BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto 

A. RAGU DALAM NIAT

Madzhab Syafi'i dan Hambali ( dalam karangan Al-Husaini, Ahkamun Niyah, halaman 48-51, 66; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 47, 148 dan setelahnya, 252 dan setelahnya; Al-Mughni, jilid 1, halaman 142, 467; Ghayatul Muntaha jilid 1, halaman 116; Kasysaful Qina', jilid, 1, halaman 369) memberi banyak perhatian kepada masalah niat dan juga masalah ragu dalam niat ibadah. Mereka menetapkan bahwa ragu dalam asal niat atau dalam syarat niat dapat membatalkan ibadah. Apabila seorang yang sedang shalat ragu apakah dia shalat zhuhur atau shalat asar maka dia tidak diakui melakukan kedua-dua shalat tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi'i dalam kitab Al-Umm.
Apabila orang yang bersuci (thaharah) ragu mengenai niatnya, dan keraguan itu muncul di tengah-tengah pelaksanaan thaharah, maka dia wajib mengulangi niatnya lagi, karena kejadian seperti ini termasuk ibadah yang diragui syaratnya, dan keraguan itu terjadi ketika ibadah berlangsung sehingga thaharah-nya tidak sah sebagaimana dalam shalat. Namun apabila keraguan atas niat itu muncul ketika amalan thaharah selesai, maka tidak mengapa. Begitu juga dalam ibadah-ibadah yang lain.
Madzhab Syafi'i menegaskan bahwa niat adalah syarat bagi semua jenis shalat. Apabila seseorang ragu apakah sudah melakukan niat atau belum, maka shalatnya batal. Batalnya shalat adalah jika keraguannya itu berlangsung melebihi masa pelaksanaan satu rukun. Sehingga apabila keraguannya itu berlangsung melebihi satu ruku', satu sujud, atau ketika bengun dari sujud atau ruku', maka batallah shalatnya.
Maksudnya adalah shalat tersebut menjadi batal apabila keraguannya itu berlangsung lama, sama dengan ukuran lamanya pelaksanaan satu rukun perbuatan (fi'li) dalam shalat. Apabila keraguan itu hanya sebentar dan tidak sampai mencapai lamanya satu rukun, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana yang ditetapkan oleh pendapat yang masyhur. Kecuali apabila keraguan tersebut adalah dalam hal niat qashar yang dilakukan oleh orang yang dalam keadaan musafir namun kemudian dia melakukan niat tersebut dalam waktu yang belum lama (dari awal shalatnya),
maka dia wajib menyempurnakan shalat tersebut. Karena, hal itu hanya terjadi dalam waktu yang singkat, dan shalatnya dianggap sah meskipun niat qashar-nya terlambat. Namun apabila niat qasharnya itu dilakukan dan sudah berlangsung satu pekerjaan dari shalat, maka tidak boleh menyempurnakan shalatnya, dan inilah hukum yang asal.
Adapun amalan yang memang tidak disyaratkan niat, apabila muncul keraguan di tengah-tengah melakukannya, maka tidaklah berpengaruh apa pun. Menghadirkan niat secara terus-menerus selama menjalankan shalat tidaklah disyaratkan. Kalau seandainya ada orang shalat Zhuhur dan pada rakaat kedua dia menyangka bahwa dia sedang melakukan shalat Ashar; namun pada rakaat ketiga dia ingat, maka sah shalat Zhuhurnya. Munculnya dugaan bahwa dia melakukan shalat Ashar tidaklah memengaruhi apapun. Karena niat yang memang asalnya tidak wajib, maka melakukan kesalahan dalam niat tersebut adalah tidak mengapa. Kalau seandainya seseorang ragu pada asal niatnya, kemudian melakukan shalat dalam keadaan ragu, maka batallah shalatnya.
Ragu pada syarat niat adalah sama dengan ragu pada asal niat. Kalau seandainya ada orang terlewat tidak melakukan dua shalat dan dia mengetahui jenis dua shalat tersebut, kemudian dia melakukan salah satu dari dua shalat tersebut dengan niat, kemudian ragu; shalat yang manakah yang dia niati, namun dia masih terus melakukan shalat, maka tidaklah sah shalatnya tersebut hingga dia yakin atau mempunyai dugaan yang kuat akan shalat yang diniati tersebut.
Madzhab Hambali juga menetapkan bahwa jika muncul keraguan di tengah-tengah shalat apakah dia sudah niat atau belum, atau dia ragu apakah sudah takbiratul ihram atau belum, maka dia wajib memulai dari awal lagi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh madzhab Syafi'i, karena hukum yang asal adalah tidak wujudnya sesuatu yang diragui tersebut. Kalau seandainya orang tersebut ingat bahwa dia sudah berniat, atau dia ingat sudah melakukan takbiratul ihram, maka dia boleh melanjutkan shalatnya, karena memang tidak ada perkara yang membatalkan shalatnya tersebut. Apabila seseorang melaksanakan shalat dalam keadaan ragu-ragu, maka shalatnya batal, sebagaimana yang dikatakan oleh madzhab Syafi'i.

B. MENGUBAH NIAT

Para ahli fiqih bersepakat bahwa orang yang melakukan shalat dan berniat melaksanakan salah satu shalat fardhu, kemudian di tengah shalat dia mengubah niatnya menjadi niat melaksanakan shalat fardhu yang lain, maka batallah dua shalat yang diniati tersebut. Karena, dia telah memutus keberlangsungan niat yang pertama, dan dia tidak melakukan niat yang kedua pada waktu ihram. Apabila seseorang mengubah niat shalatnya dari shalat fardhu menjadi shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling rajih dalam madzhab Syafi'i, adalah shalat tersebut menjadi shalat sunnah. Karena, niat shalat fardhu sudah mencakup niat shalat sunnah. Dalilnya adalah apabila seseorang niat ihram fardhu, kemudian dia tahu bahwa musim haji belum datang, maka ihramnya menjadi ihram sunnah, dan ihram yang fardhu tidak jadi. Selain itu, memang tidak ada perkara yang membatalkan ibadah sunnah tersebut.
Kesimpulannya adalah shalat menjadi batal apabila sengaja membatalkan niatnya atau muncul keraguan pada niat, atau dia berkeinginan kuat untuk membatalkan niatnya atau berniat ingin keluar dari shalat, atau membatalkan niatnya dan menggugurkan amalan shalat yang sudah dilakukan, atau ragu apakah sudah niat atau belum, atau berpindah dari satu shalat ke shalat lain. (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 370; Al-Mughni jilid 1 halaman 468; Fathul Qadir jilid 1 halaman 285)

C. MENGGABUNGKAN DUA IBADAH DENGAN SATU NIAT

Madzhab Hanafi (Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 39 dan setelahnya) menerangkan bahwa ibadah yang digabungkan adakalanya masuk kategori ibadah pengantar (wasa'il) atau ibadah utama (maqashid). Apabila ibadah tersebut masuk kategori wasa'il, maka kedua-dua ibadah yang digabungkan dengan satu niat tersebut sah. Umapamanya adalah seseorang
mandi junub pada hari Jumat dengan niat mandi sunnah Jumat dan niat menghilangkan jinabah, maka jinabahnya akan hilang dan juga akan mendapatkan pahala sunnah mandi lumat. Contoh lainnya adalah apabila seseorang berniat melakukan mandi Jumat dan mandi 'led, maka kedua-duanya sah.
Dua ibadah kategori maqashid yang digabungkan adakalanya fardhu semua, Sunnah semua, atau yang satu fardhu dan yang satunya lagi sunnah.
Apabila dua ibadah maqashid tersebut fardhu semua, apabila dua ibadah tersebut berupa shalat, maka tidak sah semuanya. Umpamanya adalah kalau seseorang berniat melakukan shalat fardhu Zhuhur dan Ashat maka kedua shalat tersebut tidak sah. Kalau seandainya seseorang niat puasa qadha dan puasa kafarat, maka yang sah adalah puasa qadha. Kalau seseorang niat zakat dan kafarat zihar maka yang sah adalah salah satunya dan orang tersebut dipersilakan untuk memilih salah satunya yang dianggap sah. Kalau seseorang niat melakukan zakat dan kafarat yamin, maka
yang sah adalah zakat. Apabila seseorang niat shalat fardhu dan shalat jenazah, maka niat yang sah adalah niat shalat fardhu.
Dengan demikian, maka jelas apabila seseorang menggabungkan niat dua fardhu, niat yang sah adalah niat yang untuk fardhu yang lebih kuat, jika memang salah satunya ada yang lebih utama. Puasa qadha adalah lebih utama daripada puasa kafarat. Namun apabila tingkatan kedua ibadah fardhu itu sama, dan kedua ibadah tersebut adalah puasa, maka orang tersebut disuruh memilih salah satunya.  Umpamanya seperti puasa kafarat zihar dan kafarat yamin, begitu juga zakat dan kafarat zihar. Namun apabila yang digabungkan adalah zakat dan kafarat yamin maka zakat lebih utama. Adapun dalam shalat, maka shalat yang lebih utama adalah yang dianggap sah, oleh sebab itu shalat fardhu harus diutamakan atas shalat jenazah.
Apabila dua niat ibadah yang digabung tersebut yang satu adalah fardhu dan yang satu lagi adalah sunnah, seperti seseorang menggabungkan niat shalat Zhuhur dengan shalat sunnah, maka yang sah adalah niat salah fardhu. Adapun yang sunnah tidak sah. Ini adalah menurut pendapat Abu Yusuf. Adapun Muhammad mengatakan bahwa kedua niat shalat tersebut tidak sah. Apabila seseorang niat melaksanakan zakat dan niat sedekah sunnah, maka menurut Abu Yusuf yang sah adalah niat zakat. Sedangkan menurut Muhammad, yang sah adalah sedekah sunnah. Apabila seseorang niat melakukan shalat Sunnah dan shalat jenazah, maka yang sah adalah niat shalat sunnah.
Apabila dua niat ibadah yang digabung adalah sama-sama sunnah, seperti niat shalat sunnah fajar dan tahiyyatul masjid, maka sah dua-duanya.
Adapun dalam ibadah haji, apabila seseorang menggabungkan niat ihram nadzar dan ihram sunnah, maka ihramnya yang diakui adalah ihram sunnah. Apabila seseorang menggabungkan niat ihram fardhu dengan niat ihram sunnah, maka yang diakui adalah niat ihram sunnah. Ini menurut pendapat Abu Yusuf dan menurut pendapat Muhammad yang ashah. Apabila seseorang melakukan niat ihram untuk dua haji berbarengan, atau yang satu lebih awal dan yang lainnya lebih belakangan, maka menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, keduanya diakui. Adapun menurut
Muhammad, yang diakui adalah yang niatnya dilakukan berbarengan. Sedangkan yang tidak bareng, maka niat yang diakui adalah niat yang pertama saja.
Apabila seseorang niat melakukan ibadah, kemudian di tengah-tengah ibadah dia niat berpindah kepada ibadah lain dengan cara bertakbir dan maksud niat berpindah kepada ibadah yang lain, maka ia dianggap keluar dari ibadah yang pertama, sama seperti apabila dia memperbarui niat yang pertama dan bertakbir.
Imam As-Suyuthi dalam Kitab Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 20 menyatakan bahwa
barangsiapa niat melakukan satu kesunnahan digabung dengan kesunnahan lain, maka kedua-duanya tidak diakui. Tapi kalau dia niat puasa hari Arafah dan hari Senin (umpamanya), maka sah niatnya. Apabila seseorang niat dua kesunnahan dan salah satunya dari keduanya tidak dapat masuk dalam yang lain seperti shalat sunnah Dhuha dan shalat Sunnah Fajar; maka kedua-duanya tidak ada yang sah apabila memang dicampur. Namun apabila salah satunya dapat masuk ke yang lain seperti niat shalat sunnah tahiyyatul masjid dan niat shalat sunnah ratibah zhuhur (misalnya),
maka kedua duanya sah. Karena, shalat tahiyyatul masjid otomatis terjadi dengan melakukan shalat sunnah ratibah zhuhur. Ibnu Hajar dan Al-lraqi mengatakan bahwa menggabungkan niat puasa fardhu dengan puasa sunnah Arafah, Asyura (hari kesepuluh bulan Muharram), Tasu'a (hari kesembilan bulan Muharram), enam hari bulan Syawwal, tiga hari pada setiap bulan (ayyamul bidh), atau puasa hari Senin dan Kamis adalah sah dan mendapat kedua-duanya.
Umpamanya lelaki berkata kepada istrinya, "Kamu haram untuk saya" dengan niat menjatuhkan talak dan zihar; atau dia berkata kepada dua istrinya, "Kamu berdua haram untukku," dengan niat untuk salah satunya adalah talak dan untuk yang satunya lagi adalah zihar maka menurut madzhab Hanafi yang diakui adalah yang paling berat, yaitu talak. Karena, satu kata tidak mungkin menerima dua maksud. Sedangkan menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama Syafi'iyah adalah orang tersebut disuruh memilih salah satu. Mana yang dipilih, maka itulah yang ditetapkan (Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 42; As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadzair halaman 21).

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)