tidak dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Adapun madzhab Syafi'i menegaskan bahwa orang yang mabuk tidak dihukumi sebagai orang yang berhadats. Sehingga, shalat dan amalannya yang lain tidak batal, kecuali jika dia sampai mabuk berat dan keluar bau dari mulutnya.

C. MENGETAHUI PERKARA YANG DINIATI

Barangsiapa tidak mengetahui kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, maka niatnya tidak sah. Begitu juga orang yang hanya mengetahui bahwa yang wajib hanyalah beberapa shalat saja dari shalat lima waktu. Namun syarat ini tidak berlaku dalam ibadah haji, karena haji berbeda dengan shalat. Dalam haji tidak disyaratkan menyatakan dengan jelas perkara yang diniati (ta'yin), melainkan ihram akan sah hanya dengan niat yang mutlak. Ali radhiyallahu ‘anhu melakukan ihram (dengan niat) "melakukan ihram yang dilakukan oleh Nabi Muhammad” dan Nabi membenarkan tindakan Ali tersebut. Apabila sebelum melakukan amalan seseorang menyatakan dengan jelas (ta'yin) bahwa amalannya adalah amalan haji atau umrah, maka amalannya itu sah. Namun apabila ta'yin itu dilakukan setelah memulai amalan, maka ia menjadi amalan umrah.
Imam As-Suyuthi menjelaskan apabila ada orang mengucapkan kata talak dengan menggunakan bahasa yang tidak dimengerti, kemudian orang tersebut berkata, "Saya menghendaki maknanya dalam bahasa Arab” maka menurut pendapat yang ashah, ucapan talaknya tersebut tidak berlaku.

D. TIDAK MELAKUKAN PERKARA YANG DAPAT MERUSAK NIAT ATAU MERUSAK PERKARA YANG DINIATI

Oleh sebab itu, orang yang berniat harus memegang teguh konsekuensi niat tersebut. Atas dasar ini juga, maka ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan tayamum, akan menjadi batal apabila ketika melakukan ibadah tersebut orang yang melakukannya murtad –semoga Allah melindungi kita dari kemurtadan. Begitu juga status sebagai sahabat Nabi menjadi batal, apabila orang tersebut murtad dan mati dalam kedaan murtad. Namun apabila orang tersebut kembali lagi kepada Islam dan Nabi masih hidup, maka status sahabat tersebut dapat disematkan kembali. Tetapi apabila Nabi sudah meninggal ketika orang tersebut kembali kepada Islam, maka ada perbedaan pendapat dalam masalah statusnya sebagai sahabat. Imam As-suyuthi menyebutkan bahwa wudhu dan mandi tidak menjadi batal karena murtad. Karena, amalan-amalan dalam wudhu dan mandi tidaklah saling berhubungan. Namun, amalan yang dilakukan ketika dalam keadaan murtad tidak diberi pahala.
Kemurtadan menyebabkan hapusnya amal, pahala, dan juga keimanan yang terlewat, baik
orang tersebut nantinya masuk Islam kembali atau tidak.
Di antara perkara yang menyebabkan rusaknya niat adalah niat untuk memutuskan atau membatalkan. Apabila ada orang yang berniat hendak membatalkan imannya, maka seketika itu juga dia menjadi murtad. Kalau seseorang berniat membatalkan shalat namun dilakukan setelah selesai shalat, maka shalatnya tidak batal, begitu juga ibadah-ibadah yang lain. Namun apabila niat membatalkan shalat itu dilakukan di tengah-tengah mengerjakan shalat, maka batallah shalatnya. Karena, shalat hampir sama dengan iman. Namun Ibnu Nujaim Al-Mishri mengatakan bahwa shalatnya orang tersebut tidak batal kecuali jika orang tersebut mengucapkan takbir; dan niat melakukan pekerjaan yang lain, maka takbir tersebut sebagai pemutus pekerjaan yang pertama, dan putusnya bukan hanya sekadar dengan niat.
Apabila ada orang ketika di tengah-tengah melakukan thaharah niat membatalkan thaharah, maka amalan thaharah yang sebelumnya tidak batal. Tetapi, dia wajib memperbarui niat untuk melakukan amalan thaharah yang tersisa. Apabila seseorang niat membatalkan puasa atau i'tikaf, maka puasa dan i'tikafnya tidak batal. Hal ini karena shalat merupakan ibadah khusus yang berbeda
dengan ibadah-ibadah yang lain, karena ia sangat menekankan ikatan dan doa kepada Allah Ta’ala. Apabila setelah fajar seseorang mulai melakukan puasa fardhu, kemudian dia niat membatalkan puasanya tersebut dan berubah melakukan puasa sunnah, maka puasanya tidak batal. Karena, puasa sunnah dan puasa wajib begitu juga sedekah sunnah dan sedekah wajib, adalah satu jenis. Apabila ada seseorang memulai shalat dengan niat fardhu, kemudian dia mengubah niatnya menjadi niat shalat sunnah, maka shalatnya berubah menjadi shalat sunnah. Apabila seseorang niat
dalam hati akan melakukan perkara-perkara yang membatalkan shalat, maka shalatnya tidak batal. Apabila seseorang niat akan makan atau berjimak sewaktu puasa, maka niatnya itu tidak memengaruhi sahnya puasa. Apabila seseorang niat puasa di malam hari, kemudian dia membatalkan niatnya sebelum fajar, maka niat itu tidak aktif lagi.
Apabila seorang musafir memutuskan untuk tinggal dan menjadi orang mukim, maka dia ditetapkan sebagai mukim dan status safarnya menjadi batal dengan lima syarat; [1] Benar-benar tidak melakukan safar lagi. Kalau seandainya seseorang niat bermukim namun dia tetap melakukan perjalanan, maka niatnya tidak sah; [2] Tempat mukimnya memang layak untuk bermukim. Kalau seandainya seseorang niat bermukim di tengah laut atau di pulau (yang tidak mungkin ditempati), maka niatnya tidak sah; [3] Niatnya tersebut atas inisiatif sendiri. Oleh sebab itu, niat bermukim yang dilakukan oleh orang yang ikut-ikutan tidak sah; [4] Mukimnya dalam masa setengah bulan.
Apabila seseorang niat bermukim dalam jangka waktu kurang dari setengah bulan, maka dia masih boleh mengqashar shalat; [5] Masa setengah bulan itu dilalui di satu tempat. Apabila seseorang niat mukim setengah bulan namun masanya dibagi di dua tempat, seperti di Mina dan Mekah, maka dia tidak dihukumi sebagai orang yang mukim (Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 737).
Perkara yang hampir sama dengan membatalkan niat, adalah mengubah niat, yaitu niat pindah dari satu bentuk shalat ke shalat yang lain. Menurut madzhab Hanafi, perubahan tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan melakukan takbir bukan hanya dengan niat melakukan perubahan saja, dan takbir itu haruslah yang kedua bukan yang pertama. Umpamanya adalah seseorang melakukan shalat Ashar setelah melakukan iftitah shalaf Zhuhur; sehingga shalat Zhuhurnya batal, disyaratkan juga niat tersebut tidak dilafalkan dengan lisan. Apabila dia melafalkan dengan lisan,
maka yang pertama menjadi batal.
Menurut Imam Al-Mawardi, “Shalat menjadi batal apabila seseorang melakukan perpindahan niat dari satu fardhu ke fardhu yang lain, atau dari satu sunnah ratibah ke sunnah ratibah yang lain, seperti berpindah dari shalat Witir ke shalat sunnah fajar atau dari shalat sunnah ke shalat fardhu, atau dari fardhu ke sunnah, kecuali jika memang ada udzur. Umpamanya adalah seseorang melakukan takbiratul ihram untuk shalat fardhu secara sendirian kemudian ada jamaah, lalu orang tersebut memutuskan untuk mengakhiri shalatnya pada rakaat kedua dengan salam, maka shalat yang dilakukan itu sah dan dianggap sebagai shalat sunnah. Ini adalah menurut pendapat yang ashah.
Di antara perkara yang menyebabkan rusaknya niat adalah adalah ragu-ragu dan tidak pasti terhadap niat yang asal. Apabila seseorang niat puasa di hari syak (malam tanggal tiga puluh Sya'ban), -sehingga apabila memang hari itu masih dalam bulan Sya'ban, maka dia tidak dianggap puasa. Dan apabila sudah masuk bulan Ramadhan, maka dia dianggap puasa- , maka niat puasanya tersebut tidak sah. Beda apabila keraguan itu terjadi pada malam tanggal tiga puluh Ramadhan, karena diikutkan dengan yang asal. Apabila seseorang ragu apakah dia jadi membatalkan shalat atau tidak, atau dia menggantungkan batalnya shalat dengan sesuatu, maka batallah shalatnya. Apabila seseorang ragu apakah dia tadi niat qashar atau tidak, atau ragu apakah dia akan melaksanakan shalat secara sempurna atau tidak (qashar), maka orang tersebut tidak boleh mengqashar shalat, melainkan harus melaksanakannya dengan sempurna.
Contoh lainnya adalah mengikuti niat dengan kalimat insya Allah. Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa apabila orang yang menyatakan itu bermaksud menggantungkan niatnya, maka batallah niat tersebut. Namun jika maksudnya adalah mencari keberkahan, maka tidak batal. Apabila dia tidak bermaksud apa pun dengan pernyataan itu, maka niatnya juga batal. Karena, kalimat tersebut makna asalnya menunjukkan kepada arti menggantungkan niat kepada sesuatu. Kalau ada orang berniat, "Besok saya puasa, insya Allah”, maka niatnya tidak sah. Ibnu Nujaim berpendapat bahwa apabila kalimat insya Allah tersebut dikaitkan dengan niat puasa dan shalat, maka tidak batal. Namun jika dikaitkan dengan ucapan seperti talak dan membebaskan budak, maka batallah niatnya.
Namun ada beberapa kasus yang diterangkan oleh Imam As-Suyuthi, di mana niat tidak batal meskipun ada keraguan dalam niat atau niat tersebut digantungkan kepada yang lain. Di antara contoh ragu-ragu adalah apabila seseorang ragu apakah air yang akan digunakan itu air mutlak atau air bunga mawar maka orang tersebut tidak perlu berijtihad, melainkan dia boleh terus berwudhu dengan air tersebut. Munculnya keraguan ketika niat diampuni karena darurat. Contoh lainnya adalah apabila seseorang menyadari bahwa dia mempunyai tanggungan puasa wajib, namun dia tidak tahu pasti apakah puasa tersebut puasa Ramadhan atau puasa nadzar atau puasa kafarat, maka dia boleh terus berniat puasa wajib dan niat tersebut sudah cukup untuknya. Tidak adanya kepastian niat dalam kasus ini dimaafkan karena darurat.
Adapun contoh menggantungkan (ta'liq) niat yang tidak menyebabkan batalnya niat adalah, apabila seseorang ragu apakah imamnya mengqashar shalat atau tidak, kemudian dia berkata, 'Apabila dia mengqashar shalat, maka saya ikut mengqashar. Apabila tidak maka saya juga tidak mengqashar shalat.” dan ternyata sang imam mengqashar shalat, maka orang tersebut harus mengqashar.
Apabila ada orang yang hendak ihram berkata, “Apabila Zaid sudah berihram, maka saya pun berihram." Dan ternyata, Zaid benar-benar sudah berihram, maka jadilah ihram orang tersebut. Namun apabila Zaid ternyata belum berihram, maka ihram orang tersebut tidak jadi. Apabila orang tersebut menggantungkan niat ihramnya dengan kejadian yang akan datang, umpamanya dia berkata, "Jika nanti Zaid berihram, atau jika awal bulan datang, maka saya berihram,” maka niatnya tidak sah.
Contoh lain adalah apabila ada orang yang mempunyai tanggungan shalat fardhu namun dia ragu apakah sudah melaksanakannya atau belum, kemudian dalam niatnya dia menyatakan, "Saya akan shalat mengganti shalat yang menjadi tanggungan saya jika memang belum saya kerjakan. Namun bila sudah saya kerjakan, maka shalat saya ini menjadi shalat sunnah," dan ternyata shalat tersebut sudah ditunaikan, maka niatnya tersebut tetap sah.
Apabila ada orang niat puasa pada malam tanggal tiga puluh Sya'ban sembari berkata, “Kalau memang besok sudah masuk bulan Ramadhan, maka saya puasa wajib. Tetapi kalau belum masuk bulan Ramadhan, maka puasa saya adalah puasa Sunnah,” maka niatnya tersebut sah dan sudah cukup. Apabila ada orang niat mengeluarkan zakat atas hartanya yang tidak ada di tempat dengan berkata, "Saya keluarkan zakat atas hartaku yang tidak ada di tangan, jika ia memang masih ada. Namun jika harta tersebut memang hilang, maka zakat tersebut adalah untuk harta benda yang
ada pada diriku saja," dan ternyata hartanya tersebut masih ada, maka niatnya tersebut sudah cukup. Atau bila hartanya memang benar-benar hilang, maka niatnya cukup untuk zakat harta yang ada di tangannya saja.
Apabila ada orang melakukan shalat Jumat di akhir waktu dan dia berkata, “Jika waktu shalat Jumat masih, maka shalat yang aku lakukan adalah shalat Jumat. Namun apabila waktunya sudah habis, maka shalat tersebut adalah shalat Zhuhu,” dan ternyata waktunya masih, maka shalat Jumatnya sah. Ini merupakan pendapat salah satu wajh dalam madzhab Syafi'i. Dikatakan juga bahwa shalat Jumat tersebut tidak sah.
Di antara perkara yang menyebabkan rusaknya niat adalah tidak adanya kemampuan untuk melaksanakan sesuatu yang diniati, baik ketidakmampuan itu berdasarkan pertimbangan akal, syara’, atau adat kebiasaan.
Contoh yang pertama adalah apabila ada orang mengambil air wudhu dengan niat untuk melakukan shalat dan pada waktu bersamaan niat untuk tidak melaksanakan shalat, maka niatnya tidak sah karena ada pertentangan (kontradiksi) dalam niatnya.
Contoh yang kedua adalah orang yang niat berwudhu untuk melakukan shalat di tempat yang najis, maka tidak sah niatnya.
Contoh yang ketiga adalah apabila ada orang yang berwudhu dengan niat untuk shalat 'led,
padahal dia masih berada di awal tahun hijriyah, atau ada orang niat thawaf padahal dia masih ada di Syam. Menurut pendapat yang ashah niatnya sah, tapi dikatakan juga bahwa niatnya tidak sah.
Yang diterangkan ini adalah syarat-syarat umum dalam berbagai ibadah. Syarat-syarat tersebut juga digariskan oleh para ahli fiqih untuk ibadah thaharah. Mereka mengatakan bahwa dalam niat wudhu disyaratkan Islam, tamyiz, mengetahui apa yang diniati, dan tidak melakukan perkara yang membatalkan niat, yaitu dengan memegang teguh konsekuensi niat tersebut, sehingga dia tidak boleh memindahkan niat wudhunya kepada amalan yang lain. Niat tersebut juga disyaratkan tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain. Kalau seseorang mengatakan "insya Allah,” dan dia bermaksud menggantungkan niat atau dia memutlakkan kalimat tersebut, maka niatnya tidak sah. Namun jika dia bermaksud mendapatkan berkah, maka sah niatnya.
Selain madzhab Hanafi mensyaratkan masuknya waktu shalat bagi niat wudhu yang dilakukan oleh orang yang keluar hadas secara berterusan, seperti orang yang keluar kencing terus atau wanita yang sedang mengalami istihadhah, hal ini karena thaharah mereka adalah thaharah dalam keadaan udzur dan darurat. Sehingga, perlu dibatasi dengan waktu sama seperti tayamum (Mughni Muhtaj jilid 1 halaman 47; Al-Mughni jilid 1 halaman 142).
Syarat-syarat umum di atas juga ditetapkan oleh fuqaha untuk niat ibadah shalat. Selain itu, mereka juga menambahkan beberapa syarat, yaitu membarengkan niat dengan takbiratul ihram; madzhab Hanafi mensyaratkan niat harus bersambung dengan amalan shalat, tidak boleh ada pembatas asing di antara keduanya. Sedangkan madzhab Syafi'i menetapkan bahwa niat harus berbarengan dengan amalan shalat. Madzhab Maliki dan Hambali juga menetapkan bahwa niat harus berbarengan dengan takbiratul ihram. Tetapi menurut mereka, mendahulukan niat atas takbiratul ihram dalam jangka masa yang singkat adalah boleh. Para fuqaha sepakat bahwa menentukan jenis shalat fardhu yang dilakukan -seperti shalat Zhuhur atau Ashar adalah termasuk syarat. Karena, shalat fardhu banyak jumlahnya dan salah satu di antaranya tidak boleh dilakukan dengan niat shalat fardhu yang lain.
Niat keluar dari shalat ketika mengucapkan salam tidak diwajibkan, namun menurut madzhab Syafi'i dan Maliki niat tersebut disunnahkan.
Syarat-syarat umum di atas juga ditetapkan
fuqaha untuk niat puasa. Mereka juga menambahi beberapa syarat lain, yaitu melakukan niat pada malam hari, menurut pendapat jumhur selain madzhab Hanafi. Menurut madzhab Hanafi, melakukan niat puasa di malam hari adalah keutamaan. Dalil masalah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang rawi-rawinya tsiqah, "Barangsiapa tidak niat puasa pada malam hari sebelum munculnya fajar maka tidak (sah/sempurna) puasanya.” Jumhur ulama juga menetapkan bahwa ta'yin niat dalam puasa fardhu adalah syarat, sedangkan madzhab Hanafi tidak menganggapnya sebagai syarat. Yang dimaksud ta'yin tersebut adalah bertekad puasa esok hari di bulan Ramadhan, bertekad puasa esok hari sebagai qadha', atau sebagai kafarat atau sebagai nadzar. Jumhur iuga mensyaratkan niat tersebut harus pasti. Sehingga apabila pada malam syak seseorang berniat, ”Apabila besok memang Ramadhan, maka saya akan puasa fardhu. Apabila belum masuk Ramadhan, maka saya puasa sunnah," maka niatnya tersebut tidak sah. Hal ini disebabkan tidak ada kepastian puasa yang mana yang akan dilaksanakan, karena orang tersebut tidak memastikan bahwa puasanya adalah puasa Ramadhan. Namun menurut madzhab Hanafi, memastikan niat dalam puasa yang waktunya
telah ditentukan bukanlah termasuk syarat, sehingga apabila ada orang yang melakukan niat dengan niat di atas, maka sah niatnya.
Ahli fiqih sepakat bahwa niat kefardhuan puasa bukanlah syarat dalam niat puasa. Hal ini berbeda dengan apa yang ditetapkan dalam shalat, karena puasa Ramadhan yang dilakukan oleh orang yang baligh sudah pasti fardhu. Berbeda dengan shalat, sebab shalat i'adah adalah sunnah. Ulama juga sepakat bahwa menyatakan sunnah, ada' atau mengaitkan dengan Allah Ta’ala dalam niat puasa bukanlah suatu syarat. Karena, maksud tersebut sudah dipenuhi dengan hanya menyatakan niat puasa, sehingga tidak perlu menyatakan kesunnahannya.
Jumhur ulama juga mensyaratkan pengulangan niat sesuai dengan jumlah hari. Sehingga pada setiap hari bulan Ramadhan, seseorang harus niat puasa secara sendiri-sendiri. Karena, ibadah puasa dalam satu hari tidak ada sangkut pautnya dengan ibadah puasa pada hari berikutnya. Namun, madzhab Maliki mengatakan bahwa niat sekali di awal puasa sudah cukup untuk puasa selama bulan Ramadhan. Sehingga, boleh puasa sebulan penuh dengan niat sekali saja.
Dalam masalah zakat, para ulama juga menetapkan syarat-syarat umum di atas. Namun, mereka berbeda pendapat dalam masalah keharusan barengnya pelaksanaan niat dengan waktu memberikan zakat. Madzhab Hanafi menetapkan bahwa membayar zakat tidak boleh tanpa niat dan niat tersebut harus dinyatakan sewaktu membayarkannya (ada') kepada fakir miskin, meskipun secara hukmi saja. Yaitu, umpamanya ada orang sewaktu memberikan zakat kepada fakir miskin tidak niat. Namun setelah itu, dia niat dan harta zakat itu masih ada di tangan fakir miskin, maka sah niatnya. Begitu juga apabila niatnya itu diucapkan ketika memberikan kepada wakilnya dan sang wakil ketika memberikan kepada fakir miskin tidak niat, atau niat itu dinyatakan ketika memisahkan kadar harta yang wajib dizakati.
Madzhab Maliki mensyaratkan niat dilakukan sewaktu memberikan (daf'u) zakat tersebut kepada fakir miskin, dan niat tersebut juga sudah cukup apabila dilakukan sewaktu memisahkan kadar harta yang wajib dizakati. Niat yang dilakukan oleh imam (pemerintah) atau perwakilannya juga sudah cukup sebagai pengganti niat orang yang wajib zakat.
Madzhab Syafi'i, Hanafi, dan Maliki membolehkan terjadinya niat mendahului pelaksanaan pemberian harta tersebut kepada fakir miskin. Yaitu, ketika memisahkan kadar harta
yang wajib dizakati atau ketika memberikan harta zakat tersebut kepada wakil, atau setelahnya namun sebelum pembagian zakat kepada fakir miskin. Niat juga boleh dilakukan pada rentang masa antara waktu memisahkan kadar harta yang wajib dizakati dan waktu pembagian zakat, meskipun niatnya tersebut tidak berbarengan dengan waktu pembagian atau waktu pemisahan.
Niat juga boleh dipasrahkan kepada wakil jika memang wakil tersebut kapabel (Muslim dan mukallaf). Untuk membagikan zakat tersebut kepada yang berhak, seseorang juga boleh mewakilkannya kepada anak kecil atau orang kafir; asalkan orang-orang yang akan diberi zakat tersebut sudah ditentukan secara jelas. Wali wajib melakukan niat ketika melaksanakan zakatnya anak kecil, orang gila, atau orang yang bodoh (safih). Jika dia tidak berniat, maka dia wajib menggantinya. Apabila seseorang menyampaikan zakat kepada imam (pemerintah) tanpa niat, maka niatnya imam belum mencukupi. Hal ini menurut pendapat yang azhar. Apabila seseorang yang wajib zakat (tidak mau membayar zakat) dan dipaksa untuk membayar zakat, maka niatnya adalah ketika harta zakat itu diambil. Apabila orang itu tidak menyatakan niat, maka orang yang
mengambilnya wajib niat.
Bagi madzhab Hambali, pelaksanaan niat boleh mendahului pelaksanaan zakat jika rentang waktu tidak panjang sama seperti ibadah-ibadah yang lain. Apabila seseorang memberikan zakatnya kepada wakil dan niat hanya dilakukan oleh orang yang wajib zakat -wakilnya tidak menyatakan niat- maka niat zakatnya sah, jika memang jarak antara pelaksanaan niat dengan pembagian zakat tidak lama. Jika jarak antara niat dan pembagian zakat adalah lama, maka niatnya tidak sah. Kecuali, jika orang yang wajib zakat itu menyatakan niat ketika memberikannya kepada wakil dan wakil juga niat ketika memberikannya kepada orang-orang yang berhak. Tetapi jika harta zakat itu diambil oleh imam dengan cara paksa, maka sudah dianggap cukup, meskipun tanpa niat. Karena, adanya udzur untuk melakukan niat dapat menggugurkan kewajiban niat, sama seperti udzurnya anak kecil dan orang gila.
Menurut jumhur ulama -selain madzhab Hanafi, orang yang secara sukarela menyedekahkan seluruh hartanya, belum dianggap sebagai membayar zakat. Karena, orang tersebut tidak menyatakan niat fardhu, sehingga disamakan dengan sedekah sebagian hartanya. Kasus ini disamakan dengan kasus orang yang shalat seratus rakaat, namun dia tidak niat shalat fardhu. Menurut madzhab Hanafi, apa yang dilakukan oleh orang tersebut sudah dianggap menggugurkan kewajiban, dengan syarat dia tidak niat nadzar atau niat-niat wajib lainnya. Alasannya adalah dalam harta tersebut ada yang wajib dizakati, sehingga tidak perlu dipertegas lagi. Oleh sebab itu, apabila ada orang fakir berutang kepada orang yang wajib zakat, kemudian orang yang wajib zakat itu membebaskan utangnya, maka pembebasan itu dianggap sebagai pembayaran zakat, baik dia niat atau tidak.
Syarat-syarat umum di atas juga ditetapkan oleh ulama sebagai syarat dalam haji dan umrah. Selain itu, ihram haji harus dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan, yaitu tiga bulan: Syawal, Dzulqa'dah, dan Dzulhijjah. Adapun umrah, boleh dilaksanakan sepanjang tahun. Menurut madzhab Hanafi, ihram harus dilakukan bersamaan dengan amalan-amalan haji, baik itu ucapan maupun perbuatan, seperti talbiyah atau melepas baju yang berjahit. Namun, jumhur ulama tidak mewajibkan hal itu. Menurut jumhur ihram sudah diakui meskipun hanya dengan niat. Tetapi menurut madzhab Maliki, orang yang melakukan seperti itu wajib membayar dam, karena dia meninggalkan talbiyah dan tidak melepaskan pakaian yang berjahit ketika niat. Sewaktu ihram, lelaki disyaratkan menanggalkan pakaian yang berjahit, tidak memakai wewangian, dan perkara-perkara lain yang dilarang sewaktu ihram. Adapun ihramnya wanita adalah dengan cara membuka wajahnya. Syarat yang lain adalah ihram harus dilakukan dari miqat Setiap negeri mempunyai miqat tertentu yang telah diketahui oleh banyak orang.
Jumhur fuqaha menyatakan bahwa menggabungkan haji kepada ibadah umrah atau sebaliknya adalah boleh, dengan syarat penggabungan itu dilakukan sebelum melakukan thawaf umrah. Adapun menurut madzhab Hanafi, syaratnya adalah sebelum melakukan empat putaran dalam thawaf umrah. Namun menurut madzhab Hanafi, menggabungkan umrah kepada ibadah haji tidak boleh.
Menurut madzhab Hambali, membatalkan haji dan mengubahnya menjadi ibadah umrah adalah boleh. Pendapat madzhab Hambali ini berbeda dengan pendapat jumhur yang melarang praktik ini.
Madzhab Syafi'i dan Hambali mensyaratkan niat sewaktu menyembelih hewan qurban, karena qurban adalah sarana bagi orang yang melakukannya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Niat tersebut cukup dinyatakan dalam hati. Adapun mengucapkannya dengan lisan tidak menjadi syarat, karena niat adalah amalan hati dan mengucapkannya dengan lisan hanya untuk membantu niat saja. Imam Al-Kasani dalam Al-Bada'i' mengatakan bahwa pelaksanaan qurban harus dengan niat, dan menurut madzhab Hanafi niat sudah cukup apabila dilakukan ketika membeli hewan qurban tersebut.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)