BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Niat dalam semua bentuk ibadah mempunyai beberapa syarat, namun
niat dalam masing-masing ibadah juga mempunyai syarat-syarat tersendiri. Syarat
niat dalam semua bentuk ibadah adalah sebagai berikut (Ibnu Nujaim, Al-Asybah
wa An-Nadzair halaman 52-55; As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadzair halaman
31-38; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 115 dan setelahnya):
A.
ISLAM
Niat yang dapat menghasilkan pahala dan dapat menyebabkan sahnya
suatu amalan adalah niat yang dilakukan oleh orang Muslim. Ibadah yang
dilakukan oleh orang kafir tidak sah. Oleh sebab itu, tayamum dan wudhu yang dilakukan
oleh orang kafir dianggap tidak berarti sebagaimana ditegaskan oleh jumhur
ulama. Namun menurut madzhab Hanafi, wudhu dan mandinya orang kafir adalah sah,
karena niat -menurut mereka- hanya disyaratkan sewaktu tayamum tidak pada waktu
wudhu. Apabila setelah melakukan wudhu dan mandi orang kafir itu masuk Islam,
maka dia boleh malakukan shalat dengan wudhu dan mandi yang dilakukan sebelum
masuk Islam tersebut. Menurut madzhab Hanafi kafarat yang dilakukan oleh orang
kafir tidak sah,
begitu
juga dengan sumpah yang diucapkannya. Karena, Allah Ta’ala berfirman dalam
Surah At-Taubah ayat 12 yang artinya, “... Sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang tidak dapat dipegang janjinya...!” “Dan jika mereka melanggar sumpah
setelah ada perjanjian...! maksudnya
adalah
janji-janji lahiriah mereka. Namun menurut madzhab Syafi'i, kafarat orang kafir
selain dalam bentuk ibadah (puasa) seperti memerdekakan budak dan memberi makan
fakir miskin adalah sah. Dan supaya sah, mereka disyaratkan berniat, karena
yang ditekankan di sini adalah sisi denda dan hukumannya. Sehingga, niat adalah
untuk membedakan dari kegiatan untuk maksud yang lain bukan untuk mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala. Pembayaran kafarat ini hampir sama dengan pembayaran utang.
Mandi setelah berhenti dari haid yang dilakukan oleh wanita Ahli Kitab
yang
menjadi istri seorang Muslim adalah sah. Ketetapan ini diputuskan supaya sang
suami dibolehkan menggauli istrinya tersebut tanpa ada perbedaan pendapat,
karena darurat. Menurut madzhab Syafi'i supaya mandinya itu sah, maka wanita
itu disyaratkan niat terlebih dulu.
Adapun orang yang murtad, maka mandi atau amalan lainnya yang
dilakukan tidak sah. Namun apabila orang murtad tersebut mengeluarkan zakat
sewaktu dalam keadaan murtad, maka hal itu sah dan cukup.
B.
TAMYIZ
Ulama bersepakat bahwa, ibadah yang dilakukan oleh anak kecil yang
belum mumayyiz (belum dapat membedakan yang baik dan yang buruk) dan
orang gila adalah tidak sah. Namun menurut madzhab Syafi'i, seorang wali yang
mewudhukan anaknya untuk keperluan thawaf -yaitu ketika dia melakukan ihram untuk anaknya-
adalah sah. Begitu juga apabila seorang
suami memandikan istrinya yang gila setelah berhentinya darah haid adalah sah,
apabila suami tersebut berniat. Hal ini adalah menurut pendapat yang ashah. Oleh
sebab itu, perbuatan anak kecil dan orang gila yang dilakukan dengan sengaja adalah
dianggap tidak sengaja. Madzhab Hanafi menambahkan
baik anak kecil tersebut sudah mumayyiz atau belum. Sedangkan madzhab Syafi'i,
menetapkan bahwa kesengajaan orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz
dianggap ketidaksengajaan. Namun apabila yang melakukan adalah anak kecil yang
sudah mumayyiz, maka tetap dianggap sebagai kesengajaan.
Wudhu orang yang mabuk menjadi batal karena mabuknya tersebut.
Begitu juga shalatnya
menjadi
batal, karena orang tersebut berada dalam kondisi tidak dapat membedakan yang
baik dan yang buruk. Adapun madzhab Syafi'i menegaskan bahwa orang yang mabuk
tidak dihukumi sebagai orang yang berhadats. Sehingga, shalat dan amalannya yang
lain tidak batal, kecuali jika dia sampai mabuk berat dan keluar bau dari
mulutnya.
C.
MENGETAHUI PERKARA YANG DINIATI
Barangsiapa tidak mengetahui kewajiban melaksanakan shalat lima
waktu, maka niatnya tidak sah. Begitu juga orang yang hanya mengetahui bahwa
yang wajib hanyalah beberapa shalat saja dari shalat lima waktu. Namun syarat
ini tidak berlaku dalam ibadah haji, karena haji berbeda dengan shalat. Dalam haji
tidak disyaratkan menyatakan dengan jelas perkara yang diniati (ta'yin),
melainkan ihram akan sah hanya dengan niat yang mutlak. Ali radhiyallahu
‘anhu melakukan ihram (dengan niat) "melakukan ihram yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad” dan Nabi membenarkan tindakan Ali tersebut. Apabila sebelum
melakukan amalan seseorang menyatakan dengan jelas (ta'yin) bahwa
amalannya adalah amalan haji atau umrah, maka amalannya itu sah. Namun apabila ta'yin
itu dilakukan setelah memulai amalan, maka ia menjadi amalan umrah.
Imam As-Suyuthi menjelaskan apabila ada orang mengucapkan kata
talak dengan menggunakan bahasa yang tidak dimengerti, kemudian orang tersebut
berkata, "Saya menghendaki maknanya dalam bahasa Arab” maka menurut pendapat
yang ashah, ucapan talaknya tersebut tidak berlaku.
D.
TIDAK MELAKUKAN PERKARA YANG DAPAT MERUSAK NIAT ATAU MERUSAK PERKARA YANG
DINIATI
Oleh sebab itu, orang yang berniat harus memegang teguh konsekuensi
niat tersebut. Atas dasar ini juga, maka ibadah seperti shalat, puasa, haji,
dan tayamum, akan menjadi batal apabila ketika melakukan ibadah tersebut orang
yang melakukannya murtad –semoga Allah melindungi kita dari kemurtadan. Begitu juga
status sebagai sahabat Nabi menjadi batal, apabila orang tersebut murtad dan mati
dalam kedaan murtad. Namun apabila orang tersebut kembali lagi kepada Islam dan
Nabi masih hidup, maka status sahabat tersebut dapat disematkan kembali. Tetapi
apabila Nabi sudah meninggal ketika orang tersebut kembali kepada Islam, maka
ada perbedaan pendapat dalam masalah statusnya sebagai sahabat. Imam As-suyuthi
menyebutkan bahwa wudhu dan mandi tidak menjadi batal karena murtad. Karena,
amalan-amalan dalam wudhu dan mandi tidaklah saling berhubungan. Namun, amalan
yang dilakukan ketika dalam keadaan murtad tidak diberi pahala.
Kemurtadan menyebabkan hapusnya amal, pahala, dan juga keimanan
yang terlewat, baik
orang
tersebut nantinya masuk Islam kembali atau tidak.
Di antara perkara yang menyebabkan rusaknya niat adalah niat untuk
memutuskan atau membatalkan. Apabila ada orang yang berniat hendak membatalkan
imannya, maka seketika itu juga dia menjadi murtad. Kalau seseorang berniat
membatalkan shalat namun dilakukan setelah selesai shalat, maka shalatnya tidak
batal, begitu juga ibadah-ibadah yang lain. Namun apabila niat membatalkan
shalat itu dilakukan di tengah-tengah mengerjakan shalat, maka batallah
shalatnya. Karena, shalat hampir sama dengan iman. Namun Ibnu Nujaim Al-Mishri
mengatakan bahwa shalatnya orang tersebut tidak batal kecuali jika orang tersebut
mengucapkan takbir; dan niat melakukan pekerjaan yang lain, maka takbir tersebut
sebagai pemutus pekerjaan yang pertama, dan putusnya bukan hanya sekadar dengan
niat.
Apabila ada orang ketika di tengah-tengah melakukan thaharah niat
membatalkan thaharah, maka amalan thaharah yang sebelumnya tidak batal. Tetapi,
dia wajib memperbarui niat untuk melakukan amalan thaharah yang tersisa.
Apabila seseorang niat membatalkan puasa atau i'tikaf, maka puasa dan
i'tikafnya tidak batal. Hal ini karena shalat merupakan ibadah khusus yang
berbeda
dengan
ibadah-ibadah yang lain, karena ia sangat menekankan ikatan dan doa kepada Allah
Ta’ala. Apabila setelah fajar seseorang mulai melakukan puasa fardhu, kemudian dia
niat membatalkan puasanya tersebut dan berubah melakukan puasa sunnah, maka
puasanya tidak batal. Karena, puasa sunnah dan puasa wajib begitu juga sedekah
sunnah dan sedekah wajib, adalah satu jenis. Apabila ada seseorang memulai
shalat dengan niat fardhu, kemudian dia mengubah niatnya menjadi niat shalat
sunnah, maka shalatnya berubah menjadi shalat sunnah. Apabila seseorang niat
dalam
hati akan melakukan perkara-perkara yang membatalkan shalat, maka shalatnya
tidak batal. Apabila seseorang niat akan makan atau berjimak sewaktu puasa,
maka niatnya itu tidak memengaruhi sahnya puasa. Apabila seseorang niat puasa
di malam hari, kemudian dia membatalkan niatnya sebelum fajar, maka niat itu
tidak aktif lagi.
Apabila seorang musafir memutuskan untuk tinggal dan menjadi orang
mukim, maka dia ditetapkan sebagai mukim dan status safarnya menjadi batal
dengan lima syarat; [1] Benar-benar tidak melakukan safar lagi. Kalau seandainya
seseorang niat bermukim namun dia tetap melakukan perjalanan, maka niatnya tidak
sah; [2] Tempat mukimnya memang layak untuk bermukim. Kalau seandainya
seseorang niat bermukim di tengah laut atau di pulau (yang tidak mungkin
ditempati), maka niatnya tidak sah; [3] Niatnya tersebut atas inisiatif sendiri.
Oleh sebab itu, niat bermukim yang dilakukan oleh orang yang ikut-ikutan tidak sah;
[4] Mukimnya dalam masa setengah bulan.
Apabila
seseorang niat bermukim dalam jangka waktu kurang dari setengah bulan, maka dia
masih boleh mengqashar shalat; [5] Masa setengah bulan itu dilalui di satu
tempat. Apabila seseorang niat mukim setengah bulan namun masanya dibagi di dua
tempat, seperti di Mina dan Mekah, maka dia tidak dihukumi sebagai orang yang
mukim (Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 737).
Perkara yang hampir sama dengan membatalkan niat, adalah mengubah
niat, yaitu niat pindah dari satu bentuk shalat ke shalat yang lain. Menurut
madzhab Hanafi, perubahan tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan melakukan
takbir bukan hanya dengan niat melakukan perubahan saja, dan takbir itu
haruslah yang kedua bukan yang pertama. Umpamanya adalah seseorang melakukan
shalat Ashar setelah melakukan iftitah shalaf Zhuhur; sehingga shalat
Zhuhurnya batal, disyaratkan juga niat tersebut tidak dilafalkan dengan lisan.
Apabila dia melafalkan dengan lisan,
maka
yang pertama menjadi batal.
Menurut Imam Al-Mawardi, “Shalat menjadi batal apabila seseorang melakukan
perpindahan niat dari satu fardhu ke fardhu yang lain, atau dari satu sunnah ratibah
ke sunnah ratibah yang lain, seperti berpindah dari shalat Witir ke
shalat sunnah fajar atau dari shalat sunnah ke shalat fardhu, atau dari fardhu
ke sunnah, kecuali jika memang ada udzur. Umpamanya adalah seseorang melakukan takbiratul
ihram untuk shalat fardhu secara sendirian kemudian ada jamaah, lalu orang
tersebut memutuskan untuk mengakhiri shalatnya pada rakaat kedua dengan salam,
maka shalat yang dilakukan itu sah dan dianggap sebagai shalat sunnah. Ini
adalah menurut pendapat yang ashah.
Di antara perkara yang menyebabkan rusaknya niat adalah adalah
ragu-ragu dan tidak pasti terhadap niat yang asal. Apabila seseorang niat puasa
di hari syak (malam tanggal tiga puluh Sya'ban), -sehingga apabila memang
hari itu masih dalam bulan Sya'ban, maka dia tidak dianggap puasa. Dan apabila sudah
masuk bulan Ramadhan, maka dia dianggap puasa- , maka niat puasanya tersebut tidak
sah. Beda apabila keraguan itu terjadi pada malam tanggal tiga puluh Ramadhan, karena
diikutkan dengan yang asal. Apabila seseorang ragu apakah dia jadi membatalkan shalat
atau tidak, atau dia menggantungkan batalnya shalat dengan sesuatu, maka
batallah shalatnya. Apabila seseorang ragu apakah dia tadi niat qashar atau
tidak, atau ragu apakah dia akan melaksanakan shalat secara sempurna atau tidak
(qashar), maka orang tersebut tidak boleh mengqashar shalat, melainkan harus
melaksanakannya dengan sempurna.
Contoh lainnya adalah mengikuti niat dengan kalimat insya Allah.
Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa apabila orang yang menyatakan itu bermaksud
menggantungkan niatnya, maka batallah niat tersebut. Namun jika maksudnya
adalah mencari keberkahan, maka tidak batal. Apabila dia tidak bermaksud apa
pun dengan pernyataan itu, maka niatnya juga batal. Karena, kalimat tersebut
makna asalnya menunjukkan kepada arti menggantungkan niat kepada sesuatu. Kalau
ada orang berniat, "Besok saya puasa, insya Allah”, maka niatnya tidak
sah. Ibnu Nujaim berpendapat bahwa apabila kalimat insya Allah tersebut dikaitkan
dengan niat puasa dan shalat, maka tidak batal. Namun jika dikaitkan dengan ucapan
seperti talak dan membebaskan budak, maka batallah niatnya.
Namun ada beberapa kasus yang diterangkan oleh Imam As-Suyuthi, di
mana niat tidak batal meskipun ada keraguan dalam niat atau niat tersebut
digantungkan kepada yang lain. Di antara contoh ragu-ragu adalah apabila seseorang
ragu apakah air yang akan digunakan itu air mutlak atau air bunga mawar maka orang
tersebut tidak perlu berijtihad, melainkan dia boleh terus berwudhu dengan air
tersebut. Munculnya keraguan ketika niat diampuni karena darurat. Contoh
lainnya adalah apabila seseorang menyadari bahwa dia mempunyai tanggungan puasa
wajib, namun dia tidak tahu pasti apakah puasa tersebut puasa Ramadhan atau
puasa nadzar atau puasa kafarat, maka dia boleh terus berniat puasa wajib dan
niat tersebut sudah cukup untuknya. Tidak adanya kepastian niat dalam kasus ini
dimaafkan karena darurat.
Adapun contoh menggantungkan (ta'liq) niat yang tidak
menyebabkan batalnya niat adalah, apabila seseorang ragu apakah imamnya mengqashar
shalat atau tidak, kemudian dia berkata, 'Apabila dia mengqashar shalat, maka
saya ikut mengqashar. Apabila tidak maka saya juga tidak mengqashar shalat.”
dan ternyata sang imam mengqashar shalat, maka orang tersebut harus mengqashar.
Apabila ada orang yang hendak ihram berkata, “Apabila Zaid sudah
berihram, maka saya pun berihram." Dan ternyata, Zaid benar-benar sudah
berihram, maka jadilah ihram orang tersebut. Namun apabila Zaid ternyata belum
berihram, maka ihram orang tersebut tidak jadi. Apabila orang tersebut menggantungkan
niat ihramnya dengan kejadian yang akan datang, umpamanya dia berkata, "Jika
nanti Zaid berihram, atau jika awal bulan datang, maka saya berihram,” maka
niatnya tidak sah.
Contoh lain adalah apabila ada orang yang mempunyai tanggungan
shalat fardhu namun dia ragu apakah sudah melaksanakannya atau belum, kemudian
dalam niatnya dia menyatakan, "Saya akan shalat mengganti shalat yang menjadi
tanggungan saya jika memang belum saya kerjakan. Namun bila sudah saya kerjakan,
maka shalat saya ini menjadi shalat sunnah," dan ternyata shalat tersebut
sudah ditunaikan, maka niatnya tersebut tetap sah.
Apabila ada orang niat puasa pada malam tanggal tiga puluh Sya'ban
sembari berkata, “Kalau memang besok sudah masuk bulan Ramadhan, maka saya
puasa wajib. Tetapi kalau belum masuk bulan Ramadhan, maka puasa saya adalah
puasa Sunnah,” maka niatnya tersebut sah dan sudah cukup. Apabila ada orang
niat mengeluarkan zakat atas hartanya yang tidak ada di tempat dengan berkata, "Saya
keluarkan zakat atas hartaku yang tidak ada di tangan, jika ia memang masih
ada. Namun jika harta tersebut memang hilang, maka zakat tersebut adalah untuk
harta benda yang
ada
pada diriku saja," dan ternyata hartanya tersebut masih ada, maka niatnya
tersebut sudah cukup. Atau bila hartanya memang benar-benar hilang, maka
niatnya cukup untuk zakat harta yang ada di tangannya saja.
Apabila ada orang melakukan shalat Jumat di akhir waktu dan dia
berkata, “Jika waktu shalat Jumat masih, maka shalat yang aku lakukan adalah
shalat Jumat. Namun apabila waktunya sudah habis, maka shalat tersebut adalah
shalat Zhuhu,” dan ternyata waktunya masih, maka shalat Jumatnya sah. Ini merupakan
pendapat salah satu wajh dalam madzhab Syafi'i. Dikatakan juga bahwa
shalat Jumat tersebut tidak sah.
Di antara perkara yang menyebabkan rusaknya niat adalah tidak
adanya kemampuan untuk melaksanakan sesuatu yang diniati, baik ketidakmampuan
itu berdasarkan pertimbangan akal, syara’, atau adat kebiasaan.
Contoh yang pertama adalah apabila ada orang mengambil air wudhu
dengan niat untuk melakukan shalat dan pada waktu bersamaan niat untuk tidak
melaksanakan shalat, maka niatnya tidak sah karena ada pertentangan (kontradiksi)
dalam niatnya.
Contoh yang kedua adalah orang yang niat berwudhu untuk melakukan
shalat di tempat yang najis, maka tidak sah niatnya.
Contoh yang ketiga adalah apabila ada orang yang berwudhu dengan
niat untuk shalat 'led,
padahal
dia masih berada di awal tahun hijriyah, atau ada orang niat thawaf padahal dia
masih ada di Syam. Menurut pendapat yang ashah niatnya sah, tapi dikatakan juga
bahwa niatnya tidak sah.
Yang diterangkan ini adalah syarat-syarat umum dalam berbagai
ibadah. Syarat-syarat tersebut juga digariskan oleh para ahli fiqih untuk
ibadah thaharah. Mereka mengatakan bahwa dalam niat wudhu disyaratkan
Islam, tamyiz, mengetahui apa yang diniati, dan tidak melakukan perkara
yang membatalkan niat, yaitu dengan memegang teguh konsekuensi niat tersebut,
sehingga dia tidak boleh memindahkan niat wudhunya kepada amalan yang lain. Niat
tersebut juga disyaratkan tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain. Kalau
seseorang mengatakan "insya Allah,” dan dia bermaksud menggantungkan niat atau
dia memutlakkan kalimat tersebut, maka niatnya tidak sah. Namun jika dia
bermaksud mendapatkan berkah, maka sah niatnya.
Selain madzhab Hanafi mensyaratkan masuknya waktu shalat bagi niat
wudhu yang dilakukan oleh orang yang keluar hadas secara berterusan, seperti
orang yang keluar kencing terus atau wanita yang sedang mengalami istihadhah,
hal ini karena thaharah mereka adalah thaharah dalam keadaan udzur
dan darurat. Sehingga, perlu dibatasi dengan waktu sama seperti tayamum (Mughni
Muhtaj jilid 1 halaman 47; Al-Mughni jilid 1 halaman 142).
Syarat-syarat umum di atas juga ditetapkan oleh fuqaha untuk niat
ibadah shalat. Selain itu, mereka juga menambahkan beberapa syarat, yaitu
membarengkan niat dengan takbiratul ihram; madzhab Hanafi mensyaratkan niat
harus bersambung dengan amalan shalat, tidak boleh ada pembatas asing di antara
keduanya. Sedangkan madzhab Syafi'i menetapkan bahwa niat harus berbarengan dengan
amalan shalat. Madzhab Maliki dan Hambali juga menetapkan bahwa niat harus berbarengan
dengan takbiratul ihram. Tetapi menurut mereka, mendahulukan niat atas takbiratul
ihram dalam jangka masa yang singkat adalah boleh. Para fuqaha sepakat bahwa
menentukan jenis shalat fardhu yang dilakukan -seperti shalat Zhuhur atau Ashar
adalah termasuk syarat. Karena, shalat fardhu banyak jumlahnya dan salah satu
di antaranya tidak boleh dilakukan dengan niat shalat fardhu yang lain.
Niat keluar dari shalat ketika mengucapkan salam tidak diwajibkan,
namun menurut madzhab Syafi'i dan Maliki niat tersebut disunnahkan.
Syarat-syarat umum di atas juga ditetapkan
fuqaha
untuk niat puasa. Mereka juga menambahi beberapa syarat lain, yaitu melakukan niat
pada malam hari, menurut pendapat jumhur selain madzhab Hanafi. Menurut madzhab
Hanafi, melakukan niat puasa di malam hari adalah keutamaan. Dalil masalah ini
adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan
oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang rawi-rawinya tsiqah, "Barangsiapa
tidak niat puasa pada malam hari sebelum munculnya fajar maka tidak (sah/sempurna)
puasanya.” Jumhur ulama juga menetapkan bahwa ta'yin niat dalam
puasa fardhu adalah syarat, sedangkan madzhab Hanafi tidak menganggapnya sebagai
syarat. Yang dimaksud ta'yin tersebut adalah bertekad puasa esok hari di
bulan Ramadhan, bertekad puasa esok hari sebagai qadha', atau sebagai
kafarat atau sebagai nadzar. Jumhur iuga mensyaratkan niat tersebut harus
pasti. Sehingga apabila pada malam syak seseorang berniat, ”Apabila besok
memang Ramadhan, maka saya akan puasa fardhu. Apabila belum masuk Ramadhan, maka
saya puasa sunnah," maka niatnya tersebut tidak sah. Hal ini disebabkan
tidak ada kepastian puasa yang mana yang akan dilaksanakan, karena orang
tersebut tidak memastikan bahwa puasanya adalah puasa Ramadhan. Namun menurut
madzhab Hanafi, memastikan niat dalam puasa yang waktunya
telah
ditentukan bukanlah termasuk syarat, sehingga apabila ada orang yang melakukan niat
dengan niat di atas, maka sah niatnya.
Ahli fiqih sepakat bahwa niat kefardhuan puasa bukanlah syarat
dalam niat puasa. Hal ini berbeda dengan apa yang ditetapkan dalam shalat,
karena puasa Ramadhan yang dilakukan oleh orang yang baligh sudah pasti fardhu.
Berbeda dengan shalat, sebab shalat i'adah adalah sunnah. Ulama juga
sepakat bahwa menyatakan sunnah, ada' atau mengaitkan dengan Allah Ta’ala
dalam niat puasa bukanlah suatu syarat. Karena, maksud tersebut sudah dipenuhi
dengan hanya menyatakan niat puasa, sehingga tidak perlu menyatakan
kesunnahannya.
Jumhur ulama juga mensyaratkan pengulangan niat sesuai dengan
jumlah hari. Sehingga pada setiap hari bulan Ramadhan, seseorang harus niat
puasa secara sendiri-sendiri. Karena, ibadah puasa dalam satu hari tidak ada
sangkut pautnya dengan ibadah puasa pada hari berikutnya. Namun, madzhab Maliki
mengatakan bahwa niat sekali di awal puasa sudah cukup untuk puasa selama bulan
Ramadhan. Sehingga, boleh puasa sebulan penuh dengan niat sekali saja.
Dalam masalah zakat, para ulama juga menetapkan syarat-syarat umum
di atas. Namun, mereka berbeda pendapat dalam masalah keharusan barengnya
pelaksanaan niat dengan waktu memberikan zakat. Madzhab Hanafi menetapkan bahwa
membayar zakat tidak boleh tanpa niat dan niat tersebut harus dinyatakan
sewaktu membayarkannya (ada') kepada fakir miskin, meskipun secara hukmi
saja. Yaitu, umpamanya ada orang sewaktu memberikan zakat kepada fakir miskin
tidak niat. Namun setelah itu, dia niat dan harta zakat itu masih ada di tangan
fakir miskin, maka sah niatnya. Begitu juga apabila niatnya itu diucapkan
ketika memberikan kepada wakilnya dan sang wakil ketika memberikan kepada fakir
miskin tidak niat, atau niat itu dinyatakan ketika memisahkan kadar harta yang
wajib dizakati.
Madzhab Maliki mensyaratkan niat dilakukan sewaktu memberikan (daf'u)
zakat tersebut kepada fakir miskin, dan niat tersebut juga sudah cukup apabila
dilakukan sewaktu memisahkan kadar harta yang wajib dizakati. Niat yang
dilakukan oleh imam (pemerintah) atau perwakilannya juga sudah cukup sebagai pengganti
niat orang yang wajib zakat.
Madzhab Syafi'i, Hanafi, dan Maliki membolehkan terjadinya niat
mendahului pelaksanaan pemberian harta tersebut kepada fakir miskin. Yaitu,
ketika memisahkan kadar harta
yang
wajib dizakati atau ketika memberikan harta zakat tersebut kepada wakil, atau
setelahnya namun sebelum pembagian zakat kepada fakir miskin. Niat juga boleh
dilakukan pada rentang masa antara waktu memisahkan kadar harta yang wajib
dizakati dan waktu pembagian zakat, meskipun niatnya tersebut tidak berbarengan
dengan waktu pembagian atau waktu pemisahan.
Niat juga boleh dipasrahkan kepada wakil jika memang wakil tersebut
kapabel (Muslim dan mukallaf). Untuk membagikan zakat tersebut kepada
yang berhak, seseorang juga boleh mewakilkannya kepada anak kecil atau orang
kafir; asalkan orang-orang yang akan diberi zakat tersebut sudah ditentukan
secara jelas. Wali wajib melakukan niat ketika melaksanakan zakatnya anak
kecil, orang gila, atau orang yang bodoh (safih). Jika dia tidak
berniat, maka dia wajib menggantinya. Apabila seseorang menyampaikan zakat
kepada imam (pemerintah) tanpa niat, maka niatnya imam belum mencukupi. Hal ini
menurut pendapat yang azhar. Apabila seseorang yang wajib zakat (tidak mau
membayar zakat) dan dipaksa untuk membayar zakat, maka niatnya adalah ketika
harta zakat itu diambil. Apabila orang itu tidak menyatakan niat, maka orang
yang
mengambilnya
wajib niat.
Bagi madzhab Hambali, pelaksanaan niat boleh mendahului pelaksanaan
zakat jika rentang waktu tidak panjang sama seperti ibadah-ibadah yang lain.
Apabila seseorang memberikan zakatnya kepada wakil dan niat hanya dilakukan
oleh orang yang wajib zakat -wakilnya tidak menyatakan niat- maka niat zakatnya
sah, jika memang jarak antara pelaksanaan niat dengan pembagian zakat tidak
lama. Jika jarak antara niat dan pembagian zakat adalah lama, maka niatnya
tidak sah. Kecuali, jika orang yang wajib zakat itu menyatakan niat ketika
memberikannya kepada wakil dan wakil juga niat ketika memberikannya kepada orang-orang
yang berhak. Tetapi jika harta zakat itu diambil oleh imam dengan cara paksa, maka
sudah dianggap cukup, meskipun tanpa niat. Karena, adanya udzur untuk melakukan
niat dapat menggugurkan kewajiban niat, sama seperti udzurnya anak kecil dan orang
gila.
Menurut jumhur ulama -selain madzhab Hanafi, orang yang secara
sukarela menyedekahkan seluruh hartanya, belum dianggap sebagai membayar zakat.
Karena, orang tersebut tidak menyatakan niat fardhu, sehingga disamakan dengan
sedekah sebagian hartanya. Kasus ini disamakan dengan kasus orang yang shalat
seratus rakaat, namun dia tidak niat shalat fardhu. Menurut madzhab Hanafi, apa
yang dilakukan oleh orang tersebut sudah dianggap menggugurkan kewajiban,
dengan syarat dia tidak niat nadzar atau niat-niat wajib lainnya. Alasannya
adalah dalam harta tersebut ada yang wajib dizakati, sehingga tidak perlu
dipertegas lagi. Oleh sebab itu, apabila ada orang fakir berutang kepada orang
yang wajib zakat, kemudian orang yang wajib zakat itu membebaskan utangnya,
maka pembebasan itu dianggap sebagai pembayaran zakat, baik dia niat atau
tidak.
Syarat-syarat umum di atas juga ditetapkan oleh ulama sebagai
syarat dalam haji dan umrah. Selain itu, ihram haji harus dilaksanakan pada
waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan, yaitu tiga bulan: Syawal,
Dzulqa'dah, dan Dzulhijjah. Adapun umrah, boleh dilaksanakan sepanjang tahun.
Menurut madzhab Hanafi, ihram harus dilakukan bersamaan dengan amalan-amalan
haji, baik itu ucapan maupun perbuatan, seperti talbiyah atau melepas
baju yang berjahit. Namun, jumhur ulama tidak mewajibkan hal itu. Menurut
jumhur ihram sudah diakui meskipun hanya dengan niat. Tetapi menurut madzhab
Maliki, orang yang melakukan seperti itu wajib membayar dam, karena dia
meninggalkan talbiyah dan tidak melepaskan pakaian yang berjahit ketika niat.
Sewaktu ihram, lelaki disyaratkan menanggalkan pakaian yang berjahit, tidak memakai
wewangian, dan perkara-perkara lain yang dilarang sewaktu ihram. Adapun ihramnya
wanita adalah dengan cara membuka wajahnya. Syarat yang lain adalah ihram harus
dilakukan dari miqat Setiap negeri mempunyai miqat tertentu yang telah
diketahui oleh banyak orang.
Jumhur fuqaha menyatakan bahwa menggabungkan haji kepada ibadah
umrah atau sebaliknya adalah boleh, dengan syarat penggabungan itu dilakukan
sebelum melakukan thawaf umrah. Adapun menurut madzhab Hanafi, syaratnya adalah
sebelum melakukan empat putaran dalam thawaf umrah. Namun menurut madzhab
Hanafi, menggabungkan umrah kepada ibadah haji tidak boleh.
Menurut madzhab Hambali, membatalkan haji dan mengubahnya menjadi
ibadah umrah adalah boleh. Pendapat madzhab Hambali ini berbeda dengan pendapat
jumhur yang melarang praktik ini.
Madzhab Syafi'i dan Hambali mensyaratkan niat sewaktu menyembelih
hewan qurban, karena qurban adalah sarana bagi orang yang melakukannya untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Niat tersebut cukup dinyatakan dalam
hati. Adapun mengucapkannya dengan lisan tidak menjadi syarat, karena niat
adalah amalan hati dan mengucapkannya dengan lisan hanya untuk membantu niat
saja. Imam Al-Kasani dalam Al-Bada'i' mengatakan bahwa pelaksanaan qurban harus
dengan niat, dan menurut madzhab Hanafi niat sudah cukup apabila dilakukan
ketika membeli hewan qurban tersebut.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########