BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


A. PERUBAHAN IJTIHAD (TAGHAYYUR AL-IJTIHAD)

Seorang mujtahid boleh mengubah ijtihadnya dengan cara menarik kembali pendapat yang pernah dikeluarkan. Hal ini karena basis utama ijtihad adalah dalil, apabila seorang mujtahid menemukan dalil baru maka dia wajib mengambil dan menggunakannya karena dalam dalil baru tersebut terdapat petunjuk yang lebih utama untuk diambil daripada dalil yang sebelumnya dan juga karena dalil baru tersebut lebih dekat dengan kebenaran (dalam Kitab Irsyad Al-Fuhul halaman 232).
Dalam surat Umar radhiyallahu ‘anhu yang dikirim kepada Abu Musa Al-Asy'ari (Qadhi yang bertugas di Kufah) disebutkan, "Keputusan yang telah engkau ambil hari ini janganlah menghalangimu untuk kembali kepada kebenaran, karena wujud kebenaran adalah sudah lama. Kembali kepada kebenaran adalah lebih baik disbanding berterusan dalam kebatilan."

B. MEMBATALKAN IJTIHAD (NAQDHUL IJTIHAD)

Apabila seorang mujtahid mengeluarkan fatwa dalam satu kasus, atau seorang qadhi memutuskan sengketa di antara dua orang, kemudian mujtahid dan qadhi tersebut berubah pikiran dan mereka mempunyai pendapat baru yang berbeda dengan pendapat yang pertama, maka pendapat manakah yang harus diambil; pendapat yang baru atau pendapat yang lama, apakah hasil ijtihad yang lama dapat dibatalkan? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu ditegaskan terlebih dulu bahwa antara mengubah ijtihad (taghayyur al-ijtihad) dengan membatalkan ijtihad (naqdh al-ijtihad) ada perbedaan. Taghayyur Al-Ijtihad berhubungan dengan masalah teoretis untuk menetapkan dasar bagi mengubah ijtihad yang lama. Adapun naqdh al-ijtihad adalah berhubungan
dengan masalah praktis kehidupan, fatwa, dan menangani sengketa yang terjadi diantara manusia.
Para pakar ushul fiqih membedakan pengamalan naqdh al-ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid dengan yang dilakukan oleh hakim (Al-Mustashfa jilid 2, halaman 120; Al-Amidi, Al Ihkam, jilid.3, halaman 158; Musallam Ats-Tsubut, jilid 2, halaman 345; Fawatih Ar-Rahamut, jilid 2, halaman 395; At-Taqrir wat-Tahbir jilid 3, halaman 335; Syarh Al-Muhalla 'ala Jam' Al-Jawami', jilid,2, halaman 320; Al-Madkhal ila Madzhab Ahmad, halaman 190; Irsyad Al-Fuhul, hlm. 232).
Apabila seorang mujtahid mempunyai satu pendapat tertentu, kemudian dugaan kuatnya berubah, maka dia wajib mengubah ijtihadnya tersebut. Contohnya adalah apabila ada seorang mujtahid berpendapat bahwa khulu' menyebabkan nikah meniadi faskh. Kemudian dia menikah dengan seorang wanita yang dulu pernah dia khulu' tiga kali. Lalu dia mempunyai pendapat baru yang mengatakan bahwa khulu' mempunyai konsekuensi sama dengan talak maka dia wajib berpisah dari istrinya dan dia tidak boleh bersamanya karena mengamalkan hasil ijtihadnya yang kedua. Hal ini karena dia sudah tahu bahwa ijtihad pertamanya adalah salah dan yang kedua adalah
yang benar.
Berbeda dengan hakim. Apabila ada seorang hakim atau qadhi menghukumi satu kasus tertentu dengan menggunakan ijtihad, kemudian ijtihadnya tersebut berubah ketika menangani kasus yang sama, maka keputusannya yang pertama itu perlu dilihat terlebih dulu; jika memang bertentangan dengan dalil yang jelas dari nash Al-Qur'an atau As-Sunnah atau ijma atau qiyas jali, maka ulama sepakat mengatakan keputusannya yang pertama itu wajib dibatalkan, baik oleh hakim itu sendiri ataupun oleh mujtahid yang lain. Karena, keputusannya jelas-jelas bertentangan dengan
dalil.
Namun apabila keputusannya itu dalam masalah ijtihadiyah atau masalah yang didasarkan
kepada dalil zhanni, maka tidak perlu dibatalkan. Karena, apabila dibatalkan akan menyebabkan hukum menjadi semrawut, tidak stabil, dan hilangnya kepercayaan kepada hakim. Ini tentunya bertentangan dengan prinsip kemaslahatan yang merupakan alasan utama mengapa seorang hakim harus diangkat. Yaitu, untuk menangani sengketa dalam masyarakat. Kalau seandainya keputusan hakim boleh dibatalkan, maka kaidah-kaidah hukum tidak akan stabil, dan persengketaan akan terus terjadi meskipun setelah dijatuhkannya keputusan. Hal ini tentunya menyebabkan timbulnya percekcokan yang berkelanjutan dan merajalelanya permusuhan serta kerusakan, Dan ini sudah barang tentu bertentangan dengan hikmah dari pengangkatan seorang hakim, sebagaimana diterangkan oleh Imam Al-Qarafi (dalam Kitab Al-Furuq jilid 2 halaman 104).
Teladan utama dalam masalah ini adalah Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika dia menetapkan dua hukuman dalam masalah waris, dia berkata, "Keputusan yang itu adalah berdasarkan keputusan yang sudah saya tetapkan. Dan keputusan ini sesuai dengan keputusan yang sedang saya
tetapkan." Selain itu, para fuqaha telah menetapkan kaidah dalam masalah furu'iyyah, yaitu "ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad.”

C. PERUBAHAN HUKUM KARENA PERUBAHAN ZAMAN

Tidak ada yang mengingkari bahwa suatu hukum kadang berubah karena perubahan zaman. Perubahan hukum ini bisa terjadi disebabkan berubahnya adat kebiasaan, berubahnya kemaslahatan manusia, atau karena kondisi darurat, atau karena adanya dekadensi moral dan melemahnya rasa keberagamaan dalam masyarakat, atau karena perkembangan zaman dan munculnya sistem-sistem baru. Oleh sebab itu, hukum wajib diubah supaya kemaslahatan dapat terealisasikan, mafsadah dapat dihindari, dan kebaikan serta kebenaran dapat ditegakkan. Atas dasar ini, maka prinsip perubahan hukum adalah lebih dekat dengan teori al-mashlahah al-mursalah ketimbang dengan teori al-'urf.
Perlu ditegaskan di sini bahwa hukum yang dapat diubah adalah hukum-hukum yang dihasilkan berdasarkan qiyas atau al-mashlahah al-mursalah dan itu pun terbatas dalam masalah-masalah muamalah, undang-undang, hukum administratif, hukuman ta'zir, dan hukum-hukum yang bertujuan untuk menegakkan kebenaran, merealisasikan kemaslahatan, dan menghindari mafsadah (kerusakan).
Adapun selain hukum-hukum tersebut, yaitu hukum-hukum dasar yang ditetapkan untuk tujuan legislasi atau dasar-dasar yang digunakan untuk menetapkan peraturan umum, maka ia termasuk hukum-hukum yang tetap dan tidak boleh berubah, seperti dasar-dasar aqidah, ibadah, akhlak, dasar-dasar berinteraksi seperti menghormati kemuliaan manusia, prinsip saling rela dalam transaksi, keharusan memenuhi janji, mengganti kerusakan, menciptakan suasana aman dan kestabilan, menekan tingkat kriminalitas, menjaga hak-hak kemanusiaan, prinsip tanggung jawab pribadi, dan menghormati prinsip keadilan dan syura.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)