BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Adanya perbedaan pendapat antara madzhab-madzhab dalam menetapkan hukum-hukum syara'. Perbedaan pendapat itu bukan saja terjadi antara madzhab-madzhab, tetapi terjadi juga dalam satu madzhab yang sama. Orang-orang awam mungkin merasa aneh dengan perbedaan ini, sebab mereka memercayai agama itu satu, syara' juga satu, kebenaran juga satu, dan sumber hukum juga satu, yaitu wahyu Ilahi. Jadi, bagaimana mungkin terdapat banyak pendapat dan mengapa madzhab itu tidak disatukan menjadi satu pendapat saja, dan pendapat itulah yang boleh dipraktikkan oleh umat Islam, dengan pertimbangan juga bahwa umat Islam adalah umat yang satu? Ada orang yang menyangka bahwa perbedaan antara madzhab tersebut dapat menyebabkan
munculnya pemahaman bahwa aturan dan sumber syara' adalah bertentangan, atau bahkan dianggap sebagai perbedaan aqidah sama seperti perbedaan yang berlaku dalam agama Kristen, yaitu antara aliran Orthodoks, Katolik dan Protestan. Sesungguhnya perbedaan antara madzhab-madzhab dalam Islam tidaklah demikian. Wal' iyyadzu billah!
Sangkaan seperti itu adalah salah. Sesungguhnya perbedaan pendapat antara madzhab dalam Islam adalah rahmat dan memberi kemudahan kepada umat. Ia merupakan kekayaan perundangan Islam yang membanggakan. Perbedaan pendapat itu hanya terjadi dalam perkara cabang (furu) dan perkara-perkara ijtihadiyah, bukan dalam perkara dasar atau i'tiqad. Dalam sejarah Islam, kita tidak pernah mendengar adanya perbedaan madzhab fiqih yang menyebabkan berlakunya perselisihan atau pertikaian senjata yang memusnahkan kesatuan umat Islam, atau melemahkan pendirian mereka ketika menghadapi musuh. Karena, perbedaan itu hanya merupakan perbedaan cabang yang tidak membahayakan. Sedang perbedaan dalam aqidah adalah suatu kecacatan dan dapat memisahkan antara penganutnya, menghancurkan perpaduan, dan melemahkan eksistensi. Oleh sebab itu, kembali beramal dengan fiqih Islam dan berpegang kepada undang-undang dasar yang disatukan dan bersumber dari fiqih merupakan jalan bagi menguatkan kesatuan umat Islam dan menghapuskan perbedaan di antara mereka.
Dari pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat ahli-ahli fiqih itu hanya terbatas kepada masalah-masalah tertentu saja yang diambil dari sumber-sumber syara'. Malah dapat dikatakan, ia hanya berlaku akibat ijtihad saja di mana ahli ijtihad cenderung kepada suatu pendapat dalam memahami sesuatu hukum yang diambil secara langsung dari dalil-dalil syara'. Kedudukannya sama seperti perbedaan pendapat yang ada dalam penafsiran teks undang-undang, atau perbedaan pendapat yang berlaku di antara para pengulas undang-undang.
Perbedaan dalam fiqih Islam disebabkan oleh kedudukan bahasa Arab itu sendiri yang lafaznya adakalanya mengandung lebih dari satu makna. Ada juga disebabkan oleh periwayatan sebuah hadits dan cara sampainya hadits itu kepada mujtahid, baik dari segi kuat ataupun lemahnya. Juga, disebabkan oleh sedikit atau banyaknya dalil syara' yang digunakan oleh mujtahid. Atau karena adanya pertimbangan menjaga maslahat, keperluan, dan adat yang senantiasa berkembang sewaktu menetapkan hukum.
Penyebab timbulnya perbedaan pendapat ialah karena adanya tingkat perbedaan pikiran dan akal manusia dalam memahami nash, cara menyimpulkan hukum dari dalil-dalil syara', kemampuan mengetahui rahasia-rahasia di balik aturan syara'dan juga dalam mengetahui illat hukum syara'.
Semua itu tidak menafikan samanya sumber syara' yang dijadikan dasar. Ia tidak menunjukkan adanya pertentangan dalam syara' sendiri, karena syara' tidak mempunyai pertentangan dalam dirinya. Perbedaan itu terjadi karena kelemahan manusia sendiri. Namun demikian, salah satu dari pendapat yang berbeda itu boleh diamalkan, supaya manusia tidak merasa kesulitan. Karena mereka tidak mempunyai jalan lain setelah wahyu terputus, kecuali mengikuti apa yang dianggap betul oleh mujtahid, hasil dari pemahamannya atas dalil-dalil zhanni. Dan perkara zhan memang mempunyai potensi bagi munculnya perbedaan pemahaman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila seorang hakim berijtihad dan iitihadnya itu betul, maka dia memperoleh dua pahala. Tetapi jika ijtihadnya salah, maka dia memperoleh satu pahala.” (Muttafa’ ‘alaih dari hadis Amr ibnul Ash dan Abu Hurairah dan penulis kitab hadis yang enam)
Adapun dalil-dalil qath'i -baik dari segi tsubut dan dilah-nya- yang menunjukkan kepada hukum yang jelas dan pasti seperti perkara qath'i yang ada Al-Qur'an, sunnah mutawatir, dan sunnah masyhurah, maka ahli-ahli fiqih tidak boleh berbeda pendapat sama sekali pada hukum-hukum yang bersumber darinya. (As-Sunnah menurut ulama Hanafi terbagi kepada tiga jenis, yaitu mutawatir, masyhur, dan ahad. Mutawatir artinya hadis yang diriwayatkan oleh sekumpulan perawi yang mustahil bersepakat melakukan dusta. Hal ini berlaku dalam tiga zaman pertama, yaitu zaman sahabat, tabi’in dan tabi’at-tabi’in. Hadis masyhur adalah hadis yang pada asalnya diriwayatkan oleh seorang atau dua orang sahabat, kemudian tersebar luas pada kurun kedua setelah zaman sahabat. Hadis Ahad ialah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang, dua atau lebih sahabat tetapi tidak sampai ke peringkat masyhur dan mutawatir dalam ketiga zaman tersebut)
Di antara sebab-sebab utama terjadinya perbedaan pendapat ahli-ahli fiqih dalam menyimpulkan hukum syara' (istinbath) dari dalil-dalil zhanni ialah sebagai berikut (lihat Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid jilid 1 halaman 5 dan seterusnya; Ad-Dahlawi, Hujjatullah Al-Balighah jilid 1 halaman 115 dan seterusnya; Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam bab 3, 4, 25 dan 26; Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat jilid 4 halaman 211-214; Ibnu Taimiyyah, Raf’ul Malam ‘anil A’immah Al-A’lam; Syeikh Ali Al-Khafif, Asbab Ikhtilaf Al-Fuqaha’; Syeikh Mahmud Syaltut dan Syekh Muhammad Ali As-Sais, Muqaranah Al-Madzahib fil Fiqh; Syekh Abdul Jalil Isa, Ma La Yajuzu fihi Al-Khilaf; Ibnus Sayyid Al-Bathusi, Al-Insaf).

1. PERBEDAAN MAKNA DALAM KATA-KATA BAHASA ARAB

Keadaan ini terjadi ada kalanya karena lafaz itu mujmal (tidak detail) atau musytarak (mempunyai makna lebih dari satu) atau mempunyai dua maksud, yaitu umum dan khusus atau makna haqiqi dan majazi, atau makna haqiqi dan makna menurut adat ('urf) ataupun perbedaan itu terjadi karena lafaz tertentu kadang-kadang disebut secara mutlak (tidak dibataskan) dan kadang-kadang disebut secara muqayyad. Atau, perbedaan itu terjadi disebabkan oleh perbedaan i'rab.
Contoh satu lafaz yang mempunyai makna lebih dari satu adalah lafaz al-quru' yang mempunyai arti 'suci' dan juga mempunyi arti 'haid.' Contoh lain adalah lafaz yang berbentuk perintah, apakah ia bermakna wajib atau sunnah saja. Demikian juga dengan lafaz yang berbentuk larangan, apakah bermakna haram atau makruh saja.
Ia juga terjadi dalam lafaz murakkab. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, setelah ayat tentang had qadhaf (hukuman kepada orang yang menuduh orang lain melakukan zina) di mana Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Faathir ayat 10 yang artinya, "...Kepada-Nyalah akan naik (yash'adu) perkataan-perkataan (al-kalim) yang baik (yang menegaskan iman dan tauhid, dan yang akan diberi pahala), dan amal (al-'amal) kebajikan. Dia akan mengangkatnya (sebagai amal yang makbul yang memberi kemuliaan kepada yang melakukannya).... " Ulama berbeda pendapat dalam menentukan fa'il dari kata kerja yash'adu; apakah al-kalim atau al-'amal.
Ataupun perbedaan makna ayat terjadi akibat pertimbangan keadaan yang meliputi nash. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 282 yang artinya, "…dan janganlah penulis yudhaarr (disusahkan/menyusahkan) dan begitu juga saksi...."  Dalam ayat ini, lafaz yudhaarr itu mungkin diberi makna kemudharatan yang dilakukan oleh keduanya atau yang menimpa keduanya.
Contoh lafaz yang kadang-kadang memberi makna umum dan kadang-kadang memberi makna khusus ialah firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 256 yang artinya,  "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (lslam)...." Apakah ayat ini menerangkan khabar (pemberitahuan) namun bermaksud melarang (an-nahyu) ataukah ia memberi khabar sebenarnya (haqiqi)?
Majaz juga mempunyai beberapa jenis, yaitu hadzaf (dihapus), ziddah (ditambah), taqdim (didulukan) ataupun ta'khir (diakhirkan).
Contoh lafaz yang bermakna mutlak dan kadang-kadang mempunyai makna yang muqayyad ialah seperti kata ar-raqabah yang disebut secara mutlak dalam kasus kafarat sumpah, dan ia dibatasi dengan ar-raqabah yang beriman dalam kasus kafarat pembunuhan yang tidak disengaja.

2. PERBEDAAN PERIWAYATAN

Perbedaan riwayat terjadi karena delapan sebab, umpamanya adalah sebuah hadits sampai kepada seseorang, tetapi tidak sampai kepada yang lain; Suatu hadits sampai melalui jalur sanad dhaif yang tidak boleh digunakan sebagai hujjah, sedangkan ia sampai kepada orang lain melalui jalur sanad yang shahih; hadits sampai melalui satu jalur sanad, dan salah seorang perawinya dihukumi dhaif sedangkan orang lain tidak menghukuminya sebagai dhaif atau dia berpendapat tidak ada sesuatu yang menghalangi untuk menerima riwayat itu. Perkara ini bergantung kepada perbedaan pendapat dalam masalah ta'dil dan tarjih.
Ataupun sebuah hadits sampai kepada dua orang (mujtahid) dengan cara yang disepakati.
Tetapi, salah seorang dari kedua mujtahid itu menetapkan beberapa syarat untuk beramal dengannya, sedang yang seorang lagi tidak meletakkan syarat apa-apa. Contohnya ialah seperti pembahasan dalam hadits mursal (yaitu hadits yang perawi sahabi-nya tidak disebut).

3. PERBEDAAN SUMBER

Ada beberapa sumber yang diperselisihkan oleh ulama; sejauh manakah ia dapat dijadikan
sumber hukum. Contohnya adalah istihsan, mashalih mursalah, qaul shahabi, istishhab adz-dzara'i, al-bara'ah al-ashliyyah atau ibahah, dan sebaliknya.

4. PERBEDAAN KAIDAH-KAIDAH USHUL

Contohnya seperti kaidah 'am yang dikhususkan (al-'am al-makhshush) tidak menjadi hujjah, mafhum tidak dapat menjadi hujjah, penambahan kepada ketetapan nash Al-Qur'an apakah merupakan nasakh atau tidak dan sebagainya.

5. IJTIHAD DENGAN QIYAS
           
Ini merupakan sebab perbedaan pendapat yang paling banyak. Qiyas itu mempunyai asal, syarat dan 'illah. 'Illah juga mempunyai syarat-syarat dan cara-cara untuk menentukannya. Semua itu merupakan masalah-masalah yang diperselisihkan. Bisa dikatakan bahwa kesepakatan jarang terjadi dalam masalah asal qiyas dan apa yang boleh dilakukan oleh aktivitas ijtihad dalam masalah asal tersebut dan apa yang tidak boleh dilakukan. Selain itu tahqiq al-manath, yaitu memastikan wujudnya 'illah pada masalah yang tidak ada hukumnya (masalah furu), merupakan salah satu sebab utama bagi terjadinya perbedaan pendapat di antara ahli fiqih.

6. PENTENTANGAN DAN TARJIH DI ANTARA DALIL-DALIL

Ini merupakan bab yang sangat luas dan menjadi medan perbedaan pandangan dan banyak
menimbulkan dialog. Pembahasan dalam masalah ini meliputi perbincangan masalah ta'wil, ta'lil (menetapkan illah hukum), al-jam' wat-taufiq (menggabungkan dan menyatukan pendapat), nasakh (membatalkan) dan tidak adanya nasakh. Perbedaan ini terjadi baik di antara nash-nash atau di antara beberapa qiyas. Perbedaan dalam sunnah terjadi, baik dalam perkataan atau dalam perbuatan atau dalam taqrir (pengakuan). Ia juga terjadi karena perbedaan sifat tindakan Rasul, yaitu apakah termasuk kategori tindakan politik atau kategori memberi fatwa. Perbedaan ini dapat diatasi dengan beberapa cara, di antaranya yang paling penting ialah merujuk dan berpegang kepada tujuan syara' (maqashid asy-syari'ah), meskipun dalam menentukan urutan maqashid ada perbedaan pendapat.
Dengan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa hasil-hasil ijtihad para imam madzhab, tidak mungkin menepati secara keseluruhan dengan syara' Allah Ta’ala yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, tetap dibolehkan atau diwajibkan mengamalkan salah satunya. Sebenarnya, kebanyakan perbedaan pendapat itu adalah dalam masalah ijtihad dan dalam pendapat-pendapat zhanniyyah yang perlu dihormati dan diberi penilaian yang sama. Ia tidak boleh dijadikan alasan untuk perpecahan, permusuhan, dan fanatisme golongan di kalangan umat Islam yang disifatkan oleh Al-Qur'an sebagai umat yang bersaudara. Mereka iuga diperintahkan supaya bersatu dan berpegang dengan tali Allah Ta’ala.
Setiap mujtahid dari kalangan sahabat tidak mau ijtihadnya dinamakan hukum Allah atau syara' Allah, tetapi mereka mengatakan, "lni pendapatku. Jika ia betul, maka itu adalah dari Allah. Tetapi jika ia salah, maka itu adalah dari diriku dan dari setan. Allah dan Rasul-Nya terlepas dari kesalahan itu." Di antara pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, kepada pimpinan tentara ialah, "Jika kamu mengepung sesuatu kota lalu mereka mau supaya dihukum berdasarkan hukum
Allah Ta’ala, maka janganlah kamu menghukum dengan hukum Allah Ta’ala. Tetapi, hukumlah dengan hukuman kamu, karena kamu tidak tahu apakah engkau menepati hukum Allah ataupun tidak".
Ini menunjukkan bahwa pendapat al-ashah, dalam persoalan betul dan salah dalam ijtihad pada perkara-perkara cabang fiqih, ialah aliran al-mukhaththi'ah, yaitu aliran jumhur al-muslimin termasuk golongan ulama Syafi'i dan Hanafi, di mana mereka mengatakan bahwa yang betul dalam ijtihadnya ialah seorang saja dari para mujtahid dan yang lain adalah salah, karena kebenaran hanyalah satu tidak berbilang. Mereka juga mengatakan bahwa dalam satu kasus masalah Allah Ta’ala hanya mempunyai satu ketetapan hukum. Barangsiapa berijtihad dan menepati ketetapan hukum Allah itu, maka ijtihadnya itu betul. Dan siapa yang tidak menepati ketetapan hukum Allah itu, maka dia salah. Tetapi apabila dilihat dari sudut pengamalan hasil-hasil ijtihad para mujtahid dalam praktik kehidupan, maka tidak diragukan lagi bahwa hukum yang ditetapkan oleh setiap ahli ijtihad adalah hukum Allah. Sebab untuk mengetahui manakah pendapat imam mujtahid yang tepat dengan ketetapan Allah, adalah perkara yang tidak dapat diketahui secara yakin.
Yang masih menjadi permasalahan umat Islam masa kini ialah persoalan beramal (melaksanakan), yaitu persoalan melaksanakan syariat Islam baik dalam soal aqidah maupun ibadah, dengan cara yang konsisten dan mempraktikkan hukum-hukum Islam dalam ibadah, muamalah, jinayah, hubungan luar negeri, dan sebagainya secara menyeluruh.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)